Selasa, 31 Juli 2018

Menertawakan Masa Lalu



Bertemu kembali dengan kawan-kawan lama, membuka memori saya di masa lalu.
Oke, untuk short-term memory saya akui saya agak payah. Bahkan kadang antara yang saya pikir, saya lihat, dan saya lakukan tidak seiring sejalan. Misal gini. Beberapa kali kejadian saya pakai sandal selen. Satu jepit, satu selop. Satu sandal sendiri, satu sandal tetangga. Sik, iki sakjane disorientasi atau hobi yak. Bayangin tetangga saya sibuk nyari sandalnya. Jebulnya ketemu di dekat tangga rumah saya. Lalu kami ngakak bersama. 
Di situ saya sadar tentang keembuhan saya. Ncen owk!

Nah, untuk long term memory...rada mendingan lah. Detail peristiwa di jaman rikiplik kadang saya masih ingat. Kenapa? Ya karena berkesan. Entah kesan negatif, atau positif. Kesan bagus atau buruk. Kesan bahagia atau sedih. Kesan lucu atau wagu. 

Yaaa...namanya hidup kan yak, masa gitu gitu doang. Iya nggak sih? Hidup itu memang semestinya berwarna. Yoiiihh....

Meskipun ada masa di mana saya seperti lupa segalanya. Hingga saya menemukan kembali kepingan - kepingan cerita lama. De javu yang menyiksa...memaksa saya mengingat banyak hal.

Ngemeng-ngemeng, mengingat masa lalu itu enaknya inget yang bagus-bagus yak. Etapi enggak juga ding. Saat saya pernah dapat IP satu koma, trus lantas inget bahwasanya saya dulu lulusan terbaik waktu SMP dan SMA, saya kok malah merana. Hahaha. Sing bener piye leh?

Kenangan masa lalu yang pait atau yang kurang bagus, sebenarnya nggak enak juga kalo diingat.  
Tapiiii...
There's nothing on your bad memory you should take, but the lesson. Pait-pait sedep gitu deehhh. Kayak kamu...eh jamu. Jamu pait kan, tapi bisa bikin badanmu bugar. Katanya. 

Well, kata Patrick, "Berhentilah hidup di masa lalu, karena itu hanya akan menyakitimu."

Bener juga. Jangan sampai kita terjebak dalam masa lalu, baik masa lalu diri kita sendiri atau masa lalu orang lain. Duh, Maakk... Kenapa bisa terjebak dalam masa lalu orang lain? 

Nggg...nganu, bisa jadi karena kita merasa menjadi bagian dari masa lalu orang lain, lalu kita selalu mengungkit-ungkit dan tidak beranjak dari itu. 

Wooiii...orang lain dah pada ke mana, bisa-bisanya menyiksa diri seperti itu. Atau bahkan kita selalu membicarakan masa lalu kita, ngunu ngunu tok terus....padahal sebagian orang dah lupa. Belum tentu sosok kita itu melekat di ingatan semua orang,  jadi kalau ketemu teman lama ndak perlu kita bangga-banggain apa yang telah berlalu, di jaman rikiplik itu. 
Sesuatu yang didiamkan dalam jangka waktu lama, kadang bisa disebut klasik...tapi kadang juga disebut basi atau jamuran. Kan yo ngono leh? 

Mengenang masa lalu tentu boleh lah yaaa... Siapa yang larang? Sini laporin ke saya, wkwkwkwk.
Seperlunya. Sekedarnya. Okesip.

Jarene Spongebob, "You will never know the true value of moment until it becomes a memory."

Naahh, gitu kan. Emang kadang mengenang masa lalu itu manis kok. Tapi jangan kebanyakan, nanti diabetes. Eh..
Trus, pernah nggak menertawakan masa lalu?

Yang lucu, yaaa...dah biasa kalo kita ketawain.
Yang manis, yaaa mengenang sambil senyum.
Yang lucu, ya ketawalah.
Yang pait, yaa...nangis?
Kayaknya sih, salah satu tanda orang udah bisa move on itu adalah dia bisa menertawakan masa lalunya, yang pait sekali pun. Atau yang campur aduk, antara manis, pait, lucu, sedih dll.

Plong kan, kalo kita dah bisa menertawakannya? Dengan perasaan yang kembali normal adanya.
Let's see our future.
Yakin aja deh, setiap episode kehidupan  mengantarkan kita ke kehidupan terbaik saat ini.

Apa yang kita lalui, apa yang kita rasakan, 
Apa yang pernah kita bangun, lalu hancur berkeping pun,
Apa yang pernah kita bayangkan, lalu tidak sesuai kenyataan,
Hati yang terluka sedalam-dalamnya, 
Hati yang hancur berkeping,
Luka yang serasa tiada jera,
Itu adalah energi untuk kehidupan masa depan. Keep moving on. 

Bukankah elektron membutuhkan energi besar untuk melompat ke orbit yang lebih tinggi?

---untuk kamu, jangan biarkan hatimu petjah berkeping hanya karena secuil fakta masa lalu yang baru terkuak kini. Keep on the track. 
---untuk kamu, yang merasa patah hati... Time is healing. Jika saat ini kamu menangisinya, yakinlah suatu saat kamu akan tertawa mengenangnya.
--untuk kamu, yang merasa nganu...ya nganu aja lah Hahahaha. Pokoknya love, peace, dan gaol. 😂😂



Sabtu, 28 Juli 2018

Tutorial Menjahit Bandana Simpel

Punya anak perempuan bikin tangan 'gatel' bikin pernak pernik untuk mereka. Salah satunya ini. Bandana kain pelengkap/aksesoris rambut atau jilbab mereka. Manis, kan? Simpel kok bikinnya. Bahkan anak-anak bisa diajari untuk ikut membuat bandananya sendiri.

Siapkan alat dan bahannya.
1. Kain atau perca yang dipotong memanjang. Saya pakai kain katun Japan design ukuran 10 x 70 cm.
2. Kancing warna warni.
3. Velcro. Itu lho perekat yang sering dipakai di sepatu anak, kalau dilepas seperti ada bunyi 'prepeett..preeeeepeetttt' 
4. Benang, jarum, gunting

Lipat potongan kain seperti pada gambar. Bagian bagus ketemu bagus, lalu dilipat sehingga bagian buruk di luar.

Jahit kira-kira setengah cm dari pinggir. Ujung-ujungnya jangan dulu dijahit ya..
Jangan lupa sisakan lubang/bagian yang tidak dijahit di pertengahan kain. Gunanya nanti untuk membalik kain.

Ujung-ujung kain dijahit seperti pada gambar. Letakkan garis jahitan di tengah, lalu jahit bagian ujung kain. Lakukan hal yang sama untuk ujung satunya.

Balik kain yang sudah dijahit melalui lubang yang tadi.

Lalu jahit lubang pembalik. Jahit menggunakan cara jahitan som/blindstitch biar rapih. Benangnya usahakan warna senada.

Lipat sedikit salah satu ujung kain. Lihat gambar ya..
Lalu jahitkan kancing pas di lipatan. 
Ulangi lagi melipat dan menjahit benang kedua, ketiga dan seterusnya.

Saya pakai tiga kancing. 
Penampakan belakang dan depan seperti di gambar, ya?

Ukur dan sesuaikan bandana dengan kepala anak, untuk menentukan posisi velcro yang akan dijahit.
Jahit velcro di kedua ujung kain. 
Kenapa saya pakai velcro? Menurut saya itu yang paling gampang dipakai sendiri oleh anak. Mungkin bisa juga pakai alternatif lain seperti kancing atau yang lain. 
.
.
Dah siyaapp dipakai.


Jumat, 27 Juli 2018

Curcolan Emak

Sebagai ibu yang (mudah-mudahan) baik dan sholihah, (I'm 55+ kgs, FYI 😁)
Aku tuh ya kurang lebih samalah dengan ibuk ibuk lainnya.
Ngurus anak, ngurus suami, dan ngurus rumah. Iseh nyambi liya-liyane. Nek selo yo dong ngurus follower dengan mbikin postingan-postingan yang mudah-mudahan bisa menghibur di waktu selo  klean yang mbukak pesbuk. Jare netijen, heleeehh mbel..
Lhooo.... Sampeyan ndak percoyo a?

Aku nek isuk, cak cek ngono. Gawean omah taktandangi, wong aku gak duwe ART. Sampeyan gak ngerti kepanjangane ART? Takon gugel leehh... 
Tekan endi mau? Iyo, gawean omah. Termasuk masak, umbah-umbah (nek iki takpasrahke washing machine), mepe kumbahan, nyetriko, nyapu, ngepel, nyapu latar, nandur-nandur kembang, blonjo pasar, isah isah ...
Tenan, taktandangi kabeh. Kabeh itu semua. Dengan semangat membara dan tenaga serupa iron man. Sat set sat set ngono koyo jempolku nek pas ono diskonan. #eh 
Gawean sakmono akehe rampung dalam sekejap, tanpa kakean interupsi. 
Jadi omah ki senantiasa apik, resik, dan rapih. 
.
.
.
.
.
.
.
.....koyo dambaan ibuk ibuk seantero nusantara. Termasuk aku.
Karepku sih yo ngono. Yo ngunu iku pokokmen, lha tapine...akeh tapine je.

Tapine nek teori ki ancen kudu terstruktur semacam itu. Ben luwih suemangat. Karena pada prakteknya banyak sekali selingan, iklan, mbek interupsi. Banyak itu akeh, luwih soko telu.
Wektu mbak, wektu... Mengko reti-reti wis sore, durung adus malah iseh sibuk nyapu omah.
Yo ngeneki leh.
Contone, nek ra nyetatus, nyopi, wasapan, ... yo pota poto. Dong nek lucu dan layak, taksyer untuk khalayak netijen semua, masiyo ogak kabeh. 

(In frame : anak-anak selepas main bola. )

Azka : "Udah belum motonya?"
Anin : "Cepetan atuh euyy....!"

Aku : "Deekkkk, hapenya taruh dulu!"

Ara : "Nanti dulu, dedek juga mau poto selpi."

Aku : Ealaahhh yo...yooooo....!

Kamis, 26 Juli 2018

Emak-Emak Ngecipris dalam Bahasa Rembang


Aku ndek isuk mau tangi rada kawanen. Ngono iku dadine lak rush morning leh. Kowe paham gak artine rush morning? Nek gak paham takokna gugel. Gugel ki reti opo ae. Pomeneh artine rush morning, kowe takok lagune Nissa Sabyan sing hmm hmm ae dekne reti kok. Sangar leh?😁

Pokokmen ngono. 

Kluthak kluthik ning pawon nyiapno sarapan karo bekal ...eh bontotan nggo sing budhal sekolah ambek sing kerja. Kerja..kerja..kerjaaaa... Wis gajian koyone, tanggal piro saiki Mak? Isah isah ambek lambene kadang-kadang muni nek misale cah cah kurang cepet entuke tandang. Ngunu iku lho caaahh, sarapan kok malah ndelok kartun spongebob. Takkongkon ndang siyap siyap, eh..ndilalah aku kok yo lali jebul klambine anak-anakku nggo dino iki durung taksetriko.
Ealaahh...rush morningku kok koyo embuh.

Ben ogak embuh, aku sambi ngrungokna lagune Nissa Sabyan, tapi dudu sing hmm hmm. Wong durung takdonlot.
Ngono iku tapi aku iseh sempet mbukak pesbuk ambek wasap saah. Lak embuh leh?
Nek jarene wong-wong jenenge multitasking emboh multi opo kae. Pokokmen ngono.

Anak wedhok budhal disik. Wis rapi, lengkap. Bar iku, trus anak lanang sing budhal. Jam bis sekolahe beda sakjam. Bar nyetriko aku lak nyapu leh. Ngono iku yo sempat lungguh disik sah, nyekel hape trus nyetatus. Emak macam apah?! Hahaha.

Wis jam wolu. Bar iku karo eling-eling. Kok aku selo banget eh suelone pol ngeneki leh. 

Ndeeeehhhh, jebulane anak cilikku sing playgroup durung tangi.

Saya merasa embuh. 😑

Rabu, 25 Juli 2018

Menerawang Sosok Joesoef Kalla dari Novel Athirah

Jujur saja, saya jarang berhasil membaca buku-buku tebal serupa novel. Beberapa buku tebal serupa novel di rak buku masih belum saya tamatkan membacanya. 

Tapi yang ini, sejak saya robek sampul plastik segelnya, saya seperti hanyut. Membaca halaman pertama, kedua, ketiga...saya seperti lekat dan penasaran. Untaian kalimatnya mengaduk-aduk emosi.
Kalimat-kalimatnya datar, tapi mampu mendeskripsikan emosi yang berkecamuk dengan kuat.

Tidak butuh waktu sehari untuk menamatkan novel ini. Setiap bagian ceritanya seperti memaksa untuk tetap lekat ke bagian seterusnya. Hingga dua atau tiga halaman terakhir berhasil meneteskan air mata yang timbul tenggelam di mata saya.

Cerita yang mengalir seolah-olah seperti mendengar Bapak Jusuf Kalla sendiri, sedang bertutur menceritakan banyak hal tentang ibunya, juga masa kecilnya, dan awal-awal percintaannya dengan Ibu Mufidah. Ada di halaman tertentu yang saya membatin, mungkin ini adegannya  mirip Dilan, tapi Dilan 1960.  Berskuter sambil mbribik pujaan hati. 

Saya belum pernah nonton filmnya, tapi membaca novel ini sudah lebih dari cukup. Kepuasan saya membaca mungkin sebanding dengan kesabaran saya menunggu novel ini tiba melalui pengiriman paket pos biasa yang dua minggu lebih jaraknya. 

Selasa, 24 Juli 2018

Catatan di Tahun Ajaran Baru yang Nggak Baru Baru Amat (3)

Ara.

Minggu kedua kau masuk sekolah yang bernama playgroup itu, kulihat tidak ada kesulitan berarti. Kau tidak menangis saat ibumu pulang, untuk sekedar beres-beres rumah dan mandi. Meski terkadang saking ini itu dan ina inu aku bahkan tidak sempat mandi hingga tiba saat menjemputmu. 

Aku tahu, sekolah adalah hal yang kauidamkan sejak tahun lalu. Melihat kakak-kakak pergi pagi pulang sore untuk bersekolah, kau hanya berdua dengan ibumu menunggu. Seringkali kutanya, jika kau sudah sekolah ibu main dengan siapa di rumah? Kau menghiburku. Ibu bisa bermain dengan Kemi (nama boneka kucingnya). Atau boleh main sama temannya di sebelah rumah. Dunia di mata anak kecil memang begitu,Nak. Tidak jauh dari kata bermain.

Jadi begini, Nak. Ada keharuan dan kegalauan ibumu saat engkau mulai  melangkah keluar rumah untuk bersekolah. Bukan...bukan tentang rasa kesepian menunggu saat kalian pulang sekolah. Ini tentang perasaan yang teraduk-aduk dalam hati setiap kali menyadari kalian ternyata bertambah besar. 

Seingatku, aku bukan ibu yang hebat. Aku hanya ibu yang biasa tanpa embel apa-apa. Dilabelin baik saja, aku sudah bersyukur. Mudah-mudahan memang masih dalam kategori baik. Melewati masa demi masa pertumbuhan kalian, maka di situlah aku belajar. Bagaimana menjadi ibu untuk kalian. Yang baik tentu saja. 

Kadang kita seperti melenggang tanpa hambatan, terkadang juga seperti ada badai yang harus kita taklukkan. Kadang kita harus berlari, kadang berhenti sejenak, kadang melompat lebih tinggi. Kadang kita lelah, kadang kita tertawa, kadang kita menangis. Begitulah orang dewasa, Nak. Nanti kau juga mengerti.

Di usia yang belum empat tahun, kau selalu merasa dirimu sudah besar. Aku menghargai anggapanmu itu. Karenanya aku memasukkanmu ke playgroup. Tempat kamu belajar bertemu orang lain juga teman sebaya. Kau bisa menyanyi dan bermain. Mungkin kau pun bisa berlari juga melompat tinggi-tinggi. Dalam arti harfiah. 

Dua minggu ini aku masih saja belum yakin, apakah kau bisa "bersekolah" sesuai yang kauharapkan. Apakah kau sudah tertawa lepas, mengobrol seperti biasa, juga bermain dengan gembira. Tanpa ketakutan. Iya, hal yang aku takutkan adalah jika kau merasa takut, tanpa aku bisa merengkuhmu dekat

Tapi kulihat kau bisa, Nak. Meski tidak serta merta. Mungkin sama sepertiku. Sementara kau di sekolah, aku di rumah. Kau hanya perlu yakin tentang apa yang dilakukan ibumu di rumah.

Seperti Spongebob dan Patrick.
"Apa yang biasa kau lakukan saat aku pergi?"
"Menunggumu kembali."

-Juli 2018

Catatan di Tahun Ajaran Baru yang Nggak Baru Baru Amat (2)

Anin.

Aku hampir tidak merisaukan bagaimana caramu beradaptasi di kelas baru. Sejauh ini yang dilihat dari mata ibumu adalah kau lebih berani dan percaya diri masuk lingkungan baru.

 Aku ingat di umurmu yang baru tiga tahunan, dengan percaya diri kau ikut tampil di panggung samenan (semacam acara pentas seni kenaikan kelas). Tampil dua kali gerak lagu bersama anak-anak kelas satu dan dua. Sementara kakakmu hanya berani maju saat dipanggil namanya sebagai peraih rangking kelas. 

Ketika aku menulis catatan untuk kakakmu tentang dasi itu, sejujurnya aku terpikir  bagaimana kah denganmu nanti? Entah... Sepintas aku ingat saat kau sulit sekali memahami tentang keliling segi empat. Sampai aku pun ikut terbawa emosi, sebelum terpikir untuk menggunakan 'lego' jadul itu. Atau saat kau sangat merisaukan  panjang kaos kakimu yang hanya selisih beberapa millimeter saja. Atau tentang nulis angka 8 yang sangat menyulitkan bagimu. 

Sebagai orang tua, kami memang akan selalu berusaha untuk membantu kesulitan kalian. Apapun caranya. Entah dengan bantuan sebenarnya, pengetahuan nilai kehidupan yang coba kami ajarkan, pengalaman yang kami antarkan, pelajaran yang kami tanamkan, juga doa yang senantiasa untuk kalian. Masih banyak, Nak, ungkapan cinta untuk kalian.

Sejujurnya yang perlu kami khawatirkan adalah kami sendiri. Saat aku seusiamu, aku lebih senang berkutat dengan buku. Tak ada hiburan menyenangkan selain bermain di tanah lapang dan buku. Juga mendengarkan serial Saur Sepuh dari radio yang ditenteng-tenteng anak remaja. Di bawah pohon sawo, aku ikut merubung radio. Meski aku tidak paham alur cerita sesungguhnya, cukuplah untuk hiburan. 

Sekarang, anak seusiamu sudah kenal kanal YouTube. Dunia tempat kau bisa nonton segala rupa. Aku khawatir, Nak. Aku selalu merasa bahwa nasehat-nasehat untukmu masih banyak yang kurang. Apalagi di jaman digital nyaris tanpa batas seperti sekarang. Jadi jika ibumu terdengar lebih cerewet melebihi kicauan lovebird,  suatu saat kau akan mengerti. 

Ingatlah, seperti pernah aku bilang ke kakakmu, "Saat ibu mengijinkanmu memegang hape beserta koneksi internetnya, ibarat ibu melepasmu ke dalam hutan. Ibu hanya menunggu di gerbang masuk. Menunggu dan berdoa. Di dalam sana, kau harus pilah pilih banyak hal sambil mengingat-ingat apa yang pernah ibu nasehatkan."

-Juli 2018

Catatan di Tahun Ajaran Baru yang Nggak Baru Baru Amat (1)


Azka.

Salah satu kesulitanmu ketika masuk SMP adalah memasang dasi. Sayangnya di keluarga kita pun masih agak asing dengan acara pasang memasang dasi. 

Bahkan ketika baru beberapa hari pengumuman penerimaan, kita kebingungan tentang bagaimana memasang dasi. Untunglah, Nak kita punya tetangga yang baik. Sehingga kita bisa datang ke sekolah dengan dasi yang terpasang rapi di kemeja putihmu.

Tapi, Nak. Tidak selamanya kita mengandalkan bantuan orang lain. Maka berusahalah. Kami memaksamu untuk belajar sendiri memasang dasi. Berbekal hape dan koneksi WiFi di rumah. Aku ingat sekali bagaimana emosimu teraduk-aduk. Mengulang-ulang. Bahkan emosimu sempat meledak dan tumpah.

Tidak, Nak. Bukan ibumu ini kejam untuk sebuah hal yang tampak sepele. Dari memasang dasi ibumu yakin kamu akan belajar sebuah pengalaman. Ada yang bisa jadi pelajaran. Minimal kamu belajar tentang cara memasang dasi. Hal remeh yang tidak seremeh kamu kira. Hal sederhana yang tidak senjlimet algoritma pemrograman. 

Akhirnya dua minggu berjalan lumayan lancar terkait dasi. Hingga pagi ini. Kulihat jam setengah delapan kamu masih duduk di tepi kasur. Tanganmu sibuk memasang seuntai kain itu. Pasang, lalu lepas lagi. Berkali kali. Setelah satu dua patah kata perdebatan kita, aku ambil alih dasi itu. Sat set sat set, terpasang sudah.

Wajahmu nampak lega. Artinya kau tak perlu mengejar-ngejar waktu untuk beranjak ke halte. Aku pun lega. Tak perlu ada drama. 

Tapi entah, pelajaran apa yang bisa kita ambil.
Mungkin, tentang kita. Atau aku, ibumu. 

Bahwa apapun kesulitanmu, orang tuamu akan selalu ada untukmu. Entah apapun caranya. Kami akan selalu berusaha. Demi Masa depan kita bersama.


--19 Juli 2018

Ketakutan


Aku bukan orang penakut, tapi entah sebutan macam apa yang pantas untuk orang yang menakutkan banyak hal.

Waktu kecil aku pernah takut kucing. Kuingat gara-garanya adalah aku kejatuhan kucing dari para-para rumah. Waktu malam sedang beranjak, dan aku duduk bersama kakakku yang sedang menulis entah apa. Aku ingat betul suara kucing itu, yang mungkin sama kagetnya denganku. Juga gambaran raut mukanya yang terendap dalam alam bawah sadarku. Bertahun-tahun aku takut akan kucing. Kulihat dari jarak sepuluh meter saja, aku sudah lari ketakutan.

Aku juga pernah takut makan sawi. Gara-garanya ibuku pernah menghidangkan sayur sawi saat aku sakit yang lidah dan mulutku pahit semua. Sejak itu setiap kali melihat orang makan sawi aku pun merasakan pahit di lidahku. Melihat sayur sawi teronggok hilang selera makanku.

Ketakutan itu bahkan tidak masuk akal.

Waktu kau kecil, Azka, kau pernah takut sesuatu yang lazim disebut orang dengan kancing. Pernah kulihat raut mukamu menahan muntah saat melihat sebutir kancing baju tergeletak di lantai. Kau juga pernah takut dengan chainsaw dan genset. Barangkali saat itu kau belum tahu bahwa ada tahap yang dilakukan untuk membuat alat tersebut berbunyi nyaring. Bisa jadi kau kira hanya dengan dilihat, sebuah chain saw atau genset bisa langsung berbunyi.

Dan, Anin. Kau pernah takut badut lebah mini market terkenal itu. Hingga kau rela membatalkan membeli es krim dan melewatkan balon gratis. Kau juga pernah takut marching band. Aku ingat sekali bagaimana kau terbirit ke ruangan paling belakang di rumah Apih. Tak akan beranjak keluar hingga berjam-jam lamanya.


Ara pun pernah takut sesuatu, kan? Kau pernah takut keset kaki, hingga melewatinya pun tak berani. Mungkin permukaan keset itu nampak mengerikan serupa bulu monster yang ada di televisi.


Seiring waktu, kita sadar bahwa kadangkala ketakutan-ketakutan semacam itu harus kita atasi. Entah dengan cara apa. Aku hampir tak ingat detil tentang melawan ketakutanku terhadap kucing. Kalian mungkin juga tak ingat lagi bagaimana kalian bisa berdamai dengan kancing, keset, marching band, badut, dan lain-lain itu.


Tapi, Nak. Bahkan orang dewasa pun kadang masih menyimpan ketakutan yang sulit kalian pahami. Mungkin bukan takut, tapi...perasaan aneh yang menembus pori-pori seluruh tubuh, meremangkan bulu kuduk, dan membuat akalmu seolah berhenti sekejap.  Orang dewasa bisa takut pada hal yang di mata kalian hanya lucu-lucuan belaka. 


Entahlah, apakah kalian akan tertawa mengenang ketakutanku pada  Elmo. 


-Juli, 2018