Seorang
perempuan muda, mungkin sedikit lebih tua dibandingkan aku. Pandangannya acuh
tak acuh. Sesekali suaranya berteriak menawarkan jualan kepada orang yang
berlalu lalang.
“Berapa ini?” tanyaku pada penjual ikan itu.
Tanganku menunjuk seonggok ikan balado segar. Sementara mataku melihat ke wajah
penjualnya. Wajahnya agak kusam dan tanpa make up sama sekali. Rambut sebahu
dikuncir seadanya. Berbaju polos warna biru pudar. Tangannya sibuk
mengipas-ngipas lalat. Mata sipitnya seperti tidak bergairah.
“Tiga
puluh ribu.” sahutnya singkat.
“Nggak
bisa kurang?” tanyaku lagi. Menawar.
Duh,
masa nggak bisa ditawar sih, pikirku.. Baru sekali ini aku hendak membeli
ikannya. Lantaran dia menjual ikan yang kucari. Biasanya kulewatkan begitu
saja. Kulirik
jualan-jualan orang lain yang ada di kanan kirinya. Mungkin ada di penjual
lainnya, tapi di sebelah sana agak jauh.
Terbersit
rasa penasaran dengan perempuan. Entah
karena harga yang belum bisa ditawar atau sikap dinginnya.
“Dua
puluh lima ya?” tawarku lagi.
“Nggak
bisa. Tidak mahal ini. Sedikit saja untung kuambil.” Masih acuh tak acuh. Dalam
hati aku gregetan. Masa pembeli dicuekin.
Untungnya aku bisa sedikit maklum. Di daerah sini rata-rata penjual bersikap
begitu. Agak berbeda kalau dibandingkan dengan daerah lain. Jadi tidak bisa
dijadikan alasan untuk tersinggung. Toh, sudah biasa.
“Dua
puluh delapan deh.” Kukeluarkan jurus terakhir adu penawaran dengan nada suara
melunak.
“Tiga
puluh. Nggak kurang.”
Akhirnya
aku menyerah. Kubeli dengan perasaan
setengah hati. Menyodorkan tiga lembar sepuluh ribuan. Mengambil kantong kresek
kecil berisi ikan, lalu mengucapkan terima kasih. Tidak ada jawaban yang kudengar kecuali tatapan
mata yang cuek. Huft, sabaaar, hiburku pada diri sendiri.
Beginilah
rutinitas belanja di pasar tradisional. Pasar kecil di tengah-tengah kampung
yang jauh dari hiruk pikuk kota. Setiap
pagi hingga siang, pasar tak pernah sepi. Dan selalu, setiap jam tujuh pagi
kusempatkan belanja kebutuhan dapur. Sekedar membeli sayur, cabai, tomat, atau
ikan segar. Sejujurnya ada kesenangan tersendiri. Melihat aneka ragam barang
dagangan dengan harga yang beragam pula.
Di
pasar semua barang bisa ditawar. Dari sayur kangkung hingga celana kolor. Masalah
berhasil atau tidak, tergantung kesepakatan dengan penjualnya. Toh tidak ada
aturan khusus tawar menawar. Asal setuju sama setuju, deal. Nah, yang bikin agak mengganjal adalah ketika sudah menawar dengan
gigih, tapi tidak sedikit pun penjual mau menurunkan harga. Seperti tadi.
“Iyalah,
masa mahal begitu. Biasanya sama penjual yang lain juga bisa ditawar. Masa
kurangin harga dua ribu rupiah aja nggak mau.” omelku.
Suamiku
cuma tesenyum, “Kalau jadinya menggerutu kenapa dibeli? Cari saja penjual yang
lain, kan banyak.”
“Udah
telanjur nawar.” kilahku, “Kan lumayan kalau dapat kembalian barang dua ribu
tiga ribu. Bisa buat nambah bayar ojek.”
“Memang
belinya bukan di langganan?” Aku menggeleng.
“Itu
namanya rejeki, Dik. Rejeki kamu dapat ikan harga segitu. Rejeki juga buat penjual
ikan dapat uang segitu. Paling-paling untungnya juga nggak seberapa. Coba kamu
beli sendiri di tempat pelelangan ikan, Belinya harus banyak, modalnya juga
besar. Sudahlah, nggak usah galau lagi.” Dia mengacak pelan rambutku sambil
tertawa kecil.
“Yaah
deh. Nggak apa-apalah lah, itung-itung ngasih.” sahutku sekenanya
Suamiku
tertawa lagi. “Hush! Ngasih itu yang ikhlas, bukan terpaksa. Apalagi sambil
menggerutu. Lagian jual beli beda dong sama sumbang menyumbang.”
Aku
nyengir. Benar juga sih.
Besoknya,
terdorong rasa penasaran kucoba membeli lagi ikan di tempat kemarin. Mudah-mudahan
dikasih kortingan harga. Sebab kulihat ikan yang dijual nampak segar dan lebih beraneka
ragam dibandingkan penjual lainnya. Dan seperti kemarin, terjadi dialog yang
serupa tapi tak sama. Berulang dengan intonasi hampir sama. Juga mimik wajah
penjual yang masih belum berubah. Menurutku sih, tidak ramah. Kali ini dia
memakai baju warna coklat dan celana panjang hitam yang lusuh. Suaranya
memanggil-manggil orang yang lewat di depannya. Berharap ada yang berhenti
untuk membeli.
Aku
mendekat.
“Yang
ini berapa?” Aku menunjuk seonggok udang seukuran ibu jari.
“Dua
puluh ribu.”
“Nggak
kurang, nih?” tanyaku menawar. “Kasih kurang lah sedikit. Kan kemarin juga beli
disini.”
Aku
nyengir sendiri. Lagian, mana mungkin dia ingat, lha wong yang beli juga bukan cuma aku.
“Lima
belas ya.” tawarku.
“Wah,
nggak bisa. Modalnya saja segitu.” jawabnya. Wajahnya datar. Hampir tanpa
ekspresi. Terus terang aku tidak terlalu percaya dengan omongan penjual
“modalnya sekian”, “untungnya cuma sekian”. Siapa tahu dia berbohong.
“Tujuh
belas ya.”
“Nggak
bisa.” sahutnya cepat.
“Masa
nggak bisa. Besok-besok saya langganan deh beli di sini.” rayuku. Tidak tahu
kenapa, justru dengan sikap dinginnya, aku semakin penasaran untuk menawar.
Lagi dan lagi.
Sekali
ini, dia memandangku lebih dari biasanya.
“Kalau
delapan belas bisa. Ambil kalau mau.”
“Ah,
tujuh belas lah. Masa nggak bisa.” Aku masih ngotot untuk menawar.
Tanpa
menjawab, perempuan itu menatapku sesaat. Lalu mengambil kantong plastik dan mulai
membungkus udang yang kutawar.
Dia
menyodorkannya kepadaku.
Aku
tersenyum. Yessss, hatiku senang.
Lumayan lah, suatu kepuasan saat kita menawar dengan harga yang pas menurut
kita. Kuambil selembar duapuluh ribuan di dompet. Lalu mengulurkan kepadanya.
“Uang
pas?” tanyanya.
Aku
menengok isi dompet. Menggeleng. Ada sih sebenarnya, selembar dua ribuan. Tapi
kupikir daripada tidak ada uang receh, mendingan aku minta kembalian.
Penjual
itu beranjak sebentar, menukarkan uang ke penjual lainnya. Tanpa obrolan
berarti.
Tak
berapa lama dia kembali, menyodorkan tiga lembar uang seribuan
“Terima
kasih.” kataku. Mataku berbinar. Hhmmm, lumayan buat ongkos naik ojek.
Dia
tersenyum tipis. Hampir tidak kelihatan. Aku sempat heran. Ah, barangkali dia mau
bersikap ramah.
Aku
bertanya-tanya dalam hati kenapa dia bersikap begitu. Datar. Cuek. Dingin. Acuh
tak acuh. Agak jutek. Bahkan terkadang sikapnya agak kasar menurutku. Jangan-jangan
dia perempuan misterius? Perempuan yang tidak bahagia? Suaminya kemana?
Jangan-jangan korban KDRT? Ataukah janda? Atau justru perawan tua? Aduuh, kok malah
kepikiran kemana-mana.
Esoknya
lagi, aku kesiangan. Gara-gara malamnya kelamaaan online, habis subuh tidur lagi sebentar. Tapi kebablasan. Buru-buru
mengurus sarapan, ini itu, hingga hampir jam delapan baru berangkat ke pasar.
Pasar
masih ramai dengan lalu lalang orang. Juga ojek yang berderet-deret di dekat
pintu pasar. Aku berjalan menuju lorong penjual ikan. Mudah-mudahan masih
kebagian ikan segar. Tentunya dengan harga yang miring. Seperti ketagihan aku
menuju penjual yang kemarin. Berharap dia bersikap lebih ramah. Juga berharap
senyuman yang lebih lebar di bibirnya yang tanpa olesan lipstik itu.
Kecewa
aku tidak mendapatinya hari ini. Heran, kenapa aku merasa seperti kehilangan.
Kutanyakan
pada penjual di lapak sebelah kiri kanannya.
Ada
yang menggeleng. Ada yang bergumam tidak jelas. Memakai bahasa daerah yang
tidak kumengerti. Ada pula yang berbisik-bisik sambil mencuri pandang ke
arahku.
Intinya,
tidak ada jawaban yang kudapat.
“Nggak
beli ikan, Mas. Tahu tempe saja ya. “ kataku pada suamiku sore harinya.
“Kenapa?”
tanyanya. Matanya tak menoleh sedikitpun. Rupanya dia sibuk dengan koran harian
lokal yang dibacanya.
“Jadi
nggak minat beli ikan, Soalnya penjual yang kemarin nggak datang.”
“Lhooo,
kan masih banyak penjual yang lainnya. Kali aja dapat lebih murah.”
Didengar
dari nada suaranya sih, sedikit meledek.
“Nggak
gitu.” elakku. “Jadi penasaran aja. Kemarin dia ngasih senyuman. Dikit sihhh..
Biasanya kan cuek banget. Ampun dah. Hehehe kali aja, kalau saya sering-sering
beli di situ orangnya jadi ramah. Saya pun bisa kenalan sama dia. Terus terang,
jadi penasaran deh. Kok kayak misterius gitu.”
Suamiku
tertawa. “Penasaran sama orangnya atau tawar menawarnya?”
Aku
nyengir kuda. Entahlah. Tiba-tiba mimik muka suamiku nampak serius. Mendekatkan koran ke wajahnya.
Lalu membetulkan letak kacamatanya.
“Astaghfirullah!”
“Kenapa,
Mas?” tanyaku heran.
Kepalanya
menggeleng berkali-kali.
“Ini
lhoo, masa ada dua anak kecil yatim piatu ditelantarkan. Dikurung seharian di
kandang kambing gara-gara nggak ada orang di rumahnya. Nggak dikasih makan.
Sampai kelaparan. Katanya malah sampai belepotan kotoran mereka sendiri dan
kotoran kambing.“
Kaget.
Hari gini, masa masih ada yang begituan.
“Dimana
itu?”
“Di
daerah sini. Eh, malah nggak jauh kayaknya dari perumahan ini. Kampung sebelah
di seberang sungai dekat pasar.”
“Anak-anak
umur berapa itu? Nggak ada yang ngurus? Ih, tega amat ya.”
“Di bawah lima tahun semua. Kata koran ini sih
mereka tinggal cuma sama bibinya. Nggak ada yang lain. Kalau bibinya kerja, tuh
anak-anak dikurung begitu saja. Ckckck, beginilah sebagian potret masyarakat miskin.
Saking miskinnya sampai dia juga miskin pikiran dan ide gimana cara ngurus
anak. Heran juga kok tetangganya baru tahu setelah berbulan-bulan.”
“Mana?”
Aku meraih koran. Penasaran ingin baca beritanya sendiri.
Mataku
terbelalak melihat foto yang terpampang di situ. Seorang perempuan tertunduk
digandeng polisi berseragam. Wajahnya begitu kukenal. Ya, itulah perempuan yang
berjualan ikan di pasar, yang selalu berwajah dingin dan bersikap acuh tak acuh.
Perempuan yang memberi senyum tipis setelah ikannya berhasil kutawar tiga ribu
rupiah lebih murah. Perempuan yang setengah kupaksa memberi kembalian sebesar
tiga ribu rupiah. Hanya karena keinginanku untuk menghemat ongkos bayar ojek. Atau
karena kepuasan tawar menawar. Atau menuntaskan rasa penasaran pada sikap acuh
tak acuhnya. Entahlah.
Tiba-tiba aku merasa kerdil. Hatiku menciut. Terbersit
rasa bersalah yang tak kuasa kukatakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar