Jumat, 21 Agustus 2020

TIDAK AMAN KETIKA MERASA KALAH


Film "Tilik" ini memang relate dengan kehidupan nyata di sekitar kita. Atau malah jangan-jangan kita pernah mengalami atau melakukan hal begitu. Entah sebagai Dian, Yu Ning, Yu Sam, Yu Nah, Gotrek, atau malah Bu Tejo. Ndak usah saling tuding. 

Cuma, yang viral itu Bu Tejo dengan karakter dan lambenya yang sukses bikin gemes pemirsa. Lalu segala tingkah laku di atas bak truk (ladies on the top) itu auto disematkan pada kelakuan emak-emak.

Lha iya, emang kebanyakan yang ngeksis dengan cara begitu ya emak-emak. Di kampung, dalam acara tilik, ya semacam itu kurang lebihnya. Di acara rewang (bantu masak di tetangga yang punya hajat), ya begitu. Di arisan, atau apalah, pokoknya dalam acara yg berkerumun, jarak dekat maupun jauh.

Tapi jangan salah, di kalangan bapak-bapak juga ada fenomena kayak gini. Mirip fenomena sein kiri belok kanan yg selalu disematkan pada emak-emak. Saya, emak beranak tiga, selama jam nyetir saya di jalanan sering juga ketemu laki-laki pengendara motor yg kelakuannya begitu. Dari jenis anak-anak, mas-mas, sampe bapak-bapak.

Di kampung, bapak saya itu pernah jadi ketua RT selama bertahun tahun. Menyelesaikan segala macem urusan adminitrasi sampai kericuhan akibat lambe-lambe turah. Jangan cuman ngebayangin yang punya pemancar siaran rakyat cangkem turah indonesia tuh cuma kalangan perempuan. Yang model Bu Tejo, tapi wujudnya bapak-bapak juga adaaaa.

Memang sih, tak ada asap tanpa api. Tapi seringnya sih, apinya di mana, asapnya ke mana mana. 

Di film "Tilik" ini yang jadi objek rasan-rasan adalah Dian. Memperhatikan banyak dialog lalu ending cerita, yang jebulnya Dian adalah calon istri bapaknya Fikri, keresahan Bu Tejo cs ini menggambarkan karakter yang insecure.

Keberadaan Dian yang cantik dan modis ala orang kota, dilihat sebagai ancaman pada stabilitas rumah tangga mereka. Mengetahui level kekayaan Dian, Bu Tejo yang sombongnya tipis tipis itu pun merasa tersaingi.

Yang begini relate nggak sih dengan kehidupan kita? Ya di sekitar, ya di media sosial. Ada yang nampak punya kelebihan trus auto jadi objek rasan-rasan. Ada yang nampak lebih cantik, lebih ngeksis, lebih kaya, lebih pintar, apalah apalah. Lalu segala dugaan dan penerawangan atas secuil fakta yang terlihat, sentimen itu digoreng sedemikian rupa, dicampur bumbu hoax dan fitnah. Disebar ke sana ke mari,  akhirnya terjadi pembunuhan karakter.

Nah hal-hal seperti itu awalnya hanya sepele saja. Perasaan insecure. Perasaan tidak aman. Perasaan tersaingi, padahal belum tentu ada yang berniat  menyaingi. 

Dan, berdasarkan pengalaman saya (((pengalaman))), berhati-hatilah terhadap orang-orang insecure. Di depan nampak baik, di belakang ya gitu deh. Kayak Bu Tejo gitu, di depan Dian cuman imbas-imbis nggak jelas. Namun, segala cara bisa dilakukan untuk menjatuhkan, bahkan  dengan hoax dan fitnah sekalipun.

Lalu, solusinya apa? Dadi uwong ki mbok sing solutif ngono lhoo, kata Bu Tejo. 

Kalau saya sih, jaga jarak aman alias menjauh. Apapun yang kita lakukan, apapun yang kita tampakkan tidak mungkin menyenangkan semua orang. Bagi orang insecure, apapun bisa jadi "api"nya. Jadi, interaksi sekadarnya saja.  Latihan legowo sebanyaknya. Karena kita tidak bisa mengendalikan perilaku orang lain. Terlebih lagi lambenya. 😅😂