Jumat, 06 Desember 2013

Oh, Saya pun Pernah Kena Bully


Akhirnya gatel juga pengen nulis tentang “bully”.
Bully Syahputra yang lagi naek daun? Bukan. 
Ente jual ane bully? Bukaaaan! 
Jadi bully apaaaa doong? –silakan nanya mbah gugel- 

STOP BULLYING!

Setelah diinget-inget saya pun pernah mengalami bullying sewaktu masa sekolah duluuuu. Jaman masih unyu-unyu. Mungkin nggak parah sih, atau karena udah dianggap biasa.  Dan waktu itu kosakata bullying pun belum tenar seperti sekarang. Cetar membahana, centil membihinil. Halaaaah..
Nah, saya mau cerita nih. Barangkali bisa jadi pembelajaran kita semua, saya dan pemirsa tentunya. Oh ternyata, bullying itu nggak cuma terjadi antar siswa.  Bisa juga antara siswa-guru. Hahh??! Siswa mem-bully guru? Nyang bener boo? Mustihil ih… Hehe, embeeerrrr. Maksudnya guru yang -entah sadar atau pun tidak- membully siswanya.

Jaman tahun 1990-an, guru yang galak memukul/mencubit/menampar muridnya seperti hal lumrah. Nggak seperti sekarang toh? Beberapa ‘oknum guru’ yang melakukan tindakan kekerasan bisa dipidanakan. Jangan coba-coba.. Eh tapi, gimana dengan tindakan kekerasan pada mental, bukan fisik? Yang nggak keliatan, yang samar-samar, yang bisa ditutup dengan manisnya senyum bergincu tebal, tapi begitu menyakitkan. Percaya deh pemirsa, ini nggak kalah menyakitkan lho. Makanya kita harus berhati-hati sebagai orang tua atau guru.


Saya pernah punya pengalaman. Sebenarnya sih pengen saya lupakan saja, tapi barangkali sisa-sisa memori saya masih ada manfaatnya (istilahnya ‘dibuang sayang’). Saya pun sudah memaafkan dan justru bersyukur  seiring waktu berjalan. Waktu itu saya masih es em pe, masih imut (hahaha, numpang narsis dikit boleh kan ya?), masih pinter (pinter matematika, pinter  fisika, pinter bahasa inggris, pinter PKK, pinter ketrampilan jasa, de el el ). Naaahh, anehnya kenapa ketika saya merasa nilai Bahasa Inggris termasuk lumayan dan di atas rata-rata ketika itu, padahal yaah mungkin sebanding dengan  29-my-age..eh maap ngelantur.  Kok saya justru sering dimarahin guru Bahasa Inggris. Kenapa coba? Why oh why? Bahkan sampai sekarang saya pun tidak tahu jawabannya.

Yang saya tahu, setiap kali ulangan saya dapat nilai seratus alias bener semua, pasti saya dicecar di hadapan teman sekelas.

 “Kamu pasti nyari bocoran di kelas sebelah, iya kan?”

“Nggak, Bu.”

“Laah, nggak usah bohong. Ngaku saja.”

Ciyuuussss..miapah?

Nada interogasinya semakin meninggi. Terkadang agak takut juga melihat sorot matanya yang memojokkan saya. Padahal sumpah, saya nggak pernah nyari bocoran hanya demi nilai bagus. Ih jijay.. Tapi emang sih saya sering keluyuran ke kelas sebelah, hahahaha biasalah pura-pura ngantar teman atau just say hello padahal sambil ngelirik gebetan.

Terkadang tidak ada pilihan lain selain diam, karena dijawab pun beliau tidak ambil peduli. Istilah asingnya: sakarepe unine dewe.

“Tuh kan. Berarti bener kamu tadi nyari bocoran ke kelas sebelah. Pantesan dapat seratus. Yang begini jangan ditiru ya!”

Lho??!!! Duh, saya seperti terdakwa di hadapan teman-teman saya. Dan dipaksa mengakui kesalahan yang tidak saya lakukan.

Ya, sudahlah. Masih mending belio ini nggak sambil menghentak-hentakkan sepatunya, tidak membanting-banting buku di depan saya.

Eh tapi, kok sikapnya yang begitu cuman ke saya dan beberapa teman saja. Ada pula yang pernah dapat nilai seratus atau sembilan tapi malah dipuji-puji dan dibangga-banggain. Padahal biasa aja tuh…biasa aja kaleee…biasa aja deeh. Kan saya juga bisa bahkan sering dapat nilai tertinggi di kelas. *haisssshh, saya lupa bilang ya kalau saya yang rangking satu di kelas? Hehehe..narji eh narsis lagi.

Terpikir oleh saya, mungkin sikap belio itu berubah kalau saya tidak mendapat nilai bagus. Setidaknya bukan nilai tertinggi. Ah, bisa saja kan? Mungkin belio lebih senang menuliskan angka enam, tujuh, empat, atau gambar endog dinosaurus di lembar ulangan saya.Mungkin pulpen belio agak mblobor kalau harus nulis angka bagus di kertas ulangan saya. Atau kenyataan bahwa saya dapat nilai tertinggi bisa bikin sembelitnya kambuh. Who knows?

Sekali waktu saya  coba. Saya dapat nilai delapan. Apa reaksinya saudara-saudara? Apakah memuji saya? Memeluk saya? Menangisi saya? Mentraktir saya? Oh, big no! 

Saya justru lebih melongo lagi.

“Nah, ini …ketahuan kalau kamu nyari bocoran ulangan ke kelas sebelah.  Tadi beberapa soal sudah diganti dan kamu salah di nomor-nomor itu.”

Woowwww. Are you kidding, mam?

Sekali lagi dan berkali-kali selalu saya bilang, “Tidak, Bu.”

Dan….selalu dijawab dengan nada ketus dan tinggi, “Kamu pasti bohong..bla…blaa..blaaa.”
Sumpah, kalau saya brutal saat itu mungkin udah saya semprot dengan pistol air, lalu saya balas teriakkan kata ini “Do you think I am stupid doesn’t play?! Or your mouth is less of work? ” –apakah kamu pikir saya bodoh bukan main?! Atau mulut Anda yang kurang kerjaan?-  hahaha dah mirip twenty nine my age blom?

But, stay cool, maaaann!

Ahhh, akhirnya dapat nilai tujuh, sembilan atau berapa pun selalu berakhir dengan interogasi seperti itu. Untungnya saya tidak frustasi, karena selain belio, guru-guru yang lain bahkan bersikap jauh lebih layak kepada saya.

Oya, bahkan untuk urusan di luar nilai ulangan pun saya selalu bermasalah.
Saya duduk di bangku agak belakang, dengan mata minus dan otak yang nggak minus. Normal, mikir masih 
pake otak bukan dengkul. Manis, samar-samar dengan meringis. Suatu saat belio menerangkan tentang sesuatu yang masih baru. Simple Past Tense. Pemakaian “was” dan “were”. Teman sebelah saya, entah karena nggak jelas atau nggak mudeng atau nggak keliatan, nanya ke saya tulisan yang di papan tulis. Saya pun menjawab seperlunya.

Nggak nyangka, saya dapat teriakan dan bentakan.

“Hei, kamu tidak memperhatikan saya..bla..bla..bla.”

“Blaaa..blaa..blaaa!!!!”

Waduh. Lalu saya pun dihukum dengan pindah posisi tempat duduk di depan. Apakah saya pingsan? Tidak, 
tapi saya marah. Sepanjang jam pelajaran Bahasa Inggris saya menahan emosi. Lalu saya lampiaskan kemarahan itu ke teman-teman setelah pelajaran usai. Saya ngamuk-ngamuk nggak karuan sambil banting-banting tas. Hehe..

However, saya punya teman-teman yang baik. Yang tidak pernah sekalipun ikut-ikutan menuduh saya nyari bocoran demi nilai di kertas ulangan. Yang tidak pernah ikut mengolok-olok ketika saya dapat bentakan atau hukuman. Yang tidak membalas ngelempar tas ke saya..ihik ihikk..

Singkat cerita, entahlah..apa yang terjadi antara saya dan dia. Karena begitu rumit dan membingungkan. Ketika saya lulus es em pe dengan predikat terbaik pun, saya tidak mendapatkan ucapan atau interogasi dari belio. Nothing. Hehe padahal lucu juga kali kalau tiba-tiba belio marah-marah di depan segenap guru dan siswa, lalu bikin statement bahwa  saya nyari bocoran ke kelas sebelah, sekolah sebelah, dinas pendidikan kecamatan sebelah, dinas pendidikan propinsi sebelah,  atau toilet umum sebelah.

Daaaan… bertahun-tahun kemudian akhirnya saya juga tahu, adik saya pun kena macam saya tuh, dengan belio orang yang sama. Hehe apakah karena saya atau hal lain, saya tidak tahu. Entah apa definisinya… sekarang saya sadar itu adalah contoh bullying. Membuat rasa sakit hati, malu, dan minder yang berkepanjangan serta bikin trauma.

Banyak hikmah di balik setiap kejadian.  

Saya curcol bukan karena ingin mencemarkan nama baik seseorang. Saya tertawa, karena kadang ada hal-hal konyol di setiap kejadian yang kita tidak mengerti  juntrungnya.  Daripada sakit hati, toh?

Note. Mungkin disadari atau tidak saya juga pernah melakukan bullying, entah karena faktor balas-membalas, atau faktor yang lain. I’m sorry … Maafkanlah daku pemirsa.