Rabu, 25 Juni 2014

Que sera sera


Hohoho..lagak-lagaknya saya mau nyetatus  masalah pulitik lagi nih. *kapok lombok bener deh eike hahaha*
Iya deh maap..maap..

Ah, saya itu cuman flash back perjalanan hidup saya beberapa tahun ke belakang. Nggak nyangka sama sekali saya bisa terdampar di kawasan timur Indonesia, dan  berkesempatan hidup merantau bertahun-tahun lamanya. Ah, dulunya saya ini cuman orang udik yang mencoba peruntungan kuliah di kota hujan, Bogor. (sekarang eike juga masih udik pemirsaaa!) Alasannya simple, saya diterima tanpa tes. Hihihi daripada repot-repot UMPTN.  Hikss, dan ternyata saya kurang sukses menjalani kuliah saya. Tidak perlulah saya ceritakan panjang lebar kenapa begini begitu, sebab akibat dan lain sebagainya, karena menjadi lebay jika saya ceritakan. *modus ngeles*

Saya pernah dapat IP satu koma. Hah?! Beneran, suerrr takewer-keweeerr… hahaha sekarang saya nggak malu menceritakan “aib” tersebut. Pelajaran hidup. *ihhiirrrr*
Beberapa semester setelahnya saya tertatih-tatih mengejar nilai IP, minimal IPK saya harap nantinya minimal bisa 2,75. Saya juga sering mengulang mata kuliah bersama adik kelas. Hiksss..
Dan di masa-masa itu saya sempat tidak yakin dengan masa depan saya.
Akan jadi apa saya nanti? Bisa beli ini itu kah?
Siapa yang mau memperistri saya? Wakakakkk..kepikiran juga beginian, secara dulu eike belon punya gandengan.
Hidup saya nanti seperti apa? Apakah bisa kehidupan saya bisa lebih baik seperti yang diharapkan orang tua?
Pertanyaan-pertanyaan berputar-putar di masa galau itu. Hingga saya hampir tidak sadar bahwa kehidupan berjalan. Roda kehidupan berputar.

Tahun 2004 akhirnya bisa lulus kuliah (juga). Tahun 2005 bisa mengakhiri masa lajang, hihihiii so sweet dah.  Dan di tahun yang sama untuk pertama kalinya saya naik pesawat. Hahahaha…parah beud, gini aja dikoar-koarin jadi status. Menjejakkan kaki dan penghidupan kami di rantau orang, di kawasan timur Indonesia tercinta.
Ah, memang waktu selalu menjadi jawaban atas pertanyaan kita. Waktu bergulir sedikit demi sedikit mengajari tentang hidup dan kehidupan.
Saya sangat bersyukur dengan kehidupan yang bertahun-tahun yang lalu tidak sedikit pun pernah saya impikan.  

Begitulah, tidak ada yang tahu pasti tentang masa depan. Lupakan ramalan, lupakan zodiak, lupakan penerawangan.. Kita hanya berusaha dan berdoa. Sisanya biarkan takdir berbicara. Biarkan Tuhan menuntun langkah kita. Seperti itulah yang saya yakini sekarang. *dulu sih nggak begitu hihihi*

Makanya saya itu sangat heran seheran-herannya ketika ada orang-orang atau sekelompok orang yang sedemikian yakinnya dengan pilihan capresnya hingga dia seolah-olah memberi jaminan 100% tentang masa depan Negara dan rakyat Indonesia. Hahahaha maap, postingannya akhirnya ke situ-situ juga.
Sedemikian heboh dukungannya hingga lupa, para capres itu manusia. Orang-orang yang di belakang capres itu juga manusia. Partai-partai di belakang capres itu juga kumpulan manusia. Yang bikin berita itu juga manusia. Yang pesbukan, twitteran juga manusia. Yang nulis ini juga manusia, pun juga yang baca. Hihihii *salaman semuanyaaaa*

Saya juga herman eh heran dengan pendapat orang yang seolah-olah memastikan bahwa jika capres sebelah yang terpilih maka pasti akan begini begitu… (yang jelek-jelek). Yang begini kayak nyumpahin nggak sih?
Duh, miris to the max.
Bukankah sebaiknya kita berdoa bahwa siapa pun yang terpilih nantinya, semoga yang terbaik dan mengusahakan yang baik-baik.
Menurut saya sih, ini menurut saya lhooo, boleh setuju boleh kagak.
Tentukan pilihan, kalo perlu istikhoroh dulu.  Lalu berdoa yang baik-baik tentunya. Sisanya biarlah Tuhan yang menyempurnakan ikhtiar kita semua.

Ah, jadi pengen nyanyi lagu ini. Penontooonnnn…!!! Yuk tutup kuping semuaaaaa. Hahahaha
Que sera sera
Whatever will be will be
The future’s  not ours to see
Que sera sera
What will be will be..



Senin, 26 Mei 2014

Susahnya Berkawan Monyet

Critanya neh dua kakak beradik mau main ke rumah tetangga sebelah. Pas di sebelah rumah, tapi terpisahkan halaman. Jarak pintu ke pintu kurang lebih sepuluh meter, atau lebih. Nah sore itu emaknya lagi leyeh-leyeh pencat pencet remot tipi.

“Mak, aye mau main ke sebelah ye, sama adek.” Anak yang gede minta ijin.

“Iye, boleh. Tapi jaga adeknya ye, nggak boleh nakal-nakal. Emak ntar nyusul.”

Nggak sampe semenit mereka dah berhamburan (emangnye tepung hihihihi) menuruni tangga rumah. Pake sandal, lalu melesat ke samping. Ciaaattt…

Eh, selang semenit kemudian mereka ribut berteriak.

“Maaaakkkkk………….emaaaaaakkkkk…!!”

Bukk…bukkkk…bukkk. Suara langkah mereka berlarian terburu-buru.

“Ada monyeeeettttttt!!!”

Emak langsung beranjak ke teras melongok keluar. Waduh…bener juga ntuh ada monyet di depan rumah tetangga. Yang paling besar, kayaknye kepala rombongan monyet. Lagi jalan perlahan sambil bawa sesuatu di mulutnya. Kayaknye juga nggak terpengaruh suara anak-anak. Cuek-cuek aja tuh.

Kalo anak-anak lagi nggak di luar rumah sih, emak nggak panik. Ngeliat si kecil terjatuh, buru-buru emak lari ke bawah. Nggak pake sandal, nggak sempet juga pake kerudung. Untung sepi, tertutup pohon-pohon hihihii. Duh, Gustiii…maap.

Anak yang gede dah sampe tangga rumah, sementara anak yang kecil masih tertatih bangun. Nangis kejer. Berhubung anak-anak dah aman, emak naik lagi ke rumah.

Si kecil masih nangis.

“Huuu..huu..huuu..takut monyeettt.”

“Udeehh..pan dah aman. Monyetnya juga jauh. Kite pan dah di dalam rumah.” Emak menghibur.

“Sandalnya ketinggalan..huuuu..huuu..ntar kalo diambil monyet gimana???”

Olalaaaaa… Emak buru-buru turun lagi. Kali ini nggak lupa pake sandal dan kerudung. Misinya ngambil sandal di perbatasan, antara rumah sendiri dan rumah tetangga.

Misi berhasil. Anak yang gede malah ketawa-tawa. Dan si kecil mulai tenang. Jadinya kami nonton monyet dari teras rumah. Monyet-monyet riuh di belakang rumah tetangga. Entah apa yang diambilnya. Jangan-jangan buah nanas di halaman tetangga? WHATTT?!!

Buru-buru ngasih inpo ke tetangga.

“Nyak, nanasnya diambil monyet tuh.”

“Waduh, harus segera diselamatkan nih.” Sahutnya

Masih ada beberapa sisa buah nanas. Bersenjatakan pisau, misi kedua segera dilaksanakan!!
* * *

Kamis, 01 Mei 2014

Penyakit TB Bisa Disembuhkan



Apabila di antara kita ada yang dinyatakan sebagai penderita  TB, tidak perlu risau dan galau. Sekarang ada obat gratis yang disediakan pemerintah. Jadi tinggal kemauan Anda untuk berikhtiar mendapatkan kesembuhan, di antaranya dengan rutin periksa ke dokter setiap bulannya dan rutin pula meminum obat sesaui anjuran dokter.

Jika Anda  termasuk orang yang susah dengan rutinitas meminum obat, maka hendaknya perlu didampingi oleh kerabat, saudara atau teman yang bisa mengingatkan jadwal minum obat Anda. Anak-anak kecil yang belum dewasa tentu saja membutuhkan pendamping minum obat supaya asupan dosis obat terjamin setiap harinya. Begitu juga untuk lansia atau orang-orang yang berkebutuhan khusus.

Namun jika Anda adalah orang dewasa tanpa kekurangan spesifik tapi kesulitan mendapatkan pendamping minum obat, tak perlu galau. Menurut pengalaman saya, justru tekad dan semangat yang kuat yang lebih penting.Ingat selalu akan jadwal minum obat, kalau perlu jadwal ditempel besar-besar di tempat2 yang mudah terlihat.

Anda juga tak perlu minder. Tak perlu menutup diri. Tak perlu selalu berkeluh kesah, karena sugesti positif dalam diri Anda mendukung proses penyembuhan. Berdoalah dan berusahalah sekuat tenaga. Jangan lupa minum obat secara rutin dan jangan sampai terputus hingga dokter menyatakan Anda sembuh. Tak perlu kuatir dengan masa depan Anda, karena TB bisa disembuhkan.

Nah, sebaliknya  apabila di antara kita mendapati teman, kerabat, atau saudara di sekitar kita yang menderita TB maka sedapat mungkin berikanlah dukungan kepada mereka. Memang TB bisa menular, tapi kita tak perlu menjauhi penderita TB. Jika penderita TB sudah mendapatkan pengobatan rutin beberapa minggu pertama, maka kuman TB menjadi tidak aktif untuk ditularkan.

Dukungan yang bisa kita berikan bisa bermacam-macam. Berikanlah sugesti positif kepada penderita bahwa TB bisa disembuhkan. Jadilah pendamping minum obat yang mengingatkan penderita tentang jadwal rutin minum obat setiap harinya selama beberapa bulan. Jika diperlukan berikanlah informasi sebanyak-banyaknya tentang penyakit TB yang benar dan akurat kepada penderita dan orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kita bisa berperan serta dalam edukasi masyarakat dalam rangka memutus rantai penularan dan penyebaran TB


Selasa, 08 April 2014

Oh, Ternyata Obat TB Gratis



Setelah dinyatakan sebagai penderita Tuberkulosis, maka untuk beberapa bulan ke depan aku harus rutin meminum OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Kombinasi antara INH (isoniazid), rifampisin, etambuthol dan pyrazinamide. Bukan terlalu masalah jika aku harus mengkonsumsi obat-obatan beberapa macam setiap hari. Tapi yang menjadi masalah adalah setiap hari aku harus menghadapi kenyataan bahwa warna pipis menjadi semerah darah. Hihihihihi… bukan pilem horror, tapi memang begitulah, efek obat.

Berhubung ketidaktahuan dan keterbatasan informasi yang kudapatkan, resep obat tuberkulosis/TB dari dokter kutebus dengan harga mahal. Padahal aku membelinya di apotek yang terkenal dengan harga yang paling murah di kota Bogor. Memang sih, obat yang diresepkan jenis obat bermerk. Kalau tidak salah ingat, Rimactazid. Belakangan aku baru tahu bahwa obat TB itu gratis, bisa didapatkan di puskesmas dan klinik kampus. Oh maemunaaaahh… hihihi, nggak gaul nih yee.

Aku ingat untuk menebus resep pertama kubayar pakai sisa uang bulanan dan tabungan yang nggak seberapa. Ah, waktu itu kartu ASKES punyaku nggak laku, dan ketika kuurus malah dipingpong ke sana kemari. Dan aku bukan dari keluarga berlebih (mau bilang kismin kok kurang pantas hehehe) yang uang segitu terasa ringan. Sekitar 200-300 ribu untuk sekali tebus, untuk pemakaian sebulan. Sedangkan uang bulananku saja paling 200 ribuan. Hmmm…terkadang memang kita harus melewati masa-masa pahit sebelum masa-masa setelahnya berasa jauh lebih manis. Terkadang kita harus mengalami masa sakit sebelum masa sehat terasa begitu nikmatnya. Dan terkadang kita harus melewati masa patah hati sebelum cinta itu berasa indahnya. Ihhhiiiiirrrr…..

Entah kenapa aku terlambat mengetahui bahwa obat TB itu bisa gratis di klinik kampus dan puskesmas terdekat. Ketika bulan terakhir aku konsultasi ke klinik kampus, aku sempat ditegur dokternya. Intinya sih, kenapa aku nggak konfirmasi dulu ke klinik kampus, sebelum menjalani pengobatan TB, kan obat TB gratis di situ.

Ya sudahlah, tapi aku nggak menyesal, karena aku bisa berkenalan dengan dokter yang baik hati, yang menggratiskan biaya konsul sekaligus juga memberi motivasi-motivasi. Sehingga masa-masa pengobatan TB yang kujalani terasa banyak hikmahnya.

Dan alhamdulillah melewati sebulan masa pengobatan aku dinyatakan lolos beasiswa ETOS Dompet Dhuafa dengan nilai subsidi 250 ribu per bulan selama setahun. Pertolongan Allah begitu dekat. Aku pun meyakinkan orang tua untuk tidak usah memberi uang saku tambahan. Biarlah uang beasiswa yang dikorbankan hihihihi.

Ah,serasa nostalgia ketika tahun kemarin aku harus menghadapi kenyataan bahwa anakku menderita limfadenitis TB. Benjolan di leher yang kukira biasa ternyata oleh dokter yang memeriksa harus ditindaklanjuti. Rontgen, tes darah dan tes FNAB. Kesimpulannya sih harus terapi OAT selama 6 bulan. Syukurlah meskipun konsultasi dan biaya obat tidak kami dapatkan gratis di puskesmas atau rumah sakit, tapi aku masih bisa mengandalkan asuransi kesehatan dari kantor suami. Alhamdulillah,ujung-ujungnya gratis.

Tapi lain halnya dengan tetanggaku di kampung, yang anaknya lebih dulu mendapatkan diagnosa  dan pengobatan OAT. Dia mengeluhkan biaya obat yang menurutnya lumayan mahal. Kubilang saat itu harusnya sih obat TB bisa gratis di puskesmas atau rumah sakit pemerintah terdekat. Tapi entahlah, mungkin keterbatasan informasi, keruwetan birokrasi, atau sebab lainnya.

Obat TB memang gratis, saudara! Kalau nggak percaya coba tanya Pak Presiden atau wakil rakyat kita di DPR. Atau di pusat-pusat informasi kesehatan. Googling aja.. Nah, yang jadi pertanyaan sebenarnya kenapa hari gini masih ada yang tidak tahu kalau obat TB itu gratis?

Mungkin, penyebaran informasi masih kurang merata, terutama di daerah-daerah yang akses rumah sakit/puskesmas masih sangat terbatas. Coba seandainya sosialisasi informasi penyakit tuberkulosis dan pengobatannya yang gratis itu bisa dilakukan gencar seperti gencarnya kampanye caleg. Ahahahaa…Pasang poster, pembagian brosur, penyuluhan di sekolah atau balai desa, kampanye di media-media sosial,  dan iklan di televisi. Mungkin perlu juga perekrutan relawan-relawan penyuluh TB di daerah-daerah yang masih banyak ditemui kasus TB. Selain memberikan pengetahuan tentang TB ke masyarakat, juga bisa jadi upaya memutus rantai penyebaran TB secara preventif (pencegahan) dan kuratif (pengobatan).

Yang kedua, menurutku, perlunya distribusi dan ketersediaan OAT di rumah sakit pemerintah dan puskesmas yang terpantau baik. Lha iya lah, udah digembar-gemborkan gratis tapi kalau stok obat kosong, jadinya sami mawon tetep saja beli. Lalu, jangan sampai ada penyalahgunaan obat gratis, jangan sampai ada oknum yang memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat. Bisa masuk delik aduan ke KPK nih. Hehehe..

Yang berikutnya, pentingnya kepedulian kita semua terhadap penyakit TB. Jangan segan berobat ke dokter jika ditemui gejala-gejala penyakit TB. Jangan minder jika kena penyakit TB. Jangan putus semangat untuk terapi OAT. Percayalah, TB bisa disembuhkan. 


>>>>>>>>>>>>>>>>>> 
  
Tulisan untuk serial #1 di sini

Senin, 07 April 2014

KOSONG



Pagi yang dingin. Seperti jarum-jarum kecil yang menusuki setiap inci tubuh. Matahari masih nyaman bersembunyi di balik mendung. Suasana masih sunyi. Hanya suara induk ayam dan anaknya yang sibuk mencari makan. Aku berdiri di teras belakang rumah sambil menikmati pemandangan desa. Empang yang tenang. Sawah yang terhampar. Dan gunung yang berderet di kejauhan. Nampak asri. Pohon jambu air berbuah sangat lebat. Hampir semuanya terlihat memerah.
Seorang gadis kecil sibuk mencari-cari buah jambu air yang jatuh. Tak lama dia masuk ke dalam empang. Berceburan. Derap-derap kakinya seperti berlomba dengan gerakan ikan di dalam empang. Pakaiannya agak lusuh. Rambutnya sebahu dan masih berantakan.
“Jangan di situ, Dik!” seruku seraya memanggil. “Kalau mau, ambil saja dari pohonnya.”
Wajahnya menengok sebentar. Lalu seperti tidak mendengar dia terus melanjutkan mencari jambu sambil berceburan. Kaos lusuh digulungnya di bagian perut. Nampak basah oleh cipratan air dan buah jambu air yang penuh.
“Haii!” teriakku lagi.  “Jangan di situ. Tuh, pakai gantar di bawah pohon!” Aku menunjuk pohon jambu tepat  di samping empang.

Minggu, 30 Maret 2014

Mengapa Aku Kena TB?




Mengapa aku kena TB? Yang jelas ini bukan kebetulan, bukan kutukan, bukan pula pencitraan. 

Dulu, yang kutahu menderita penyakit TB (Tuberculosis) adalah hal yang memalukan. Nggak elit. Kelihatan kumuh. Hanya layak diderita oleh kalangan-kalangan bawah banget dan bawahnya lagi. Duh, ternyata pemikiranku ini sangat cetek dan agak menyimpang. Apalagi sebagai warga Negara Indonesia, yang seharusnya tahu bahwa Indonesia termasuk negara dengan tingkat endemik TB yang masih tinggi. Semua bisa kena. Kakak, adik, keponakan, kakek, nenek, pakde, bude, tetangga, Pak Camat, Pak Lurah, Pak RT, Pak RW dan artis ibu kota bisa saja terjangkit penyakit ini. Termasuk juga aku.

Menemukan bahwa diriku ternyata mengidap penyakit TB adalah sebuah perjalanan yang spesial, penuh tantangan dan air mata, juga cerita-cerita yang mungkin bisa kubagikan untuk teman-teman semua. 

Kilas balik di tahun 2001-2002, masa-masa yang lumayan berat bagiku. Waktu itu aku masih kuliah tahun ke-3 dan ke-4. Status masih jomblo, sementara beberapa teman sudah punya gandengan, ihiikk. Eh, bukan itu ding permasalahannya. Lagipula aku penganut paham jomblo bahagia, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, hemat, cermat dan bersahaja.

Lalu apa pasal?

Begini ceritanya…

Sore itu, dengan beberapa keluhan kesehatan yang kurasakan selama beberapa waktu, aku mendatangi seorang dokter di klinik swasta di Kota Bogor. Sering demam, nyeri dada, lemah, dan letih.

Dokter yang sudah sepuh itu lalu bertanya, “Sebelumnya kamu pernah batuk sekitar dua minggu atau lebih?”

Aku ingat-ingat. Iya lah, betul. Sekitar 5 bulan sebelumnya, aku pernah batuk parah, dulu sih dibilang bronchitis, selama 2 mingguan. Sampai aku terpaksa pulang ke rumah orang tua di kampung halaman, menempuh perjalanan naik bis Pahala Kencana selama belasan jam. Dan aku pun seperti  hampir pingsan ketika hendak sampai di tujuan. Duh, sedihnyaaaa…

Lalu dokter pun melanjutkan, “Ya sudah, rontgen secepatnya yah? Nanti kita lihat hasilnya.”

Aku masih bingung. Apa hubungannya batuk yang kemarin dulu dengan rontgen? Kan sudah sembuh? Ya sudahlah, besoknya aku bergegas ke rumah sakit terdekat, membawa surat pengantar rontgen dari dokter.

Ketika sudah mendapat hasilnya, dan aku terbata-bata membaca tulisan yang di lembar keterangannya, namun Pak Dokter memberikan penjelasan panjang dan lebar, sambil menunjuk beberapa area di foto rontgen dada/paru-paru. Ada beberapa yang dia kasih tanda dengan spidol untuk memperjelas.

Intinya aku kena TBC atau tuberculosis atau TB.

Berarti batuk 2-3 minggu yang pernah kuderita mungkin saja itu gejala awal kuman TB mulai menyerang. Batuk yang parah hingga menggigil badan.

Ketika batuk ‘sembuh’ namun setiap hari aku  masih merasakan meriang/demam  itu adalah gejala TB.

Ketika tubuhku semakin ngedrop selama beberapa bulan itu artinya kuman TB semakin menggerogoti tubuhku.

Dan saat aktivitasku terganggu karena fisik yang semakin lemah, itu karena aku  positif kena TB.

Oh, seketika aku seperti melayang. Ya Allah..kenapa bisa? Kata Ibuku, dulu waktu aku balita beliau tidak pernah lupa datang ke Posyandu untuk meng-imunisasi diriku. Berat badanku pun ditimbang selalu. Belakangan aku tahu bahwa orang yang divaksin BCG masih bisa terinfeksi kuman TB. Namun vaksin BCG ini bisa mengurangi resiko komplikasi yang parah.  

Kata dokter,  kuman TB yang tadinya hidup di paru-paru bisa terbawa peredaran darah hingga kemana-mana, contohnya ke otak. Kalau tidak segera diobati, maka penderita [dewasa] bisa menjadi sumber penularan penyakit TB, melalui percikan ludah, batuk, juga lewat berbicara.  Selain itu jika tidak segera diobati maka akibatnya bisa fatal.  Ngeri ya?

Pak Dokter pun berkata bahwa semakin cepat terdeteksi, semakin cepat diobati, maka semakin cepat sembuh dan bisa memutus rantai penularan TB. Asalkan rutin dan disiplin memimum OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Beliau menggratiskan biaya konsultasi selama aku masih terapi OAT. (Terima kasih, Pak. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan yang berlipat ganda)

Begitu mengetahui aku kena TB dan harus menjalani terapi obat, aku drop, kaget, dan terpukul. Belum sembuh rasa kecewa dan sedih atas IP (Indeks Prestasi) satu koma waktu semester kelima, sekarang aku harus menghadapi seperti ini. (Padahal waktu semester keempat IP-ku tiga koma, hikkkss) Aku kena TB sodara-sodara! Tuberkulosis.

Sepulang dari dokter, aku  menangis seharian. Sholat sambil nangis, bukan karena kekhusyukan, tapi karena aku sedih. Sedih banget. Duduk di depan meja belajar aku tertunduk menangis. Di kasur sambil tiduran juga menangis. Aku bingung bagaimana memberitahukan ini pada orang tua. Aku tidak sanggup  membayangkan bagaimana perasaan mereka. Bagaimana galaunya mereka  memikirkan aku dan penyakit TB-ku. Oh, kami kini sepaket, setidaknya untuk beberapa bulan ke depan. Aku dan TB.

Ah, akhirnya aku tidak sanggup memberitahukan lewat telepon. Dan aku pun memilih menulis surat. Hehehe… Kalau lewat surat kan, kira-kira informasi sampai dalam waktu beberapa hari dan selama itu mungkin aku bisa lebih tenang, untuk berpikir dan mengobrol dengan orang  tua.

Entah dari mana, semangat itu perlahan muncul. Yang terutama adalah motivasi dari orang tua dan kakak. Lalu dari teman-teman terbaik di dekatku. Kukatakan pada diriku, selamat menjalani pengobatan TB, semoga berhasil. Kutekankan berkali-kali bahwa aku bisa. Lalu aku memulai hari-hari sebagai pasien TB untuk beberapa bulan ke depan sebelum statusku dinyatakan sembuh total. Sungguh pengalaman yang spesial dan mahal.

Meskipun sampai sekarang, pertanyaan “Mengapa aku kena TB” belum terjawab jelas, tapi setidaknya menjadi pelajaran bagiku dan mungkin bagi teman-teman semua. Waspadalah jika kita atau orang-orang sekitar kita menderita batuk [parah] selama 2 minggu atau lebih. Jangan diabaikan, minimal setelah sembuh harus tetap periksa ke dokter. Apalagi jika muncul keluhan yang tidak biasa, contohnya badan terasa lemah, nyeri dada berkepanjangan, demam/meriang setiap hari, berat badan turun tanpa sebab jelas, atau muncul benjolan di area-area kelenjar di tubuh. Juga Indeks Prestasi merosot drastis, eh bukan yang ini ding. Hehehehe..ini sih kasus spesifik diriku, sekalian curcol. Boleh dong?

Waspadai juga ketika ada penderita TB di sekitar Anda. Bukan berarti Anda harus menjauhi mereka, tapi bantulah agar mereka sembuh sehingga tidak menjadi sumber penularan kuman TB. Karena siapa pun bisa terjangkit, termasuk juga Anda. 

Waspadalah!

>>>>>>>>>>>>>>>>>>