Kamis, 20 Agustus 2015

Mengapresiasi Anak

Pindahan sekolah mungkin saja bagi sebagian anak terasa enjoy aja. Bagi sebagian bisa jadi terasa berat dan dilematis. Anak saya pernah mengalaminya. Bahkan kami membujuknya berbulan-bulan supaya dia tak patah semangat. Nasib perantau, Nak, memang seringkali dihadapkan yang seperti ini. Meninggalkan rumah, kerabat, dan kawan lama untuk bertemu banyak hal baru. Meski pun kenangan itu akan terus ada.

Awalnya ketika pindah ke Sorowako ini, saya khawatir dengan kemampuannya menyesuaikan diri, terutama dengan sistem pembelajaran sekolah dan kawan-kawan barunya. Di sekolah lama belum ada Bahasa Inggris untuk kelas 2, sedangkan di sini dari kelas 1 mereka dapatkan. Nah, satu peluang untuk merasa tidak pede.
Seringkali dia bercerita tentang teman-temannya. Tentang rumahnya, tentang keunikannya, tentang mobilnya juga. Hahaha dasar bocah. Sampe dia sebutkan detil si Anu rumahnya di anu nomer sekian mobilnya merk ini warna hitam.  Atau si Anu ntar tanggal sekian mau liburan ke Paris. Si Anu yang lain bawa oleh-oleh dari Singapura.
Hihihi...bagusnya sih, dia jadi kenal jenis mobil beserta tipenya -punya teman-temannya-. Dan dia juga menanyakan berbagai tempat wisata di luar negeri yang mungkin sempat dikunjungi temannya. Bahkan penasaran dengan perbedaan waktunya. Eh tiba-tiba dia jadi rajin kembali membuka-buka Encarta Kids.
Tapi feeling emak-emak lebih sensi yak! Saya khawatir dia minder. Di sekolah lamanya di kampung yang notabene kondisinya jauh berbeda, rasa pedenya aja masih kurang. Entah kenapa. Bagaimana di sini?
Ternyata tidak, justru saya amati di sekolah baru rasa percaya dirinya semakin tumbuh. Gurunya pun mengapresiasi. Sering maju ke depan tanpa malu-malu. Semangat berlomba-lomba menjawab pertanyaan guru. Bisa menjadi tutor sebaya. Mau menyanyi di depan kelas. Nilai kepribadian yang tertera di rapor 'A' semua. Rekor baru neh, sebelumnya kebanyakan 'B', apalagi waktu jaman TK dulu. Hahahaa eike sih yakin tuh anak nggak berubah kepribadian secara singkat. Hanya masalah penilaian yang sedikit berbeda.
Nah, mungkin begini...
Berbeda dengan orang dewasa yang kebanyakan rasa percaya diri karena ditunjang faktor penampilan, gadget, dandanan dll, anak-anak tidak seperti itu. Berangkat sekolah dengan gigi ompong sekaligus tiga, pede aja tuh. Hahaha. Yang penting bagi anak adalah perasaan diterima segala kelebihan dan kekurangannya, diapresiasi, diberikan kesempatan, juga lingkungan/sekolah yang mendukung pengembangan diri anak (nggak hanya masalah akademik).

Saya nggak pusing, resah, atau gelisah ketika mendapati tidak ada ranking tertera di rapor. Lha sekolahnya nggak pake ranking-rankingan. Kalo saya dulu setiap kali terima rapor di SD rasanya udah nggak ada deg-degan, surprised atau menjerit bahagia. Biasa aja, mendapati angka 1 tertera jadi ranking di rapor. Enam tahun berturut-turut di sebuah SD Inpres di kampung yang terletak di suatu kota kecil. Yang paling saya ingat justru ketika Kepala Sekolah mengapresiasi prestasi akademik saya *halaaah* dengan memberikan hadiah khusus, seperangkat buku-buku pelajaran lengkap kap kapppp.

Anak saya, meskipun tak ada ranking tapi saya bersyukur banyak kemajuan baik akademik maupun yang lainnya. Matematika nya 97, IPS     98, Bahasa Inggris 95. Yah, memang sih itu hanya sekedar angka. Tapi membuat emaknya percaya diri. Lhooo kok?!
Lha iya, berarti hal-hal yang saya khawatirkan tidak terjadi. Hal-hal yang saya pikir tambah menurunkan rasa percaya dirinya, ternyata tidak. Malahan prestasinya meningkat. Memang yang saya harapkan adalah sedikit demi sedikit dia termotivasi dengan dirinya sendiri, bukan karena orang lain.

Berkompetisi bukan untuk mengalahkan orang lain, tapi menaklukkan dirinya sendiri.

Dulu saya terkadang mendengar komentar orang yang kurang mengenakkan.
 "Bapaknya dulu juga pinter sih waktu sekolah."
"Cucunya kepala sekolah siiihh.."

Aduh komentar yang seperti itu kan kurang mengapresiasi usaha anak. Jadi tambah nggak pede deeeh. Beda kan kalo dibilang begini, "Waaah, pinterrr...kalau rajin sekolah, nggak malu-malu kalau disuruh maju ke depan nilainya bagus."

Hehehhe begitu kali ya?

Oya satu hal lagi. Siapa punya anak/balita laki-laki? Hihihi sama nggak sih kayak yang saya pernah rasakan? Anak seringkali dicap 'nakal'. Mungkin hanya gara-gara tidak bisa diam di kelas, sedikit mengganggu temannya, atau berantem adu jotos dan tendangan?
Nah itulah, di sekolahnya yang sekarang rupanya sedikit berbeda. Anak-anak yang begitu, selagi dalam kategori wajar yaaaa dianggap lumrah saja. Kalau pun memang dinilai bermasalah, orang tua akan dipanggil dan jika perlu disediakan psikiater atau terapis. Begitu dulu yang dibilang pihak sekolah.

Anak saya pernah cerita bahwa ada temannya yang beberapa kali marah/nangis bahkan lari keluar kelas saat belajar. Pemicunya kadang karena nggak bisa mengerjakan soal, atau mau belajar Bahasa Inggris saat jam Matematika. Apakah anak tsb langsung dimarahi/dihukum sama Bu Guru? Tidak, kata anak saya. Biasanya ada salah satu anak disuruh memanggilkan guru khusus (terapis) yang standby di dekat ruangan guru. Nanti anak itu akan dibujuk biar nggak 'marah' lagi. Kalau masih nggak mau, biasanya ibunya ditelpon dan diminta menjemput ke sekolah.

Hikks, biasanya setiap kali anak saya cerita tentang temannya yang itu, saya sangat bersyukur atas anak-anak saya. Maafkan emakmu, Nak, yang seringkali nggak sabaran menghadapi tingkah kalian.

Well, dunia ini sangat luas dan beraneka ragam. Banyak hal bersifat relatif. Sehingga untuk  menilai dan mengapresiasi sesuatu pun butuh banyak kriteria dan perbandingan. Tidak adil kita menghakimi seorang anak dengan cap 'nakal' hanya dari kejadian sesaat, misalnya ngamuk di pusat perbelanjaan, memukul temannya gara-gara berebut mainan, membela diri dengan balas menendang dll. Atau dibilang 'bodoh' hanya karena nilai Matematikanya jauh lebih kecil dari rata-rata nilai temannya. Hihihi sok bijak deh eike...

Setiap anak adalah istimewa, pun begitu juga dengan emaknya. Iya toh?








*Sorowako, Juli 2014


Tidak ada komentar: