Jumat, 14 Agustus 2015

Masih Tentang Ibu erte


Seringkali dalam hidup kita dihadapkan pada beberapa pilihan. Demikian pula saya, eh kamu juga kan?

Dan terkadang pilihan yang kita ambil, dengan sukarela ataupun terpaksa, kita sungguh berharap orang lain tidak mencerca atau membanding-bandingkan dengan pilihan yang diambil orang lain. Sakit tau, ...dan sakitnya itu di sini!

Lagian buat apa dibanding-bandingkan? Buat apa diperdebatkan panjang kali lebar? Buat apa ngotot adu komen? Buat apa nyinyir-nyinyiran? Tentang ibu bekerja vs ibu nggak bekerja alias yang di rumah saja?! Toh itu kurang lebih hanyalah label, bukan esensi. Menjadi ibu dan istri yang baik bukan cuman dilabelin kita kerja di luar atau di rumah saja. Bukan sekedar kita pake blazer atau daster. Bukan sekedar kita dandan cantik atau bau asep dapur. Bukan sekedar kita rajin update status atau beresin cucian.

 Menjadi wanita karir, bekerja di luar rumah, tentu saja banyak hal yang jadi pertimbangan. Banyak hal yang harus dipikirkan dan dikelola sedemikan rupa. Ah, terus terang saya nggak tau persis gimana rasanya...paling-paling saya mengamati, mengobrol dengan teman yang berkarir. Bahkan lucunya kadang-kadang ada yang kepengen dengan pilihan saya, menjadi ibu erte tanpa karir. Hihihihi mereka nggak tau bahkan kadang-kadang terbersit di benak saya keinginan untuk menjadi wanita karir. *sigh*

Ah lagi-lagi hidup kita masing-masing punya cerita, punya jalannya sendiri. Seringkali tak semudah klik-ketemuan-deal. *eaaaa*

Entahlah dari awal saya menikah, bahkan saya sudah membulatkan tekad untuk berhenti bekerja demi mengikuti suami yang merantau di luar Jawa. Bulan-bulan pertama yang tidak mudah, menyesuaikan ritme hidup. Mengkondisikan hati menghadapi semua pertanyaan. Menahan perasaan memandangi ijazah yang nganggur. *halaaahh*

Seiring waktu, saya pun menyadari bahwa tidak mudah hidup tanpa karir. Saya mencoba kerja part time saat anak pertama umur kira-kira 1,5 tahun. Masalah selesai? Oh tidak, justru muncul lagi masalah yang harus kami selesaikan, terutama me-manage energi dan waktu supaya kerjaan dan urusan rumahan tetep berjalan sinkron. Berkonsolidasi dengan suami demi terciptanya stabilitas rumah tangga yang dinamis dan berkesinambungan.

Menjadi ibu erte yang agak susah adalah mengatasi kejenuhan, mengatasi gejolak batin karena penilaian orang. Sedikit minder karena nggak punya penghasilan dan karir sendiri. *curcol* Hihihihi ya gak apa-apalah.

Lagi pula seingat saya, kebanyakan teman saya juga nggak memandang sebelah mata dengan profesi saya ahihihihi.
Dan saya juga berusaha menghindari perdebatan. Ibu saya pun wanita berkarir dulunya, ibu mertua juga berkarir. Pilihan boleh beda kan?

Coba bayangkan jika emak-emak nggak ada yang berkarir, trus kita kan butuh tenaga pendidik perempuan, tenaga kesehatan perempuan, pejabat publik perempun, dan sektor-sektor pekerjaan lainnya. Lagipula kalo wanita dilarang berkarir trus sapa yang menjabat menteri pemberdayaan perempuan? Bapak-bapak gitu....widiiwww?!

Seandainya emak-emak nggak ada yang memilih jadi ibu erte tanpa karir, bisakah? Ntar nggak ada yang siang-siang ngasuh anak di halaman rame-rame dengan sesama ibu-ibu di lingkungan tetangga. Dan nggak ada yang meramaikan pesbuk dengan status, "Lagi jemur pakaian..", "Shopping ah, masa seharian di rumah aje", "Nunggu suami gajian."

Daan yang paling penting adalah nggak bakal ada yang meramaikan jagad arisan. Hihihi emak-emak tanpa arisan bagai taman tanpa bunga. *lebayyy*

Ya sudahlah. Dunia ini banyak warna kawan. Jangan dipaksakan menjadi satu warna saja, bukankah pelangi itu indah? Saling menghargai dan berbuat hal baik dan bermanfaat sungguh lebih baik daripada sibuk menilai orang.

Tidak ada komentar: