Rabu, 26 September 2018

Untukmu yang Merasa



Jikalau kamu merasa hidupmu sangat sibuk 
sehingga kamu sibuk menunjukkan pada dunia tentang kesibukanmu
mungkin kamu hanya perlu 
untuk lebih sibuk lagi
pada apa-apa yang kauanggap sebuah kesibukan itu

Jikalau kamu merasa keheninganmu 
adalah sesuatu yang membuatmu merasa antara ada dan tiada
bagi apa yang sudah kamu jadikan ada
maka keramaian akan mencarimu
hingga ia bosan dan lelah
lalu membiarkanmu untuk lebih baik 
menghilang dalam hening

Jikalau kamu sadar bahwa keberadaanmu
membuatnya merasa berada
pada sisi yang benar-benar ada
maka janganlah kamu mengada-adakan
sebuah ketiadaan 
hanya untuk membuatnya
merasa hampa dan tiada

--loph, pisss, jongkong, dan pertolo

Senin, 24 September 2018

Membuat Tempe Setipis Kartu ATM



Izinkan aku nulis yang rada menyerempet isu kekinian. Eh, kekinian atau udah agak ketinggalan ini yak? 😅 
Tentang tempe. Yang berbahan baku kedelai.

Menurutku,  juara tempe terenak masih dipegang oleh tempe yang sedari kecil memanjakan lidahku. Iya, tempe made in Lasem yang bungkus godhong (daun) jati. Tempenya kecil-kecil, kalau mau goreng ndak usah repot memotongnya. Harganya mungkin masih lima ratusan rupiah. Mau diapakan juga enak. Dimakan mentah-mentah aku pun doyan. Mbaaakk, doyan atau nganu sih. 😂

Yang istimewa dari kemasan tempe kecil adalah rasa jamurnya yang khas. Dan karena model kemasannya, jelas jamurnya jadi lebih banyak. Beneran banyak, meski nggak sebanyak serpihan kenanganmu saat dengerin lagu Sheila On Seven.  Ya kaaan? Ehemmm. 

Iseng aku nyoba nih, bikin tempe kemasan kecil. Yang mirip tempe mendoan gitu. Harapannya sih bisa setipis kartu ATM. Kartunya baaaaang, bukan isinya doong. Ya, kan? 

Jadi aku beli tempe bakal (tempe yang jamurnya belum nampak berkembang) di pasar. Harga dan ukuran masih sama ya gessss seperti sebelum rame-ramenya isu belanja-seratus-ribu-dapat-apa. Sebungkus harganya lima ribu. Rupiah. Bukan dolar atau euro. 

Sampai rumah aku bergegas nyari daun di halaman belakang. Tebas-tebas dapat beberapa lembar daun pisang. Jemur bentar biar agak layu. Mau dipanggang di atas api kompor, lha kompornya jenis kompor listrik yang ndak ada apinya gitu gessss. Nggak mashooook kata Pak Eko. 

Kemasan tempe bakalan harga lima ribu itu kubongkar. Butiran kedelai kutata di atas selembar daun kecil. Terus ditutup daun atasnya. Taruh lagi butiran kedelai hingga rata, terus tutup lagi dengan lembaran daun. Begitu seterusnya. 

Begitu-seterusnya bagiku itu cuman tiga ya gesss. Tiga kali menata butiran debu.. Eh kedelai.  Pegel wkwkwkwkwk. Jebul nggak segampang seperti yang dibayangkan. Kudu telaten ngono, gesss. 

Nampan wadah tempe yang kuharap bisa kayak tempe mendoan itu kusimpan dengan seksama. Butuh waktu  semalam untuk melihat jamurnya bekerja maksimal. 

Besoknya gesssss.... akhirnya jadi juga. 
Meski masih jauh dari harapan. 
Harapannya bisa setipis kartu ATM. Atau kalau memungkinkan bisa setipis ingatanmu kepada mantan.  Eaaaaa.... Jeru mbaakk, jeruuuuu... 

Namun, apa daya. Fakta berbicara lain. 

Tempe mendoanku hanya setipis tiga kartu BPJS. Tigaaaa!!  Atau bisa jadi lebih tebal. 
😁😁

Recehan yang Boleh Kamu Kesampingkan



Sesekali nulis yang rada serius. Tapi panjang. Yang nggak kuwat skip aja gaesss.  
Boleh kan, gaesss? 

Jadi sudah beberapa lama saya itu ndak nyetatus kekinian.  Entah sudah berapa berita politik saya lewatkan untuk saya statuskan. Entah sudah berapa kehebohan warga netijen saya lewatkan begitu saja tanpa status yang cetar. 

Toh, hidup saya baik-baik saja. 
Aman malahan. Saya ndak perlu baku komentar saling ngotot yang ujung-ujungnya keberpihakan politik. Kabar walikota di dekat ibukota sana yang ketangkap KPK kalo saya statuskan bisa sampai level nyinyir nomer suwidak rolas. Demi membalas kenyinyiran pendukungnya yang saban hari lewat  di linimasa.  Kabar anggota DPRD di suatu kota di Jawa Timur yang tersisa beberapa orang saja kalo distatuskan bisa pedes juga. Mau bikin status tandingan buat para pemain tagar-tagaran ah  malas juga.  Meski ada bahan.

Sakarep-karepnya situ aja, lah. Saya mendingan milih tetap waras di hingar bingar jagad persosmedan. Apalagi di tahun politik kayak begini. 

Saya memilih untuk bersikap layaknya netijen retjeh. Karena saya tahu diri. Itu. 
Meski dengan begitu saya dicap tidak menjadi pembela golongannya sendiri. Atau justru saya dicap masuk dalam barisan musuh. Ngggg... Ini ngomongin sosmed sih ya, bukan ngomongin perang-perangan. 🙄🙄

Whatever, lah. Saya kira sudut pandang setiap orang nggak bisa digebyah uyah, disamaratakan begitu saja. Ya sudut pandang, ya pemikiran, ya pertimbangan, dan segala sesuatunya. 

Sama halnya begini. Saya pikir kamu menghinakan diri dengan rajin menyebar hoaks demi dukungan politik, tapi di sisi lain kamu menganggap dirimu sedang berjuang di jalan suci. Yang tidak sependapat kamu anggap tidak mendapat hidayah dan lagi tersesat jalannya. ---tiba-tiba aku pengen raup 😑😑😑

Daaaaaannn begitu pun sebaliknya. Jika kamu menganggap saya hanya menyebar yang ndak jelas ndak jelas, yang gak penting gak penting, yang ndak bermanfaat ndak bermanfaat, yang receh receh, yang embuh embuh, ketahuilah.... bahwa emang benar begitu adanya. 😁😁

Lhaaaa tapinya...
Ini ada tapinya. Nggak semua orang punya kesukaan dan kecenderungan seperti yang kamu punya. 

Ada orang-orang yang akan mumet setiap buka pesbuk langsung mak tratap ketemu statusmu yang selalu berat mbahas isu kekinian dengan tendensi politik yang sangar. Buka grup wasap ketemu lagi postinganmu yang nyrempet politik. Itu lagi itu lagi. Selalu dan always. 

Bayangkan jika yang model begitu adalah lima dari lima belas temannya. Atau  sebelas dari sepuluh temannya.  Bisa dipastikan dia segera tutup akun atau left grup WA.

*

Saya pernah jadi aktivis waktu kuliah. Di BEM Fakultas. Juga pernah bersinggungan di kegiatan politik partai tertentu yang tidak perlu saya sebutkan namanya yang sekarang namanya lebih panjang dari pada namanya waktu pertama tayang. 

Jadi kalau saya lewat di temlen dengan status yang agak-agak nyangkem tentang politik,  itu kadang artinya ya.. mungkin saya lagi kurang bahan untuk ngecipris. Atau level kenyinyiran saya lagi naik beberapa derajat. 😅😅

Saya juga pernah mengalami masa sulit, di mana saya merasa down dan terlalu fokus pada hidup saya sendiri. Ambyar pokokmen rasanya waktu itu. Dan di saat itu lagu-lagu dari seseband bernama PADI yang setia menemani dan menginspirasi.  😁 Bukan nasehat-nasehat berbobot berat, bukan support dari kawan yang pernah satu perjuangan... Halaaahh. 

Cuman lagu.  Iya lagu.  
Eehh.. Selain itu juga puisi-puisi Lukman A. Sya yang sering muncul di kolom sastra koran Republika setiap minggu. Dari situ saya seperti mendapat inspirasi hidup.  Saya belajar berdamai dengan diri saya sendiri. Berdamai dengan hidup.  Belajar mengisi waktu dengan hobi dan kesenangan buat diri sendiri. Pokokmen ngono. 

Bagi sebagian orang,  lagu hanya sekadar lagu. Puisi sekedar puisi. Tapi pada saat tertentu ada orang yang menganggap hal-hal sekedar itu adalah hal berharga. 
Demikian juga, apa yang dianggap orang sebagai recehan yang pantas dikesampingkan bisa jadi adalah hal yang sayang untuk dilewatkan bagi sebagian [kecil] yang lain. 

Saya pernah baca status seseorang, yang pernah dapat pengakuan dari orang yang selalu membaca statusnya, meski tanpa menjempoli atau komen. Followernya itu adalah seorang survivor kanker. Membaca status seseorang itu adalah hiburan baginya. Menemaninya untuk sekadar melupakan rasa sakitnya. 

See, bahkan kadang seseorang tidak pernah tahu bahwa ada orang-orang yang bisa jadi terinspirasi dengan postingannya di media sosial. Mungkin ada orang yang dalam sunyinya menanggung beban hidup, tapi ada postingan yang bisa menemaninya untuk sekadar tersenyum atau sesaat melupakan getir hidupnya. 

Bahkan saya yakin sekali, itu grup band Padi tidak pernah tahu bahwa di suatu masa ada seseembak yang jelita (lariiiii... takut dibalang netijen 😆). --ralat lah, seseembak yang jelata -- yang merasa ditemani lagu-lagunya. Tetaplah menjadi bintang di langit, mbak.  Apapun yang terjadi. 😄

Seseembak yang dulu pernah ngaku dirinya sobatpadi sekarang telah bermetamorfosis menjadi seseemak dengan label sobatgabah.  Dan balamejikom tentunya. 
Lalu dia ngaku sebagai netijen receh di gegap gempita sosmed. Kadang nyetatus yang embuh-embuh, yang ndak jelas ndak jelas,  yang entah... Entah menginspirasi atau malah bikin eneg. 😅

Entah dia itu siapa.

Marimar Ulang Tahun


Ceritanya Marimar ulang tahun. Kagak ada perayaan atau heboh-hebohan. Entah kenapa H-1 nggak ada tanda-tanda orang serumah inget kalo besoknya Marimar ulang tahun. Iseng Marimar wasap Sergio, yang kebetulan lagi di Jekardah.

"Sesuk tanggal piro, Mas?"

"xx" Datar tanpa emoticon apapun. 

"Sesuk iki tanggal lairku." 

"Oiya..poho aing."

"Tukokke kado yo, nek sisan ngemol. Hotele kan ning duwure emol."

"Kado naon? Bunga?"

"Liyane lah."

"Baju?"

"Ojo..palingan ra iso milih sing cocok."

"Naon atuh?"

"Pokoke kado."

"Meuli we di shopee."

"Yaelaaahh..."

Hahahaha Sergio tahu kalo Marimar sejenis onlenshopper. Akun Sergio penuh dengan pesan dan notifikasi belanjaan emak-emak.

Yaaahh daripada nglangut, Marimar bikin kado buat dirinya sendiri.
Dari mulai menentukan model (nyontek dari buku), menerawang caranya, motong, njahit...akhirnya jadi setelah hampir satu purnama. Alias hampir satu bulan! We o we khaaann?

Marimar senang.
Akhirnya punya tas idaman.
Meski proses membuatnya cukup ngos-ngosan.
Lumayan jadi bekal untuk ngumpulin recehan.
Bukan begitu, Sergio?

Sergiooooo...jawab akuuh.

Bukan Dilan


Bayangkan, malemnya nonton Dilan..trus paginya kamu dapat kiriman foto gerbang sekolahanmu yang dulu. Kalo Dilan 92 waktu SMA, sementara yang ini gerbang sekolah saya tahun 1992-1995. Yaaa, berarti masih lebih muda daripada Milea. Waktu Milea SMA, saya masih duduk di bangku SMP. Tapi tetep ya, bisa dibilang angkatan tuwa, dilut engkas kepala empat umurnya. Oke, kamu ndakpapa kan? Fain.

Jadi begini,
Saat saya ngeliat foto aslinya ini, yang dijepret kawan lama, saya agak deja vu rasanya. Seperti perasaan yang entah, saat saya mengeditnya dengan aplikasi snap seed kebanggaan saya. Iya, entah. Trus agak baper. Asemik, kok gini amat yak...dikit dikit baper. Baper kok dikit-dikit. 

Kamu, yang angkatan tuwa kayak saya, pernah nonton Dilan kan? Mirip kayak gitu rasanya. 
Ada lucu-lucunya, ada gemes-gemesnya, ada romantisnya, ada jengkelnya, ...hahaha.

Rasa deja vu itu menurut saya seperti begini : mendadak kamu mengecil, menyusut, lalu terlempar jauh ke masa lalu. Trus bingung sendiri, karena banyak hal yang kamu lupa. Oke, untuk ingatan yang sedikit payah kamu butuh kawan-kawan lama yang bisa berbagi cerita dan mengorek ingatan lamamu. Kalau kamu masih tak ingat dan kebingungan sendiri, perasaan deja vu itu bisa jadi menghantuimu tanpa kamu tahu apa penyebabnya. Kamu terlempar begitu saja, tapi bingung tentang apa, mengapa, dan bagaimananya. Ngilu jadinya. Seperti decitan hamparan gelagah alang-alang disapu angin. Eaaaaa. Namun jika kamu menemukan frekuensi yang tepat, kamu bisa ingat secuil masa lalu itu. Palingan seru-seruan dan baper-baperan aja, kan. Sampe sini paham?

Nah, sebenarnya setiap mudik Lasem, saya berkali-kali lewat gerbang sekolahan itu. Tapi belum pernah sekali pun saya foto. Cuman nunjukin ke anak dan suami, ini lho sekolahan saya waktu SMP. 
Saya rasa gerbang ini tak hanya bersejarah bagi saya, tapi bagi banyak orang. Dan banyak itu uakeh. Akeh sak emboh ngunu lak an.

Bagi saya, gerbang itu pernah jadi saksi diri ini datang dan pergi ke sekolah, menuntut ilmu, bersenang - senang, merajut kisah demi masa depan, mengalami romantika anak yang beranjak remaja, daaaaaan banyak lagi.

Dulu saya pulang pergi sekolah naik sepeda. Warna biru. Mengayuh sepeda sejauh beberapa km dari rumah. Oya rumah saya yang madep ngidul itu ya. 😋 Waktu itu jalanan pantura Lasem belum terlalu padat kendaraan bermotor, namun sudah beraroma TLQJRN yang klasik itu. Itu lho sisa emisi kendaraan yang kita sebut dokar. Hahaha. 

Parkiran sepeda di sekolah selalu penuh, lha belum musim motor dan antar jemput mobil je. Jadi kalau kesiangan, kami agak susah memposisikan sepeda supaya bisa parkir bener. Nah kalau datangnya kepagian, parkirnya gampang tapi susah mengeluarkan sepeda dari parkiran pas jam pulang. Trus kalau satu sepeda roboh, deretan sepeda sebelahnya bisa ikutan roboh kayak deretan susunan kartu. Bruuukk.. 

Karena belum jamannya hape dan sosmedan, jadi kadang pesan-pesan masuk terselubung bisa mak bedunduk ditemui di boncengan sepeda. Ada pula yang modus minta tumpangan/boncengan buat pedekate. Atau bahkan ada yang terang-terangan tiap hari nyegatin sebelum keluar gerbang. Bukan kamu, tapi cah kae. 😁

Lumayan menyenangkan ya, masa-masa SMP. Banyak lucu-lucunya. Meski kadang ada sedikit kekacauan dan yang embuh embuh gitu. Tapi asik. 

Meski ndak ada kisah DilanMilea-ku saat itu, tapi tetap ada lah ya sedikit kisah roman picisannya. Tapi ndak akan kuceritakan padamu. Cukup aku wae. Trus tiba-tiba pengen rikwes lagu galau. Hahahaha. Hasembuh.