Senin, 22 Januari 2018

Sawi


Ceritanya sejak pindah rumah, kami berkomitmen untuk menekuni hobi berkebun. Bukan kebun mrica atau kopi yes, tapi kebun sayur. Ala kadarnya di pekarangan. Itung-itung menyukseskan kampanye pemerintah tentang ketahanan pangan keluarga. Cmiiw yes...aku lali.

Dari sekian banyak yang saya tanam, salah satunya adalah sawi. Dan mengenai sawi ini saya punya romantisme yang nggak biasa. Jadi waktu saya usia SD pernah sakit yang efeknya mulut terasa pahit beberapa hari. Ndilalah pas saat itu ibuk saya kok lagi hobi masakin sayur sawi. Suatu hari pas saya makan itu sayur sawi, lidah terasa teramat pahit...sepahit-pahitnya. Rasa itu tertancap begitu dalam seperti merasuk ke alam bawah sadar. (lebay yo ben).

Sejak saat itu saya memutuskan hubungan dengan sawi. Lo gue end! Gue memutuskan untuk nggak doyan sawi. Jaga jarak gitu. Karena semakin lama rasa tidak doyan itu berubah menjadi hal-hal yang lebih ekstrem. Ngeliat orang makan sawi, lidah gue kelu dan pahit. Bahkan ketika gue sok-sokan memaksakan diri makan sawi, tangan terhenti di depan mulut tanpa kuasa menyuapkannya. Jadi putuskan saja hubungan ini.Titik. Aman.

Tapi masalah mulai muncul ketika saya kuliah. Bukan masalah saya nyari makanan ke warung yes. Karena itu masih bisa untuk memilih. Bahkan ketika beli capcay pun bisa request tanpa sawi. Ok fine.

Masalahnya adalah saya kuliah di Insitut Pertanian dan sempat tinggal di asrama pulak. Meski bukan jurusan yang berbau pertanian, tapi kan teman saya banyak yang dari jurusan bercocok tanam. Pernah di suatu masa ada orang-orang yang riang gembira membawa hasil panenan kebun ke asrama. Dan itu...sawi.
Kebayang saat saya masuk ruang makan, dan meja-meja dipenuhi sawi-sawi segar hasil panenan. Lalu di sudut sana sini orang-orang dengan lahap makan sawi. Entah dimasak macam apa. Tertawa bergembira menikmati hidangan sawi, sementara saya cukup menghayati rasa kelu dan pahit. Plus mual. Tapi ndak mungkin kan ya, saya pengumuman mengenai keanehan itu? Takandhani gaes, mulut-mulut nyinyir itu nggak cuman bisa kalian temui di sosmed.
Ya iyalah, gue kagak mau dibilang sok menye menye, sok manja, sok manis dsb...meski ada kalangan yang bilang gue manis. Hoahahahaha...

Back to topic.
Jadi gimana saya menyembuhkan diri saya atas permusuhan saya dengan sawi?
Dengan cinta.
Bukan lebay, tapi iya bener.
Sejak nikah saya sadar bahwa suami adalah pemakan sayur sejati. Dari yang mentah sampai mateng. Dan sawi salah satunya, dimakan mentah atau mateng.
Demi ketahanan pangan bersama, saya mulai putuskan rantai kebencian saya dengan sawi. Perlahan tapi pasti. Berhasil. Yeaayyy...saya berhasil.
.
.
Dan pagi ini saya menumis beberapa tangkai sawi hasil petik di pekarangan.
Saya masukkan sedikit sebagai penambah bekal di taperwer anak-anak.
Sambil nonton kartun saya menikmati sayur sawi. Taraaaa....rasanya pahit. Beneran. Padahal saya nggak lagi sakit.
Dan saya baru ingat bahwa sawi yang saya tanam ada dua jenis, salah satunya adalah sawi pahit.
Oh...nooo...

Saya hanya mengkuatirkan ketika anak-anak buka bekalnya, lalu makan sawi pahitnya.
Siyap-siyap terima komplenan.
Tetap semangat makan sawi.
Lanjutkan makan sawi dengan hidangan penutup susu kotak rasa stroberi.
.
.