Jumat, 18 September 2015

Bolu Kukus Lampu Setopan



Niatnya tadi bikin bolu kukus pandan. Tapi entah kenapa kok kepikiran bikin yang enggak- enggak. Hihihi..
Begini caranya :

Panaskan dandang kukusan sampe benar-benar panas, tutup dialasi serbet.
Sementara menunggu dandang panas, Anda bisa bernyanyi dulu hehehe. Siapkan bahan-bahan, lalu ikuti step by step cara membuatnya. Ingat, step by step berurutan. Jangan sampe urutan terbalik lho ya... Kan yo wagu, kalau telur dikukus dulu baru dikocok.

Dua butir telur plus 180 gram gula dikocok sampe berjejak. Tepung terigu 150 gram  + susu dancow 1  sachet dimasukkan bergantian dengan air angetanget suam kuku 150 ml.

Boleh juga susu+air diganti saja dengan santan atau susu UHT 150 ml. Jika pakai santan, sebaiknya santan hangat. Susu juga jangan yang langsung dari kulkas, bikin bantat katanya.


Setelah tercampur rata, bagi adonan menjadi menjadi berapa aja. Warnai suka-suka. Tuang bergantian dalam loyang. Kukus dengan api besar kurang lebih 20 menit.
Setelah matang, namai sesuka hati.

Kalau yang ini, bikinan saya, saya namai BOLU KUKUS LAMPU SETOPAN.
 

Minggu, 13 September 2015

Menerima Permak Kathok


Pagi ini buka pesbuk, dapat dua tautan status yang intinya sama, yaitu tentang menulis. Saya jadi iseng buka-buka blog dan membaca salah satu postingannya yang berjudul Kenapa Menulis. http://ketepelkukuk.blogspot.co.id/2012/03/kenapa-menulis.html?m=1
Nggak terlalu penting lah mbahas si empunya blog, karena ah...siapa lah dia.

Ada bagian yang menarik untuk digarisbawahi, kalau perlu sekalian ditebelin dan cetak miring.
"Segaring apa pun tulisan saya, menulis tidak pernah membuat saya sakit hati. Menulis selalu menyenangkan, always will be..."

Apakah..yang demikian itu..adalah salah satu definisi dari sebuah istilah 'passion'? Entahlah...

Yang saya tau, kita menemukan passion nggak seketika pas lahir cenger oek oek. Ada memang yang nemu dari masa kecil, lalu terpelihara sampe dewasa. Ada yang nemu setelah nyoba sekian jenis hobi, baru nemu passionnya. Ada yang karena terpaksa.

Ada yang nemu dari dulu, lalu hilang entah kemana, eh pas nyoba lagi baru ngeh kalau itu passionnya. Serasa nemu mutiara eh..passion yang hilang, yang lama dicari sekarang berjumpaaa.
Itu. Itu yang saya rasakan saat saya kembali menjahit setelah sekian lama. Debar debar gemes, seneng, puas..
Kalau menilik tampang saya, mungkin orang kurang yakin kalau saya bisa njahit. Lha saya sendiri juga nggak yakin kok. Ngahahaha.. Palingan kelasnya masih level ndondomi. Butuh usaha khusus untuk segera naik level menjadi penjahit beneran, minimal penjahit amatiran dulu.

 Sejak SMP saya sudah berkenalan dengan mesin jahit dan belajar menjahit ala kadarnya. Mesin jahit itu adalah hadiah pemberian dari bapak saya untuk prestasi saya yang tidak seberapa waktu kelas tiga. Tjap-nya kupu-kupu. Dikayuh pakai kaki. Bertahun-tahun dipakai, masih oke. Cuman meja dan dudukannya yang dedel duel. Tapi baru-baru ini sama bapak saya, dibelikan meja dan dudukan baru yang lebih keren. Jadi terlihat antik.

Nah pas kemaren itu rasanya pengeeen banget punya sendiri. Apalagi ngelihat di rumah mertua ada, di rumah Lasem juga ada. Pengen takboyong ke sini, rasanya kebangetan, hahaha. Yo wis, akhirnya beli sendiri, model kekinian yang portable itu. *maap, status ini mengandung pamer.

Sudah beberapa hari ini kegiatan menjahit masuk dalam kegiatan resmi keseharian saya. *gayamu, Maakk. Bikin kuncir dari kain, memperbaiki baju sobek, dan mengecilkan celana kerja suami. Point terakhir ini butuh usaha rada besar, konsul dulu ke simbok saya. Piye carane? Nggak butuh waktu lama bagi saya untuk mengukur, mendedel, menjahit, memotong, dan menjahit lagi. Selesai. Hasilnya lumayan, setidaknya menurut testimoni empunya celana.

Saya puas dan senang. Saking senangnya saya langsung kirim sebaris pesan terselubung untuk keluarga besar saya:  "MENERIMA PERMAK KATHOK". Diketik dengan rasa bangga dan penuh passion-able.

Kamis, 10 September 2015

Ah, Di Situ Kadang Saya Merasa Dikeplak


Pagi ini membaca lagi buku "Ayah Bundaku Terapisku" yang ditulis Bunda Erina. Saya sudah lama punya, tepatnya dikasih, lebih tepatnya lagi gretongan, langsung dari penulisnya. Kok bisa, Mak? Lha yo bisaaa... Cerita nya sih panjang, kalau mau diringkaskan dalam beberapa paragraf status pesbuk sebenarnya kurang. Tapi okelah...

Jadi pas sebelum dan setelah saya lulus kuliah, saya tinggal di rumah Bu Erina ini. Kurang lebih dua tahun. Yo jelas gratisan.. *ealaah mak, kawit biyen jebule senenganmu gratisan
Ya sudah kayak keluarga sendiri, mudah-mudahan Allah membalas kebaikan keluarga ini dengan kebaikan yang berlipat ganda. Amiin..

Ohya, kan sudah lama saya nggak sowan ke rumah beliau di mBogor. Waktu anak kedua saya usia enam bulan waktu itu tahun 2009. Nah bulan Mei tahun ini, saat kami berkesempatan mengunjungi kota mBogor, saya pun silaturahim ke rumah beliau. Gitu, trus saya dikasih buku ini.

Buku ini tentang hypnoparenting, memberikan sugesti-sugesti positif dalam mengasuh dan mendidik anak. Buku ini disusun berdasarkan kisah nyata dari para orang tua dan anak-anak yang datang berkonsultasi di tempat praktik.

Membaca buku ini paragraf per paragraf serasa saya dikeplak berkali-kali. Membaca curhatan anak-anak yang merasa selalu dimarahi orang tuanya. Curhatan anak yang merasa tidak dihargai, yang merasa kesepian, dan lain-lain. Juga curhatan orang tua yang merasa anaknya susah diatur, suka melawan, dan lain-lain. Saya bayangkan seandainya anak-anak kami yang berkonsultasi. Akankah terucap curhatan galau tentang perilaku kami sebagai orangtuanya...ataukah  luapan rasa bangga dan penuh cinta pada kami? Ah, di situlah kadang saya merasa dikeplak.

Tapi bagusnya setelah perasaan saya yang merasa-dikeplak itu, ada tulisan-tulisan dukungan dan sugesti untuk anak maupun orang tua. Contohnya gini :

"Berikan selalu dukungan meskipun hanya berupa kata-kata positif dan sedikit sentuhan fisik pada anak Anda."

"Terima apa adanya. Cara terbaik orang tua untuk membuat anak merasa diakui keberadaannya, disayangi, dan dicintai."

"Buat komitmen. Merupakan salah satu cara terbaik untuk membangun rasa tanggung jawab kepada anak."

"Mulai sekarang, pagi ini, dan seterusnya saya rasakan kasih sayang yang melimpah pada diri saya untuk selalu saya curahkan pada anak-anak saya setiap saat. Saya semakin bisa memberikan perhatian pada hal-hal positif yang anak-anak saya lakukan. Dan mudah untuk memberikan pujian ketika mereka melakukan kebaikan dan membimbing mereka ketika mereka melakukan hal yang negatif. Saya mudah menerima kebaikan sekecil apapun dan menghargai usaha sekecil apapun dari semua yang anak-anak saya lakukan. Dan saya bisa merasakan kebahagiaan lebih banyak karena anak-anak saya juga semakin bahagia dan bangga memiliki orang tua seperti saya."

Itulah, pada intinya sebagai orang tua memang kami harus belajar lagi..dan lagi.. demi membantu diri kami sendiri mengasuh dan mendidik anak-anak lebih baik lagi.

Rabu, 09 September 2015

Catatan Sedikit Tentang Ojek Sekko


Nonton ojek Sekko di Kompas TV, kamu akan tahu begitu keras kehidupan jika infrastruktur jalanan tidak senyaman di kota. Sekko, masuk wilayah Kabupaten Luwu Utara, sebuah daerah yang berada di perbatasan Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Barat. Akses masuk bisa dijangkau dari Masamba. Eh, jangan cuman inget Evi Masamba, ya Kakaaakk. Dari Masamba memang tersedia penerbangan menuju Sekko, tapi tahu lah yaaa..ongkos penerbangan jelas nggak murah. Dan yang pasti, normalnya wira wiri pesawat itu tidak semudah perjalanan darat. Apalagi untuk mengakses daerah dalam satu kabupaten. Tapi di Sekko?  Pilihan yang umum tersedia untuk transportasi orang dan logistik adalah pake kuda dan ojek. Ojek dari Masamba menuju Sekko bisa memakan waktu dua hari. Mobil? Alaaamaaakkk, katanya tuh bisa belasan hari. Lak yo jamuren nang ndalan. Hal ini tidak lain dan tidak bukan adalah kondisi jalanan tanah yang berbatu dan berlumpur di lereng gunung. Sungguh akses darat yang sulit. Ojek yang terseok-seok. Bapak-bapak tangguh penakluk jalanan. Dan wajah-wajah penuh pengharapan.

Bersyukurlah yang di daerahnya tersedia infrastruktur jalan yang memadai, meskipun nggak ada emol. *hahaha, ngomong ke diri sendiri.
Saya berharap banget pada wakil rakyat sesekali bisa mampir lah ke Sekko, merasakan kerasnya hidup di jalanan yang juga keras. Nggak cuman plesir..eh studi banding...eh jalan-jalan ke luar negeri.

Ah, sudahlah..bukankah tugas wakil rakyat sudah semestinya mewakili rakyat? Meskipun kadang-kadang begitu menyakitkan melihatnya mewakili rakyat untuk jalan-jalan ke luar negeri, naik pesawat kelas mahal, hotel mahal, dan..berfoto selfie sama..ah, sudahlah.

Yang penting, sepulangnya nanti, jangan terlalu mangap untuk koar-koar ambruknya ekonomi, dolar naik, banyak PHK, daya beli turun, kemiskinan, pemerataan ...karena....ah, nggak tega saya ngomongnya.

Selasa, 08 September 2015

Jangan Ambil Bajuku, Nyet!


Mau cerita tentang monyet lagi. Cerita tentang bagaimana kami berkawan dengan monyet. Sekawanan monyet macaca yang liar dan sering muncul berkeliaran di sekitar rumah kami.

Duh, maafkan kami nyet. Tadi kami mengusirnya dengan penuh kasih sayang *hueeekk. Ya gimana, pilihan sulit yang saya harus ambil karena salah satu monyet menurunkan beberapa pakaian yang saya jemur di belakang rumah. Walhasil, semua monyet mlipir beranjak. Gara-gara ulah seekor, sekawanan terpaksa menanggung akibatnya.

Mereka tidak pergi, hanya mengambil jarak.  Yang asyik cari kutu berpasangan begeser sedikit untuk meneruskan di dekat semak. Yang duduk-duduk pun masih prengas prenges. Beberapa berpindah tempat dan berpencar. Dan ada seekor induk yang lagi memberikan asinya pada seekor anaknya yang unyu banget, terpaksa bergeser. Awalnya dia hanya berjarak kira-kira dua meter depan pintu, lalu pindah ke bawah pohon nangka. Duh maapin eike ya nyet...Bayi monyet menggelantung di dada induknya yang berjalan pergi. Lalu induk itu menengok ke arah saya. Duh, tatapannya itu...bikin nggak enak.

Tak ingin meneruskan dramatisasi scene ini, saya masuk rumah. Lalu keluar dari pintu depan. Di halaman, saya melihat pergerakan mereka yang terorganisir. Berpencar kemana-mana tuk mencari...entah. Seekor monyet duduk di atas batu, memakan sesuatu. Saya memanggil anak-anak yang tidak menyadari kehadiran si hitam. Empat anak kecil serentak menghentikan permainannya, lalu melakukan seremoni euforia, berteriak-teriak memanggil monyet. Anak-anak mendekat.

 Saya pun ikut berteriak, "Heiii...monyeettt..monyeetttt..MONYETTTT!"

Lho, dia malah terbirit lari dan kembali ke kawanan.
Mungkin dia malu karena nggak pake baju. Disorakin, betapa malunya..

 Kami mengikuti dalam jarak beberapa meter.
Eh..eh..terlihat seekor monyet menurunkan beberapa pakaian dari jemuran tetangga saya. Lha kok sepotong baju anak-anak dibawa lari. Kami berteriak sambil melemparinya dengan batu-batu kecil. Maap yaaa...

Untunglah, sepotong baju itu langsung diletakkan tepat di depan semak belukar pepohonan.

Alamaak, jangan mencuri gitu dong nyet. Coba bilang kalau lagi butuh celana atau baju. Saya ada sih beberapa yang bekas  kalau mau. Tapi kalau maunya yang baru ya mohon maap, saya cuma bisa kasih rekomendasi beli di blabla dot kom.

Dia Monyet


Di suatu sore yang syahdu ehem ehem..tiba-tiba mak krusseeekkk. Sesosok mungil berbaju hitam muncul dari semak-semak. Duduk di pinggir jalan di seberang jalan. Mulutnya menyeringai. Eh, dia bukan berbaju tapi berbulu hitam. Iya, monyet macaca.

Sejurus kemudian, dia menyeberang jalan menuju pepohonan di belakang rumah kami. Saya dan anak-anak yang berada hanya tiga atau empat meter dari jalur pelariannya *halah* langsung meneriakinya. Bukan yel yel, tapi sebuah teriakan panggilan. Sebagai sesama makhluk hidup dalam satu habitat maka itulah keramahan kami.

"Woi..woiiii..monyet..monyetttt...MONYEEETTT!!"

Lha kok monyetnya malah terbirit-birit lari. Lalu menghilang di antara pepohonan. Tak menengok atau pun membalas keramahan kami.

Ah, jangan-jangan dia tidak tahu kalau namanya monyet.
Trus apa dong? Atau dia marah dikatai monyet? Ah, sudahlah.

Dunia Perpesbukan


Dunia perpesbukan itu menjadi kesenangan tersendiri bagi saya. Membaca status-status yang menginspirasi, menghibur, memberi informasi, pencerahan, dan ilmu. Nah, demi mendukung kesenangan ini sejak lama saya memberlakukan konsep filtering ala saya. Unfriend, unfollow, hide postingan, remove tag dll. Ah, jangan kaget gitu dong mbak..mas... Terkadang sikap 'tegas' diperlukan untuk menunjang kenyamanan. Dari pada menyulut emosi, menurunkan mood, dan nyinyir sana sini.  Situasi politik hingar bingar begini, tanpa filtering maka pesbuk saya akan penuh dengan postingan yang gitu gitu deeehh. Tau kan kamsud saya? Yaaa gitu gitu deehh pokoknya.

Beranda lini masa akan terasa panas, gerah, dan sumpek. Boro-boro mau nyetatus yang asik-asik. Keburu emosi dan males. Iya nggak sih? Iya iyaaa...emang saya orangnya lemah, nggak tahan dengan "teriakan" di pesbuk ini.

Barusan saya buka pesbuk suami saya, yang nampaknya jarang dapat sentuhan pribadi. Hahaha kebanyakan juga tautan dari saya. Buka lini masa halaman pertama sudah ada share berita dari blablablabla..dotkom. Provokatif, bombastis..dan jelas bermuatan politik garis keras. Keras tapi ngawur sih untuk jelasnya. Pun berseliweran status-status serupa. Begitu pula untuk halaman kedua, ketiga dan seterusnya. Nggak butuh waktu lama untuk menikmati sebuah rasa yang bernama MALES BANGET. Tuh kan, saya emang lemah :p

 Syukurlah doi jarang buka pesbuknya. Atau jangan-jangan pesbuknya memang sudah jamuran #eh..emang oncom. Nggak difilter sih broo.. Ngahahaha.

Tapi, nggak apa-apa. Pesbuk ini adalah sarana mengekspresikan diri. Kita boleh berteriak apa saja.
Tapi kita juga harus paham bahwasanya "everybody can talk but not everybody can speak".

Mudeng kan? Yo ra mudeng rapopo...wong aku ki nyetatus yo rodo ngasal ra jelas sambungane. Eh mbangane ra nyetatus.

Nyetatus Perekonomian Versi Emak-emak


Ada sedikit cerita tentang kerasnya kehidupan emak-emak, yang mencintai diskon dan harga murah. Saat kurs rupiah yang dikabarkan anjlok, ditimpali hingar bingar media sosial yang membahas beginian, inilah saat untuk menguji.

Sabtu kemaren saya menyempatkan ke pasar yang agak jauh dari rumah. Sekitar 30 km mungkin. Duh, demi harga sedikit lebih murah dan kepentingan cuci mata sesaat. Pasar ini hanya ada di hari Sabtu. Ramai betul. Berpuluh-puluh mobil memenuhi parkiran, motor juga ngabalatak. Para pedagang masih lihai memanfaatkan peluang. Para pembeli masih antusias. Berbagai macam barang dagangan digelar.

Akhirnya saya mendapatkan barang belanjaan saya.
Bawang merah 18 rb per kg.(jarang sekali harga bawang merah di bawah 20 rb)
Telur 37 rb per rak ( satu rak isi 30 butir)
Pisang raja satu sisir 5 ribu
Sayur-sayuran seikat 2 ribu
Ikan gabus hidup 25 ribu/kg
Udang galah sedang 50 rb/ kg (lebih murah 10 rb dibandingkan di pasar yang dekat)

Saya bingung, tapi juga bersyukur. Harga-harga masih seperti "biasa". Kalau pun terlihat "mahal''  ya memang begitulah tren harga di sini. Bawang merah malah turun harga. Kalau lagi mahal bisa 40 ribu.
Jadi bingungnya di mana?
Begini,  sebenarnya saya sih mau bilang...eh nanya ding. Itu pada ribut-ribut tentang perekonomian hancur, harga melambung, pemerintah kagak becus kerjanya, itu di negara mana ya? Atau di daerah mana gitu? Beneran saya nanya lho, eh tapi nggak jadi ding.
Jangan ada bully di antara kita.

Duh, inilah kerasnya kehidupan..Antara dunia nyata dan maya. Nyetatus beginian aja, ada perasaan takut dibully...ngahahahaha.