Jumat, 16 Maret 2012

Batik Lasem, Kebanggaan dan Nostalgia

Biasanya kalau ada orang bertanya tentang asal usul saya, maka saya akan menjawab bahwasanya saya ini orang Lasem. Bukan orang Rembang. Meskipun di KTP,  akte kelahiran, akte nikah dan lain-lain tertulis dengan jelas bahwa tempat kelahiran saya adalah Rembang. Tanya kenapa? Bukankah Lasem itu masuk wilayah kabupaten Rembang? Bukannya saya malu dengan kota Rembang. Sama sekali bukan itu. Saya hanya ingin menghayati sisi ke-Lasem-an saya (halaaah). Lasem bagi saya lebih berasa nostalgia. 

Lasem bukan sekedar kota kecamatan tempat saya lahir dan dibesarkan. Tapi Lasem menyimpan banyak nostalgia masa kecil hingga saya remaja. Dari kisah anak kecil yang merengek minta boneka sampai edisi nangis bombay patah hati gara-gara cinta pertama. Sejak saya menikmati dolanan dakon (congklak) sambil menunggui mbah-mbah yang lagi membatik, sampai saya diharuskan memakai seragam batik tiap hari Jumat di sekolah.

Saat-saat menyenangkan bisa bermain di gudang penyimpanan garam, main pasir di pantai, juga mencari buah kersen. Makan latoh (sejenis rumput laut), jajanan pertolo (semacam putu mayang), dan sayur mrico iwak manyung. Sekarang, ketika saya sudah berkeluarga, dan tinggal jauh dari kota kelahiran, kadang-kadang saya rindu dengan suasana Lasem. Rindu jalur Pantura yang gersang dengan aroma khas tahi kuda. Rindu dengan nuansa laut yang sarat bau anyir ikan kering dan terasi. Rindu dengan peradaban-peradaban yang sedikit  banyak mempengaruhi pola pikir saya.

Lasem. Ada yang menyebutnya sebagai Tiongkok Kecil. Yups, memang benar. Di beberapa  sudut kota Lasem tampak seperti kota Pecinan. Klenteng-klenteng tua, dan pagar-pagar tembok yang tinggi menutupi rumah khas orang Cina. Dan semua itu bersinergi dengan kebudayaan Islam dan kebudayaan Hindu peninggalan Majapahit. Di Lasem kita pun  mudah menemui  tempat-tempat yang religius dengan bangunan-bangunan pesantren dan madrasah. Ada keramaian di bulan Ramadhan dan lebaran,  ada juga keramaian perayaan Cap Go Meh. Jaman saya kecil dulu sering diajak nonton pertunjukan wayang potehi di halaman klenteng. Padahal saat itu telinga saya pun sangat akrab dengan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk dari radio tetangga sebelah. Ketika musim perayaan karnaval sering dipertontonkan atraksi  barongan (mirip reog), sekaligus juga liyong-liyong  (barongsai). Unik kan? Nah, kalo Anda penasaran dengan kota Lasem, dan belum sempat ke sana, tidak usah galau. Toh anda bisa melihat eksotisme kota Lasem dari  batik Lasem yang sudah diperjualbelikan secara luas. Di pameran-pameran batik Indonesia atau di online-online shop terpercaya.

Mungkin belum banyak yang tahu tentang batik Lasem yang merupakan salah satu khasanah kebudayaan batik Indonesia. Batik Lasem memiliki ciri khas yang membedakannya dengan batik daerah lain. Ada  corak tiga negeri yang memiliki tiga warna khas, yaitu merah, biru dan coklat. Konon warna merah dibuat di Lasem. Warna biru di Pekalongan, dan warna cokelat di Yogya-Solo.Warna merah memang sangat mencolok pada batik Lasem. Biasanya disebut warna getih pitik (darah ayam) sebagai nuansa perpaduan budaya Cina dan Jawa.  Motif yang popular adalah burung hong, sejenis burung merak yang berasal dari legenda mitologi Cina. Ada juga yang bermotif pohon bambu, watu pecah, serta latohan (latoh). Kadang-kadang juga djumpai corak dengan hiasan alphabet Cina, naga, atau ikan koi.

Ada banyak tempat pembuatan batik di Lasem yaang dikelola warga pribumi Jawa maupun warga keturunan Cina. Mereka juga mengembangkan corak batik modern, tapi tetap menonjolkan ciri khas Lasem. Kualitas kain dan corak batik pun diproduksi beragam.  Jadi buat para pecinta  batik, masih kurang rasanya kalau tidak berburu batik Lasem. Meskipun saya awam tentang dunia batik membatik, tapi saya bisa memastikan bahwa batik Lasem tidak kalah dengan batik Indonesia yang lain.  

Menilik batik Lasem, kita seperti melihat refleksi kota Lasem yang klasik, dari jaman kuda gigit besi sampai jaman Lamborghini. Kita bisa menengok sejarah masyarakat Lasem. Seperti motif watu pecah yang menceritakan penolakan kerja paksa pembuatan jalan Daendels.  Juga motif-motif campuran simbol Cina-Jawa yang menggambarkan pembauran budaya etnis pribumi dan Tionghoa sejak berabad-abad lalu. Jadi, kalau sekarang kita pusing dengan perbedaan, apa nggak malu? Toh masyarakat jaman dulu lebih kreatif menyikapi perbedaan.

Menulis tentang batik Lasem, seperti halnya memakainya. Selalu membuat saya bangga dan bernostalgia. 


Disertakan pada lomba Blog Entry bertema Batik Indonesia kerja sama Blogfam dan www.batikindonesia.com

NB. Sekalian yang punya blog numpang nampang..Foto tahun 2011.

Tidak ada komentar: