Selasa, 24 November 2015

Festival Danau Matano, Mari Mengenal Sorowako

Tak kenal maka tak sayang. Pepatah yang lazim dikoar-koarkan supaya kita lebih saling mengenal serta membangun imej positif tentunya. Coba kalau kita punya kenalan atau tetangga baru. Okelah, hal pertama kita tahu namanya. Lalu rumahnya. Apakah hanya dengan tahu saja kita akan mengenalnya? Hanya dengan melewati rumahnya kita bisa menilai orangnya? Jelas tidak. Tapi untuk main ke rumahnya, kudu ada alasan dong. Biar nggak kentara basa basinya. Hihihi...

Minta garam kek, atau minta belimbing wuluh depan rumah. Asal jangan minta saham aja. Nah..tentu kita akan bersemangat datang ke rumahnya sekedar berkenalan jika ada acara. Misalnya onde-onde rumah baru, hajatan, makan-makan dan lain-lain. Kita bisa ngobrol, makan, dan saling mengenal. 

Here we go. Beberapa daerah yang dulunya kurang terkenal sekarang mulai bergaung namanya dan semakin dikenal. Banyuwangi dengan Festival fashionnya. Tomohon dengan Festival bunganya. Toraja dengan event Lovely Desembernya. Maka...tahun ini Sorowako akan dimeriahkan dengan event skala besar dengan judul Festival Danau Matano. 

Acara yang kabarnya menelan biaya milayaran ini diselenggarakan oleh pemerintah Kabupaten Luwu Timur, dan dianggarkan dalam APBD. Konon kabarnya disponsori juga oleh PT Vale Indonesia, sebagai perusahaan tambang di sini. 
Acara akan digelar tanggal 27-29 Nopember 2015. Sejumlah kegiatan akan meramaikan seperti aneka water sport and recreation, wisata tambang di area pertambangan nikel PT Vale, music performance dan lain-lain.

Mungkin akan ada pula gelaran lapak-lapak kuliner. Jangan lupa kalau makan di warung, bayar ya.. Hihihi.. ini bukan macam konggres-konggresan, dek. 

Bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke sini, jangan khawatir. Meskipun ini kota atau kampung kecil, tapi hotel dan penginapan bejibun. Gratis? Ya mbayar dong, dek. Plis deh, ini festival untuk menggenjot pariwisata. Bukan konggres-konggresan.

Oke, sekian pengumuman dari saya. Semoga menambah wawasan dan pilihan Anda yang akan berlibur akhir minggu ini.
Come and join!


*foto yang saya sertakan adalah area wisata Pantai Ide Danau Matano yang ada di kompleks perumahan Pontada, Sorowako. 
Apik, kan? Cucok laah buat syuting drama atau pilem. Hihihihii 

Selasa, 20 Oktober 2015

Merasa Luar Biasa


Sore-sore yang masih terasa terik, kami bermain depan rumah. Saya dan anak-anak. Saya momong, refreshing, sambil pesbukan. Multitasking yang rasanya embuh. Sesekali sambil merenung, menerawang jauh..mikirin masa depan bangsa dan negara ini. #halaah, lambemu Mak.

Main outdoor begini mungkin terasa sedikit mewah bagi orang-orang yang tinggal di perkotaan, hunian sempit dan minus lahan hijau. Bagi kami, yg tinggal di kampung..dan terpencil ya dah biyasah. Bukan hal yang warbyasah lagi. Main dedaunan, berlari di rerumputan, berburu belalang, nonton manuver burung elang...

Yaaa memang terkadang saya menemukan hal- hal baru, yang luar biasa seperti ini. Kulit belalang atau selongsongnya. Anak- anak sih udah nggak heran dengan yang beginian. Mereka udah sering nemu. Tapi bagi saya? Yang begituan itu saya amat-amati lalu saya photo. Untung nggak pake adegan ndlongop. Rasanya pengen bengok-bengok, "Iki lhooo!! Aku nemu apik. Apiiikkk banget. Pasti kamu belum pernah nemu. Pasti kamu ndak tau. Ya kan?"

Selongsong kulit belalang ini memang menakjubkan.
Namun saya merasa hebat pada saat ini, melebihi kehebatan spiderman dan baalveer. Hahaha. *sokbangetdahgua
Padahal kalo disurvey, bisa jadi sebelas dari sepuluh orang sudah pernah melihat selongsong kulit belalang seperti ini. Dan saya adalah orang ke-11 itu. Buktinya mak jleb di depan mata. Saya diketawain anak saya. Katanya, kok baru tahu? Hihihi memang sih kurang nya wawasan bisa berbuah kekonyolan.

Begitulah, kadang bagi kita saat menemukan hal-hal yang baru itu rasanya luar biasa, warbyasaah pokoke. Sampai-sampai kita pengen memberitahu semua orang tentang keluarbiasaan ini. Padahal bagi yang lain itu hal yang biasa. Sekali lagi, biasa.

Krupuk Goreng Pasir a.k.a Krupuk Mlarat


Entah bagaimana sejarahnya, di rumah kami rata-rata adalah penggemar kerupuk. Kami sering beli kerupuk dalam bentuk mentahnya. Tapi jarang sekali saya menggorengnya. Lha kenapa, Mak? Apa krupuknya dipelototin aja sampe jamuren? Atau disimpan dalam pigura? No..nooo..krupuknya ya dimakan. Prosesnya dipanggang dalam oven. Kadangkala kalau lagi selo ya digoreng pake pasir. Selain diklaim lebih sehat tanpa minyak goreng, sepertinya krupuk panggang atau krupuk goreng wedi/pasir lebih melatih kesederhanaan.Bukankah kita seyogyanya membiasakan hidup dengan standar biaya murah to? Eh, benar gitu nggak sih?

Biar pun mampu beli minyak goreng, ndak apalah sekali-kali atau berulangkali nggoreng krupuk pake pasir. Hihihi katakanlah antisipasi jikalau tiba-tiba minyak goreng langka di pasaran. Atau tiba-tiba harga melambung tinggi. Atau ada seruan boikot minyak goreng gara-gara darurat asap? Sapa tau kan? Iya kan? *golek pembenaran.

Di Jawa krupuk goreng pasir disebut krupuk mlarat. Iya, nama yang sedemikian 'rendah'. Padahal, yang dipandang 'rendah' pun kadang diperlukan umat. Pengiritan dan hidup sederhana. Hidup dengan biaya murah tidak identik dengan kerendahan. Pun tidak identik dengan hal-hal yang tidak keren dan tidak kekinian. *iki mbuh jare sopo.

 Yaah..seperti kerupuk-kerupuk yang bermekaran dan terus-terusan kepikiran dalam pasir panas ini. Lebih murah, hemat, dan sehat timbangane digoreng pake minyak. Menurut saya juga lebih kriuk dan nggak mblengeri.

Resepnya, Mak? Wooo nanti dulu. Jari jemari saya dah pegel. Nantikan di postingan berikutnya. Stay tune ya, gaeeesss... *halah..your kitchen, Maaakk


Jadi begini. Menggoreng krupuk pake pasir itu ada tata caranya. Ada alat dan bahannya.
1. Bahan utama jelas krupuk. Kalo repot mbikin, ya beli aja. Biasanya saya pake krupuk berbahan dasar tapioka, macam krupuk bawang atau krupuk udang yang kecil cap Larissa. *wahahaha nyebut merk gak papa yo?

2. Siapkan pasirnya. Saya sih nyari pasir fresh dari pinggiran danau Matano. Secukupnya aja. Tadinya sih mau pake truck buat ngangkut pasirnya, tapi haiyoo arep nggo nggoreng krupuk opo arep gawe bangunan Mak? Bisa juga pakai pasir pantai laut. Jangan pasir colongan ya, jangan juga pasir yang tercemar ee ucing. Pasir lalu dicuci pake air bersih supaya lumpurnya ilang. Kaya nyuci beras gituh. Lalu jemur sampe kering.  Selanjutnya ayak pake ayakan gajah..eh saringan teh.

3.Panaskan pasir dalam wajan atau panci. Jangan yg teplon atau yg lapis diamond. Sayang soalnya. Pake yg biasa aja, yg murah. Yang penting nggak bolong.

4. Setelah panas, masukkan krupuk mentah secukupnya. Aduk-aduk sampai mengembang. Jangan sekali-kali mengaduk pakai tangan kosong.

Panas, tau! Angkat pake serok, biarkan pasirnya terjatuh. Kan mau makan krupuknya, bukan pasirnya to? Tapi kalo kemakan pasirnya dikit ya ndak apa, tambah kriuk kok wahahaha


Senin, 19 Oktober 2015

Ancen Ngene


Ngene iki lho penake urip ning kampung jenenge Sorowako. Akeh banyu, akeh wit-witan, akeh mobil tapi ra macet, tur mugo-mugo akeh rejeki. Nek isuk suara manuk saut-sautan, mbuh manuk opo wae. Elang mabur nduwur wit-witan ketok gedi banget. Sakpitik jago kae. Munyuk ireng kadang dolanan sekitar omah. Iki lagi usum alpokat. Dilut maneh usum nongko, njuk kui pelem, njuk rambutan.

Ning kene akeh warga pendatang soko luar Sorowako. Ketoke luwih akeh pendatang timbangane penduduk asli.

Aku ra mudeng boso Sorowako, tapi untunge ning kene wong-wong podo nganggo boso Indonesia. Lha iyo to, iki iseh Indonesia. Sisih timur. Sulawesi Selatan sing mepet Sulawesi Tengah. Nek ning pasar aku sering malah nganggo boso Jowo, soale akeh sing dodolan kui wong Jowo. Bakul tomat lombok, bakul tempe tahu, bakul perabotan barang pecah belah, bakul semongko, bakul gado-gado, bakul bakso, bakul es dawet, pokoke akeh lah. Aku nganti bingung, iki Sorowako opo ngendi? Yo wis lah, nek sing ngerti sejarah transmigrasi yo mestine paham.

Iki Setu Minggu prei kerjo, prei sekolah. Iki mesti gym lan jogging track rame. Hawane adem tur silir. Njuk aku ki posting tulisan ngene karepku piye? Iyooo...ra piye-piye. Mbangane ra nulis.

*mohon maap buat yang merasa roaming.

Resep Sanggara Peppe Ala Saya


Sesekali bikin pisang goreng yang nggak manis. Di sini ada yang namanya 'sanggara peppe', kurang lebih artinya pisang goreng keprek. Bahan yang diperlukan sederhana, pisang kepok mentah, garam, bawang, minyak goreng.

1. Siapkan pisang mentahnya. Pertama-tama galilah lubang, lalu tanam tunas pisang.  Tunggu hingga berbuah, lalu ambil pisang sebelum matang dan keduluan diambil monyet. Lama yak? Praktisnya sih, beli aja di pasar. Atau nunggu kiriman dari tetangga hahaha.

2. Kupas pisang hingga semua kulit terbuang. Ingat, kupas secara hati-hati. Pisau itu tajam, Jenderal! Dan berhati-hati dengan efek dari getah pisang mentah. Noda kehitaman dan lengket di tangan.

3. Goreng pisang glundungan tsb hingga terlihat matang. Anda bisa sambil pesbukan, twitter an, atau baca koran. Jangan sambil jalan-jalan atau tiduran. Awas, bahaya kebakaran!

4. Tiriskan pisang tadi, lalu keprek dan gebuki pake munthu/ulegan. Ndak usah lebay pake popor senapan ya, gaess.. Apalagi nggebukin pake hak sepatu. Setelah penyet, dan pisang terlihat tidak berdaya maka lumurilah dengan bumbu. Bumbunya cukup air dikit ditambah bawang putih + garam yang sudah dihaluskan.

5. Goreng lagi hingga kemriuk. Aroma bawang akan menyeruak menerobos saraf penciuman.

6.Hidangkan dengan sambel tomat.

Rasanya lumayan.
Kriuk di luar, gurih dan kenyal di dalam.
Anda mau nyoba?

Jumat, 09 Oktober 2015

Ngomongin Monyet [lagi]


Melihat kalian bergerombol seperti itu, jadi muncul syak wasangka bahwa kalian sedang membicarakan sesuatu yang serius. Iya, serius. Jangan-jangan kalian merencanakan strategi pemanenan buah mangga dua bulan ke depan. Jangan-jangan kalian membahas teknik pembagian buah nangka yang bentar lagi masak.

Atau bisa jadi kalian sebenarnya membicarakan saya..hahaha. Sebagai salah satu pesaing dalam mencari buah-buahan kehadiran saya tidak bisa diremehkan begitu saja. Karena saya tidak sendiri. Saya muncul berjamaah dengan tetangga-tetangga saya. Hahaha.. meskipun saya nggak bisa manjat, tapi saya bawa galah! Dan meskipun sebenarnya saya takut, tapi saya bisa berpura-pura berani.
Diteriakin "monyet!" aja kalian dah lari, apalagi kalau saya suruh berjoget. #eh

Jadi, sebenernya saya masih penasaran...sedang membicarakan apa kalian ini? Mbahas update status? Ngomongin negara? Ah, saya ndak percaya! Apalagi ngomongin dollar vs rupiah. Blass saya ndak percaya. Lha wong buah-buahan aja kalian gretongan ndak pake mbayar kok.

*tangi, Mak..!

Sempet ada dugaan bahwa mereka merencanakan makar. Tapi...makar itu makanan apaan sih? Wahahaha. Masa gara-gara liat beginian saya harus ngontak BIN segera. Ya, silahkan saja...saya takleyeh-leyeh sambil mengamati situasi terkini. Hihihi..

Ndak lama kemudian, ada yang mbisikin saya, eh Mak..kayaknya mereka lagi mbahas acara sunatan massal kawanan monyet deh. Jadi mereka itu lagi ngobrolin mau ngamplopin berapa. Mau hiburan jogetan model gimana. Yang masak siapa, atau ambil katering di mana. Tapi kok, ada anak monyet di situ. Nggak mungkin, ah!

Jadi begini, itu anak monyet lagi ngadu, habis diledekin temannya, "Lo belon sunat, ye!" Tapi pas mau ikutan sunat, die takut. Takut macam digigit harimau! Trus emak bapaknye bujuk-bujuk tuh, ..sekalian ndaptar gitu.

Wahahaha... Maaak..maak! Ngene ae dibahas. Dadi melu ra genah kabeh.

Kamis, 08 Oktober 2015

Terbang By Twin Otter


Dulu, kami pernah merasakan naik pesawat jenis twin otter, dengan maskapai  SMAC (Sabang Merauke Air Charter). Cmiiw untuk kepanjangan singkatan maskapai. Pesawatnya kecil, mungkin kapasitas penumpangnya hanya 20-an. Saat itu demi menghemat tenaga dan waktu perjalanan, juga memanfaatkan promo, kami berangkat ke Makassar dari Bandara Lagaligo Bua-Palopo, sekitar 2 km dari rumah. Pesawat yang kami tunggu datang dari Bandara Andi Djemma Masamba, Luwu Utara. Nah kabarnya rute ini juga melayani tujuan Rampi, Sekko. Itu lho daerah yang terkenal dengan ojeknya yang gigih, menempuh jalur berbatu dan berlumpur di tebing-tebing pegunungan. Sekko-Masamba-Bua-Makassar.

Waktu itu kami membawa seorang anak lelaki kami usia 3,5 tahun dan bayi perempuan usia 5,5 bulan.  Kapasitas pesawat kurang lebih 20 an orang. Tanpa layanan garpu-sendok. Air kemasan gelas plastik pun nihil. Sepanjang perjalanan, selain safety belt, kami diharuskan memakai head set besar untuk meredam suara bising. Udara terasa sedikit panas, mungkin penyejuk udara yang kurang dingin atau entah. Terselip juga rasa was-was..dan aaah siapa sih yang nggak merasa was was naik pesawat udara? Berdoa..berdoa..dan berdoa. Selebihnya penerbangan terasa menyenangkan. Melihat perbukitan, awan-awan putih, pesisir pantai, belantara... Hingga sekitar 40 menit sampailah di Bandara Sultan Hasanuddin, Maros. Jika menempuh jalur darat biasanya 8 jam. Hemat waktu, hemat tenaga, meski merogoh kocek lebih dalam. Tahu kan maksudnya? Iyalah, tiket penerbangan itu memang lebih mahal daripada tiket bis atau pete-pete. Apalagi penerbangan perintis, yang pakai pesawat-pesawat kecil itu, Twin otter, ATR, Fokker..


Minggu ini ramai pemberitaan pesawat Aviastar jenis twin otter yang hilang. Mencari dompet ilang memang bisa saya ceritakan dengan berhaha hihi. Tapi mengikuti berita pencarian pesawat Aviastar rute Masamba-Makassar yang hilang kontak, ah..sedihnya.

Hati saya ikut berdebar mengikuti berita ini. Mendengarkan dan membaca nama-nama lokasi yang tak asing lagi, sebagai dugaan lokasi jatuhnya pesawat. *kami bertahun-tahun pernah menetap di Bua, Palopo, eh Luwu.


Selalu ada hikmah di setiap kejadian.
Seperti kita tahu pesawat Aviastar yang hilang, akhirnya ditemukan jatuh di pegunungan Latimojong, Kabupaten Luwu. Semua kru dan penumpangnya dinyatakan meninggal dunia.

Semoga yang berduka diberi kesabaran dan ketabahan. Dan semoga ke depannya, menjadi perhatian serius maskapai dan pemerintah dalam perbaikan infrastruktur, kualitas, layanan dan safety dalam penerbangan perintis di daerah-daerah.  Serta penerbangan dan transportasi pada umumnya.


Selasa, 06 Oktober 2015

Ketika Invasi Semut Tiba


Tinggal di kawasan yang dulunya hutan, dan sekarang pun masih mepet-mepet hutan, serbuan semut menjadi masalah tersendiri. Segala jenis semut, dari yang halus ampe kasar. Hihihi maksudnya dari semut pudak, semut api, semut hitam kecil dan besar, semut rangrang. Sumbernya dari pepohonan atau tanah. Nah, rumah model panggung bukan halangan bagi semut untuk menginvasi. Apalagi rumah kami berdinding kayu. Tambah mak sliyeng aja itu semut-semut menerobos.

Dua hari ini invasi semut api sudah berlangsung di rumah kami. Awalnya saya menemukannya di kamar mandi. Tanpa belas kasihan saya menyemprotnya. Saya lakukan dengan gaya yang diusahakan persis emak-emak nyemprot nyamuk di iklan-iklan obat nyamuk. Matilah mereka. Semut-semut mati menggelepar di lantai kamar mandi. Ini adalah barang bukti kemanjuran obat nyamuk. Bisa digunakan membasmi semut.

Lalu esoknya, saya sapu. Mungkin tersisa sedikit saja semut-semut yang sudah tak bernyawa. Malam berikutnya, invasi semut berpindah ke kamar belakang. Menerobos sudut finding lalu berbaris lalu berpencaran entah hendak kemana. Mungkin mereka sedang piknik. Hihihi.. Hal yang sama saya lakukan. Saya semprot sampai terkapar. Lalu saya bersihkan. Mumet pala bebeb jika invasi ini berlanjut. Saya tak sanggup meneruskan perjuangan melawan semut. Bukan karena belas kasihan saya, duh.. Sampai kapan sih saya maksain bergaya kaya emak-emak iklan pembasmi nyamuk?! Hahaha.. Maapin eike ya, mut semut.

Akhirnya, jurus berikutnya adalah menelepon. Ya, untuk urusan begitu kami dimudahkan dengan melapor. Dan pagi ini pasukan om-om dari Rentokil datang lengkap dengan kendaraan dan peralatan tempurnya. Hihihi..emak lebay.
Kami mengobrol dikit, tanya jawab seperlunya. Saya tunjukkan lokasi invasi semut dua hari kemaren. Untung masih ada sisa-sisa pertempuran [tidak berimbang] yang bisa difoto sebagai barang bukti pelapor. Kami juga berdiskusi sebentar untuk membahas dugaan konspirasi..eh lokasi semut bersarang.

Walhasil, disemprotlah seluruh tiang penyangga rumah dan..entahlah di mana lagi. Hahaha saya tinggal tanda tangan dan tidak mengikuti prosedur..eh om-om bermasker lengkap yang nyemprotin racun semut.
Bukan karena nggak tega meliat adegan kekerasan itu, tapi nganu...nganuuuuu...ambune kui lhooo, lebih parah dari obat semprot nyamuk.


Senin, 05 Oktober 2015

Mencari Kaca Mata



Pagi ini, setelah sholat subuh, saya mengawali hari dengan mumet. Pusing pala bebeb. Bukan karena mikir negara, atau nilai tukar rupiah terhadap dollar. Bukan juga karena mikirin situasi perpolitikan menjelang pilkada. Bukan pula mikirin dunia maya yang semakin berisik dari hari ke hari. Ah, bukan juga mikirin status kamuh yang gitu-gitu deh...

Penyebab sebenarnya adalah, saya kehilangan kaca mata. Bagaimana mungkin saya bisa melihat dengan baik dan jelas, meskipun belum tentu benar, tanpa kaca mata itu. Apalah saya tanpa kaca mata..
Bingung. Seingat saya, sebelum tidur saya serah terimakan itu kaca mata ke suami saya. Biasanya dia akan menaruhnya di atas laci sebelah tempat tidur.

Walhasil, kami berdua pun segera menyisir meja laci, sprei, kasur, bed cover, selimut, dan..hati. Hahaha barang kali ada yang mengira bahwasanya kaca mata saya tersimpan di hati, eaaa. Garing banget.
Mencari sampai ketemu, hingga kami terpaksa menggeser laci dan tempat tidur. Lha kok ndilalah malah nemu barang-barang yang nyempil-nyempil. Yang beberapa hari nggak ketahuan rimbanya. Boro-boro nyari, diduga hilang pun enggak. Walhasil, saya nemu kerudung, kuncir, kaos kaki bayi, kaos dalam, pulpen, dan tumpukan dollar. Hahaha yang terakhir jelas HOAX.

Tapi kaca mata belum ketemu juga. Sampai mumet saya. Bahkan sempat mak sliwer pikiran akan dugaan konspirasi jahat untuk menghilangkan benda berharga milik saya itu. Tapi..konspirasi siapa? Lha kok sempet-sempetnya. Kepikiran juga menduga sesuatu yang halus memindahkan kaca mata saya ke tempat yang masih misterius. Tapi...tepung terigu dan tepung beras di dapur kayaknya baik-baik saja tuh. Ah, mumet..mumet...pokoknya. Mau nyalahin pemerintahan Pak Jokowi lha kok kebangeten temen saya jadi rakyat..hihihi.

Ya sudahlah. Iseng-iseng suami buka laci satu per satu..akhirnya nemu kaca mata itu dalam laci kedua. Leganyaaaa...
Pertanyaannya, kok bisa?

Hihihi ternyata kondisi mengantuk tidak saja diwaspadai saat menjalankan kendaraan, tapi juga di saat menyimpan kaca mata.

Mencari Dompet


Mencari dompet yang raib-entah-kemana sama mumetnya dengan mencari kaca mata. Mangkanya sejak lama saya memutuskan untuk menggunakan dompet ukuran besar, yang bisa untuk menyimpan duit tentu saja, segala macam kartu-kartuan, hape, pulpen, tisu, dan selembar popok bayi.

Karena ukurannya yang gede, menurut hemat saya, jadi lebih gampang ditemukan. Beda dengan dompet ukuran kecil dan minimalis. Dompet minimalis itu kalau lagi raib, haduuhh. Segala tempat penyimpanan ditengok. Sampai ke sudut terkecil. Bahkan kulkas kalo perlu juga diperiksa, karena...ah malu saya bilangnya. Nganuu...eng...nganuu...hape saya pernah nginep semalaman di freezer. Sampai menggigil kedinginan. Eh, itu hape atau naget istimewa? Hihihihi.

Balik lagi ke masalah pelik nyari dompet. Kadang-kadang saya sudah mumet nyariin dompet kagak nemu-nemu, eh empunya dompet nelpon dari tempat kerja. "Udah ketemu, di tas ternyata." Rasanya itu pengen ngabisin nasi se-rice cooker.

Tadi pagi, saya ditugasi mencari dompet minimalis itu. Dengan clue sekedarnya, yaitu celana kerja. Saya sudah merasa sok tau dan bijaksana, palingan di tas. Bolak balik diperiksa tapi kagak ada. Di laci-laci nihil. Di mobil juga nggak ada. Lalu saya bergegas mencari celana kerja. Menghentikan sementara mesin cuci yang sedang bekerja. Mengambilnya hingga terpisah dari kumpulannya. Memeriksa setiap sakunya. Daaan...nggak ada sodara-sodaraaaa! Duh mumet pala bebeb.

Saya akhirnya berpikir keras. Bagi saya yang jarang-jarang mikir keras..ya agak nguras tenaga. Pengen ngabisin sepiring pisang goreng jadinya.
Tiba-tiba saya teringat uang koin yang sering kedapatan terkapar tanpa daya di dasar mesin cuci. Seketika saya mengaduk- aduk cucian. Licin bersabun. Laluuu...ketemu, alhamdulillah. Tapi, dompetnya basah kuyup seisinya. Laluuu...saya pun teringat beberapa waktu dulu pernah nyuci sprei berikut hape.
Sprei bersih seketika, tapi hape nya...ah ndak enak saya bilangnya.

Antara Bogor dan Sorowako, Piknik yang Berbeda



Monyet maccaca yang sedang 'piknik' di halaman
Kami tinggal di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Tahun pertama di sini, hari-hari terasa seperti piknik. Tinggal di sekitaran Danau Matano, berasa lebih nyaman ditunjang lingkungan perumahan yang asri dan penuh pepohohan. Suara burung ramai berkicau. Burung-burung elang terbang di atas pepohonan. Juga sekawanan monyet maccaca liar yang sesekali mampir dan berkeliaran di halaman. Mungkin mereka pun sedang piknik. Hehehe, keluar dari dalam hutan lalu mencari buah-buahan di kawasan perumahan. Banyak sekali pohon buah di sini. Nangka, mangga, alpukat, rambutan, jeruk bali, jambu, sirsak dan lain-lain.Jika kami berburu buah itu artinya kami harus siap dan legowo untuk bersaing dengan monyet-monyet macacca ini. Sorowako, kota tambang yang asri dan hijau. 

Selain terkenal karena tambang nikelnya, satu hal yang menarik dari Sorowako adalah Danau Matano. Danau inilah yang mengalirkan kehidupan untuk Sorowako dan sekitarnya. Digunakan sebagai sumber air, pembangkit listrik, juga tempat wisata alias piknik. Danau Matano, konon katanya adalah danau terdalam se-Asia Tenggara. Banyak kawasan pantainya yang dimanfaatkan sebagai tempat wisata. Istilah pantai di sini, maksudnya adalah pesisir danau. Ada Pantai Ide, Pantai Kupu-Kupu, dan Pantai..aduh, yang saya lupa namanya, yang dipakai untuk rafting dan berkano ria.

Yang paling umum dikunjungi orang, terutama dari luar Sorowako adalah Pantai Ide. Pertama kali mengunjungi pantai ini, rasanya luar biasa. Danau yang awalnya saya lihat dari dalam pesawat Indonesia Air terlihat kebiruan, ternyata begitu tenang, bersih, serta beraroma romantis. Sayangnya belum ada yang tertarik pakai lokasi ini sebagai tempat syuting layaknya film Laskar Pelangi, atau drama korea. Yang hobi berenang pasti betah lama-lama di sini. Airnya bersih. Yang takut dingin mending berenang siang-siang atau sore hari. Agak anget hehehe. Ada ban-ban yang disewakan. Ukuran besar dan kecil, harga sewanya kalau tidak salah 3-10 ribu. Oya, di sini orang-orang dewasa kalau berenang kebanyakan pakai kostum yang relatif lebih sopan.  [dibandingkan dengan wisata-wisata air yang terkenal di kota-kota besar] Kebanyakan pakai baju kasual sehari-hari, bukan swimsuit. Mungkin karena budaya lokal, atau memang kesadaran pribadi dan masyarakat pada umumnya. Entahlah, ..atau karena ketidaktahuan saya saja heheh.
Pantai Ide Danau Matano

Dasar danau yang berpasir dan berlumpur keliatan jelas. Ikan-ikan kecil yang berenang juga keliatan. Anak-anak kecil riuh berenang bersama orang tuanya. Dalam hati saya berkata, “Hebat ya, kecil-kecil udah pada pinter berenang. Saya saja yang udah kepala tiga masih pake gaya lama alias gaya batu.” Hahahaha.
Bagi yang nggak bisa berenang nggak usah galau. Toh masih bisa menikmati pemandangan sekitar. Bisa jalan-jalan di anjungan-anjungan yang menjorok ke danau. Memotret pun jadi kegiatan seru. Atau berfoto-foto narsis juga oke kok, asal jangan terlalu heboh saja, hihihi bisa mengganggu pemandangan. Saya sarankan sih kalo mau narsis, kreatif dikit laah..jangan sekedar monyong-monyongin mulut, ngeluarin lidah, atau apalah. Toh banyak pohon besar yang mau dipeluk buat foto narsis bersama wkwkwkwkk. Seperti film India.

Sejauh mata memandang, yang tampak adalah air. Hehehe ya iyalah, kan DANAU bukan emol [mall]. Sesekali terlihat katinting yang melintas. Itu lho, perahu khas Danau Matano, untuk mengangkut orang dan kendaraan menyeberang sampai ke Nuha. Di kejauhan nampak deretan pegunungan. Sungguh, eksotik sekali.

Ngomong-ngomong soal mall, di sini nggak ada mall. Mall terdekat di kota Palopo yang berjarak 4-5 jam naik mobil. Atau di Makassar yang hanya berjarak sekitar 1 jam naik pesawat jenis Fokker. Biayanya dong, Kakak… yah, sesekali butuh juga piknik ke kota –yang ada mallnya. Kami kadang-kadang ke kota, biasanya pas momen mudik ke Jawa. Maklum, kami perantau. Setiap ada kesempatan cuti dan berlibur kami gunakan untuk besilaturahim dengan keluarga dan berpiknik di kota. Piknik juga perlu lho, untuk kesegaran jiwa. Meski pun kadang harus merogoh kocek lebih dalam, toh banyak hal yang bisa kita dapatkan. Selain kesenangan, tentunya  dapat me-recharge semangat untuk menjalani rutinitas. Apalagi piknik dengan menempuh perjalanan  jauh, tambah banyak lagi yang bisa kami dapatkan. Kami bisa mengajari anak-anak etika di perjalanan, sabar menunggu boarding, sabar menunggu jemputan, juga berlatih ketahanan fisik dan mental di jalan. Berat ya? Hihihi.. nggak lah, kan habis itu kami bersenang-senang bertemu sanak saudara, bernostalgia, melihat dan menikmati tempat-tempat yang berbeda dengan tempat tinggal kita. Asyik, bukan?

Bulan Mei tahun ini, saya senang sekali saat suami dapat tugas dari kantornya untuk pelatihan di Bogor selama beberapa hari.  Bisa numpang deh… Hihihi numpang hotel maksudnya, untuk biaya lain-lain saya dan anak-anak ya ditanggung sendiri. Sekalian kami mudik ke Sukabumi, kampung mertua saya. Meskipun  sering mudik ke Sukabumi, Bogor hanya kami lewati. Jarang sekali bisa berpiknik di kota hujan ini. Pengalaman bertahun-tahun pernah tinggal di Bogor, membuat saya excited sekali dengan beberapa rencana piknik. Saya sudah bayangkan mall. Sekedar jalan dan cuci mata pun nampak mengasyikkan. Kebun raya dan Istana Bogor yang asri beserta rusa-rusanya. Rusa, bukan monyet liar seperti di Sorowako. Kampus yang hijau, kenangan kami kuliah dulu. Cuci mata di distro-distro tas. Aneka macam kuliner yang menggiurkan dan nggak ada di Sorowako. 

Tapi…saat kami di Bogor, rencana tetaplah rencana, hanya sekian persen yang terlaksana. Banyak faktor penyebabnya. Selain jadwal suami yang padat, ternyata saya pun kerepotan membawa dua anak plus satu bayi untuk berkeliling sendiri di Bogor. Mana jalanan macet.. Belasan tahun lalu, nggak semacet itu lho. Bogor sudah berubah! Bukan karena Negara Api sudah menyerang,  tapi…deru pembangunan dan pertumbuhan penduduk mungkin ikut andil untuk mengubahnya.

Akhirnya, mau bagaimana lagi, kami tetap menikmati kota Bogor. Dengan nge-mall tentunya hihihi. Sampai rontok bulu kaki, eh..pegel kaki. Dan berjalan di trotoar sekitar pagar istana, mengintip rusa-rusa yang berkeliaran. Melihat anak-anak yang gembira,saya pun ikut senang. Sambil mencicipi martabak dan kue ape, saya pun bercerita tentang kampus saya dulu, yang sebagian sudah berganti menjadi bangunan mall dan hotel.

Saya masih menyimpan angan, kelak kalau kami berkesempatan liburan di Bogor, satu hal yang tidak boleh terlewatkan adalah mencicipi kuliner secara lengkap dan menyeluruh. Asinan, toge goreng, roti unyil, segala macam penganan dari talas, sop duren, bakso, kue ape, rujak..dan ah, tiba-tiba saya berasa lapar. Di Sorowako nggak ada, Kakaaak. Hal berikutnya adalah berjalan-jalan di kampus bersama anak-anak. Bernostalgia bersama suami, sekaligus bercerita pada anak-anak. Lalu mengunjungi istana dan Kebun Raya Bogor. Waaaahh, kapan ya?



**Tulisan ini diikutkan Lomba Blog Piknik itu Penting 

Jumat, 18 September 2015

Bolu Kukus Lampu Setopan



Niatnya tadi bikin bolu kukus pandan. Tapi entah kenapa kok kepikiran bikin yang enggak- enggak. Hihihi..
Begini caranya :

Panaskan dandang kukusan sampe benar-benar panas, tutup dialasi serbet.
Sementara menunggu dandang panas, Anda bisa bernyanyi dulu hehehe. Siapkan bahan-bahan, lalu ikuti step by step cara membuatnya. Ingat, step by step berurutan. Jangan sampe urutan terbalik lho ya... Kan yo wagu, kalau telur dikukus dulu baru dikocok.

Dua butir telur plus 180 gram gula dikocok sampe berjejak. Tepung terigu 150 gram  + susu dancow 1  sachet dimasukkan bergantian dengan air angetanget suam kuku 150 ml.

Boleh juga susu+air diganti saja dengan santan atau susu UHT 150 ml. Jika pakai santan, sebaiknya santan hangat. Susu juga jangan yang langsung dari kulkas, bikin bantat katanya.


Setelah tercampur rata, bagi adonan menjadi menjadi berapa aja. Warnai suka-suka. Tuang bergantian dalam loyang. Kukus dengan api besar kurang lebih 20 menit.
Setelah matang, namai sesuka hati.

Kalau yang ini, bikinan saya, saya namai BOLU KUKUS LAMPU SETOPAN.
 

Minggu, 13 September 2015

Menerima Permak Kathok


Pagi ini buka pesbuk, dapat dua tautan status yang intinya sama, yaitu tentang menulis. Saya jadi iseng buka-buka blog dan membaca salah satu postingannya yang berjudul Kenapa Menulis. http://ketepelkukuk.blogspot.co.id/2012/03/kenapa-menulis.html?m=1
Nggak terlalu penting lah mbahas si empunya blog, karena ah...siapa lah dia.

Ada bagian yang menarik untuk digarisbawahi, kalau perlu sekalian ditebelin dan cetak miring.
"Segaring apa pun tulisan saya, menulis tidak pernah membuat saya sakit hati. Menulis selalu menyenangkan, always will be..."

Apakah..yang demikian itu..adalah salah satu definisi dari sebuah istilah 'passion'? Entahlah...

Yang saya tau, kita menemukan passion nggak seketika pas lahir cenger oek oek. Ada memang yang nemu dari masa kecil, lalu terpelihara sampe dewasa. Ada yang nemu setelah nyoba sekian jenis hobi, baru nemu passionnya. Ada yang karena terpaksa.

Ada yang nemu dari dulu, lalu hilang entah kemana, eh pas nyoba lagi baru ngeh kalau itu passionnya. Serasa nemu mutiara eh..passion yang hilang, yang lama dicari sekarang berjumpaaa.
Itu. Itu yang saya rasakan saat saya kembali menjahit setelah sekian lama. Debar debar gemes, seneng, puas..
Kalau menilik tampang saya, mungkin orang kurang yakin kalau saya bisa njahit. Lha saya sendiri juga nggak yakin kok. Ngahahaha.. Palingan kelasnya masih level ndondomi. Butuh usaha khusus untuk segera naik level menjadi penjahit beneran, minimal penjahit amatiran dulu.

 Sejak SMP saya sudah berkenalan dengan mesin jahit dan belajar menjahit ala kadarnya. Mesin jahit itu adalah hadiah pemberian dari bapak saya untuk prestasi saya yang tidak seberapa waktu kelas tiga. Tjap-nya kupu-kupu. Dikayuh pakai kaki. Bertahun-tahun dipakai, masih oke. Cuman meja dan dudukannya yang dedel duel. Tapi baru-baru ini sama bapak saya, dibelikan meja dan dudukan baru yang lebih keren. Jadi terlihat antik.

Nah pas kemaren itu rasanya pengeeen banget punya sendiri. Apalagi ngelihat di rumah mertua ada, di rumah Lasem juga ada. Pengen takboyong ke sini, rasanya kebangetan, hahaha. Yo wis, akhirnya beli sendiri, model kekinian yang portable itu. *maap, status ini mengandung pamer.

Sudah beberapa hari ini kegiatan menjahit masuk dalam kegiatan resmi keseharian saya. *gayamu, Maakk. Bikin kuncir dari kain, memperbaiki baju sobek, dan mengecilkan celana kerja suami. Point terakhir ini butuh usaha rada besar, konsul dulu ke simbok saya. Piye carane? Nggak butuh waktu lama bagi saya untuk mengukur, mendedel, menjahit, memotong, dan menjahit lagi. Selesai. Hasilnya lumayan, setidaknya menurut testimoni empunya celana.

Saya puas dan senang. Saking senangnya saya langsung kirim sebaris pesan terselubung untuk keluarga besar saya:  "MENERIMA PERMAK KATHOK". Diketik dengan rasa bangga dan penuh passion-able.

Kamis, 10 September 2015

Ah, Di Situ Kadang Saya Merasa Dikeplak


Pagi ini membaca lagi buku "Ayah Bundaku Terapisku" yang ditulis Bunda Erina. Saya sudah lama punya, tepatnya dikasih, lebih tepatnya lagi gretongan, langsung dari penulisnya. Kok bisa, Mak? Lha yo bisaaa... Cerita nya sih panjang, kalau mau diringkaskan dalam beberapa paragraf status pesbuk sebenarnya kurang. Tapi okelah...

Jadi pas sebelum dan setelah saya lulus kuliah, saya tinggal di rumah Bu Erina ini. Kurang lebih dua tahun. Yo jelas gratisan.. *ealaah mak, kawit biyen jebule senenganmu gratisan
Ya sudah kayak keluarga sendiri, mudah-mudahan Allah membalas kebaikan keluarga ini dengan kebaikan yang berlipat ganda. Amiin..

Ohya, kan sudah lama saya nggak sowan ke rumah beliau di mBogor. Waktu anak kedua saya usia enam bulan waktu itu tahun 2009. Nah bulan Mei tahun ini, saat kami berkesempatan mengunjungi kota mBogor, saya pun silaturahim ke rumah beliau. Gitu, trus saya dikasih buku ini.

Buku ini tentang hypnoparenting, memberikan sugesti-sugesti positif dalam mengasuh dan mendidik anak. Buku ini disusun berdasarkan kisah nyata dari para orang tua dan anak-anak yang datang berkonsultasi di tempat praktik.

Membaca buku ini paragraf per paragraf serasa saya dikeplak berkali-kali. Membaca curhatan anak-anak yang merasa selalu dimarahi orang tuanya. Curhatan anak yang merasa tidak dihargai, yang merasa kesepian, dan lain-lain. Juga curhatan orang tua yang merasa anaknya susah diatur, suka melawan, dan lain-lain. Saya bayangkan seandainya anak-anak kami yang berkonsultasi. Akankah terucap curhatan galau tentang perilaku kami sebagai orangtuanya...ataukah  luapan rasa bangga dan penuh cinta pada kami? Ah, di situlah kadang saya merasa dikeplak.

Tapi bagusnya setelah perasaan saya yang merasa-dikeplak itu, ada tulisan-tulisan dukungan dan sugesti untuk anak maupun orang tua. Contohnya gini :

"Berikan selalu dukungan meskipun hanya berupa kata-kata positif dan sedikit sentuhan fisik pada anak Anda."

"Terima apa adanya. Cara terbaik orang tua untuk membuat anak merasa diakui keberadaannya, disayangi, dan dicintai."

"Buat komitmen. Merupakan salah satu cara terbaik untuk membangun rasa tanggung jawab kepada anak."

"Mulai sekarang, pagi ini, dan seterusnya saya rasakan kasih sayang yang melimpah pada diri saya untuk selalu saya curahkan pada anak-anak saya setiap saat. Saya semakin bisa memberikan perhatian pada hal-hal positif yang anak-anak saya lakukan. Dan mudah untuk memberikan pujian ketika mereka melakukan kebaikan dan membimbing mereka ketika mereka melakukan hal yang negatif. Saya mudah menerima kebaikan sekecil apapun dan menghargai usaha sekecil apapun dari semua yang anak-anak saya lakukan. Dan saya bisa merasakan kebahagiaan lebih banyak karena anak-anak saya juga semakin bahagia dan bangga memiliki orang tua seperti saya."

Itulah, pada intinya sebagai orang tua memang kami harus belajar lagi..dan lagi.. demi membantu diri kami sendiri mengasuh dan mendidik anak-anak lebih baik lagi.

Rabu, 09 September 2015

Catatan Sedikit Tentang Ojek Sekko


Nonton ojek Sekko di Kompas TV, kamu akan tahu begitu keras kehidupan jika infrastruktur jalanan tidak senyaman di kota. Sekko, masuk wilayah Kabupaten Luwu Utara, sebuah daerah yang berada di perbatasan Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Barat. Akses masuk bisa dijangkau dari Masamba. Eh, jangan cuman inget Evi Masamba, ya Kakaaakk. Dari Masamba memang tersedia penerbangan menuju Sekko, tapi tahu lah yaaa..ongkos penerbangan jelas nggak murah. Dan yang pasti, normalnya wira wiri pesawat itu tidak semudah perjalanan darat. Apalagi untuk mengakses daerah dalam satu kabupaten. Tapi di Sekko?  Pilihan yang umum tersedia untuk transportasi orang dan logistik adalah pake kuda dan ojek. Ojek dari Masamba menuju Sekko bisa memakan waktu dua hari. Mobil? Alaaamaaakkk, katanya tuh bisa belasan hari. Lak yo jamuren nang ndalan. Hal ini tidak lain dan tidak bukan adalah kondisi jalanan tanah yang berbatu dan berlumpur di lereng gunung. Sungguh akses darat yang sulit. Ojek yang terseok-seok. Bapak-bapak tangguh penakluk jalanan. Dan wajah-wajah penuh pengharapan.

Bersyukurlah yang di daerahnya tersedia infrastruktur jalan yang memadai, meskipun nggak ada emol. *hahaha, ngomong ke diri sendiri.
Saya berharap banget pada wakil rakyat sesekali bisa mampir lah ke Sekko, merasakan kerasnya hidup di jalanan yang juga keras. Nggak cuman plesir..eh studi banding...eh jalan-jalan ke luar negeri.

Ah, sudahlah..bukankah tugas wakil rakyat sudah semestinya mewakili rakyat? Meskipun kadang-kadang begitu menyakitkan melihatnya mewakili rakyat untuk jalan-jalan ke luar negeri, naik pesawat kelas mahal, hotel mahal, dan..berfoto selfie sama..ah, sudahlah.

Yang penting, sepulangnya nanti, jangan terlalu mangap untuk koar-koar ambruknya ekonomi, dolar naik, banyak PHK, daya beli turun, kemiskinan, pemerataan ...karena....ah, nggak tega saya ngomongnya.

Selasa, 08 September 2015

Jangan Ambil Bajuku, Nyet!


Mau cerita tentang monyet lagi. Cerita tentang bagaimana kami berkawan dengan monyet. Sekawanan monyet macaca yang liar dan sering muncul berkeliaran di sekitar rumah kami.

Duh, maafkan kami nyet. Tadi kami mengusirnya dengan penuh kasih sayang *hueeekk. Ya gimana, pilihan sulit yang saya harus ambil karena salah satu monyet menurunkan beberapa pakaian yang saya jemur di belakang rumah. Walhasil, semua monyet mlipir beranjak. Gara-gara ulah seekor, sekawanan terpaksa menanggung akibatnya.

Mereka tidak pergi, hanya mengambil jarak.  Yang asyik cari kutu berpasangan begeser sedikit untuk meneruskan di dekat semak. Yang duduk-duduk pun masih prengas prenges. Beberapa berpindah tempat dan berpencar. Dan ada seekor induk yang lagi memberikan asinya pada seekor anaknya yang unyu banget, terpaksa bergeser. Awalnya dia hanya berjarak kira-kira dua meter depan pintu, lalu pindah ke bawah pohon nangka. Duh maapin eike ya nyet...Bayi monyet menggelantung di dada induknya yang berjalan pergi. Lalu induk itu menengok ke arah saya. Duh, tatapannya itu...bikin nggak enak.

Tak ingin meneruskan dramatisasi scene ini, saya masuk rumah. Lalu keluar dari pintu depan. Di halaman, saya melihat pergerakan mereka yang terorganisir. Berpencar kemana-mana tuk mencari...entah. Seekor monyet duduk di atas batu, memakan sesuatu. Saya memanggil anak-anak yang tidak menyadari kehadiran si hitam. Empat anak kecil serentak menghentikan permainannya, lalu melakukan seremoni euforia, berteriak-teriak memanggil monyet. Anak-anak mendekat.

 Saya pun ikut berteriak, "Heiii...monyeettt..monyeetttt..MONYETTTT!"

Lho, dia malah terbirit lari dan kembali ke kawanan.
Mungkin dia malu karena nggak pake baju. Disorakin, betapa malunya..

 Kami mengikuti dalam jarak beberapa meter.
Eh..eh..terlihat seekor monyet menurunkan beberapa pakaian dari jemuran tetangga saya. Lha kok sepotong baju anak-anak dibawa lari. Kami berteriak sambil melemparinya dengan batu-batu kecil. Maap yaaa...

Untunglah, sepotong baju itu langsung diletakkan tepat di depan semak belukar pepohonan.

Alamaak, jangan mencuri gitu dong nyet. Coba bilang kalau lagi butuh celana atau baju. Saya ada sih beberapa yang bekas  kalau mau. Tapi kalau maunya yang baru ya mohon maap, saya cuma bisa kasih rekomendasi beli di blabla dot kom.

Dia Monyet


Di suatu sore yang syahdu ehem ehem..tiba-tiba mak krusseeekkk. Sesosok mungil berbaju hitam muncul dari semak-semak. Duduk di pinggir jalan di seberang jalan. Mulutnya menyeringai. Eh, dia bukan berbaju tapi berbulu hitam. Iya, monyet macaca.

Sejurus kemudian, dia menyeberang jalan menuju pepohonan di belakang rumah kami. Saya dan anak-anak yang berada hanya tiga atau empat meter dari jalur pelariannya *halah* langsung meneriakinya. Bukan yel yel, tapi sebuah teriakan panggilan. Sebagai sesama makhluk hidup dalam satu habitat maka itulah keramahan kami.

"Woi..woiiii..monyet..monyetttt...MONYEEETTT!!"

Lha kok monyetnya malah terbirit-birit lari. Lalu menghilang di antara pepohonan. Tak menengok atau pun membalas keramahan kami.

Ah, jangan-jangan dia tidak tahu kalau namanya monyet.
Trus apa dong? Atau dia marah dikatai monyet? Ah, sudahlah.

Dunia Perpesbukan


Dunia perpesbukan itu menjadi kesenangan tersendiri bagi saya. Membaca status-status yang menginspirasi, menghibur, memberi informasi, pencerahan, dan ilmu. Nah, demi mendukung kesenangan ini sejak lama saya memberlakukan konsep filtering ala saya. Unfriend, unfollow, hide postingan, remove tag dll. Ah, jangan kaget gitu dong mbak..mas... Terkadang sikap 'tegas' diperlukan untuk menunjang kenyamanan. Dari pada menyulut emosi, menurunkan mood, dan nyinyir sana sini.  Situasi politik hingar bingar begini, tanpa filtering maka pesbuk saya akan penuh dengan postingan yang gitu gitu deeehh. Tau kan kamsud saya? Yaaa gitu gitu deehh pokoknya.

Beranda lini masa akan terasa panas, gerah, dan sumpek. Boro-boro mau nyetatus yang asik-asik. Keburu emosi dan males. Iya nggak sih? Iya iyaaa...emang saya orangnya lemah, nggak tahan dengan "teriakan" di pesbuk ini.

Barusan saya buka pesbuk suami saya, yang nampaknya jarang dapat sentuhan pribadi. Hahaha kebanyakan juga tautan dari saya. Buka lini masa halaman pertama sudah ada share berita dari blablablabla..dotkom. Provokatif, bombastis..dan jelas bermuatan politik garis keras. Keras tapi ngawur sih untuk jelasnya. Pun berseliweran status-status serupa. Begitu pula untuk halaman kedua, ketiga dan seterusnya. Nggak butuh waktu lama untuk menikmati sebuah rasa yang bernama MALES BANGET. Tuh kan, saya emang lemah :p

 Syukurlah doi jarang buka pesbuknya. Atau jangan-jangan pesbuknya memang sudah jamuran #eh..emang oncom. Nggak difilter sih broo.. Ngahahaha.

Tapi, nggak apa-apa. Pesbuk ini adalah sarana mengekspresikan diri. Kita boleh berteriak apa saja.
Tapi kita juga harus paham bahwasanya "everybody can talk but not everybody can speak".

Mudeng kan? Yo ra mudeng rapopo...wong aku ki nyetatus yo rodo ngasal ra jelas sambungane. Eh mbangane ra nyetatus.

Nyetatus Perekonomian Versi Emak-emak


Ada sedikit cerita tentang kerasnya kehidupan emak-emak, yang mencintai diskon dan harga murah. Saat kurs rupiah yang dikabarkan anjlok, ditimpali hingar bingar media sosial yang membahas beginian, inilah saat untuk menguji.

Sabtu kemaren saya menyempatkan ke pasar yang agak jauh dari rumah. Sekitar 30 km mungkin. Duh, demi harga sedikit lebih murah dan kepentingan cuci mata sesaat. Pasar ini hanya ada di hari Sabtu. Ramai betul. Berpuluh-puluh mobil memenuhi parkiran, motor juga ngabalatak. Para pedagang masih lihai memanfaatkan peluang. Para pembeli masih antusias. Berbagai macam barang dagangan digelar.

Akhirnya saya mendapatkan barang belanjaan saya.
Bawang merah 18 rb per kg.(jarang sekali harga bawang merah di bawah 20 rb)
Telur 37 rb per rak ( satu rak isi 30 butir)
Pisang raja satu sisir 5 ribu
Sayur-sayuran seikat 2 ribu
Ikan gabus hidup 25 ribu/kg
Udang galah sedang 50 rb/ kg (lebih murah 10 rb dibandingkan di pasar yang dekat)

Saya bingung, tapi juga bersyukur. Harga-harga masih seperti "biasa". Kalau pun terlihat "mahal''  ya memang begitulah tren harga di sini. Bawang merah malah turun harga. Kalau lagi mahal bisa 40 ribu.
Jadi bingungnya di mana?
Begini,  sebenarnya saya sih mau bilang...eh nanya ding. Itu pada ribut-ribut tentang perekonomian hancur, harga melambung, pemerintah kagak becus kerjanya, itu di negara mana ya? Atau di daerah mana gitu? Beneran saya nanya lho, eh tapi nggak jadi ding.
Jangan ada bully di antara kita.

Duh, inilah kerasnya kehidupan..Antara dunia nyata dan maya. Nyetatus beginian aja, ada perasaan takut dibully...ngahahahaha.

Kamis, 20 Agustus 2015

Mengapresiasi Anak

Pindahan sekolah mungkin saja bagi sebagian anak terasa enjoy aja. Bagi sebagian bisa jadi terasa berat dan dilematis. Anak saya pernah mengalaminya. Bahkan kami membujuknya berbulan-bulan supaya dia tak patah semangat. Nasib perantau, Nak, memang seringkali dihadapkan yang seperti ini. Meninggalkan rumah, kerabat, dan kawan lama untuk bertemu banyak hal baru. Meski pun kenangan itu akan terus ada.

Awalnya ketika pindah ke Sorowako ini, saya khawatir dengan kemampuannya menyesuaikan diri, terutama dengan sistem pembelajaran sekolah dan kawan-kawan barunya. Di sekolah lama belum ada Bahasa Inggris untuk kelas 2, sedangkan di sini dari kelas 1 mereka dapatkan. Nah, satu peluang untuk merasa tidak pede.
Seringkali dia bercerita tentang teman-temannya. Tentang rumahnya, tentang keunikannya, tentang mobilnya juga. Hahaha dasar bocah. Sampe dia sebutkan detil si Anu rumahnya di anu nomer sekian mobilnya merk ini warna hitam.  Atau si Anu ntar tanggal sekian mau liburan ke Paris. Si Anu yang lain bawa oleh-oleh dari Singapura.
Hihihi...bagusnya sih, dia jadi kenal jenis mobil beserta tipenya -punya teman-temannya-. Dan dia juga menanyakan berbagai tempat wisata di luar negeri yang mungkin sempat dikunjungi temannya. Bahkan penasaran dengan perbedaan waktunya. Eh tiba-tiba dia jadi rajin kembali membuka-buka Encarta Kids.
Tapi feeling emak-emak lebih sensi yak! Saya khawatir dia minder. Di sekolah lamanya di kampung yang notabene kondisinya jauh berbeda, rasa pedenya aja masih kurang. Entah kenapa. Bagaimana di sini?
Ternyata tidak, justru saya amati di sekolah baru rasa percaya dirinya semakin tumbuh. Gurunya pun mengapresiasi. Sering maju ke depan tanpa malu-malu. Semangat berlomba-lomba menjawab pertanyaan guru. Bisa menjadi tutor sebaya. Mau menyanyi di depan kelas. Nilai kepribadian yang tertera di rapor 'A' semua. Rekor baru neh, sebelumnya kebanyakan 'B', apalagi waktu jaman TK dulu. Hahahaa eike sih yakin tuh anak nggak berubah kepribadian secara singkat. Hanya masalah penilaian yang sedikit berbeda.
Nah, mungkin begini...
Berbeda dengan orang dewasa yang kebanyakan rasa percaya diri karena ditunjang faktor penampilan, gadget, dandanan dll, anak-anak tidak seperti itu. Berangkat sekolah dengan gigi ompong sekaligus tiga, pede aja tuh. Hahaha. Yang penting bagi anak adalah perasaan diterima segala kelebihan dan kekurangannya, diapresiasi, diberikan kesempatan, juga lingkungan/sekolah yang mendukung pengembangan diri anak (nggak hanya masalah akademik).

Saya nggak pusing, resah, atau gelisah ketika mendapati tidak ada ranking tertera di rapor. Lha sekolahnya nggak pake ranking-rankingan. Kalo saya dulu setiap kali terima rapor di SD rasanya udah nggak ada deg-degan, surprised atau menjerit bahagia. Biasa aja, mendapati angka 1 tertera jadi ranking di rapor. Enam tahun berturut-turut di sebuah SD Inpres di kampung yang terletak di suatu kota kecil. Yang paling saya ingat justru ketika Kepala Sekolah mengapresiasi prestasi akademik saya *halaaah* dengan memberikan hadiah khusus, seperangkat buku-buku pelajaran lengkap kap kapppp.

Anak saya, meskipun tak ada ranking tapi saya bersyukur banyak kemajuan baik akademik maupun yang lainnya. Matematika nya 97, IPS     98, Bahasa Inggris 95. Yah, memang sih itu hanya sekedar angka. Tapi membuat emaknya percaya diri. Lhooo kok?!
Lha iya, berarti hal-hal yang saya khawatirkan tidak terjadi. Hal-hal yang saya pikir tambah menurunkan rasa percaya dirinya, ternyata tidak. Malahan prestasinya meningkat. Memang yang saya harapkan adalah sedikit demi sedikit dia termotivasi dengan dirinya sendiri, bukan karena orang lain.

Berkompetisi bukan untuk mengalahkan orang lain, tapi menaklukkan dirinya sendiri.

Dulu saya terkadang mendengar komentar orang yang kurang mengenakkan.
 "Bapaknya dulu juga pinter sih waktu sekolah."
"Cucunya kepala sekolah siiihh.."

Aduh komentar yang seperti itu kan kurang mengapresiasi usaha anak. Jadi tambah nggak pede deeeh. Beda kan kalo dibilang begini, "Waaah, pinterrr...kalau rajin sekolah, nggak malu-malu kalau disuruh maju ke depan nilainya bagus."

Hehehhe begitu kali ya?

Oya satu hal lagi. Siapa punya anak/balita laki-laki? Hihihi sama nggak sih kayak yang saya pernah rasakan? Anak seringkali dicap 'nakal'. Mungkin hanya gara-gara tidak bisa diam di kelas, sedikit mengganggu temannya, atau berantem adu jotos dan tendangan?
Nah itulah, di sekolahnya yang sekarang rupanya sedikit berbeda. Anak-anak yang begitu, selagi dalam kategori wajar yaaaa dianggap lumrah saja. Kalau pun memang dinilai bermasalah, orang tua akan dipanggil dan jika perlu disediakan psikiater atau terapis. Begitu dulu yang dibilang pihak sekolah.

Anak saya pernah cerita bahwa ada temannya yang beberapa kali marah/nangis bahkan lari keluar kelas saat belajar. Pemicunya kadang karena nggak bisa mengerjakan soal, atau mau belajar Bahasa Inggris saat jam Matematika. Apakah anak tsb langsung dimarahi/dihukum sama Bu Guru? Tidak, kata anak saya. Biasanya ada salah satu anak disuruh memanggilkan guru khusus (terapis) yang standby di dekat ruangan guru. Nanti anak itu akan dibujuk biar nggak 'marah' lagi. Kalau masih nggak mau, biasanya ibunya ditelpon dan diminta menjemput ke sekolah.

Hikks, biasanya setiap kali anak saya cerita tentang temannya yang itu, saya sangat bersyukur atas anak-anak saya. Maafkan emakmu, Nak, yang seringkali nggak sabaran menghadapi tingkah kalian.

Well, dunia ini sangat luas dan beraneka ragam. Banyak hal bersifat relatif. Sehingga untuk  menilai dan mengapresiasi sesuatu pun butuh banyak kriteria dan perbandingan. Tidak adil kita menghakimi seorang anak dengan cap 'nakal' hanya dari kejadian sesaat, misalnya ngamuk di pusat perbelanjaan, memukul temannya gara-gara berebut mainan, membela diri dengan balas menendang dll. Atau dibilang 'bodoh' hanya karena nilai Matematikanya jauh lebih kecil dari rata-rata nilai temannya. Hihihi sok bijak deh eike...

Setiap anak adalah istimewa, pun begitu juga dengan emaknya. Iya toh?








*Sorowako, Juli 2014


Selasa, 18 Agustus 2015

Hormat Bendera

Merdekaaa! Hari ini tanggal 18 Agustus, sehari setelah hingar bingar dan kesibukan tujuhbelasan. Upacara, lomba-lomba, dan nggak luput pula, status-status bernuansa tujuhbelasan di dunia maya.

Di pagi yang dingin begini, saya masih sibuk menghangatkan diri depan kompor. Yaah sekalian masak gitu. (Nggak kebalik, Mak?) Sambil sesekali mencuri pandang dan dengar siaran berita dari televisi. Lha kok ndilalah pas presenter berita menjelaskan tentang kenapa sih Pak Wapres nggak 'hormat' saat pengibaran bendera. Menurut penjelasan yang sah dan akurat, sikap hormat bendera nggak mesti harus hormat grak kayak kita waktu upacara bendera di sekolah.

Pas tuh, kemaren saya sempat baca status di pesbuk ngributin ginian.
Pas mbaca itu, pengen rasanya ngikik...lha piye jal, habisnya saya jarang menthelengi upacara tujuhbelasan di tipi. Kadang-kadang masih bingung juga, itu ibu-ibu yang kondean pada hormat grak ngangkat tangan nggak seh? Hihihi

Saya nggak ikut ngributin bukannya saya ngerti perihal hormat-menghormat bendera. Lha wong waktu sekolah dulu, kalau lagi upacara saya juga ndak disiplin-disiplin amat. Kadang lupa bawa topi. Seringnya goyang-goyangin kaki karena pegal. Kadang sengaja ngiyup di bawah bayangan teman. Panas sodaaraaaa!
Kadang merhatiin kutu rambut di kepala teman yang saking kepanasannya berebut keluar dari sarangnya, hiyyy...
Kadang iseng cuci mata ke sekeliling. Kadang sambil rasan-rasan membahas cowok idaman, eh salah ding..membahas kurs rupiah terkini! Huahahaha

Yaah intinya dalam sekian puluh (atau ratus malah) pengalaman mengikuti upacara bendera saat sekolah, mungkin hanya seupil yang bisa dikatakan bener dan betul.
Mengapa seupil, Mak? Kayaknya kalo baca penuturan di atas nggak ada bener-benernya tuh.

Wakakakk. Begini, ada kalanya saya juga jadi petugas upacara. Entah pembaca doa, pengibar bendera, pembaca UUD 45, paduan suara..
Lha masa kalo jadi pengibar bendera mau cengengesan sambil rasan-rasan. Nggak banget...yah, kecuali dikit-dikit. Biar nggak kentara gitu.

Nah, setelah lepas sekolah, kalo ndak salah ingat nggak pernah lagi ikut upacara. Tujuhbelasan yang setahun sekali juga kagak! Palingan nonton dari tipi atau nonton di lapangan.

Saat upacara wisuda TK anak saya, inget banget deh..gedung segitu penuhnya..ratusan orang, palingan berapa sih yang khusyuk berdiri dan ikut nyanyi lagu Indonesia Raya. Saya? Berdiri sambil nggendong bayi, kagak ikut nyanyi karena sadar diri -takut orang malah bubar dengerin suara saya-. Itu pun disambi ngobrol sesekali. Duhh!

Jadi pengen nanya sesuatu yang sepertinya kekinian.
Apa arti kemerdekaan buat kamuh? Iyaaaa, kamuh.



Jumat, 14 Agustus 2015

Mudik Itu Sesuatu


Mudik itu sesuatu.
Menempuh perjalanan demi sebuah tujuan, mengunjungi orang tua, saudara, kerabat, dan kawan lama. Juga menjumput sisa-sisa nostalgia di masa lampau.

Mudik itu asik. Kita bisa jalan-jalan, melihat pemandangan berbeda, makan alias numpang gratis di rumah orang tua atau saudara. Kadang-kadang dapat fasilitas uang saku dan souvenir gratis. Hahahaha tetep ada ya, udang di balik bakwan yang bikin maknyus.
Eittss...tapi, sekali lagi tapi, jangan dikira tujuan eike mudik cuman itu.

Menyenangkan keluarga, mempererat silaturahmi, mengenalkan anak pada keluarga besar kita, juga sedikit bercerita tentang masa kecil kita lewat kenangan-kenangan nostalgia. Dan yang jelas, mengajarkan pada anak-anak tentang salah satu cara kita berbakti pada orang tua, dan menyayangi saudara. Iddiihh co cuiittt...

Sejak sembilan tahun eike merantau bersama suami tercintah, ihhiirrrr, mudik menjadi salah satu agenda rutin tahunan. Yaaahh, selain agenda mengharap uang THR dan bonus lainnya.
Jangan dikira mudik itu selalu mudah, pemirsaah. Kalopun mudik dengan jarak hanya beberapa kilometer dan masih satu wilayah regional mungkin yaah bisa kali jadi agenda mingguan atau bulanan.

Mudik itu kadang sama artinya dengan naik bis berjam-jam lamanya sehingga pegel dan linu.
Mudik itu kadang berarti terkantuk-kantuk di bandara sambil menenan
gkan anak-anak yang nggak sabaran.
Mudik itu kadang artinya mabok perjalanan, hiks.

Mudik itu..
Transit di beberapa tempat sebelum ke tujuan.
Rela bangun pagi demi mengejar jam boarding.
Bersiap sabar jika pelayanan transportasi publik kurang memuaskan.

Bersiap dengan jurus seribu bujukan untuk rengekan anak-anak karena pesawat delay.
Hiksss, siap-siap juga menguras isi kantong.
Kantong kresek mak? Buat airsickness bag gitu maksudnya? Hihihiii

Bartahun-tahun, mudik setiap waktunya terasa berbeda.
Enjoy ajaaahhh...

Dulu, eike kurang pede mudik sendiri bawa anak-anak. Ala bisa karena terpaksa. Berhubung ngejar setoran ehh...ngejar tiket pesawat dan sebelum bandara terlalu ramai arus lebaran, kali ini eike mudik sekaligus mukot -mulih kota, dari Sorowako ke Jakarta bersama anak-anak plus calon baby di perut. Alhamdulillah ya, sesuatu.. Sabar yah, beib...jadi mati gaya kan kalo nggak ada yang ngributin maen dan minta ini itu untuk beberapa hari ke depan. Hihihiii..

Bandara Sorowako cuman lima menitan dari rumah. Satu jam perjalanan ke Makassar dengan pelayanan yang oke,  plus sekotak minuman snack. Cuaca cerah. Bisa keliatan natural beauty-nya kota tambang nikel dari atas.

Bandara Hasanuddin belum terlalu ramai. Melanjutkan perjalanan dengan satu penerbangan lagi. Makassar yang cerah, tetapi cuaca buruk di atas Laut Jawa. Satu jam lebih pesawat grudak-gruduk di gumpalan awan, hingga landing di Jakarta pun disambut hujan.

Perjalanan jadi lebih seru karena salah satu anak merasa pusing dan nggak nyaman. Mana ribut bilang kebelet ee dan pipis saat pesawat siap posisi landing. Seru bukan?
Hingga eike terpaksa menerobos antrian keluar pintu pesawat sambil meminta permisi, "Maap..maap...permisi...anak saya darurat ke kamar mandi. Makasih."
Hahahaha

Oya sesuatu yang hilang, bukan karena konsumsi yang tak ada. Tapi ketika selama dua jam saya menunggu sesuatu yang beda dari sambutan kru pesawat waktu take off dan landing. Pantunnya mannnaaaaaah??!

Jekardah, 14 07 2014



Ketika Orang Kampung ke Kota


Bukan cerita tentang Kabayan atau Nyi Iteung.
Tapiii ini sedikit pengalaman saya.
Seumur-umur pertama kali ngrasain naik busway, alias bis transjakarta ya kemarin itu waktu perjalanan mudik. Haah? Beneran mak? Iyee beneran, masalah buat lo? :p :p

Not bad laahh...
Naik dari halte Ragunan menuju Monas. Yaah, meskipun bisnya terasa ebrek-ebrek, dan terdengar bunyi kriuk-kriuk eehh..kriet-kriet, tapi not bad laah. Setidaknya kami dapat tempat duduk dan terhindar dari kemacetan lalu lintas Jakarta.

Terus terang saya salut bener dah sama penduduk Jakarta dan siapa pun yang rela setiap hari menerobos kemacetan dan menikmati hiruk pikuk Jakarta. Kalo saya? Ihhikkk...ngeliatin dan hanya sesekali merasakan deru macetnya sudah membuat saya migrain, mules, dan sembelit berkepanjangan. :D

Muter-muter Jakarta dan sekitarnya, lebih enak dilakukan tengah malam atau dini hari waktu setempat. Bisa dipastikan suasana lalu lintas yang jauh..jauuhhh..berbeda. Kami pernah salah keluar tol, untungnya pas dini hari jam setengah empat pagi. Bukan hal sulit ketika kami harus muter jalan lagi lalu masuk tol lagi untuk keluar di jalan yang benar. Mungkin hanya perlu waktu seperempat jam. Bayangkan kalo itu terjadi di jam-jam macet. Huaah mendingan eike turun dan tiduran di musholla SPBU.

Kemaren hari setelah ritual mudik hampir selesai, kami bertekad menaklukkan sebuah alamat di daerah Depok. Berbekal info dari lewatmanadotcom, SMS, nanya sana sini, dan panduan rute dari GPS, berangkatlah kami dari Sukabumi kota jam 11 malem.

Hampir tidak menemui kemacetan di jalan. Saking lengangnya, dan mungkin karena sedikit lengah akibat banyaknya belokan,  kami nyasar dua kali gara-gara salah  ngambil belokan.
Ketika berkali-kali suara mbak GPS mengingatkan, "Rekalkulasi rute." kami mantap untuk berbalik arah dan mengulangi di titik yang sesuai panduan. Hihihihi beginilah...orang awam.

Jam dua malem kami hampir sampai tujuan tapi masih sedikit bingung. Ah..ikutin GPS aja lah. Disuruh belok kanan ya belok kanan. Disuruh belok kiri ya belok kiri.
Akhirnya bendera sudah berkibar dan mbak GPS bilang gini, "Anda sudah sampai di tujuan."
Bingung. Sebelah kiri tembok pagar tinggi, sebelah kanan kebon pisang. Ihiikkk mana sepi dan nggak ada orang sama sekali kecuali kami berempat. Untungnya anak-anak masih tertidur pules.

Okeee, gimana kalo kita mundur aja?
Mundur beberapa meter pas sebelah kiri ada perumahan atau kerennya residence atau apalah. Setelah terbaca judulnya, kami yakin bukan itu perumahan yang kami tuju.
Walhasil, the next help is calling my brother.

"Iki aku wis tekan perumahan anu, isih adoh pora? Kudu maju opo mundur?"

Laaah ternyata kudu maju 200an meter lagi.
Dan bener juga. Adik saya udah menunggu di gerbang satpam. Bukan dia mau ngeronda atau nggantiin pak satpam, tapi dia mau bangunin pak satpam untuk bukain pintu gerbang perumahan.

Oh, well done beib. Meskipun eike cuman duduk manis jadi supporter di sebelah kiri, menahan kantuk dan pegal kaki...eike berharap suatu saat eike pun bisa mengikut jejak menaklukkan jalanan layaknya sopir profesional.

*juli 2014

Berbagi Tips Mudik Ibu Hamil


Mumpung anak-anak lagi sekolah, saya mau nulis-nulis dulu aaahh. Sekalian curhat, sekalian sharing, sekalian narsis... :D

Untuk kedua kalinya saya mudik jarak jauh, menempuh perjalanan antar pulau antar propinsi, naik pesawat terbang plus kendaraan darat, dalam keadaan berbadan dua alias hamil.Bedanya enam tahun lalu saya mudik saat masih hamil 3 bulan, rada beresiko untuk perjalanan darat yg jauh plus kondisi mual-mual yang belum usai. Payah secara fisik karena seharian muntah-muntah. Beda sekali dengan mudik tahun ini dengan kehamilan trimester kedua. Selain persiapan fisik dan psikis yang lebih mantap, fasilitas dan kemudahan juga lebih banyak didapatkan. Alhamdulillah.

Repot bin rempong doong? Ah, nggak juga sih...asal dibawa hepi yah enjoy ajah. Apalagi kalo ditemani hepi salma, sambil dibekelin makanan ala hepikol. Eaaaaa...

Jelas lebih terasa capeknya, pegelnya, juga mumetnya. Hahaha mumetnya sih mungkin lebih karena keinginan daya jelajah traveling and shopping and eating tidak sebanding dengan power yang ada.

Bukan hal aneh jika sebelum bepergian naik pesawat emak-emak kudu ngurus surat laik terbang alias surat sehat yang biasanya diterbitkan dan ditandatangani dokter obgyn. Apalagi jika perut keliatan membesar dan Anda dipastikan hamil hanya dalam sekali pandang, terutama oleh petugas di bagian check in.

Di penerbangan pesawat kecil sekelas Fokker atau ATR, sudah pastilah ketahuan jika Anda hamil lima bulan ke atas. Kalau masih trimester pertama sih biasanya belum ketahuan, kecuali Anda pasang pengumuman dan pemberitahuan bahwa Anda hamil. Tapi memang sebaiknya demi kebaikan diri sendiri (dan 'keamanan' maskapai tentunya :p) sebaiknya cek kesehatan ibu dan janin sebelum terbang.

Berikut tips dan pengalaman mudik jarak jauh ala saya :

1. Jangan merasa minder ketika Anda ditimbang di konter check in lalu mendapati berat badan yang lebih di atas biasanya. Ibu hamil kan, berat badan naik adalah wajib hukumnya.

2. Demi kenyamanan di ruang tunggu, siapkan camilan dan minuman segar secukupnya, kecuali saat puasa. Kalau puasa, waktu sahurnya sempetkan minum anti mual yang diresepkan dokter. Saya minum mediamer, hehehe.

3. Siapkan airsickness bag/kantong kresek kecil di saku baju atau handbag yang mudah dijangkau. Kadangkala mencium bau kendaraan pun bikin mual. Apalagi jika terjadi turbulensi dan goncangan saat di udara. Saat take off dan landing pun bisa terasa tidak nyaman.

4. Kenakan baju yang nyaman/longgar untuk ibu hamil. Bukan untuk menyamarkan besarnya perut lhooo... Kenakan juga sandal/sepatu yang nggak bikin pegal kaki.

5. Manfaatkan setiap kesempatan untuk membuat rileks kaki dan punggung, serta ke kamar mandi.

6. Jika naik mobil jarak jauh pastikan kaki bisa leluasa untuk mengurangi pegal dan menghindari kram. Kalo perlu luangkan waktu istirahat/turun dengan menyelonjorkan kaki dan berjalan-jalan. Ingat, jangan berjalan-jalan terlalu jauh, karena selain tambah pegal juga membuat Anda dicari-cari.

7. Usahakan mood yang positif dalam suasana gembira. Yah nggak perlulah setel musik kencang-kencang atau joget-joget dalam kendaraan. Menikmati pemandangan sepanjang jalan, kadangkala tiduran, mengobrol, ngemil makanan kesukaan (hiksss ngemil pertolo msh dalam level ngimpi) dll. Semua ketidakberesan jangan dimasukin ati, kagak muat. Keterlambatan pesawat, ketidakteraturan ruang tunggu, petugas yang kurang ramah, atau riuhnya anak-anak minta ini itu...yaah tarik napas dalam-dalam, hembuskan dan nikmati saja. :D

Oya, saat badan kurang terasa nyaman, perut membesar dan penampilan seperti kurang meyakinkan tapi tetap tanamkan kepercayaan diri Anda bahwa Anda istimewa.
Jepreetttttt....dan narsis depan kamera pun tetap okeeee.

*Sorowako, Agustus 2014

Tentang Sinetron Anak


Apa yang terpikir di benak kita tentang sinetron anak di tipi Indonesia? Hikhikkk kalo saya sih karena yang kebanyakan ngeliatnya seperti begitu yaaa gitu deh. Mau dibilang ilfeel, mirip-mirip gitu lah. Kenapee coba?

1. Katanya sinetron anak, tapi muatannya dewasa. Eh bukan maksudnya pemain pendukungnya orang-orang dewasa plus segambreng karakternya, tapi sinetron anak kok isinya balas dendam, intrik jahat, hiiyyyy. Nggak heran juga sering dijumpai tawa cekikikan yang cetir menyinyir khas nenek lampir atau ketawa ngakak ala raksasa jahat. "Sebaiknya kaubunuh dia secepatnya Ki Sanak! Hahahahahaha..." Hadduuuhhh, trus eike mau ngelap jidat siapa lagiii?!

2. Karakter protagonis yang terlalu baik, terlalu menye menye, terlalu melankolis, terlalu sakti dll. Yah mirip-miriplah dengan sinetron kebanyakan di negara ini. Masa dijahatin temannya masih sabar aja, minimal nangis gitu lah. Pan anak-anak...

3. Karakter antagonis yang sebaliknya, kontras banget dengan protagonis. Anak-anak berantem plus intrik jahat yang sistematis dan terstruktur *eaaaaaa*. Masa sih segitunya? Bukankah anak-anak biasanya berantem khas anak-anak yang jail-jail dikit, iseng-iseng dikit... Atau ini adalah upaya halus mengajari anak-anak untuk iseng dan nakal secara masif, sistematis, dan terstruktur? Na'uzubillah...waspadalah!!!

4. Tokoh antagonis yang mengada-ada. Setelah penonton bosan dengan trik-trik nakal tokoh antagonis yang sebaya, maka akan dimunculkan tokoh antagonis dari antah berantah. Tiba-tiba ada orang sakti tandingan. Lalu ada monster entah dari mana. Hellooo? Mirip kan sama serial sinetron yang sampe belasan gitu. Tersandung satu sampe tersandung gundukan batu. Atau sinetron sejenis. Setelah konflik mereda, dimunculkan tokoh yang tiba-tiba dibilang anak kandung sebenarnya. Atau sandal yang belasan tahun tertukar kini bersua kembali.

5. Bermuatan kata-kata kasar dan makian yang harusnya tidak pantas diucapkan oleh anak-anak. Jangan heran ketika ada pertanyaan, "Keparat itu apa sih, Mak?"
"Selingkuh itu apaan?"
Hadeehh...

6. Seringnya ada hal-hal mistis dan tidak masuk akal. Tuyul yang bisa diajak main laaahh, atau gelang ajaib buat invisible laah. Akik ajaib, boneka ajaib, bahkan mungkin upil ajaib. *weewwww*. Aduh, Nak..permasalahan hidup nggak segampang itu diselesaikan hanya dengan menjentikkan jempol kaki dan bilang 'hwarakadah'.

7. Guru yang lebay, entah kumisnya, gaya bicaranya, atau galaknya. Pun guru ngaji yang cantik versus perempuan centil berpenampilan menggoda *halaaaah*, plus konflik-konflik ala orang dewasa.

8. ....

NB. eike sih masih suka dengan sinetron kartun Upin Ipin untuk jenis impornya. Karakter beragam dan manusiawi. Konflik sederhana dengan penyelesaian yang lumayan mendidik. Biarpun bajunya itu-itu saja dan mereka tetep jadi anak Tadika yaahhh ceritanya tetep menarik buat ditonton.
Untuk produk Indonesia eike masih pegang Adit dan Sopo Jarwo. "Addiiiiittttt, bang Jarwo makin deket tuuhh."




Masih Tentang Ibu erte


Seringkali dalam hidup kita dihadapkan pada beberapa pilihan. Demikian pula saya, eh kamu juga kan?

Dan terkadang pilihan yang kita ambil, dengan sukarela ataupun terpaksa, kita sungguh berharap orang lain tidak mencerca atau membanding-bandingkan dengan pilihan yang diambil orang lain. Sakit tau, ...dan sakitnya itu di sini!

Lagian buat apa dibanding-bandingkan? Buat apa diperdebatkan panjang kali lebar? Buat apa ngotot adu komen? Buat apa nyinyir-nyinyiran? Tentang ibu bekerja vs ibu nggak bekerja alias yang di rumah saja?! Toh itu kurang lebih hanyalah label, bukan esensi. Menjadi ibu dan istri yang baik bukan cuman dilabelin kita kerja di luar atau di rumah saja. Bukan sekedar kita pake blazer atau daster. Bukan sekedar kita dandan cantik atau bau asep dapur. Bukan sekedar kita rajin update status atau beresin cucian.

 Menjadi wanita karir, bekerja di luar rumah, tentu saja banyak hal yang jadi pertimbangan. Banyak hal yang harus dipikirkan dan dikelola sedemikan rupa. Ah, terus terang saya nggak tau persis gimana rasanya...paling-paling saya mengamati, mengobrol dengan teman yang berkarir. Bahkan lucunya kadang-kadang ada yang kepengen dengan pilihan saya, menjadi ibu erte tanpa karir. Hihihihi mereka nggak tau bahkan kadang-kadang terbersit di benak saya keinginan untuk menjadi wanita karir. *sigh*

Ah lagi-lagi hidup kita masing-masing punya cerita, punya jalannya sendiri. Seringkali tak semudah klik-ketemuan-deal. *eaaaa*

Entahlah dari awal saya menikah, bahkan saya sudah membulatkan tekad untuk berhenti bekerja demi mengikuti suami yang merantau di luar Jawa. Bulan-bulan pertama yang tidak mudah, menyesuaikan ritme hidup. Mengkondisikan hati menghadapi semua pertanyaan. Menahan perasaan memandangi ijazah yang nganggur. *halaaahh*

Seiring waktu, saya pun menyadari bahwa tidak mudah hidup tanpa karir. Saya mencoba kerja part time saat anak pertama umur kira-kira 1,5 tahun. Masalah selesai? Oh tidak, justru muncul lagi masalah yang harus kami selesaikan, terutama me-manage energi dan waktu supaya kerjaan dan urusan rumahan tetep berjalan sinkron. Berkonsolidasi dengan suami demi terciptanya stabilitas rumah tangga yang dinamis dan berkesinambungan.

Menjadi ibu erte yang agak susah adalah mengatasi kejenuhan, mengatasi gejolak batin karena penilaian orang. Sedikit minder karena nggak punya penghasilan dan karir sendiri. *curcol* Hihihihi ya gak apa-apalah.

Lagi pula seingat saya, kebanyakan teman saya juga nggak memandang sebelah mata dengan profesi saya ahihihihi.
Dan saya juga berusaha menghindari perdebatan. Ibu saya pun wanita berkarir dulunya, ibu mertua juga berkarir. Pilihan boleh beda kan?

Coba bayangkan jika emak-emak nggak ada yang berkarir, trus kita kan butuh tenaga pendidik perempuan, tenaga kesehatan perempuan, pejabat publik perempun, dan sektor-sektor pekerjaan lainnya. Lagipula kalo wanita dilarang berkarir trus sapa yang menjabat menteri pemberdayaan perempuan? Bapak-bapak gitu....widiiwww?!

Seandainya emak-emak nggak ada yang memilih jadi ibu erte tanpa karir, bisakah? Ntar nggak ada yang siang-siang ngasuh anak di halaman rame-rame dengan sesama ibu-ibu di lingkungan tetangga. Dan nggak ada yang meramaikan pesbuk dengan status, "Lagi jemur pakaian..", "Shopping ah, masa seharian di rumah aje", "Nunggu suami gajian."

Daan yang paling penting adalah nggak bakal ada yang meramaikan jagad arisan. Hihihi emak-emak tanpa arisan bagai taman tanpa bunga. *lebayyy*

Ya sudahlah. Dunia ini banyak warna kawan. Jangan dipaksakan menjadi satu warna saja, bukankah pelangi itu indah? Saling menghargai dan berbuat hal baik dan bermanfaat sungguh lebih baik daripada sibuk menilai orang.