Kemaren sore, anak wedok (4,5 tahun) marah. Mungkin bisa
disebut tantrum. Hanya gara-gara saya tegur waktu dia mainin saklar lampu.
Nangis sambil lari, nggak mau dipanggil atau dipegang. Raut mukanya bener-bener
beda deh sama biasanya. Ampe agak susah kayaknya dia bernapas.
Reaksi saya awalnya agak membiarkan tapi nggak lama kemudian
saya peluk, meskipun dia meronta dan menghindar. Tetap saya peluk sambil
membujuknya. Selang beberapa menit, dia mulai tenang. Dan setelah itu kami pun
mengobrol tentang apa yang terjadi barusan.
Dalam hati saya senang berhasil melakukannya, tanpa
emosi..tanpa energi terbuang sia-sia. Tapi, ada sedikit sesal dan ngilu ketika
saya ingat waktu beberapa tahun lalu.
Ketika seumuran segitu, kakaknya lebih-lebih gayanya ketika
tantrum. Lebih heboh, lebih sering, dan lebih menguras kesabaran. Ah, tentu
masing-masing anak istimewa… Dan sayangnya saya dulu kurang ilmu. Kesabaran
menghadapi anak juga masih jadi barang langka,
yah meskipun sekarang juga masih laaahhh hehehe. Lagian siapa sih
emak-emak yang nggak pernah ngomel, marah, ke anaknya. Mungkin pintar-pintarnya
saja kita mengendalikan.
Seringkali ketika melihat foto-foto jaman anak pertama saya
masih umur 3-4 tahunan, seringkali terbersit ‘maaf’ dalam hati. Nak, emakmu
dulu kok belum banyak belajar ya? Kok gampang banget stress? Ah, kalo bisa
diulang masa-masa itu …
Tapi, dengan anak yang ‘aktif’ dan tingkahnya yang
seringkali membuat kita jungkir balik (sedikit lebay :p)…saya belajar gimana
menerapkan disiplin. Saya belajar tentang kesabaran (nggak Cuma teorinya). Gimana
mengendalikan emosinya (dan emosi saya tentunya). Gimana belajar mendidik yang
baik dan benar. Gimana berkomunikasi dengan suami mengenai masalah menghadapi
anak-anak.
Dan, satu hal penting yang jadi pelajaran besar buat saya…
“Jangan sekali-kali menggunakan persepsi orang lain sebagai
pijakan mendidik anak kita. Dan jangan buru-buru terpengaruh penilaian orang lain ketika
menasehati (memarahi) anak kita.”
Kita sebagai orang tua yang paling mengenal anak, bukan orang
lain. Kita yang setiap hari melihatnya dari bangun tidur hingga tidur lagi,
bukan orang lain. Kita yang menggendongnya, kita yang merawatnya, dan kita yang
menyayanginya.
Ketika anak (balita) tantrum lalu mengucapkan kata-kata
kasar yang mungkin dinilai nggak pantas…ternyata itu hanya pengaruh sesaat
ketika bergaul dengan teman-temannya. Ketika dia melemparkan sesuatu, mungkin
dia hanya ingin meluapkan emosinya. Ketika dia menendang, mungkin dia pikir
akan membuat kondisi lebih baik.
Buat saya pribadi, lingkungan yang baik sangat mendukung
anak untuk bersosalisasi, dan bersikap baik. Nah, buat emak-emak juga begitu.
Mencari lingkungan yang baik dan mendukung, akan membantu kita menjadi emak
yang lebih baik lagi. Bertukar pengalaman, sharing info yang bermanfaat, saling
belajar, latihan sabar…
Nggak oke jika kita tinggal di sebuah tempat, lalu ketika anak-anak
balita kita berbuat sesuatu dengan tingkahnya dan selanjutnya kita jadi hot
topic di mana-mana. Sebagai emak, kita pasti tersinggung ketika balita kita
nyenggol temannya(entah sengaja atau tidak) lalu kita didiemin dalam jangka
waktu unpredictable, dan cap “nakal” distempelkan ke anak balita kita. Nggak
lucu jika balita mukul temannya lalu emaknya dilabrak di tukang sayur. Nggak banget deh…
Hehe kok saya jadi curcol begini.
Move on…move on…meskipun belum bisa move on secara fisik,
setidaknya mengubah pola pikir dan kebiasaan yang kurang pas akan sangat
bermanfaat. Meskipun tinggal di sekeliling orang-orang yang ‘kurang paham’,
setidaknya kita bisa berdiri kokoh di atas prinsip dan tegar di atas batu
karang *eaaaaa
Dan, bersyukurlah ketika lingkungan keluarga dan tetangga
sangat kondusif. Bersyukurlah ketika dianugerahi anak-anak yang tidak sulit
karakternya (meskipun sekali lagi saya yakin, setiap anak adalah istimewa).
Bersyukurlah ketika semakin dimudahkan dalam mendidik anak.
Bersyukurlah atas semua yang kita dapatkan....
Pernah saya mengobrol dengan tetangga baru saya, yang punya anak tiga, laki-laki semua, dan
sekarang masih balita semua. (Maaf ya, mbak..takcomot dikit obrolan kita dan modifikasi
seperlunya :P)
Iseng saya nanya, “Mbak pernah nggak bermasalah dengan
tetangga gara-gara anak?”
Jawabannya tidak saya duga, “Pernah.” Sambil menekankan
berkali-kali.
Jadilah kami mengobrol, sharing pengalaman dan bertukar
cerita tentang menghadapi tingkah anak balita. Lalu ketika dia memperhatikan
anak saya yang laki-laki (7,5 tahun)..dia komentar, “Anaknya kok diem mbak,
bisa momong adiknya.”
Saya hanya tertawa, “Ya gitu deh, ada kalanya rukun, ada
kalanya berantem, ada kalanya ribut, ada kalanya anteng…di mana-mana anak kecil
kan begitu. Dulu jaman umur 3 tahunan, saya pernah gendong dia lagi tantrum ketika main sama teman-temannya
di depan rumah. Beratnya 15 kg, padahal saya baru aja 3 hari habis melahirkan.
Dan butuh waktu lama menenangkan. Adiknya saya geletakin aja di kasur. Saya
ngliatin dia tantrum di ruang tengah. Suami lagi kerja. Gak ada asisten pula.”
“Whattt?”
Hehehe, setiap anak…setiap emak punya cerita kan?
*buat anak-anakku…terima
kasih telah mengajari bubuh banyak hal. We’re proud of you and we love you…