Sabtu, 22 Februari 2014

Catatan Tentang....Mbuh!



Asli deh, untuk nyari info parenting, pengasuhan anak, kesehatan, dll saya pilih-pilih. Nyari grup masak atau nulis saja juga milih kok hehehe.  Meskipun banyak grup dan fanpage di facebook  yang menawarkannya dengan berbagai ajakan yang menarik.

Kenapa pilah pilih? Ah, saya ini hanya mau nyari informasi dan sharing pengalaman yang bermanfaat kok. Bukannya mau berantem, berdebat, dan saling menyudutkan dengan persepsi masing-masing. Seringkali saya juga nyari ‘aman’ dengan hanya njempol tanpa komentar, jadi silent reader. Dan saya sungguh berat hati dan berat mata jikalau harus membaca postingan dan komentar-komentar yang alai bin lebay, nyinyir, sok tau, dll. Pun dari tulisan atau ‘nada’ tulisannya. Lebih nyaman dengan penyampaian bahasa yang baik dan sopan. Tul nggak? 

Saya juga nggak gampang percaya dengan informasi yang bombastis . Apalagi yang ada bumbunya : waspada konspirasi.

Jumat, 21 Februari 2014

Setiap Anak..Setiap Emak…Masing-masing Punya Cerita



Kemaren sore, anak wedok (4,5 tahun) marah. Mungkin bisa disebut tantrum. Hanya gara-gara saya tegur waktu dia mainin saklar lampu. Nangis sambil lari, nggak mau dipanggil atau dipegang. Raut mukanya bener-bener beda deh sama biasanya. Ampe agak susah kayaknya dia bernapas.

Reaksi saya awalnya agak membiarkan tapi nggak lama kemudian saya peluk, meskipun dia meronta dan menghindar. Tetap saya peluk sambil membujuknya. Selang beberapa menit, dia mulai tenang. Dan setelah itu kami pun mengobrol tentang apa yang terjadi barusan.

Dalam hati saya senang berhasil melakukannya, tanpa emosi..tanpa energi terbuang sia-sia. Tapi, ada sedikit sesal dan ngilu ketika saya ingat waktu beberapa tahun lalu.
Ketika seumuran segitu, kakaknya lebih-lebih gayanya ketika tantrum. Lebih heboh, lebih sering, dan lebih menguras kesabaran. Ah, tentu masing-masing anak istimewa… Dan sayangnya saya dulu kurang ilmu. Kesabaran menghadapi anak juga masih jadi barang langka,  yah meskipun sekarang juga masih laaahhh hehehe. Lagian siapa sih emak-emak yang nggak pernah ngomel, marah, ke anaknya. Mungkin pintar-pintarnya saja kita mengendalikan.

Seringkali ketika melihat foto-foto jaman anak pertama saya masih umur 3-4 tahunan, seringkali terbersit ‘maaf’ dalam hati. Nak, emakmu dulu kok belum banyak belajar ya? Kok gampang banget stress? Ah, kalo bisa diulang masa-masa itu …

Tapi, dengan anak yang ‘aktif’ dan tingkahnya yang seringkali membuat kita jungkir balik (sedikit lebay :p)…saya belajar gimana menerapkan disiplin. Saya belajar tentang kesabaran (nggak Cuma teorinya). Gimana mengendalikan emosinya (dan emosi saya tentunya). Gimana belajar mendidik yang baik dan benar. Gimana berkomunikasi dengan suami mengenai masalah menghadapi anak-anak.
Dan, satu hal penting yang jadi pelajaran besar buat saya…
  
“Jangan sekali-kali menggunakan persepsi orang lain sebagai pijakan mendidik anak kita. Dan jangan buru-buru terpengaruh penilaian orang lain ketika menasehati  (memarahi) anak kita.”


Kita sebagai orang tua yang paling mengenal anak, bukan orang lain. Kita yang setiap hari melihatnya dari bangun tidur hingga tidur lagi, bukan orang lain. Kita yang menggendongnya, kita yang merawatnya, dan kita yang menyayanginya.

Ketika anak (balita) tantrum lalu mengucapkan kata-kata kasar yang mungkin dinilai nggak pantas…ternyata itu hanya pengaruh sesaat ketika bergaul dengan teman-temannya. Ketika dia melemparkan sesuatu, mungkin dia hanya ingin meluapkan emosinya. Ketika dia menendang, mungkin dia pikir akan membuat kondisi lebih baik.

Buat saya pribadi, lingkungan yang baik sangat mendukung anak untuk bersosalisasi, dan bersikap baik. Nah, buat emak-emak juga begitu. Mencari lingkungan yang baik dan mendukung, akan membantu kita menjadi emak yang lebih baik lagi. Bertukar pengalaman, sharing info yang bermanfaat, saling belajar, latihan sabar…

Nggak oke jika kita tinggal di sebuah tempat, lalu ketika anak-anak balita kita berbuat sesuatu dengan tingkahnya dan selanjutnya kita jadi hot topic di mana-mana. Sebagai emak, kita pasti tersinggung ketika balita kita nyenggol temannya(entah sengaja atau tidak) lalu kita didiemin dalam jangka waktu unpredictable, dan cap “nakal” distempelkan ke anak balita kita. Nggak lucu jika balita mukul temannya lalu emaknya dilabrak di tukang sayur.  Nggak banget deh…

Hehe kok saya jadi curcol begini.

Move on…move on…meskipun belum bisa move on secara fisik, setidaknya mengubah pola pikir dan kebiasaan yang kurang pas akan sangat bermanfaat. Meskipun tinggal di sekeliling orang-orang yang ‘kurang paham’, setidaknya kita bisa berdiri kokoh di atas prinsip dan tegar di atas batu karang *eaaaaa

Dan, bersyukurlah ketika lingkungan keluarga dan tetangga sangat kondusif. Bersyukurlah ketika dianugerahi anak-anak yang tidak sulit karakternya (meskipun sekali lagi saya yakin, setiap anak adalah istimewa). Bersyukurlah ketika semakin dimudahkan dalam mendidik anak.

Bersyukurlah atas semua yang kita dapatkan....

Pernah saya mengobrol dengan tetangga baru saya,  yang punya anak tiga, laki-laki semua, dan sekarang masih balita semua. (Maaf ya, mbak..takcomot dikit obrolan kita dan modifikasi seperlunya :P)

Iseng saya nanya, “Mbak pernah nggak bermasalah dengan tetangga gara-gara anak?”

Jawabannya tidak saya duga, “Pernah.” Sambil menekankan berkali-kali.

Jadilah kami mengobrol, sharing pengalaman dan bertukar cerita tentang menghadapi tingkah anak balita. Lalu ketika dia memperhatikan anak saya yang laki-laki (7,5 tahun)..dia komentar, “Anaknya kok diem mbak, bisa momong adiknya.”

Saya hanya tertawa, “Ya gitu deh, ada kalanya rukun, ada kalanya berantem, ada kalanya ribut, ada kalanya anteng…di mana-mana anak kecil kan begitu. Dulu jaman umur 3 tahunan, saya pernah gendong  dia lagi tantrum ketika main sama teman-temannya di depan rumah. Beratnya 15 kg, padahal saya baru aja 3 hari habis melahirkan. Dan butuh waktu lama menenangkan. Adiknya saya geletakin aja di kasur. Saya ngliatin dia tantrum di ruang tengah. Suami lagi kerja. Gak ada asisten pula.”

“Whattt?”

Hehehe, setiap anak…setiap emak punya cerita kan?

*buat anak-anakku…terima kasih telah mengajari bubuh banyak hal. We’re proud of you and we love you…

Rabu, 19 Februari 2014

Balada Emak Galau Masalah Jajanan Anak (2)



Nah, yang bikin agak mumet sebenernya kebiasaan jajan si bungsu (dulu). Waktu di PAUD dan TK sebelumnya, nggak ada aturan pasti tentang uang saku dan jajanan. Saya setiap hari melihat anak-anak membawa beberapa lembar uang ribuan, beli jajan segala macam. Agak nggak tega ketika anak saya nggak saya pegangin uang, hanya saya siapkan di tasnya beberapa jajanan yang sudah saya pilih dan belikan.

Apalagi ada beberapa emak-emak yang komentar, “Kok nggak jajan?”

“Kok bisa ya, nggak dikasih uang jajan.”

Kadang saya jawab seperlunya, kadang saya jelaskan, dan kadang saya hanya tanggapi dengan senyuman.
Mereka nggak tahu, saya juga mumet ketika anak saya ikut menunggu di sekolah saat saya ngajar, duh repotnya menahan keinginannya untuk jajan ini itu. Mengatasi segala aksi rengekannya.

Mungkin setiap keluarga memiliki cara berbeda-beda dalam mendidik anak. Kalau saya sih karena lahir dan besar di keluarga sederhana dan ibu yang mengajari kami –anak-anaknya- untuk bisa mengelola uang [saku] dengan baik. Jajanan disediakan di rumah. Dan jajanan jaman dulu nggak seheboh jaman sekarang. 
Saya masih ingat, jaman  SD dulu,  uang saku dipegang oleh kakak saya, sebagai komandan dan pilot project adik-adiknya. Hahahaha. Tiap minggu dikasih uang sama ibu, lalu setiap hari dibagikan ke adik-adiknya. Saya lupa nominalnya, tapi saya ingat tiap hari dapat jatah 50 rupiah. 

Waktu SMP, saya diberi jatah uang saku bulanan sendiri. Tiap abis gajian, kami berkumpul untuk pambagian jatah hihihi. Kisaran sekitar 14 ribu (kalo ndak salah ingat). Itu sudah termasuk uang jajan, uang buku/LKS, uang SPP dan iuran-iuran kelas. Akhir bulan berasa bahagia banget kalo ada sisa, berarti saya bisa jajan yang agak mahal atau ditabung di celengan ayam.

Waktu SMA juga demikian.

Saya coba adopsi metode ibu saya ke anak-anak saya. Hihihi..tentu dengan beberapa perubahan. Lagian, uang 50 rupiah masih bisa dipakai kah? :p

Balik lagi ya, mbahas jajan di sekolah TK. Sekarang kegalauan saya terobati, karena di TK baru, yaitu TK YPS Lawewu di Sorowako (boleh nyebut merk ya?) nggak ada yang jualan jajanan. Anak TK pergi sekolah hanya memakai seragam dan kalung tanda pengenal, tanpa tas/buku/pensil apalagi uang saku.

Setiap hari ada makanan ringan yang dikasihkan, sesuai jadwal menu. Setiap bulan jadwal menu diberikan ke orang tua. Di lembaran tertulis tanda tangan Kepala Sekolah TK, Bagian Gizi RS Vale, dan Koordinator Taman Gizi.

Tertulis untuk setiap hari sekolah,awal hingga akhir bulan. Ada pastel, martabak, barongko, sosis goreng, panada isi ikan/danging, bakwan sayur, terang bulan, kolak, nasi kuning muffin, arem-arem, donat, lemper, brownis, pie buah, susu, blackforest dll. Bervariasi tiap harinya.

Hanya dikenakan biaya Rp 60.000 per bulan.

Murah dan sehat bukan?

Balada Emak Galau Masalah Jajanan Anak (1)


Percaya nggak kalau lingkungan berpengaruh terhadap kebiasaan anak? Kalau saya sih percaya, karena anak kan gampang meniru. Keluarga, sekolah dan masayarakat termasuk lingkungan kan ya? Nah, saya mau sharing nih tentang masalah jajan dan uang saku, terutama buat anak-anak sekolah. Ingat, saya bukan pakarnya…saya bukan ahlinya…saya masih harus banyak belajar. Masih ingat kan, saya ‘hanya’ pernah ngicipin rasanya jadi guru honorer.

Jadi kita sekarang mau ngomongin gaji guru honorer gitu? Ya nggak lah, percayalah pemirsa…jikalau bukan karena passion mengajar, kebahagiaan berbagi ilmu, tanggung jawab mendidik anak…sepertinya menjadi guru honorer itu berat rasanya. Gajinya nggak seberapa..eh nggak tahu ding, mungkin di belahan bumi yang saya tidak ketahui ternyata ada guru-guru honorer digaji menyamai guru PNS bersertifikasi.
Tadi ngomongin apa sih, kan mau ngomongin jajan. Jajan sembarangan.

See? Banyak jajanan tidak sehat beredar di sekolah. Jajanan pakai pewarna sembarangan. Jajanan yang tidak tertutup sehingga terkontaminasi debu. Jajanan yang penjualnya merokok dan nggak cuci tangan. Jajanan yang dirubung lalat. Jajanan yang penyimpanannya salah.
Yah, kalo anak sudah terbiasa dan orang tua sering mengingatkan mungkin sedikit banyak bisa meminimalisir. Apalagi kalo ditunjang kebijakan pihak sekolah yang berwenang. Pasti lebih jos gandoss…

Waktu anak sulung saya masih di TK, Alhamdulillah di TK nya ada aturan tidak boleh membawa uang, dan setiap hari harus membawa bekal makanan dan minuman. Nggak ada orang buka lapak jajanan di area sekolah. Buat saya, yang sering galau masalah beginian, tentu bersyukur sekali. Nggak was-was..eh, hari ini dia jajan apa ya? Tau nggak kalo yang dirubung lalat itu kotor? Tau nggak makanan yang sudah terkontaminasi debu? Tau nggak makanan kadaluarsa? Tau nggak makanan yang pake pewarna berlebihan? Lebih tenang, kan dia nggak jajan, nggak bawa uang, makan bekal juga bareng-bareng diawasi gurunya.

Tapi ketika dia masuk SD, hampir semua temannya bawa uang saku buat jajan, dan banyak orang jualan di sekitar sekolah…hmmmm mumet saya. Nggak mau bawa bekal makanan, karena yang lain juga nggak bawa. Meskipun dia memang tipe pemilih kalo jajan, tetap saja kalo melihat setiap hari, masa nggak kepengen ikutan sih? Dari yang tadinya nggak ngerti ngitung kembalian, jadi ikut-ikutan jajan kayak temannya. Jadi saya siasati saja, karena nggak mungkin bagi saya melarang total untuk jajan. Entahlah, ini hanya kebijakan (atau kelonggaran) kami saja. Uang saku antara 2000-3000 rupiah per hari saya berikan. Setiap pagi, saya ingatkan untuk tidak jajan sembarangan. Saya kasih beberapa contoh dan kriteria :

1.       yang tidak boleh dibeli sama sekali.
2.       Yang boleh dibeli tapi seminggu sekali.
3.       Yang boleh dibeli tapi nggak tiap hari (dua atau tiga hari sekali)
4.       Yang boleh dibeli tiap hari

Bawel? Iya lah saya emang emak bawel hihihi ya tapi mau gimana lagi, demi kebaikan anak juga. Kadang-kadang saya ajarin cara membaca Expired Date yang tertera di kemasan, komposisi makanan, zat aditif yang berbahaya (pewarna kain, dll). Hehehe nggak taulah, mungkin juga sampe sekarang dia belum  ngerti betul.. Tapi sedikit-sedikit pasti diingat kan?

Lalu saya punya trik baru karena waktu itu dia lagi seneng-senengnya beli baju bola yang harga 20-30 ribuan. Saya bilang kumpulkan saja uang sakunya kalo dah cukup, nanti dibelikan baju bola. Alhasil, dia pun jadi mikir..enaknya dijajanin atau ditabungin buat beli baju bola? Hehehehe mudah-mudahan sih dia nggak berpikir, duh emak pelit amat seh.. Tapi setiap 2 minggu dalam rentang kurun waktu tertentu dia bisa dapatkan baju bola, kolor bola, dll.

Oya di sekolah, sewaktu ngajar di kelas, kadang-kadang saya selipkan juga materi memilih makanan. Pernah saya suruh mereka bawa bungkus jajanan, lalu masing-masing menulis komposisinya, cara baca ED, dll. Hehe saya sempat shock (nggak pake pingsan) waktu mendapati kenyataan bahwa hari gini masih ada sebagian orang di kampung yang menggunakan pemanis buatan (istilahnya sodium) untuk menggoreng pisang, merebus ubi/jagung, bahkan lebih parah ditambahin ke susu balita. Tetunya dengan takaran semaunya kan? Duhhh…emang bener-bener nggak tahu atau gimana ya?

Di tempat baru, kegalauan saya tentang jajanan anak drastis berkurang. Warung terdekat rumah kami sekitar 1 km. Hehe.. Dan di sekolah baru, sejak mendaftar pertama kali saya nggak lupa nanyain masalah jajanan yang tersedia di area sekolah. Hehehe bawel ya? Guru-gurunya pun menjawab, yang intinya begini,
“Anak-anak terbiasa membawa bekal dan memakannya di jam istirahat pertama. Biasanya mereka jajan di istirahat kedua, di kantin sekolah. Jajanan yang dijual nggak sembarangan.Uang saku cukup dua ribu.”

Alhamdulillah. Jadilah tiap hari si aa membawa bekal makan dan minum ke sekolah. Pun bapaknya juga demikian. Tiap pagi emak sibuk (halaaahh) di dapur buat ngisi dua kotak makan. Bukan menu yang mewah, tapi makanan yang sehari-hari kami makan. Kadang nggak bawa nasi, hanya bakwan sayur atau mie goreng. Aa sekarang jarang banget jajan sendiri, kadang sesekali bilang mau jajan ini atau itu. Tapi pulangnya bilang nggak jadi beli karena dah kenyang, atau sibuk pergi ke perpustakaan, atau karena temannya pada nggak jajan.

Yah, mudah-mudahan kebiasaan baik selalu melekat di anak-anak kita dan terbawa sampai nanti mereka dewasa. Amiin…


Selasa, 18 Februari 2014

Jangan Hanya Sekolah...



Percaya nggak, kalo keren-keren begini saya pernah jadi guru honorer di SD Negeri di sebuah kampung?
Hihihi percaya sih percaya, tapi masalah kekerenan itu yang perlu dipertanyakan. :D
Emang berapa sih gaji saya jadi guru honorer?
Yaaah jangan nanya gaji deh, nanya yang lain aja. Mendingan saya cerita tentang sekelumit pengalaman batiniah saya ..cieeeeeee

Saya kaget (nggak pake nggeblak) ketika mendapati sebagian anak/murid yang ternyata hidup dan tinggal bersama neneknya, dengan alasan umum :
·         Ortu cerai, bapaknya kawin lagi, lalu ibunya kerja di kota
·         Bapaknya kerja jauh di pulau seberang (biasanya nambang emas [illegal]), ibunya jadi TKI
·         Ibunya jadi TKI ke Arab Saudi, bapaknya kawin lagi
·         Ortu sama-sama jadi TKI
·         Kurang survey :p

Saya sering memperhatikan anak-anak begini. Kalau yang kakek/neneknya masuk kalangan ekonomi menengah atau setidaknya mampu menghidupi sekeluarga…anak-anak berpenampilan layaknya anak-anak yang terurus. Meskipun sebenarnya dalam kehidupan mereka ada yang kurang karena ketiadaan orang tua di dekat mereka.  

Nah yang sedikit miris adalah yang tinggal bersama kakek/nenek yang secara ekonomi sangat kurang. Saya pernah memperhatikan beberapa anak yang, (maaf) penampilannya kurang terurus. Rambut tipis kemerahan (bukan bule, bukan pula karena dicat), cahaya mata tidak bersemangat, kusam. Sedih ya? Belum lagi baju-bajunya yang dekil, buku-buku yang jauh dari layak… Bayangkan, saya masuk ke sebuah kelas mendapati seorang anak tidak menulis hanya gara-gara pensilnya tinggal secuil, dan buku-bukunya saya lihat juga awut-awutan.

Saya nggak akan membahas masalah kesenjangan sosial.

Saya hanya ingin menyampaikan unek-unek bahwa ketika sekolah dikritik sedemikian rupa, ketika Negara dicela persoalan kurikulum…sudahkah kita membuka mata. Sudahkah kita menengok di belahan bumi yang begitu bedanya dengan sekeliling kita? Bahwa persoalan pendidikan anak tidak hanya urusan sekolah. Justru pendidikan dari rumah (orang tua) itu yang paling utama.

Saya merasakan, agak sulit mengubah kebiasaan murid-murid (yang saya pernah ajar di kelas) agar tidak membuang sampah sembarangan. Mungkin mereka sudah terbiasa begitu. Mungkin orang tua, atau orang-orang di rumahnya cuek dengan kebiasaan begitu, atau justru mencontohkan buang sampah di sungai/jalan/selokan.
Ketika ujian, sebagian anak begitu bersemangat. Sebagian lagi mengerjakan dengan ala kadarnya dan kita pun tahu itu jawaban-jawaban ngawur karena malas berpikir. Ada sebagian yang hobi bolos.  Dan ketika pihak sekolah sudah melakukan teguran hingga home visit ke rumahnya, apa yang didapati? Sikap masa bodoh dari keluarga. Saya nggak bohong, ada yang pernah saya jumpai begitu. Miris, saya hanya bisa mendoakan yang terbaik.

Saat jam pelajaran, nggak lupa saya selipkan pesan-pesan agar mereka termotivasi untuk bersekolah dan belajar, juga bersikap yang baik.

“Sekolah memang tidak bisa menjamin masa depan kamu, tapi setidaknya kamu punya bekal untuk mengubah nasib menjadi lebih baik.”

Hehehe seserius itukah saya mengajar?  Nggak kok, meskipun kadang-kadang galak, saya bisa becanda dengan murid-murid.

Kadang-kadang saya ajak ngobrol beberapa anak yang terkesan malas-malasan.

“Rumah kamu di mana? Tinggal sama siapa? Bapakmu kerja apa?  Ibu kerja nggak? Kamu pengen nggak nanti kalo udah dewasa lebih baik dari sekarang?”


Ah, mungkin dengan mengobrol saya bisa sedikit tahu kesulitan mereka.
Sudahlah…saya jadi kangen murid-murid saya. Hehehe…


Memberikan Poin dan Bintang Untuk Mendisiplinkan Anak


Kemaren, untuk pertama kalinya saya menghadiri pertemuan orang tua dan guru untuk membahas sosialisasi obeservasi sikap siswa di luar sekolah. Feeling excited tentunya…hehe. Saya sebagai orang tua murid paling senang jika dilibatkan dan berkoordinasi dengan pihak sekolah dalam pendidikan anak.

Awalnya kami diingatkan tentang visi misi sekolah. Aduh, sementara anak-anak hapal visi misi sekolah..saya malah lupa-lupa. Intinya sih membentuk manusia yang bermoral, beriman, cerdas.. Pihak sekolah memaparkan pentingnya membentuk karakter anak. Plaaaakkk, serasa disentil. Kadang-kadang emak-emak seperti saya harus diingatkan masalah beginian, hihihi jangan cuma ngributin masalah resep gagal *eaaaaaa.

Kami diputarkan video singkat tentang seorang ayah dan anaknya yang sudah dewasa. Ada di you tube kok, “A touching story of an old father, son, and a sparrow”. Video yang sangat menyentuh dengan background music yang bikin mewek.  Tiba-tiba saya teringat emak-bapak saya di kampung. Pengen netesin air mata, tapi kok malu ya…hehe.
Lalu kami nantinya diminta untuk mengisi form untuk observasi sikap siswa di rumah. Ada beberapa poin dinilai. Tentang kemandirian dan tanggung jawab untuk belajar/mengerjakan PR, mengerjakan ibadah, berkata sopan dan tidak berbicara kasar, dll.

Poin-poin penilaian itu dikasih nilai, range 1-4.
1 : Tidak pernah
2 : kadang-kadang
3 : sering
4 : selalu

Saya senang. Terus terang, membentuk karakter anak, mendisiplinkan, mengajarkan sikap yang baik…bukan segampang membalikkan tempe goreng. Dan saya senang karena pihak sekolah sangat concern dengan hal ini. Merasa sangat terbantu gitu…

Saya jadi inget beberapa waktu lalu, saya pernah menerapkan semacam itu. Tapi dengan metode dan bentuk yang berbeda. Saya biasanya pakai tanda bintang (kertas warna-warni saya gunting-gunting membentuk bintang). Saya juga siapkan wadah/tempat masing-masing untuk bintang yang mereka dapatkan. Hal-hal yang bisa mereka dapatkan saya tulis di kertas besar.

Contohnya:
·         Berangkat sekolah tanpa ribut dan marah-marah dapat bintang 10 (hehe ini dilatarbelakangi oleh sikap anak saya yang mengalami masa ‘tidak semangat’ ke sekolah –entah karena apa-, dan heboh pagi-pagi –entah untuk alasan apa- :p Setiap anak istimewa bukan? Apa pun penilaian dan pendapat orang tentang anak saya, we’re very…very proud of them. )
·         Berangkat madrasah dapat bintang 10 (latar belakang sama dengan di atas)
·         Sholat dapat bintang 5, jadi kalo sholat nggak bolong-bolong dapat 25 bintang sehari. Sholat di masjid dapat double bonus bintang.
·         Ngaji sehalaman buku “Iqraa” dapat 10 bintang.
·         Belajar/mengerjakan PR sendiri dapat bintang 10.
·         Membaca buku per halaman saya bayar 5 bintang (hehe untuk mengatasi malas membaca)
·         Membantu pekerjaan di rumah saya bayar kisaran 5-10 bintang.
·         Dll

Trus buat apa bintang dikumpulin segitu banyaknya? Hehehe tenang, emak punya trik khusus untuk mengendalikan keinginan main game mereka, supaya nggak terus-terusan di depan gaget/laptop. Oya anak saya nggak terlalu suka nonton tipi, mungkin untuk emak-emak lain bisa dipakai untuk mengendalikan jam nonton tipi.
·         Main game di laptop bayar 12 bintang untuk satu jam. Jadi 1 bintang = 10 menit main laptop
·         Main game di gadget lain juga berlaku tarif yang sama :p
·         Main di wahana permainan di mall (kalo ke kota) 250 (biar mereka terpacu untuk ‘menabung’ bintang, jadi nggak dipakai nge-game mulu)
·         Naik pesawat garuda (yang ada tipinya hahaha) untuk berlibur ke eyang atau ke Sulawesi  saya kasih tantangan 1000 bintang. Whatt? Hihihihi…no pain no gain maaakk
·         Beli mainan saya kasih tarif juga (hehe tergantung mainannya apa dan bagaimana)

Oya denda/penalty mebayar bintang juga diterapkan. Misalnya, membentak orang tua, memukul saudara/teman, berkata kotor dll.

So far, it worked. Meskipun sedikit-sedikit…lumayan lah bisa mendisiplinkan anak. Dari yang betah berjam-jam di depan laptop, menjadi hobi main kelereng di halaman, main lompat karet, umbul/gaplok dll sama tema-temannya. Bahkan pernah 2 minggu full laptop nganggur nggak disentuh, karena dia sibuk dengan kegiatan bermainnya.

Yaah, mudah-mudahan dengan form penilaian dari sekolah untuk observasi sikap siswa di rumah,  membuat kami semakin peduli dengan pendidikan anak. Memacu anak untuk semakin bagus sikapnya. Membuat anak-anak kami semakin terbentuk karakter positifnya, disiplin, mandiri, beriman, dan cerdas. 

Amiin…