Jumat, 19 Juli 2019

Baju Adat Berbahan Sampah Plastik



Beberapa kali mengikuti sosialisasi pengelolaan sampah rumah tangga, agak mending lah buat menaikkan derajat pemikiran saya yang tadinya setengah jongkok jadi seribu empat ratus lima puluh satu per dua ribu sembilan ratus jongkok. Naik dikit. 😅

Minimal ada perasaan bersalah saat membuang sampah sembarangan. Ada juga sedikit rasa ndak enak saat melihat tempat sampah di rumah penuh dengan sampah plastik, entah dari kemasan makanan, perlengkapan rumah tangga, maupun kantongan kresek. Belum lagi kalau ketambahan habis belanja onlen yang bungkusannya berupa plastik berlipat ganda. Lha njur kudu piye...

Makanya saya senang-senang saja saat anak saya ditunjuk sekolah mewakili untuk lomba fashion show baju adat dari sampah daur ulang di tingkat Kabupaten Luwu Timur. Kira-kira butuh waktu sebulan, saya menghabiskan puluhan lembar kemasan plastik dari beras, deterjen, snack dsb. Juga sedotan susu  UHT yang diminum anak-anak di rumah, kardus snack, bubblewrap, tutup botol air kemasan dan lain-lain. Menyesuaikan dengan tema dan tujuan lomba yang digaungkan, saya mencoba memanfaatkan sampah rumah tangga semaksimal mungkin dalam komposisinya. Tanpa pewarnaan, tanpa cat. Warnanya adalah warna asli dari sampah.

Sesuai dengan temanya yaitu baju adat, saya mencari referensi ke sana kemari tentang baju adat. Akhirnya saya memutuskan untuk membuat baju adat Minang semacam ini yang biasa disebut baju Bundo Kanduang. Nyari referensinya ya tinggal dudul hape. Wong saya bukan orang Minang. Saya orang Jawa, suami orang Sunda. Hehehe. Serta tidak mudah melatih anak yang bawaannya rada tomboy untuk membawakan baju ini di stage. Apapun itu, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. 

Terima kasih untuk semua pihak yang sudah membantu dan mensupport, mulai dari ide, bahan, dan pembuatan. Terima kasih khususnya pada pihak sekolah SD YPS Lawewu yang sudah memberi kesempatan dan bimbingan buat anak kami. Mohon maaf belum bisa memberikan hasil juara. ☺🙏

Kita adalah penghasil sampah terbesar di planet ini. Mari kita tumbuhkan rasa peduli, mulai dari hal kecil, dimulai dari diri sendiri, ditanamkan di keluarga dan anak-anak kita. Demi lingkungan dan kehidupan yang bersih dan baik.

Sorowako, 10 April 2019

Tentang Sebuah Kucing



Ini kucing kesayangan anak saya. Mungkin dia peranakan angora atau persia. Saya tidak tahu pasti. Yang saya inget kucing ini sudah lama dianggap seperti bagian dari keluarga. Beli di sebuah toko di kawasan kota Palopo saat anak sulung usianya belum genap 2 tahun. Saya beli dengan gaji pertama mengajar di sebuah bimbel. Saya pernah ngajar di bimbel sambil bawa anak kecil. 😁

Iya, ada masanya dulu saya berikhtiar mencari kerjaan. Utamanya demi melepas jenuh. Predikat ibu rumah tangga tanpa karir, gaji, kerjaan sendiri pernah membuat saya galau. Meski pun pada akhirnya saya sadar bahwa solusi dari kegalauan itu bukan dengan cara membalik keadaan. Apalagi hanya demi menepis anggapan orang, karena sejatinya bagaimana pun kita tetap akan ada komentar dan anggapan. Cuekin aja bhaayyyy. 😀 Butuh proses untuk menyadari bahwa masing-masing orang ditakdirkan dengan jalannya masing-masing. Semua tak harus sama. 

Kembali ke kucing tadi. Saya sangat menyukai boneka dan gambar kucing, tapi tidak dengan kucingnya. Sementara di rumah mertua selalu ada kucing peliharaan. Jadi setiap mudik kucing ini selalu ikut. Dari sejak anak lanang usianya belum genap 2 tahun sampai sekarang kucingnya diakuisisi oleh anak ketiga. Totalnya entah sudah berapa kali dia ikut kami mudik.  Ikut check in, melewati security check, naik pesawat, naik bis, naik kereta, naik mobil.. Pergi pulang. Pulang pergi. Pernah sekalinya ketinggalan di rumah Bapak saya di Lasem. Heboh dunia persilatan. 😅 Akhirnya dipaketkan ke Sorowako. 

Saya pikir dia sudah biasa ikut traveling. Meski kadang dimasukkan dalam tas ransel atau tas tenteng. Kadang digendong-gendong. Ndak rewel. 😁Eh tapi, waktu di security check Bandara Hasanuddin Makassar kemarin itu, langkah kami dihentikan petugas. Ada sesuatu dari barang bawaan kami sehingga alat detektor berbunyi. Bukan dari koper, tapi tas gambar Dora. 

"Ini isinya apa, Bu? Mainan, ya?" tanya petugas.
"Dibuka saja, Pak. Ndakpapa." kata saya. Lalu saya membuka tas. "Mainan, buku, alat tulis, boneka, tayo, amber.."

Petugas mengeluarkan boneka kucing. Lalu berbicara pada petugas lainnya. Dia meremas bagian kaki boneka. "Oh, mungkin ini yang menyebabkan bunyi."

Butiran styrofoam. 

Kami tertawa tertahan. Hampir saja boneka kesayangan disita petugas. Mungkin, ada bahan pembuat boneka yang terdeteksi sebagai pembuat bom atau apalah. Gak paham saya.

Alhamdulillah, ada lagi cerita pelengkap liburan mudik kali ini. Seru. Lebih seru lagi karena liburan ini sedikit lebih lama dari biasanya. Lho maaakk, ngeneki lho penaknya jadi ibu rumah tangga yang pengangguran. Nggak mikirin kudu masuk kerja tanggal berapa. 😀

Memang ya, segala sesuatu yang kita anggap masalah kadang hanya berupa tantangan yang musti kita taklukkan. Menghadapi komentar negatif tentang ibu rumah tangga tak bekerja, misalnya. Kita jalani saja setiap momennya sambil belajar dan berproses. Toh kita yang menjalani, bukan orang lain. Orang lain eh dan netizen sih paling bisa emang kalo komentar. Jadi ya, enjooooyyy saja. Sampai datang komentar baru sejenis ini, "Duuuh enaknyaaaaa, bisa liburan lama. Ngabisin uang doaaanggg. Kayak gue dooonggg, mending dibeliin emas berlian uangnya." bla..bla..blaa..
Wkwkwkwkwk...

Menyelami Hikmah yang Tuhan Kehendaki

Petang itu, saya sholat berjamaah dengan ibu bapak saya. Hal yang lazim saya lakukan saat saya masih tinggal di rumah itu. Setelah sholat, bersalaman dan mencium punggung tangannya. Lalu ikut berzikir dan mengamini doa-doanya. 

Jauh dalam lubuk hati, saya mengingat dan bersyukur. Doa-doa mereka selama ini yang menemani hidup kami, anak-anaknya. Hingga seperti sekarang ini. Menuju kehidupan yang lebih baik, lebih baik lagi daripada sebelumnya. 

Saya ingat,  kenangan di suatu masa yang sulit. Entah hikmah apa yang Tuhan kehendaki, cobaan serasa bertubi-tubi menimpa keluarga kami. Mungkin dari luar tidak kelihatan, tapi di dalam terasa sekali. Kegoncangan demi kegoncangan. Ibarat orang lain melihat kendaraan melaju dengan mulus, padahal penumpang di dalamnya merasakan getaran dan goncangan. Tapi, kami kuat. Meski ada sedikit, satu dua, atau tiga empat, atau sebelas duabelas ketika kesabaran mulai terkikis tanpa sadar meninggalkan luka goresan. Yang kadang lama disembuhkan. 

Pada masa itu, dengan ijin-Nya, saya adalah gadis yang sakit-sakitan. Pernah, saat liburan kuliah, saya pulang dalam kondisi sakit agak parah. Ibu saya berikhtiar membawa ke dokter spesialis di sebuah klinik swasta. Saya ingat, biaya obat, pemeriksaan, USG dll menghabiskan biaya cukup besar. Untuk kondisi kami saat itu tentunya. Obatnya saja 80.000 rupiah, jaman itu. Besar. Lha biaya kuliah saya saja 450.000 per semester. Biaya makan di kost nggak sampai 200 ribu sebulan. 

Saya ingat, saat pulangnya, sambil menunggu kendaraan umum, kurang lebih ibu saya bilang begini, "Makanya jangan sakit, kalo sakit habis biaya banyak." Saya hanya terdiam. Menyadari banyak hal, termasuk ~cincin~ gelang saya yang baru saja dijual. Bahkan kondisi perekonomian kami memang tidak stabil saat itu. 

Sedih. 

Sejak itu saya bertekad dan berharap. Saya ingin kehidupan yang jauh lebih baik. Buat kami semua. Alhamdulillah, meski bukan proses instan, tapi keadaan perlahan tapi pasti berubah. Semua hal, termasuk kesehatan saya. 

Sejak lama saya tidak sakit-sakitan. Hal yang menakjubkan mengingat waktu dulu. Yaah meski kadang ada alergi kambuh, alhamdulillah. Seperti saat liburan mudik kemaren itu. Sinusitis saya kambuh agak berat, sampai telinga nyeri dan kepala pusing. Berminggu-minggu. Lha kok cocoknya dibawa ke klinik itu lagi. Sambil mengingat, sambil bersyukur itu yang saya rasakan setiap saya ke klinik itu. 

Saya yakin, bahkan segala perasaan saya bernostalgia menghadapi sakit pun tak lepas dari doa-doa orang tua saya. Tak henti saya berdoa semoga Allah memuliakan mereka di hari tuanya. Amiin.

Ngepel



Daripada nyetrika, saya lebih seneng ngepel. Ada di suatu masa saya tertarik beli alat pel sebutlah spin mop, tapi kok kurang cucok. Kepala pelnya pakai yang mirip tali itu. Sepaket sama embernya. Agak berat. Trus hasilnya nggak kering seketika. Lalu saya punya pilihan alat pel sebutlah spray mop. Lapnya sejenis microfiber yang praktis. Ini sebenarnya andalan saya, sebelum akhirnya tabung semprotnya rusak. Itu pun masih bisa diakali dengan kucuran manual dari sebotol air isi cairan pengepel. Tapi setelah tangkai pelnya patah, hatiku pun patah. Eaaaa... Terpaksa balik ke man..eh alat pel semula, yaitu spin mop. Ini mbahas ngepel, mblo. Bukan mbahas Prabowo-Jokowi udah ketemu, trus kamu ketemu dia kapan. 😂

Ngepel pake alat yang nggak saya suka, nggak sanggup aku, Bhaaaang. 
Akhirnya cari-cari alat pel di online market. Karena yang sebelum-sebelumnya pun saya beli secara online. Tentu saja selain liat barangnya,  sambil ngitung ongkirnya. Cari yang minimalis, kalo bisa yang gratis. Eh. 😅

Akhirnya dapatlah sesosok barang ini. Judulnya lazy mop. Kayaknya kok asik. Cucok buat yang lazy lazy cem saya nih. Mudah-mudahan awet sih. 
Hari ini sehari pasca rekonsiliasi cebbie kempie, saya berencana ngepel rumah. Saya cek di aplikasi dodolan, barang saya masih dalam pengiriman. Yo wis daripada daripada, saya ngepel manual pake lap microfiber bekas spray mop. Iya, ngepel manual kayak jaman baheula. Jadi inget jaman hamil tua, kan sering disarankan ngepel dengan posisi begini. 

Hasilnya memang lebih kesat. Lebih bersih. Tapi baju bawahan saya jelas basah. Kaki juga dingin, tangan juga anyep, mana suhu ruangan 19 dercel. 
Baru selesai ngepel ruangan depan yang merangkap ruang tengah, saya udah ngos-ngosan. Masih mau lanjut gak, nih. Udah nyaris separuh rumah, tanggung. 

Tiba-tiba bel pintu bunyi. Kurir ekspedisi membawakan alat pel baru. Wowww...retio ngono ndekmau ngepelku taktunda  juuuuuumm. Ngenteni pel sing anyar. Tiwas kesel, tur teles kabeh ngene. 
😅