Senin, 25 April 2016

Ngomongin Soal Kasihan

Suatu hari, rumah saya kedatangan seorang laki-laki tua penjual kain sarung. Saya kaget tetiba dia sudah masuk ke beranda dengan membuka pintu sendiri. Jelas saya kaget
 Apalagi di rumah cuman saya bersama anak-anak. Saya tanya baik-baik maksudnya datang. Berkali-kali dia bilang bahwa dia Muslim, dia orang baik, dan saya tak perlu takut. Berkali-kali pula dia membaca syahadat di depan saya. Lalu dia ulang-ulang lagi bahwa dia orang Muslim, dan orang baik, jadi saya nggak perlu takut. Gimana saya nggak malah takut coba? Logatnya kental orang Sulawesi. Untung masih bisa saya mengerti. Ceritanya dia jualan sarung dari Sengkang (sebuah Kabupaten di wilayah Sulsel yang terkenal dengan sarung tenun sutera). Dia bilang asli kain Sengkang.
"Kasiang mi nak, belumpi ada yang beli ini sarungku." Kodooong...

Mulailah saya bertanya-tanya tentang dagangannya meskipun saya nggak yakin akan keasliannya. Berkali-kali dia berusaha meyakinkan kalau kain yang dijual berkualitas bagus.
"Tadi di rumah sana, ada bapak-bapak dari Malaysia dia beli dua potong." Lhoo..nabilang belumpi ada yang laku satu pun. Piye iki.

Berkali-kali dia agak memaksa supaya saya membeli dagangannya. "Ndak kasiang ko sama saya?" Wadooohh..

Harga yang dia tawarkan ratusan ribu, dan jujur aja untuk kain begitu rasanya di pasaran dihargai nggak sampe 50 ribu.

Dia mengklaim semua asli buatan Sengkang, tapi saya lihat ada sarung batik made in Pekalongan, dan sarung cap gajah cabe made in Bandung. Harganya 100 - 200 rb. Walaahh...sarung tjap gadjah sit down aja nggak segitunya, lah ini gajah cabe-cabean mihil amat.

Saya masih berminat membeli. Karena kasihan.
Uang di tangan tinggal selembar seratus ribuan, rencananya mau buat beli minyak goreng karena di dapur blas ketipas habis.
Saya pilih barang termurah yang dia tawarkan lalu menawar 50 ribu. Lalu kakek itu menolaknya, lalu menceramahi saya bla bla blaa. Dibilang lah saya nggak kasian dan lain-lain. Agak miris saya dengarnya. Saya mulai merasa tidak nyaman...dan aman.

Saya naikkan tawaran. Tetap saja dia bilang rugi, dan saya nggak kasihan bla bla bla. Nada bicaranya pun semakin meninggi, dan diulang-ulang.
Habis sudah kesabaran saya.
"Ya sudah, Pak. Ndak jadimi saya beli."
"Begini saja, kasihka uangmu itu. Koambil mi satu kain yang kausuka."

Pyaarrr...emosi saya memuncak. Saya rapikan beberapa barang yang sebelumnya saya lihat-lihat.

Tetiba dia bilang, "Ambe mi harga segitu. Rugika sebenarnya tapi ambe' mi."

"Nggak usah, Pak. Saya kalau jual belinya maunya sama-sama ikhlas. Kalau rugi, mendingan ndak usah kasihka."
Entah kekuatan apa yang membuat saya berani berkata begitu sambil mempersilakan dia pergi.

"Maaf, Pak. Saya tersinggung. Mungkin rejeki ta' bukan dari saya yang beli. Mudah-mudahan lancar rejeki."

Lalu saya terpaku di pintu memandangnya pergi dari rumah.
Segala macam perasaan bercampur aduk. Gemetar, jengkel, merasa bersalah dan lain-lain.
Saya sadar, kadang susah menjadi orang baik.

Ngomongin soal kasihan memang ibarat pisau bermata dua. Ngerti nggak ngerti pokoknya kayak gitu deh.

Minggu, 24 April 2016

Berbagi Tips Mengasuh Anak

Ini bab lanjutan dari status sebelumnya. Bukan tentang merantau, tapi hal lain yaitu sedikit tips pengasuhan anak. Terus terang sebenarnya saya nggak pede untuk memberikan nasehat atau tips pengasuhan anak. Topik yang berat melebihi berat badan saya *eh. Lha piye jal, saya ini emak yang masih belajar dan masih jauh dari kesempurnaan dalam mendidik anak. Saya pun masih belajar. Kadang keponthal ponthal. Kadang jatuh bangun. Kadang emosional...eh kalau yang ini sering ding. Hihihi..
Waduh, jadi saat kawan saya nanya tentang pengalaman ngasuh anak lelaki kecil yang seringkali menguras emosi, saya merasa nganu. Pokoe nganu.

Begini saudara penelepon...ehh..
Intinya sih, sebagai orang tua kita harus banyak belajar. Karena saya bukan penganut teori parenting tertentu, makan saya katakan ini hanya sekedar sharing pengalaman.
Anak butuh ruang untuk berkreasi dan menyalurkan energi. Saya membiasakan anak untuk memiliki waktu bermain di luar rumah. Entah berlari, berolah raga, main tanah, main dedaunan, atau sekedar jalan.
Yaa..jangan sampai kecapekan sih, karena memicu tantrum.
Tips-tips sejenis masih buanyaaakk...tergantung kreatifitas, situasi, kondisi masing-masing ortu dan anak.

Yang paling penting, tetaplah setrong, jaga semangat jangan sampai pudar. Saya nggak sepenuhnya setuju dengan anggapan 'mengko gede lak meneng dewe (ntar besar diam sendiri)'. Bagi saya, tetap ada usaha untuk membentuk sikap, karakter, dan kebiasaan baik sedari kecil.

Penting untuk mengubah sudut pandang kita sebagai ortu. Saat orang lain memandang anak balita kita 'nakal' dsb, mungkin kita hanya perlu sedikit menelusuri apa yang tidak bisa dilihat mereka. Mungkin anak itu sebenarnya kurang pede. Atau justru pemalu. Atau minta perhatian. Atau sebab lain.

Jangan ditanya deh, sekian waktu saya pernah bergelut dengan emosi dan pikiran, gegara hal beginian. Iyalah, kita tidak bisa mengendalikan pikiran, perkataan, dan anggapan orang. Tapi it's oke wae, meski minim dukungan kita tetap harus berjuang kan?
Nanggapin komentar dan anggapan yang negatif tidak konstruktif itu justru tidak memihak kepentingan anak, meskipun sepertinya iya. Tidak semua komentar menunjukkan kepedulian. Kasihan lho...udah dimarahi yang lain, masih harus nerima kemarahan dari ortunya. Orang tua itu yang paling mengenal anak, bukan yang lain. Menerima apa adanya diri anak dengan segala kelebihan dan kekurangannya adalah jurus awal untuk menerapkan jurus selanjutnya.
Gitu, Mak.

Eh, sebenarnya saya nih kurang cocok dijadikan tempat konsultasi beginian. Cocoknya sih konsultasi masakan. Situ yang buat, saya yang komentar.
Trus untuk yang nelpon saya waktu itu, mbok sekali-kali nanyain resep makanan gitu.

Hikmah Merantau

Saya mau cerita, rada panjang sih. Beberapa hari lalu kawan lama saya menelepon. Nggak kaget juga seh dia nelpon, lha wong saya udah hapal bahwasanya saat dia beli paketan nelpon dan kuota yang tersisa sayang untuk dilewatkan begitu saja, lalu dia akan menelepon saya. Hahaha.. Ngobrol ngalor ngidul entah mbahas apaan. Lupakan saat kami asik ngobrol lalu terdengar suaranya, "Ada makanan apa, Bu? Oh ya, saya pesen satu porsi yang itu. Trus es jeruk manis satu."
Hahaha teganya kau, Mak.

Ada dua poin pembicaraan yang saya ingin tulis di status. Yang nelpon saya tuh juga sama-sama merantau jauh, bedanya dia wanita karir, saya ndak. Hahaha udah nggak usah mbahas karir vs rumahan yaaaa bo ebo, kita bahas bab yg lain saja.

Pertama adalah bab merantau.
Suerrr, merantau itu tidak mudah. Banyak hal harus dikompromikan dengan hati, pikiran, dan mental yang kuat. Dulu waktu masih kecil,  saya sering takjub melihat orang-orang yang lagi mudik dari rantaunya. Banyakan sih dari Jakarta, katanya. Entah Jakarta mana, karena belakangan saya tahu bahkan Citeureup pun mereka bilang Jakarta. Mereka para pemudik itu berpenampilan layaknya orang-orang sukses dan lebih wah dari orang kampung. Bahkan seringkali logat elu-gue, ngapain, dll ikut meramaikan khasanah obrolan kampung.
Ketakjuban saya itu perlahan bergeser setelah saya mulai merantau untuk kuliah di Kota Bogor. Ketakjuban dari melihat hal-hal yang duniawi eh ..yang nampak, menjadi ketakjuban akan pengorbanan dan kerja keras.  Juga ketakjuban akan keberanian berkorban demi tampil layak di acara mudik tahunan di kampung halaman. Yup, citra sebagai orang sukses masih dipandang dari tampilan luar. Elu punya mobil mahal, meski kreditan, citra sukses akan merangkak naik. Elu punya ini punya itu.  Setidaknya di mata sebagian orang, tampak berjaye. Iya nggak sih. Eh tapi kalau untuk yang tingkat maqamnya dah tinggian ya ndak gitu kaleuss...hihihi. Segala sesuatu ukurannya bukan duniawi tok. Duniawi itu urusan ke sekian sekian. Mungkin lho yaa..

Bertahun-tahun merantau, awalnya saya sering mendengar komentar orang begini. "Elu ngapain di sana?" 'Emang enak di sana?" "Kok jauh gitu?" "Bukannya enak di sini, dekat orang tua. Apa-apa gampang."

Ya..yaaa..yaa..nggak ada habisnya dengerin semua komentar orang. Hingha waktu berlalu. Komentar orang berhenti begitu saja? Ya nggak lah. Kita nggak bisa mengendalikan omongan dan sikap orang lain. Kalau mengendalikan api dan air sih...saya juga ndak bisa. Hahaha..

"Wah enak yaa punya ini punya itu."
"Enak dong, orang tua pensiun anaknya udah sukses semua."

Ya..yaa...yaaa... Orang lain itu nggak tahu dan mungkin nggak mau tahu, bagaimana perjuangan orang merantau. Bagaimana suka dukanya. Bagaimana  merintis hidup dari nol. Hei, di perantauan orang nggak peduli keluarga besarmu yang turun temurun menjadi bangsawan di kampung. Orang nggak peduli kakek buyutmu tuan tanah. Orang nggak tahu mobil berjejer di garasi orang tuamu sementara hanya motor butut kaupakai sehari hari, dan kau nampak kere. Itu kerasnya kehidupan dirasa betul saat merantau. Anak balitamu yang sedikit nakal dan dengan santainya orang-orang memakimu, satu hal yang tak akan kau alami di kampung halaman di tengah orang-orang yang menghormati tetuamu. Orang juga nggak peduli seberapa hebatnya dirimu di kampung halaman. Seberapa terkenalnya kamu di jaman sekolah.  Dan .... nepotisme? Lupakan.

Ngomongin masalah merantau banyak kok hal dan hil yang bisa dipetik hikmahnya. Saya melahirkan ketiga anak saya tanpa didampingi orang tua. Hikmahnya, kami justru belajar lebih keras untuk jadi orang tua yang baik. Dan sebagai pelajaran awal adalah berdamai dengan kerepotan dan kebodohan dalam rangka mengurus bayi mungil pertama.
Dan begitulah.
Terkadang orang lain akan gampang sekali berkomentar, dan itulah haknya. Sementara hak kita adalah keep on going and moving. Kerja...kerja..kerja...dan gajian.
#eh

Ini Tentang..Nganu

Pagi ini sebelum beres-beres rumah, saya sempatkan 'mengobrol' dengan kawan saya via inbox. Saya bocorkan beberapa akun yang saya follow. Penting banget? Nggak juga, toh obrolan kami juga nggak penting-penting amat tapi cukup bermakna. Hahaha..
Saya jadi ingat, dulu..jaman pilkada Jawa Tengah yang akhirnya Pak Ganjar yang terpilih itu, salah satu temen saya nulis status di pesbuk tentang kegalauannya milih siapa. Saya, yang merasa akrab dengan pemilik status pun kasih komen sekenanya, "Ra sah milih wae." E..lhadalaahh ada orang lain yang nyamber komen saya, dulu sih pernah kenal sama yang bersangkutan. Ujung-ujungnya dia bilang, "Makanya ngaji lagi biar paham."
 Tetiba saya merasa nganu. Jujur saya kasihan dengan komen seperti itu. Kasihan. Saya stalking pesbuknya, karena ybs tidak berteman di pesbuk saya. Setelah membaca beberapa postingan saya pun maklum. Ah, masih untung saya nggak dikatai tapir, paprika, atau agen minyak gosok.

Banyak topik pembicaraan berseliweran di jagat sosial media. Silih berganti, tak henti henti. Kalau kita nggak punya filter atas apa yang kita posting maka akan nampaklah kekonyolan kita. Tapi nggak juga sih, tergantung yang baca juga. Hoax dibaca dengan khusyuk oleh penggemar fakta palsu, dan dipuja puji dengan sepenuh hati. Fakta dan data pun kadang diterima dengan kebencian hati. Suka-suka lah. Hahaha... Postingan apa saja bisa bermakna lain bagi pembaca. Yah, kadang posting apaan juga dikira pamer kan?

Nggak heran lagi lah, di sosial media kayak gini orang-orang bebas mengutarakan pendapat dan bebas berkomentar. Saya juga. Weekkk...
Cuman kadang ya, sebagian orang itu nggak tahu atau lupa bahwasanya tulisan itu harusnya dilawan dengan tulisan. Argumen vs argumen. Data vs hoax...eh ya data juga kaleuuss. Pengalaman vs pengalaman. Ilmu vs ilmu. Jangan sampailah argument vs kritikan personal. Nggak banget.  Misalnya gini, situ nggak suka opini saya tentang kenapa pertolo itu enak. Ya situ harusnya cari tau dulu pertolo itu kayak apa, rasanya gimana, enak apa enggak. Jangan sampai tiba-tiba situ bilang, "Lo belagu banget sih mak, gara-gara pertolo aja."
Atau, "Inilah ciri orang sombong, pertolo aja dibangga-banggain."
Atau, "Akidahmu dipertanyakan mak, percaya pada pertolo."
Wahahaha..
Sampeyan-sampeyan jangan terlalu serius bacanya ah...
Berteman dengan saya nggak ada syarat untuk menyetujui semua pendapat saya kok. Sah sah aja. Yang penting kita hidup rukun damai dalam keberagaman.
Iya nggak? Iya dooong ah.

Fenomena Sein-Kiri-Belok-Kanan

Akhirnya...
Saya jadi paham dan mengerti betul, atas kekhawatiran banyak orang terhadap fenomena emak-emak-bawa-motor metik-sein ke kiri-tapi belok ke kanan itu.
Ya..nggak cuman motor matic aja seh, motor manual juga, mobil, pokoknya kendaraan bermotor lah. Emak-emak, bapak-bapak...dan bahkan anak-anak. #duh, kenapa seh anak-anak pada dibolehin keluyuran di jalan raya naik motor?!
Nah, tadi di pertigaan kami hendak belok ke kanan. Saat kami hendak berhenti dulu,  untuk sekedar memberi prioritas jalan, di arah kiri ada mobil beberapa meter dari pertigaan. Lampu seinnya menyala kanan. Karena posisi kami duluan dan tanggung, jadi kami langsung belok ke kanan.

 Wheladaalaahh...ternyata tuh mobil kijang nggak ke kanan. Tapi lurus.  Jadinya kami sama-sama ke arah yang sama. Untung masih berjarak. Sopirnya membuka kaca jendela sambil berteriak menegur kami. Klaksonnya berbunyi kencang.
Emak-emak lagi. Hadduuhh...udah salah, masih marah-marah pula.

Jadi mikir gini,
Saya kan emak-emak nih. Biasa bawa motor meski bukan matic. Kadang nyetir juga. Jadi kalau nyetir atau bawa motor harus hati-hati. Peduli keselamatan diri sendiri dan orang lain. Patuhi rambu-rambu. Jaga level kewaspadaan dan kesabaran. Gara-gara lampu sein bisa membahayakan banyak orang.

Itu, Mak.

Dilema Grup WA

Saya itu termasuk yang lambat punya WA alias whatsapp. Lha piye, dulu masih betah pake hape jadul. Eh, pas punya WA juga masih mikir-mikir..sesiapa saja yang bisa diajak chat. Hahaha rempong bener daah. Padahal sebetulnya yang bikin rempong itu grup kan ya? Ngaku lo pada! :p
Saya sih cari aman seaman-amannya, sekarang gabung cuman dua grup. Satu grup emak-emak tetangga perumahan, khusus untuk apdet info pertetanggaan dan pergaulan emak-emak. Satu lagi, grup keluarga simbok-bapak dan anak-mantunya. Biar kekinian lah hihihi. So far, it's okeeee...

Dan hidup itu rasanya lebih damai setelah exit dari grup-grup WA kawan-kawan lama. Awalnya sih ya nggak enak, nyelonong keluar grup begitu aja. Lha piye jal? Kalau di pesbuk, saya bisa milih-milih apa yang bisa saya baca dan saya lihat. Kalau WA? You know laaahh...
Apalagi kalau nyerempet2 politik die hard, Jokowi, Ahok, dan lain-lainnya...ditambah bumbu-bumbu yang rada nganu, alamaaakk mendadak ngelu pala bebeb.  Hahaha..awalnya yang terkesan cool dan keren bisa silaturahmi lagi, eh ..lha kok nganu. Nganu...apa ya, pokoknya nganu deh.
Maap ya, buat kawan-kawan yang pernah masukin saya ke grup, dan saya keluar begitu saja..Bukannya nggak mau berhubung silaturahmi, tapi saya cuman kasihan pada diri sendiri. Hahaha nggak kuat jaga hati dan pikiran je. Saya kan nganu orangnya.

Nah, buat para pemirsa yang selama ini tertekan akibat kebanyakan masuk grup WA, saya sarankan pilah pilihlah grup WA Anda. Apabila ada gejala nggak enak body, sakit mata, sakit hati, sakit berlanjut...kuatkan jari Anda untuk menekan pilihan 'exit group'. Niscaya Anda lebih tenang, hidup lebih damai. Nggak terlalu ngeksis nggak masalah. Daripada ngeksis tapi beban bertambah.
Iya nggak? Iya dooongg...
Betul nggak? Betul dooong..
Mekso nggak? Nggak doong...

*renungan di bawah pohon kersen
*tak ada yang kutandai, so no bully ya. Kalau bolu, silakan..

Konversi dari Celcius ke Fahreinhet

Saya masih awam dalam dunia perkuehan. Setiap kali eksekusi resep, saya pun masih kebingungan dalam hal panggang-memanggang. Apalagi oven yang tersedia memakai pengatur suhu dalam satuan Fahrenheit. Sedangkan resep yang saya baca hampir semua menggunakan satuan Celcius. Perasaan jaman dulu pernah belajar konversi suhu. Celcius, Fahrenheit, Reamur, Kelvin..hla kok lali kabeh.
Dan setiap kali eksekusi resep baru, saya pun sibuk nyari-nyari hape.
Mau nanya mbah gugel perihal konversi suhu ini. Hari ini entah kenapa saya kepikiran men-screenshoot-nya, lalu men-share di pesbuk.
Udah itu aja. Mau ngasih tahu konversi suhu yang terlupa, segini amat panjang lebar prolognya.

Krusekan yang Berbeda

Di belakang rumah ada sepetak 'hutan'. Sebenarnya bukan hutan sih, tapi rerimbunan pohon dan semak belukar. Bagian ini memisahkan rumah kami dengan rumah-rumah di belakang. Jadi ya, mungkin dulu pernah hanya serupa kebun. Berhubung dibiarkan lama kelamaan ya jadi hutan. Balik lagi ke awalnya, ya memang dulunya di sini adalah area hutan sekitaran Danau.
Pohon yang saya tahu di antaranya nangka, petai mlanding, dengen (Dillenia serrata), dan pohon-pohon khas hutan lainnya.
Di pagi hari, suara aneka macam burung riuh dari pepohonan situ. Di siang hari ditambah suara burung elang yang terbang di atasnya. Suara krusek-krusek  juga sering terdengar. Semakin lama tinggal di sini, suara krusek krusek pun bisa saya bedakan dengan mengandalkan insting dan tebakan. Babi hutan jelas menimbulkan suara krusek krusek yang berbeda dengan sapi. Biawak juga beda. Nah, beda juga dengan kawanan monyet hitam.
Pernah di siang hari pas saya lagi di halaman tiba-tiba muncul suara krusek krusek yang tidak biasa. Bukan babi hutan. Bukan sapi. Bukan biawak. Bukan pula monyet. Saya langsung waspada. Naluri pertahanan saya langsung siaga saat saya menduga itu adalah suara jejak kaki orang yang setengah berlari. Menunggu sekian detik, ternyata benar. Ada orang keluar dari 'hutan' itu dengan lagak yang mencurigakan. Saya langsung masuk rumah, mengamati dari teras. Dan, akhirnya saya terpaksa menelepon sekuriti karena kecurigaan yang bertambah. Lagian ngapain sih orang tiba-tiba muncul dari hutan, padahal ada banyak jalanan. Sembunyi? Merencanakan sesuatu? Doing something against the law? *halaahh"* Nah, krusekan jenis manusia ini yang justru lebih harus diwaspadai daripada krusekan jenis lain,  monyet misalnya.

Monyet. Sejak musim nangka dan menjelang musim mangga, saya harus mewaspadai krusekan jenis ini. Tidak lain dan tidak bukan karena ..yaahh tahu sendiri lah. Krusekan tanpa suara pun nyaris saya hafal. Jejak langkah yang ringan. Lalu bertambah jejaknya karena mereka kawanan. Suara daun yang gemerisik karena pohon yang dipanjat. Ah sudahlah nyet, kau mengendap-ngendap pun aku tahu. Silakan saja kau ambil buah sesukamu, tapi ingat..jangan kau kasih habis. Kasiang kodong, kita orang mau makan juga.

Cenat Cenut

Saat untuku lara, lalu mbukak pesbuk, wasap, portal berita, dan semacamnya mesthi untuku makin senat senut. Ngrasakke hawa politik Negoro, njuk berita hot terpanas umub cetar membahana. Bar kui moco status dan komentar beraroma sisa-sisa kekalahan pilpres calon idaman. Duh, tambah senut senut rasane. Tapi yakin tenan aku, sing marai senut senut kui tidak lain dan tidak bukan adalah permasalahan internal untuku. Sing rada sowak dan kudu dipermak. Sing salah dudu kamu, Negoro, atau Pak Jokowi #eh.

Wektu ning ngarep dokter gigi, untuku sing lara diuthik-uthik mbuh dikapakke, rasane kok malah kepenak. Dibor, disemprot, disedot, mbuh dikapakke maneh. Mung trimo angger mangap.
Bar yo rada kepenak. Senut senute ilang. Minimal rasa ngelih bisa dituntaskan dengan mangan. Lha yo penak to?

Hambok kaliyan sing suka nyetatus dan komen gitu gitu deh barangkali nyimpen senut senut ning ati amergo perkara sirik lan gething. Monggo gek ndang ditambakke. Eh mbok menowo..ncen ono sing kudu disikat, dibor, disemprot, pokokmen diresiki. Mbok menowo lho yooo...dadi jalaran ilang sakabehing sing marai senut senut.
Sekali lagi, mbok menowo lho yo..sing mesthi kui reminder kanggo  aku juga.

Curcol Seorang Follower (3)

Kemaren nahan nyetatus untuk sebuah gosip poliklitik yang anget cenderung panas. Well, saya lihat dan baca timeline pesbuk saya juga belum nganu..maksudnya I know lah sesiapa saja yang akan mengeluarkan statement-statement politiknya. Masih adem adem.
Daaaan di hari ini taraaa saya menjumpai banyak sekali status yang halus, tapi kuat berhembus.
Kawan, saya cuman mau bilang...ternyata pesbuk saya msh berimbang. Ketika banyak frenlist saya penggembira dari side A, maka jebulnya saya follower setia akun-akun penggembira side B.
Dan pesbuk terasa lebih menyenangkan. Gayeng. Seret seret kemriuk.
Dunia berasa lebih luas.
Pikiran berasa lebih liberal...eh bebas. Hihihi..
Informasi lebih banyak dan berimbang. Meski too much information will kill you, but pinter-pinternya kita dong buat milah dan milihnya. Jadi gak kebanyakan dan gak terlalu sedikit. Iya kan iya doong?

Curcol Seorang Follower (2)

Ini salah satu alasan saya mem-follow akun-akun yang mungkin sebagian orang menilainya sbg akun-akun pengusung liberal, kekiri-kirian, dan sejenisnya. Itu pendapat dan judgement dari mereka, padahal yo biasa wae. Ambil yang baik buang yang buruk toh? Kebenaran bukan monopoli sekelompok orang saja. Dengan keberagaman, justru saya banyak mendapatkan pencerahan dan pandangan suatu hal dari berbagai sudut pandang. Ini lebih fair dan baik buat kesehatan jiwa kayaknya. Di tengah gempuran status plus komentar di pesbuk saya, saya perlu menjaga otak tetap waras. Pesbukan tetap nyaman.

Jaman pilpres kemaren tuh, rasanya jengah banget ya...setiap buka pesbuk kok isinya ....hampir semua menyebalkan. Dan tau nggak yang paling menyebalkan adalah isu agama digoreng sedemikian rupa hanya demi politik dan sebangsanya.
Sorry to say, unfollow masih jadi pilihan saya. Situ mau cenderung ke kelompok mana, partai mana nggak masalah buat saya. Kita boleh berbeda sikap dan pandangan, tapi plis deh rada pinteran dikit. Rada melek dikit, karena kebanyakan merem nggak ada bedanya sama tidur.
Jadi maap ya, kalau ada yang share berita plus bumbu rada nganu, saya akan mengeluarkan jurus tendangan tanpa bayangan...yaitu njempoli atau share status tandingannya. Itung-itung pencerahan buat kita. Biar kinclong gitu.

Nah sebaliknya, barangsiapa yang terganggu dengan segala postingan saya sebaiknya unfollow saja..daripada nganu. Soalnya saya kalo lagi nganu, nganu banget. Nggak bisa dianu, apalagi kalo situ pada nganu.
Nganu!!

Curcol Seorang Follower (1)

Kita ini nggak perlu lah berbangga hati bisa berteman atau follow atau bahkan ngefans sesuakun/seseorang/sekelompok orang. Juga sebaliknya nggak perlu juga kaleeuss pengumuman nggak berteman/follow/ngefans orang-orang tsb, lalu nyinyirin ke orang-orang yang bersikap sebaliknya.
Biasa aja.
Belum tentu yang kita follow itu mengandung kebaikan dan kebenaran 100 persen. Ambil yang baik, buang yang buruk. Eh, ini bukan teori nyolong sandal jepit ya? Hahaha.

Seringkali kita ngefans seseorang atau follow sesuakun itu hanya karena cenderung pada beberapa pendapatnya saja, tidak semuanya. Bahkan ada yang sengaja follow hanya untuk mencari celahnya saja*tipe hater ini mah.

Kalau mau disurvey, berapa persen seh akun-akun pertemanan di pesbuk yang bener-bener teman kita? Yang bener-bener memfollow setiap postingan kita? Apakah semuanya ngefans atau menjempoli kita?

Ah, belum tentu juga yang ngefans sama kita, seratus persen suka dan bangga sama kita.

Eh, kita? Elu kali...

Kegembiraan di Atas Komidi Putar

Ini Sorowako, dan pasar malam yang digelar di lapangan selalu ramai pengunjung. Kecuali pas hujan tentunya. Kalau lagi ramai-ramainya yaa rame banget. Lapangan parkir segitu luasnya penuh kendaraan. Bahkan jalanan sekitarnya padat merayap.
Pasar malam mengingatkan jaman saya kecil. Iya, persis. Komidi putar, ombak banyu, kereta gantung, perahu yang goyang-goyang, tong setan, dan...jajanan plus bazaar barang segala macam.
Di setiap event pasar malam yang digelar, biasanya kami turut serta meramaikan. Sebagai pengunjung tentunya. Lumayan lah, cuci cuci mata dan menikmati keramaian. Sesekali naik wahana. Pakai istilah agak kerenan dikit lah, wahana.

 Malam ini nyobain wahana komidi putar. Karcisnya sepuluh ribuan. Anak tiga, jadi tiga puluh rebu.
Anak terkecil duduk di mobil-mobilan sambil pegang setir-setiran didampingi kakaknya. Sumringah wajahnya. Sementara kakaknya juga sumringah, bertanggung jawab, dan bersikap  momong. Di belakangnya, anak lanang naik kuda-kudaan. Ekspresinya datar, cenderung ngantuk, dan kadang seperti menerawang. Entah dia menikmati putaran komidi putar atau justru terninabobokkan.  Atau malahan kurang nyaman dengan situasi panggung komidi putar yang riuh dikelilingi penonton.
Komidi putar terus berputar sesuai dengan porosnya. Tapi ya di situ-situ saja.  Anak-anak gembira. Orang-orang dewasa di sekitarnya pun gembira sambil dadah-dadah memanggil nama anaknya.
Saya pun begitu. Entah berapa kali saya dadah-dadah, setiap putaran barangkali. Dadah lagi...dadah lagi. Yah, kita harus sadar bahwa kadangkala sedikit kekonyolan akan menambah kegembiraan.

Mau Disetrika

Kadangkala saat mengerjakan perkerjaan rumah, saya minta sedikit bantuan dari anak-anak. Anak-anak saya tentunya, bukan anaknya tetangga. Selain untuk melatih ketrampilan dan kepekaan membantu orang tua, tentunya meringankan pekerjaan saya. Memang sih ya, rumah tanpa asisten rumah tangga itu memunculkan kreativitas dan sisi lain yang bisa diambil hikmahnya. #uhuk.
Seperti saat setrikaan menumpuk, supaya suasananya syahdu saya pun menyetrika di depan tipi sambil nonton sinetron.
"Tolong ambilkan baju yang mau disetrika dong, Kak. Di kamar belakang." Pinta saya.

Dia menanggapi dengan antusias, "Iya."

"Oya, tolong bajunya ditanya dulu, mau disetrika atau enggak. Kalau mau bawa ke sini. Kalau enggak biarin aja." Sebuah instruksi butuh penjelasan, seperti ayat-ayat dalam undang-undang yang butuh penjabaran.

Anak saya memasang wajah terpolosnya, lalu ngakak berhahahahaha.

Trus salah saya di mana coba?
Saya kan cuman nyoba bersikap demokratis ala emak emak yang kekinian.

Hujan versus Jalanan

Dua tahun lebih saya tinggal di Luwu Timur, propinsi Sulawesi Selatan. Menengok KTP di dompet, saya tercacat sebagai penduduk Sukabumi, propinsi Jawa Barat.

Sebagai bentuk seupil kepedulian seringkali saat musim hujan seperti ini selalu saya tanyakan ke mamah mertua saat acara telpon-telponan. 'Kumaha, jalanan ka kota teh alus keneh?' Maksudnya dari rumah di Jampangkulon menuju kota Sukabumi, yang berjarak kurang lebih 90 km, dengan kondisi sebagian besar berupa jalan berkelok-kelok kanan kiri tebing.

Duluuuu pernah ngrasain jalanan itu yang goreng pisan meuni butut, sampai frustasi pala bebeb. Pernah juga, mendapati sebagian jalanan yang bagus setelah dibangun. Senang bingittt..tapi yaaa..gitu deh. Musiman. Iya, musiman. Abis bagus, kena hujan...hancur lagi.

Pertanyaan berikutnya, 'Sabaraha jam mun ka kota?'
Standarnya naik mobil bukan angkutan umum yang kejar tayang. Kalau jawabannya 3 jam, masih normal. Kalau 4 jam, banyak jalan berlubang. Lima jam, parah beud. Itu belum pertanyaan tentang korelasi kondisi jalan dengan pegelnya pinggang.

Ini masih musim hujan. Tadi malam saya telpon-telponan. Kebetulan mamah mertua baru pulang dari kota. Pertanyaan yang sama saya lontarkan.

Jawabannya?
Ah, biarlah menjadi rahasia antara kita.

Bagi Anda yang penasaran, ah...berdoa saja semoga jawabannya baik-baik saja.
Semoga hujan datangnya pelan-pelan, sehingga jalanan tidak merasa tertampar...Kalau pun menyebabkan lubang, semoga lubang itu tertutup seiring waktu berjalan, seperti jerawat yang sembuh sendiri tanpa infeksi.

Balada Lontong Gagal

Buat saya, pesbuk itu laksana salah satu jalan melihat dunia luar, untuk ngeksis sekalian narsis wkwkwkwk.
Posting segala macam lah, dari politik sampe masakan gagal.
Dari galau melow sampe ngaco.
Nah, ngomongin pulitik nih..ngemeng ngemeng saya ini udah nyerah deh dengan masalah perkupatan dan perlontongan. Bukan nyerah makannya, tapi bikinnya. Membuatnya dengan tangan sendiri, gitu lho. Barusan bikin, tapi kok gagal. Rasanya dah mirip lontong, tapi kok penampakannya masih jauh dari cak lontong. Eh, salah maap.
Pokoe gagal.
Tiba -tiba ada suara mampir di telinga saya, "Nah, yang begitu harusnya dipoto trus aplot di pesbuk."
Ngahahaha...
Nganu..mas,  ini lho..tiba-tiba kamera hapenya kok burem ya.

Berani Karena Kepepet

Sebagian orang bertindak berani karena (merasa) benar, tapi saya biasanya tidak demikian. Saya berani karena kepepet.

Ada ular hijau melingkar-lingkar di dahan pohon kersen. Anak saya berteriak ketakutan. Lalu saya sok-sokan ambil galah dan parang. Maju mundur antara takut dan ngeri. Bah, itu ular pohon biasa. Besarnya masih lebih kecil dari setang sepeda. Nunggu suami masih sejam lagi, keburu ularnya kabur entah kemana.

Meski akhirnya minta tolong ke tetangga, eh lebih tepatnya memaksa anak-anak saya untuk mengetuk pintu tetangga dan minta tolong. Lumayan lah ada yang bantu  menurunkan ular ke tanah. Dan di penghujung ajalnya, saya gebugin kepalanya sambil berkata, "Maap, yaaa..."
Tak lama ular tergeletak meregang nyawa di bawah pohon kersen.

Rasa takut dan ngeri bisa berubah menjadi keberanian (yang dipaksakan) saat kita kepepet. Itu saja. Seketika saya merasa heroik. Meski bukan pahlawan pembela kebenaran maupun kebetulan, saya sudah membela ketakutan anak-anak saya. Hihihi..lebaayy.

No pic is hoax? Duh, saya nggak tega ngesyer kekejian yang saya lakukan demi elektabilitas semata.

Pas suami pulang, dia cuman bilang, "Kok nggak nelpon Rentokil aja tadi?"
*nepokjidat
*sokheroik

Monyet yang Menggema..ah Sudahlah

Pagi-pagi kayak kurang kerjaan aja, ngusirin monyet di sekitar rumah. Bukan apa-apa seh, kalau mereka berkeliaran di dekat jalan kan takutnya ditabrak kendaraan. Belum lagi resiko diburu orang.

Tapi gini, saya bingung cara ngusirnya. Diteriakin malah mringis. Dilemparin malah nengok doang. Dikejar pake kayu, malah menatap dengan pandangan yang very embuh.
Berkeliaran dari belakang, ke depan, ke samping, trus ke belakang.
Duh nyet..nyet...

Itu kersen tetangga diambilin pulak. Pohon-pohon digelantungin serasa playground mereka.

Walhasil, jadilah saya sama si kecil nonton monyet yang asyik kongkow di belakang rumah. Lumayan lah daripada lumanyun. Sekalian jagain pohon kersen, kali aja mau dirambahnya pulak.

Duh nyet, kalian ini sebenarnya lapar atau emang menggemaskan seh?