Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua
Satu Indonesia, satu bahasa..
Tetapi jangan lupa perhatikan logat dan cara berbahasa.
Hehehe, minggu pertama saya tinggal di Tana Luwu, saya cuma plonga-plongo
ketika di pasar. Kenapa coba? Nggak ngerti alias nggak mudeng. Padahal yang
saya ajak ngomong juga pake bahasa
Indonesia (konon kabarnya). Tapi
logat daerahnya yang begitu kental membuat saya ndomblong kayak tulup dikethek, eh kethek ditulup.
Trus mengalami lagi kejadian yang lebih dramatis. Waktu saya
melahirkan anak pertama di rumah sakit. Wah, yang ini sampai bikin trauma.
Hehehe nggak lebay kok, tapi siapa sih yang nggak sakit hati dan desperate ketika ‘dimarahi’ bidan hanya
gara-gara salah melakukan instruksinya? Terus terang saya waktu itu nggak
ngerti dia bilang apa.
Kalo bidan bilang “berkuat” artinya adalah mengejan. Itu
saya sudah tahu. Tapi siapa yang menduga saat-saat puncak rasa sakit
melahirkan, saya blank. Hilang semua
bahasa dan logat yang sudah saya adaptasi berbulan-bulan. Sekali lagi mirip
kayak tulup dikethek, bahkan lebih parah lagi. Udah ditulup, dimaki-maki. Seingat
saya, waktu itu ada dua bidan.yang satu 'marah-marah' dan ngomel. Yang satunya keliatan lebih sabar. Ketika mereka sudah mulai putus asa memberi
arahan pada saya, untunglah ada bidan satu lagi yang datang membantu. Orang keturunan
Jawa. Lalu saya diberi arahan dengan lemah lembut, sesekali menggunakan bahasa
Jawa. Dimotivasi, dibesarkan hatinya. Sangat membantu sekali pemirsa, seperti
dahaga ketemu segayung air. Ya Allah, memang benar ya, kadang-kadang kita
ditakdirkan bertemu dengan orang yang sepertinya ‘salah’, sebelum bertemu orang yang ‘benar’.Saya tidak menyalahkan logat berbahasa. Hanya menyesalkan salah paham dan omelan yang bikin saya down saat itu. Dan menyisakan trauma meski sudah berlalu. Halaaaaah... :D
Ini sekaligus menjadi pelajaran, siapa saja yang merantau, melahirkan tanpa didampingi
orang tua/mertua harap melatih fisik dan mental jauh lebih matang. Trauma itu
juga perih, Jenderal. Hingga akhirnya untuk kelahiran anak kedua saya, dari
awal saya nggak berminat sama sekali untuk menginjakkan kaki ke rumah sakit itu
lagi. Walaupun dalam teori peluang, bisa jadi kita bertemu dengan bidan-bidan yang lain, yang lebih baik dalam hal melayani pasien. Toh akhirnya, saya lebih memilih rumah sakit swasta khusus ibu dan anak, yang menurut
saya secara umum jauh lebih baik pelayanannya..
Saya pun masih ingat ‘pesan’ yang saya ucapkan pada bidan
yang membantu persalinan kedua saya.
“Mbak, tolong jangan marahi saya. Kalo saya salah, dikasih
tau saja, jangan marahi saya.”
Reaksi bidan cuma ketawa bingung. Memang agak wagu
sebenernya, tapi saya ingin menghilangkan trauma, memastikan semua baik-baik
saja, sehingga mental saya pun nggak menciut di saat-saat pertaruhan hidup dan
mati. :D Alhamdulillah, mbak bidannya nggak sedikit pun marah. Padahal masih
muda, tapi jauh lebih sabar. Nah ini juga salah satu bukti bahwa usia tidak
relevan dengan kesabaran. Hehehehe, ternyata banyak pelajaran di kehidupan ini
ya?
Seiring waktu saya belajar, memahami dan menerapkan logat
bahasa. Biar sama-sama mengerti ketika berkomunikasi.
Hmm.. kalo diingat-ingat kira-kira inilah
dialog yang terjadi dulu ketika saya mati gaya di pasar.
“Berapa, Bu?” tanya saya sambil pasang tampang sok manis.
“Lima sa'bu ji.”jawabnya. Lima sa'bu=lima ribu.
Siji, loro, telu, papat, limo, enem, pitu, wolu, sanga, sepuluh
Hiji, dua, tilu, opat, lima, genep, tujuh, delapan, salapan, sapuluh
Messa', dua, tallu, ampa', lima,anang, pitu, karua, kasera, sampuloh.
Pandangannya sedikit cuek. Ah, kalo
mau jujur buat saya wong Jowo awalnya agak terganggu, berbicara tanpa basa-basi
dan keramahtamahan.
“Nggak kurang?”
“Iye’.”
Nah, ini jawaban “iye” bukan berarti berarti “iya, boleh kok
ditawar” tapi lebih tepat ditafsirkan “Memang, nggak boleh ditawar.”
“Empat ribu ya?”
“Lima ribu ji, na sudah
pas mi itu. Tena bisa kuran lagi bah.”
Oya, logat sini agak mengaburkan akhiran "n", "m", dengan "ng". Begitu juga sebaliknya. Jadi jangan heran ada orang ngomong, "Makang ikang bakar di sampin kebung punya bujangang ganten yang suka naik mobil kijan." :D
“Iya, deh.”
“Jadi mi ki ambil?”
Harusnya, pada saat itu saya menjawab “iye’.” Secara lebih
sopan dibanding kata “iya”. Meskipun kata “iya” masih jauh lebih sopan dibanding
“iyo”.
Itulah, logat bahasa. Mudeng jalaran soko kulino. Terbiasa
mendengarkan dan jangan sungkan belajar. Learning by doing too…