Sebenernya sih small village. Tapi bener kok, kota atau desa kecil
ini –Sorowako atau Soroako- dikelilingi hutan, dan danau tentunya. Kami tinggal di perumahan
Old Camp, yang mana sebagian rumah kosong tidak terawat. Tapi sebagian besar sisanya terisi dan terawat baik.
Perumahan ini tidak
seperti perumahan di kota-kota pada umumnya.
Halamannya luas, jarak ke rumah
sekitar juga lumayan. Jadi mau bengok-bengok mungkin tidak terlalu mengganggu
tetangga. Di sekeliling rumah, entah di depan, samping atau belakang tumbuh pohon
buah yang sudah besar-besar. Kebanyakan mangga, sisanya rambutan, kersen, nangka,
kelengkeng, belimbing, alpukat, sukun. Biasanya
kita bebas mau ngambil buahnya terutama yang berada di pinggir-pinggir “hutan”,
di sekitar rumah kosong, atau di area umum.
Saya juga pernah kok, hehehe ngambil belimbing wuluh yang
lebat buahnya di pinggir jalan. Juga buah rambutan. Mangga apalagi. Di depan
rumah kami hampir setiap hari ada aja orang mungut buah yang terjatuh atau
bahkan ngambil dari pohonnya.
Kemaren pernah dengar kalau ada monyet di area “hutan”, area
pepohonan yang lebat dan rimbun. Saya terkesiap (halaaahh), secara di belakang
rumah ada sepetak “hutan”. Tadi waktu mau nunggu anak pulang sekolah di halte
bus dekat rumah, dari kejauhan saya lihat hewan merangkak. :p Kirain
kucing,..eh anjing. Ehh..lho kok jalannya kadang sambil berdiri. Laaahh monyet
ternyata. Nggak cuma satu, tapi serombongan dari kecil sampe besar. Saya perhatikan
sekeliling ternyata sepi, hanya ada pekerja yang memperbaiki atap halte, itu
pun lagi istirahat (tidur maksudnya)
Sebagai narsis wannabe dan fotografer amatiran, saya
buru-buru pulang ngambil kamera. Pas mau motret looohhh kok monyetnya kabur.
Etapi, ada tuh di dahan nangka di belakang rumah orang. Sebagian bergerombol di
bawah.
Nggak berapa lama, pindah juga mereka ke halaman rumah.
Haddeehh, ternyata saingan handal dalam nyari buah-buahan kita yak? Perasaan kemaren
kami udah mengakui
bahwa mencari kersen itu harus bersaing dengan burung kecil
nan mini.
Kok malah ngomongin monyet sih, ntar jadi ghibah lho… Padahal
ada teman monyet juga sekitar sini. Saya? Bukaaaaaannnn!! Itu lhoo, burung
maleo,burung elang, ayam hutan, burung ekor merah yang mirip cendrawasih dll.
Pernah ngeliat burung maleo di pinggir jalan, bengong bengong gimanaaaaa gitu. Hehehehe.
Tiap pagi dan sore rame suara burung bercericit.
Naaahh, kami juga jadi ngerti kenapa rumah-rumah dibikin
model panggung. Semua jendela dan teras rumah ditutup dengan kawat kasa rangkap
dua, bolak balik..(eh kayak potokopian dunk). Ya gitu deeehh..bentuknya. Kami
tinggal di rumah kayu, kira-kira semester tingginya dari permukaan tanah. Rumah
tradisional dengan interior yang menurut saya lumayan modern. Seumur-umur saya baru
pakai kompor listrik plus microwave di sini. Mesin cuci gede, plus dryer. AC
empat biji. Air panas tinggal ngucurin. Padahal mah, biasanya saya nggodok banyu
dulu kalo mau air anget buat mandi. Nggak kebayang kalo di sini nggak pake
heater. Airnya dingiiiiiiinn, apalagi di waktu malam dan pagi hari. Alhamdulillah,
nggak beli sih…semua fasilitas dapat minjem.
Jalanan di sini…agak sepi memang tapi banyak rambu-rambu. Belum
pernah nemu lampu merah, cuma ada plang STOP di persimpangan jalan. Tanda belok, dilarang belok, batas kecepatan maksimal dll. Jalanan
muter-muter berblok-blok yang awalnya cukup membuat lieur, lama-lama jadi track jalan-jalan yang asik.
Halte ada di mana-mana, dan jangan harap bisa nyegat bis sekolah
atau bis karyawan di sembarang tempat. Anak-anak sekolah terbiasa teratur di jam-jam
tertentu menunggu di halte-halte bus. Pun turunnya di halte juga.
Khusus untuk bus sekolah anak TK, ada guru yang berada di
dalam bis untuk mengawasi dan mengatur anak-anak. Tau kan kalo anak kecil
seringnya bingung harus turun di halte mana. Hehe
Untuk anak SD bus menurunkan mereka di “terminal” depan area
sekolah. Yang nggak naik bus, juga berhenti di situ. Jangan harap bisa antar anak sekolah sampe masuk ke halaman sekolah tanpa dicegat satapam hehe. Kemudian mereka akan
berjalan melewati jalan setapak, mengantri untuk masuk gerbang sekolah melalui pintu kecil. Di situ
udah ada beberapa guru piket untuk menyambut kedatangan mereka. Satu persatu bersalaman
dan mencium tangan guru lalu mereka menuju kelas masing-masing.
Pulangnya, guru
kelas akan membariskan mereka menuju tempat naik bis yang ada di dalam area sekolah.
Mereka tidak dibiarkan berlarian berdesak-desakan naik bis. Bahaya tau. Nanti
guru yang akan mengarahkan mereka harus naik bus yang mana. Kan ada beberapa jurusan
ke beberapa perumahan yang berbeda. Di dalam bus juga nggak boleh berdiri,
harus berbagi tempat duduk pada temannya, begitu kata anak saya.
Yup, bener kan suasana kota dan desa menjadi satu di sini,
di Sorowako. Meskipun kami berteman dengan alam “liar” dan suasana hutan, kami
juga berteman dengan modernitas dan keteraturan.