Akhirnya gatel juga pengen nulis tentang “bully”.
Bully Syahputra yang lagi naek daun? Bukan.
Bully Syahputra yang lagi naek daun? Bukan.
Ente jual ane bully? Bukaaaan!
Jadi bully apaaaa
doong? –silakan nanya mbah gugel-
STOP BULLYING!
Setelah diinget-inget saya pun pernah mengalami bullying
sewaktu masa sekolah duluuuu. Jaman masih unyu-unyu. Mungkin nggak parah sih, atau
karena udah dianggap biasa. Dan waktu
itu kosakata bullying pun belum tenar seperti sekarang. Cetar membahana, centil
membihinil. Halaaaah..
Nah, saya mau cerita nih. Barangkali bisa jadi pembelajaran
kita semua, saya dan pemirsa tentunya. Oh ternyata, bullying itu nggak cuma terjadi
antar siswa. Bisa juga antara
siswa-guru. Hahh??! Siswa mem-bully guru? Nyang bener boo? Mustihil ih… Hehe,
embeeerrrr. Maksudnya guru yang -entah sadar atau pun tidak- membully siswanya.
Jaman tahun 1990-an, guru yang galak
memukul/mencubit/menampar muridnya seperti hal lumrah. Nggak seperti sekarang
toh? Beberapa ‘oknum guru’ yang melakukan tindakan kekerasan bisa dipidanakan. Jangan
coba-coba.. Eh tapi, gimana dengan tindakan kekerasan pada mental, bukan fisik?
Yang nggak keliatan, yang samar-samar, yang bisa ditutup dengan manisnya senyum
bergincu tebal, tapi begitu menyakitkan. Percaya deh pemirsa, ini nggak kalah
menyakitkan lho. Makanya kita harus berhati-hati sebagai orang tua atau guru.
Saya pernah punya pengalaman. Sebenarnya sih pengen saya
lupakan saja, tapi barangkali sisa-sisa memori saya masih ada manfaatnya
(istilahnya ‘dibuang sayang’). Saya pun sudah memaafkan dan justru
bersyukur seiring waktu berjalan. Waktu
itu saya masih es em pe, masih imut (hahaha, numpang narsis dikit boleh kan
ya?), masih pinter (pinter matematika, pinter fisika, pinter bahasa inggris, pinter PKK, pinter
ketrampilan jasa, de el el ). Naaahh, anehnya kenapa ketika saya merasa nilai Bahasa
Inggris termasuk lumayan dan di atas rata-rata ketika itu, padahal yaah mungkin
sebanding dengan 29-my-age..eh maap
ngelantur. Kok saya justru sering
dimarahin guru Bahasa Inggris. Kenapa coba? Why oh why? Bahkan sampai sekarang
saya pun tidak tahu jawabannya.
“Kamu pasti nyari
bocoran di kelas sebelah, iya kan?”
“Nggak, Bu.”
“Laah, nggak usah bohong. Ngaku saja.”
Ciyuuussss..miapah?
Nada interogasinya semakin meninggi. Terkadang agak takut
juga melihat sorot matanya yang memojokkan saya. Padahal sumpah, saya nggak
pernah nyari bocoran hanya demi nilai bagus. Ih jijay.. Tapi emang sih saya
sering keluyuran ke kelas sebelah, hahahaha biasalah pura-pura ngantar teman
atau just say hello padahal sambil ngelirik gebetan.
Terkadang tidak ada pilihan lain selain diam, karena dijawab
pun beliau tidak ambil peduli. Istilah asingnya: sakarepe unine dewe.
“Tuh kan. Berarti bener kamu tadi nyari bocoran ke kelas
sebelah. Pantesan dapat seratus. Yang begini jangan ditiru ya!”
Lho??!!! Duh, saya seperti terdakwa di hadapan teman-teman
saya. Dan dipaksa mengakui kesalahan yang tidak saya lakukan.
Ya, sudahlah. Masih mending belio ini nggak sambil menghentak-hentakkan
sepatunya, tidak membanting-banting buku di depan saya.
Eh tapi, kok sikapnya yang begitu cuman ke saya dan beberapa
teman saja. Ada pula yang pernah dapat nilai seratus atau sembilan tapi malah
dipuji-puji dan dibangga-banggain. Padahal biasa aja tuh…biasa aja kaleee…biasa
aja deeh. Kan saya juga bisa bahkan sering dapat nilai tertinggi di kelas. *haisssshh,
saya lupa bilang ya kalau saya yang rangking satu di kelas? Hehehe..narji eh
narsis lagi.
Terpikir oleh saya, mungkin sikap belio itu berubah kalau
saya tidak mendapat nilai bagus. Setidaknya bukan nilai tertinggi. Ah, bisa
saja kan? Mungkin belio lebih senang menuliskan angka enam, tujuh, empat, atau
gambar endog dinosaurus di lembar ulangan saya.Mungkin pulpen belio agak
mblobor kalau harus nulis angka bagus di kertas ulangan saya. Atau kenyataan bahwa
saya dapat nilai tertinggi bisa bikin sembelitnya kambuh. Who knows?
Sekali waktu saya coba.
Saya dapat nilai delapan. Apa reaksinya saudara-saudara? Apakah memuji saya?
Memeluk saya? Menangisi saya? Mentraktir saya? Oh, big no!
Saya justru lebih melongo lagi.
“Nah, ini …ketahuan kalau kamu nyari bocoran ulangan ke
kelas sebelah. Tadi beberapa soal sudah
diganti dan kamu salah di nomor-nomor itu.”
Woowwww. Are you kidding, mam?
Sekali lagi dan berkali-kali selalu saya bilang, “Tidak, Bu.”
Dan….selalu dijawab dengan nada ketus dan tinggi, “Kamu
pasti bohong..bla…blaa..blaaa.”
Sumpah, kalau saya brutal saat itu mungkin udah saya semprot dengan pistol air, lalu saya balas teriakkan kata ini “Do you think I am stupid doesn’t play?! Or your mouth is less of work? ” –apakah kamu pikir saya bodoh bukan main?! Atau mulut Anda yang kurang kerjaan?- hahaha dah mirip twenty nine my age blom?
Sumpah, kalau saya brutal saat itu mungkin udah saya semprot dengan pistol air, lalu saya balas teriakkan kata ini “Do you think I am stupid doesn’t play?! Or your mouth is less of work? ” –apakah kamu pikir saya bodoh bukan main?! Atau mulut Anda yang kurang kerjaan?- hahaha dah mirip twenty nine my age blom?
But, stay cool, maaaann!
Ahhh, akhirnya
dapat nilai tujuh, sembilan atau berapa pun selalu berakhir dengan interogasi
seperti itu. Untungnya saya tidak frustasi, karena selain belio, guru-guru yang
lain bahkan bersikap jauh lebih layak kepada saya.
Oya, bahkan untuk urusan di luar nilai ulangan pun saya
selalu bermasalah.
Saya duduk di bangku agak belakang, dengan mata minus dan
otak yang nggak minus. Normal, mikir masih
pake otak bukan dengkul. Manis,
samar-samar dengan meringis. Suatu saat belio menerangkan tentang sesuatu yang
masih baru. Simple Past Tense. Pemakaian “was” dan “were”. Teman sebelah saya,
entah karena nggak jelas atau nggak mudeng atau nggak keliatan, nanya ke saya
tulisan yang di papan tulis. Saya pun menjawab seperlunya.
Nggak nyangka, saya dapat teriakan dan bentakan.
“Hei, kamu tidak memperhatikan saya..bla..bla..bla.”
“Blaaa..blaa..blaaa!!!!”
Waduh. Lalu saya pun dihukum dengan pindah posisi tempat
duduk di depan. Apakah saya pingsan? Tidak,
tapi saya marah. Sepanjang jam
pelajaran Bahasa Inggris saya menahan emosi. Lalu saya lampiaskan kemarahan itu
ke teman-teman setelah pelajaran usai. Saya ngamuk-ngamuk nggak karuan sambil
banting-banting tas. Hehe..
However, saya punya teman-teman yang baik. Yang tidak pernah
sekalipun ikut-ikutan menuduh saya nyari bocoran demi nilai di kertas ulangan.
Yang tidak pernah ikut mengolok-olok ketika saya dapat bentakan atau hukuman.
Yang tidak membalas ngelempar tas ke saya..ihik ihikk..
Singkat cerita, entahlah..apa yang terjadi antara saya dan
dia. Karena begitu rumit dan membingungkan. Ketika saya lulus es em pe dengan
predikat terbaik pun, saya tidak mendapatkan ucapan atau interogasi dari belio.
Nothing. Hehe padahal lucu juga kali kalau tiba-tiba belio marah-marah di depan
segenap guru dan siswa, lalu bikin statement bahwa saya nyari bocoran ke kelas sebelah, sekolah
sebelah, dinas pendidikan kecamatan sebelah, dinas pendidikan propinsi sebelah,
atau toilet umum sebelah.
Daaaan… bertahun-tahun kemudian akhirnya saya juga tahu,
adik saya pun kena macam saya tuh, dengan belio orang yang sama. Hehe apakah
karena saya atau hal lain, saya tidak tahu. Entah apa definisinya… sekarang
saya sadar itu adalah contoh bullying. Membuat rasa sakit hati, malu, dan minder
yang berkepanjangan serta bikin trauma.
Banyak hikmah di balik setiap kejadian.
Saya curcol bukan karena ingin mencemarkan nama baik
seseorang. Saya tertawa, karena kadang ada hal-hal konyol di setiap kejadian
yang kita tidak mengerti juntrungnya. Daripada sakit hati, toh?
Note. Mungkin disadari atau tidak saya juga pernah melakukan
bullying, entah karena faktor balas-membalas, atau faktor yang lain. I’m sorry …
Maafkanlah daku pemirsa.