Minggu, 30 Maret 2014

Mengapa Aku Kena TB?




Mengapa aku kena TB? Yang jelas ini bukan kebetulan, bukan kutukan, bukan pula pencitraan. 

Dulu, yang kutahu menderita penyakit TB (Tuberculosis) adalah hal yang memalukan. Nggak elit. Kelihatan kumuh. Hanya layak diderita oleh kalangan-kalangan bawah banget dan bawahnya lagi. Duh, ternyata pemikiranku ini sangat cetek dan agak menyimpang. Apalagi sebagai warga Negara Indonesia, yang seharusnya tahu bahwa Indonesia termasuk negara dengan tingkat endemik TB yang masih tinggi. Semua bisa kena. Kakak, adik, keponakan, kakek, nenek, pakde, bude, tetangga, Pak Camat, Pak Lurah, Pak RT, Pak RW dan artis ibu kota bisa saja terjangkit penyakit ini. Termasuk juga aku.

Menemukan bahwa diriku ternyata mengidap penyakit TB adalah sebuah perjalanan yang spesial, penuh tantangan dan air mata, juga cerita-cerita yang mungkin bisa kubagikan untuk teman-teman semua. 

Kilas balik di tahun 2001-2002, masa-masa yang lumayan berat bagiku. Waktu itu aku masih kuliah tahun ke-3 dan ke-4. Status masih jomblo, sementara beberapa teman sudah punya gandengan, ihiikk. Eh, bukan itu ding permasalahannya. Lagipula aku penganut paham jomblo bahagia, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, hemat, cermat dan bersahaja.

Lalu apa pasal?

Begini ceritanya…

Sore itu, dengan beberapa keluhan kesehatan yang kurasakan selama beberapa waktu, aku mendatangi seorang dokter di klinik swasta di Kota Bogor. Sering demam, nyeri dada, lemah, dan letih.

Dokter yang sudah sepuh itu lalu bertanya, “Sebelumnya kamu pernah batuk sekitar dua minggu atau lebih?”

Aku ingat-ingat. Iya lah, betul. Sekitar 5 bulan sebelumnya, aku pernah batuk parah, dulu sih dibilang bronchitis, selama 2 mingguan. Sampai aku terpaksa pulang ke rumah orang tua di kampung halaman, menempuh perjalanan naik bis Pahala Kencana selama belasan jam. Dan aku pun seperti  hampir pingsan ketika hendak sampai di tujuan. Duh, sedihnyaaaa…

Lalu dokter pun melanjutkan, “Ya sudah, rontgen secepatnya yah? Nanti kita lihat hasilnya.”

Aku masih bingung. Apa hubungannya batuk yang kemarin dulu dengan rontgen? Kan sudah sembuh? Ya sudahlah, besoknya aku bergegas ke rumah sakit terdekat, membawa surat pengantar rontgen dari dokter.

Ketika sudah mendapat hasilnya, dan aku terbata-bata membaca tulisan yang di lembar keterangannya, namun Pak Dokter memberikan penjelasan panjang dan lebar, sambil menunjuk beberapa area di foto rontgen dada/paru-paru. Ada beberapa yang dia kasih tanda dengan spidol untuk memperjelas.

Intinya aku kena TBC atau tuberculosis atau TB.

Berarti batuk 2-3 minggu yang pernah kuderita mungkin saja itu gejala awal kuman TB mulai menyerang. Batuk yang parah hingga menggigil badan.

Ketika batuk ‘sembuh’ namun setiap hari aku  masih merasakan meriang/demam  itu adalah gejala TB.

Ketika tubuhku semakin ngedrop selama beberapa bulan itu artinya kuman TB semakin menggerogoti tubuhku.

Dan saat aktivitasku terganggu karena fisik yang semakin lemah, itu karena aku  positif kena TB.

Oh, seketika aku seperti melayang. Ya Allah..kenapa bisa? Kata Ibuku, dulu waktu aku balita beliau tidak pernah lupa datang ke Posyandu untuk meng-imunisasi diriku. Berat badanku pun ditimbang selalu. Belakangan aku tahu bahwa orang yang divaksin BCG masih bisa terinfeksi kuman TB. Namun vaksin BCG ini bisa mengurangi resiko komplikasi yang parah.  

Kata dokter,  kuman TB yang tadinya hidup di paru-paru bisa terbawa peredaran darah hingga kemana-mana, contohnya ke otak. Kalau tidak segera diobati, maka penderita [dewasa] bisa menjadi sumber penularan penyakit TB, melalui percikan ludah, batuk, juga lewat berbicara.  Selain itu jika tidak segera diobati maka akibatnya bisa fatal.  Ngeri ya?

Pak Dokter pun berkata bahwa semakin cepat terdeteksi, semakin cepat diobati, maka semakin cepat sembuh dan bisa memutus rantai penularan TB. Asalkan rutin dan disiplin memimum OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Beliau menggratiskan biaya konsultasi selama aku masih terapi OAT. (Terima kasih, Pak. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan yang berlipat ganda)

Begitu mengetahui aku kena TB dan harus menjalani terapi obat, aku drop, kaget, dan terpukul. Belum sembuh rasa kecewa dan sedih atas IP (Indeks Prestasi) satu koma waktu semester kelima, sekarang aku harus menghadapi seperti ini. (Padahal waktu semester keempat IP-ku tiga koma, hikkkss) Aku kena TB sodara-sodara! Tuberkulosis.

Sepulang dari dokter, aku  menangis seharian. Sholat sambil nangis, bukan karena kekhusyukan, tapi karena aku sedih. Sedih banget. Duduk di depan meja belajar aku tertunduk menangis. Di kasur sambil tiduran juga menangis. Aku bingung bagaimana memberitahukan ini pada orang tua. Aku tidak sanggup  membayangkan bagaimana perasaan mereka. Bagaimana galaunya mereka  memikirkan aku dan penyakit TB-ku. Oh, kami kini sepaket, setidaknya untuk beberapa bulan ke depan. Aku dan TB.

Ah, akhirnya aku tidak sanggup memberitahukan lewat telepon. Dan aku pun memilih menulis surat. Hehehe… Kalau lewat surat kan, kira-kira informasi sampai dalam waktu beberapa hari dan selama itu mungkin aku bisa lebih tenang, untuk berpikir dan mengobrol dengan orang  tua.

Entah dari mana, semangat itu perlahan muncul. Yang terutama adalah motivasi dari orang tua dan kakak. Lalu dari teman-teman terbaik di dekatku. Kukatakan pada diriku, selamat menjalani pengobatan TB, semoga berhasil. Kutekankan berkali-kali bahwa aku bisa. Lalu aku memulai hari-hari sebagai pasien TB untuk beberapa bulan ke depan sebelum statusku dinyatakan sembuh total. Sungguh pengalaman yang spesial dan mahal.

Meskipun sampai sekarang, pertanyaan “Mengapa aku kena TB” belum terjawab jelas, tapi setidaknya menjadi pelajaran bagiku dan mungkin bagi teman-teman semua. Waspadalah jika kita atau orang-orang sekitar kita menderita batuk [parah] selama 2 minggu atau lebih. Jangan diabaikan, minimal setelah sembuh harus tetap periksa ke dokter. Apalagi jika muncul keluhan yang tidak biasa, contohnya badan terasa lemah, nyeri dada berkepanjangan, demam/meriang setiap hari, berat badan turun tanpa sebab jelas, atau muncul benjolan di area-area kelenjar di tubuh. Juga Indeks Prestasi merosot drastis, eh bukan yang ini ding. Hehehehe..ini sih kasus spesifik diriku, sekalian curcol. Boleh dong?

Waspadai juga ketika ada penderita TB di sekitar Anda. Bukan berarti Anda harus menjauhi mereka, tapi bantulah agar mereka sembuh sehingga tidak menjadi sumber penularan kuman TB. Karena siapa pun bisa terjangkit, termasuk juga Anda. 

Waspadalah!

>>>>>>>>>>>>>>>>>> 


Senin, 24 Maret 2014

Melihat dari Sisi yang Berbeda


Kapan hari tuh, lupa kapannya euy, iseng-iseng nonton tipi. Sambil nungguin anak-anak pulang sekolah. Pencet pencet remot, eh ketemu Mike Tyson. Bukan lagi tinju, tapi lagi ngomong di panggung. Di pojok kanan atas layar tipi, ada tulisan Undisputed Truth – Mike Tyson, Channel HBO. Entahlah, saya yang katrok atau gimana…saya baru pertama kali lihat itu pilem.

Jadi inget dulu waktu ngetop-ngetopnya Sang Legenda Tinju ini. Berjam-jam nunggu pertandingan gelar tambahan hihihi, cuma buat nunggu gelar tinju sang juara. Padahal laga tinju utamanya sendiri, seringnya 1-2 ronde saja. Udah KO. Mike Tyson yang menang. Hahaha sedikit sadis memang.

Nah, apa yang bisa saya tangkap dari pilem ini? Waduh apa, ya? Saya nggak bawa catatan waktu nonton, sekedar mengandalkan ingatan saya yang terbatas.

Mike atau Michael ini lahir dan besar di Brooklyn. Tumbuh dalam kawasan kumuh dan keras, membuatnya jadi petarung jalanan.  Agak lucu caranya menceritakan masa kecilnya, sehingga saya pun ikut senyum-senyum meski nggak terlalu paham haha. Lalu dia mengisahkan saat masuk penjara anak-anak dan ditemukan oleh pelatih tinju Cus D’Amato. Mike Tyson mengungkapkan betapa dia berhutang budi dan sangat menghormati si orang Italia ini. Dan dia sangat termotivasi dengan ucapan sang pelatih yang berulang-ulang, sehingga dia bisa mewujudkan impian mereka untuk memecahkan rekor menjadi juara tinju kelas berat termuda. Dalam usia 20 tahun! Oh, pantas saja dia merasa sangat kehilangan ketika Cus meninggal.

Ada sisi lain yang sedikit banyak diungkapkan bahwa sebenarnya dia adalah orang yang tidak percaya diri dalam bergaul, salah satunya karena faktor kulit hitam. Lalu ditunjukkan foto waktu dia makan bersama dengan beberapa orang kulit putih, dan dia berseloroh  kurang lebih begini, “Apakah saya tidak nampak seperti orang jahat, yang dalam hatinya bilang ‘setelah makan, kurampok kalian’.”

Dan begitu juga, dia mengungkapkan ketidakpedeannya bergaul dengan wanita, mungkin sekaligus juga mengklarifikasi isu-isu lama.

Betapa miskinnya dia dulu, katanya. Betapa dia menyesal ketika ibunya meninggal saat mereka masih miskin. Peti mati ibunya yang nggak layak disebut kayu, lebih pantas disebut kardus saking tipisnya. Sehingga ketika Tyson menjelma menjadi orang kaya raya, dia bongkar makam ibunya lalu dia ganti peti mati dan nisannya dengan yang mewah/mahal.  

Nah, yang bikin audiens sedikit heboh ketika Tyson menceritakan permusuhannya dengan Mitch Green. Mungkin saking keselnya, dia sebut pula itu nama-nama binatang, salah satunya gorilla. Hihihihi…konon karena si Mitch Green ini sering mengata-ngatainya dengan sebutan ‘homo’, dan selalu memancing keributan. Apa pasal? Ah entahlah, bukan urusan saya. Hihihiiii..

Stelah itu dia mengisahkan drama romantis dan ironis pernikahannya dengan seorang aktris bernama  Robin Givens. Cuma delapan bulan, mereka memutuskan bercerai. Dan Mike Tyson menekankan berkali-kali bahwa dia merasa seperti ditipu. Digerogoti uangnya begitu saja. Ironisnya, pernah dia memergoki istrinya bersama Brad Pitt (dia menyebutnya  si pria cantik”) saat mereka berduaan di mobil yang konon dibelikan pake uang Mike Tyson. Kasihaaannn…entah apa masalahnya, biarlah jadi urusan mereka. Hehehehe

Dia tidak menceritakan istri berikutnya,hehe. Tapi dia banyak berbicara tentang Don King, si promotor berambut jabrik khasnya. Sepertinya saya menangkap kesan ada sedikit sakit hati saat Mike Tyson menceritakan tentangnya.
Seperti roda yang berputar, kehidupannya pun berputar. Dari miskin, lalu kaya raya, dan selanjutnya nggak kaya. Di tengah karir yang merosot, kebangkrutan ekonomi, keluar masuk penjara dia menemukan banyak hal. Ketika di penjara dia berkenalan dengan orang-orang Muslim, lalu tertarik mengenal Islam, dan mulai membaca Qur’an. Dia mengakui bahwa dia merasakan ketenangan, sesuatu yang dari dulu dicarinya. Yah, terkadang hikmah kehidupan harus ditebus sangat mahal.

Tentang Evander Holyfield, yang dia gigit telinganya sampe putus. Hiks, tega amat kamu om… Tyson menyadari kebablasannya, gara-gara tidak bisa mengendalikan emosi. Tapiii, akhirnya mereka berbaikan, dan berteman baik. Bahkan Tyson memujinya.

Dia menutup kisahnya dengan sedikit cerita  tentang kehidupan rumah tangganya yang sekarang, bersama Kiki Spencer. Dia berharap itu akan berlangsung langgeng. Dia mempunyai beberapa anak, sepertinya juga dari beberapa wanita yang berbeda.  Ada  yang namanya Milan, Morocco, dan yang lainnya saya lupa. Hehehe. Yang cukup mengharukan ketika dia menceritakan salah satu anak perempuannya, Exodus, 4 tahun, terlilit kabel treadmill lalu nyawanya tidak terselamatkan. 

Kejadian demi kejadian banyak yang mengubah hidupnya.

Menonton pilem atau teater ini menyadarkan saya, bahwa setiap orang punya sisi kehidupan yang kadang kala begitu berbeda dengan apa yang ditampakkan. Terlepas dari benar atau tidaknya, bukankah setiap orang punya hak jawab dan membela diri? Terlepas dari nilai parameter kebenaran/kebaikan yang kita yakini, bukankah tidak adil menghakimi semena-mena kehidupan orang lain? Bukankah kurang bijak berkomentar sinis atas kehidupan orang lain? Waktu berlalu, kehidupan berjalan, orang bisa berubah.

Sisi kehidupan orang lain yang nampak, yang dibicarakan khalayak, yang dibahas media massa, mungkin hanya sebagian kecil bingkai yang terlihat bold and underlined. Nyata dan jelas. Padahal masih banyak yang tidak terlihat, yang terpampang nyata gitu..(menurut istilah mbak Syahrini).

Softly reminder saja, terutama buat saya sendiri, jangan terlalu cepat menghakimi. Jangan terlalu cepat memberikan komentar sinis  atas sesuatu berita. Jangan melemparkan tuduhan yang belum terbukti keshahihannya. Ah saya ini ngomong apa sih? Gara-gara kebanyakan baca berita infotainment neh hahaha.  Terinspirasi dari Undisputed Truth – Mike Tyson, lebih berbaik sangka dulu ketika ada berita heboh ini itu. Mungkin ada sisi lain kehidupan yang tidak diketahui banyak orang.  Toh orang kebanyakan tahunya hanya sepenggal bingkai kehidupan yang nampak. Yang disorot media kan nggak semua. Ada  yang nampak, ada yang menunggu waktu hingga kebenaran terpampang nyata, bahkan ada yang tersembunyi  entah sampai kapan. 

Bukankah hidup ini memang lebih indah dengan sedikit rahasia? Ahihihiii….

Sabtu, 22 Maret 2014

Menonton Badminton, Dulu dan Kini



Setiap weekend, Sabtu atau Minggu, suami terbiasa mengajak anak-anak ikut  main di GOR.  Main ping pong. Nah, di ruangan itu, terpisah menjadi dua. Sebelah buat main pingpong, sebelahnya buat main badminton. Badminton itu bulu tangkis, tapi saya lebih suka menyebutnya dengan kata badminton.

Ah, saya cuma jadi penonton. Nggak bisa main pingpong alias tenis meja. Kalo suami sih, sebaliknya. Dua piala bertengger di atas kulkas (hihihi nggak keren amat ya, naruh piala kok di kulkas) sebagai juara turnamen Tenis Meja di Sorowako, jadi buktinya.

Anak saya, yang laki-laki sedikit-sedikit mulai belajar main ping pong. Sedangkan yang kecil, mungkin karena tingginya belum nyampe untuk ukuran meja ping pong, dia lebih senang menenteng raket kemana-mana. Hihihihi…

Anak perempuan yang usianya hampir 5 tahun itu, awalnya megang raket pun salah. Tapi dia selalu semangat, memanfaatkan setiap momen latihan untuk belajar. Hehehe ya lumayan lah, untuk anak seumurnya.
Jadi ingat masa kecil saya. Waktu seumuran segitu, saya sering diajak Bapak nonton pertandingan badminton kelas dunia, di tipi tetangga. Hehehe jaman segitu kami belum punya tipi sendiri. Kebanyakan tetangga yang punya juga masih hitam putih. Sambil terkantuk-kantuk saya mencoba menerjemahkan pertandingan badminton ke dalam otak dan pikiran saya yang masih polos. Sesekali terkaget-kaget dengan sorakan dan teriakan bapak-bapak yang nonton.

Saya inget. Ya, Liem Swie King dan Rudi Hartono. Itu yang sering dielu-elukan oleh para penonton dari layar kaca. Saya waktu itu ngertinya, pokoknya mereka hebat dan juara. Ah, menyenangkan memang menonton badminton. Dan menonton di jaman tahun 80-an itu kalau diingat memang beda nuansanya. Hihihihi, angkatan 80-an mana suaranyaaaaa???
source :

Lalu berlanjut generasi badminton selanjutnya. Susi Susanti, Alan Budikusuma, Ardy B. Wiranata, dan
Haryanto Arbi. Nah, itu dia single player favorit saya, Haryanto Arbi. Haha bukan karena  faktor wajah dan logat medoknya. Hard smashingnya yang luar biasa, selalu saya tunggu ketika dia bertanding. Mau kalah, mau menang…di tahun 90-an menonton pertandingan mereka hampir tidak pernah mengecewakan. Selalu menyenangkan, bagi saya.

Oh ya, lalu saya pun punya double player favorit Ricky-Rexy. Te o pe be ge te lah.. Yang satu kalem, kontas dengan yang satunya, lebih atraktif, suka lemparin raketnya sendiri. Ahihiiii.. Hampir selalu jadi juara di turnamen bergengsi mereka tuh.

Ah, sesudah jaman 90-an, rasa-rasanya saya sudah malas menonton badminton di tipi. Jarang ngikutin berita tentang badminton lagi. Paling-paling saya tahunya lewat facebook dan media online. Hahahaha
Entahlah, menonton badminton sekarang kurang menyenangkan. Mungkin juga karena faktor umur dan kesibukan (halaaahh).

Dulu, waktu kecil sampai remaja, masih lah rajin bermain badminton di halaman rumah. Ah, untuk main ke GOR pun masih sulit. Hihihi seandainya dulu fisik saya lebih kuat, mata saya nggak minus tebal, dan perekonomian keluarga lebih bagus dengan fasilitas berlebih… Mungkin saya bisa lebih serius menekuni badminton, minimal jadi juara kampung. Hahaha mungkin juga tidak, kawan. Berandai-andai tidak baik untuk kesehatan. Lagi pula, yang paling berperan adalah motivasi dan nyali yang cukup. Dan saya tidak punya. Saya lebih suka dengan hal-hal yang yang berbau ‘akademik’.  Duduk tenang membaca  buku. Menyendiri di kamar sambil mengerjakan soal matematika. :p

Sekarang saya cukup senang, melihat anak-anak saya berkawan dengan raket, dan bet ping pong tentunya, selain tendang-tendang target mitt di ekstrakurikuler taekwondo. Mereka bisa sering-sering ke GOR secara gratis. Bahkan mereka bisa bermain di halaman rumah saat senggang. Mereka punya kesibukan lain selain urusan akademik sekolah. Mereka lebih punya banyak waktu untuk kesibukan non-akademik. Apalagi waktu sekolah mereka hanya 5 hari, Senin-Jumat.

Dan tentu saja, saya harus menghadapi kenyataan bahwa mereka tidak suka nonton badminton di tipi, seperti jaman saya dulu seumurannya. 

Hihihi..beda jaman, Mak.

Senin, 17 Maret 2014

Alarm



Waktu awal-awal di sini, saya harus membangun hubungan yang harmonis, saling mengerti, saling wasapada, dan saling memahami antara saya dan ALARM. Ya, alarm…bunyi detektor atau sensor.  Kalau hanya bunyi sensor parkir mobil-mobil sih ya udah biasa banget di sini mah.
Mobil parkir di kejauhan juga bunyinya bisa kemana-mana. Reversed park alias parkir mundur, standar bunyinya begitu :D

Tapi…awal-awal saya agak sulit membedakan antara alarm detektor asap dan sensor parkir. Gara-garanya saya masak, tapi jendela masih tertutup semua dan kipas deket kompor nggak nyala.

Tat..tit..tutt… Eh bunyinya begitu nggak sih? Hahaha
Spontan saya melongok ke luar. Kali aja mobil petugas pengendali (baca : pembunuh) hama. Atau mobil carpenter yang mau ganti kawat kasa teras. Bukan, nggak ada siapa-siapa.

Alarm masih terus bunyi.
Saya melihat ke sekeliling rumah, mungkin ada BOOOMMM! Hahaha, emak-emak lebay..
Pas mendongak ke atas, detektor asap berubah warna lampu yang tadinya hijau jadi merah. Saya perhatikan, oh bunyinya dari situ toh.

Buru-buru saya nyalain kipas angin, dan buka pintu plus jendela. Keburu petugas PMK ke sini hahhaa. Minimal kalo satpam sampe ke rumah kan malu-maluin eike.
Nah belajar dari situ, saya jadi lebih waspada dengan suara alarm/sensor.

Barusan juga begitu. Bunyi tat tit tut yang masih misterius. Terus menerus.
Berkali-kali melongok ke luar, tapi nggak ada tanda-tanda mobil parkir di dekat sini. Ngliat detektor asap,  normal warnanya hijau, ateng-anteng aja tuh. Mendeteksi semua kemungkinan saya mengelilingi dapur :D Ealaaaahh, pintu kulkas ternyata  nggak nutup sempurna.

Hehehe jadi ada ide buat nulis antara alarm dengan diri kita.
Alarm/sensor memberitahu kita tentang sesuatu yang harus diwaspadai. Atau tentang sesuatu  kurang beres.

Pun begitu dalam kehidupan sosial kita. Saat alarm mengatakan ‘something error’, ada sesuatu yang aneh, ada sesuatu yang bikin kita bergidik… Segera ambil tindakan, pasang status siaga, segera menjauh, lindungi diri kita sebaik-baiknya.
Hihihi ini sebenernya tulisan awal dan akhirnya nyambung nggak sih? Ah, nggak apa-apalah…lagian ini kan cuma lucu-lucuan aja. Daripada mbahas politik terus, orang awam mah mlipir ajaaah. :D :D