Kamis, 20 Agustus 2015

Mengapresiasi Anak

Pindahan sekolah mungkin saja bagi sebagian anak terasa enjoy aja. Bagi sebagian bisa jadi terasa berat dan dilematis. Anak saya pernah mengalaminya. Bahkan kami membujuknya berbulan-bulan supaya dia tak patah semangat. Nasib perantau, Nak, memang seringkali dihadapkan yang seperti ini. Meninggalkan rumah, kerabat, dan kawan lama untuk bertemu banyak hal baru. Meski pun kenangan itu akan terus ada.

Awalnya ketika pindah ke Sorowako ini, saya khawatir dengan kemampuannya menyesuaikan diri, terutama dengan sistem pembelajaran sekolah dan kawan-kawan barunya. Di sekolah lama belum ada Bahasa Inggris untuk kelas 2, sedangkan di sini dari kelas 1 mereka dapatkan. Nah, satu peluang untuk merasa tidak pede.
Seringkali dia bercerita tentang teman-temannya. Tentang rumahnya, tentang keunikannya, tentang mobilnya juga. Hahaha dasar bocah. Sampe dia sebutkan detil si Anu rumahnya di anu nomer sekian mobilnya merk ini warna hitam.  Atau si Anu ntar tanggal sekian mau liburan ke Paris. Si Anu yang lain bawa oleh-oleh dari Singapura.
Hihihi...bagusnya sih, dia jadi kenal jenis mobil beserta tipenya -punya teman-temannya-. Dan dia juga menanyakan berbagai tempat wisata di luar negeri yang mungkin sempat dikunjungi temannya. Bahkan penasaran dengan perbedaan waktunya. Eh tiba-tiba dia jadi rajin kembali membuka-buka Encarta Kids.
Tapi feeling emak-emak lebih sensi yak! Saya khawatir dia minder. Di sekolah lamanya di kampung yang notabene kondisinya jauh berbeda, rasa pedenya aja masih kurang. Entah kenapa. Bagaimana di sini?
Ternyata tidak, justru saya amati di sekolah baru rasa percaya dirinya semakin tumbuh. Gurunya pun mengapresiasi. Sering maju ke depan tanpa malu-malu. Semangat berlomba-lomba menjawab pertanyaan guru. Bisa menjadi tutor sebaya. Mau menyanyi di depan kelas. Nilai kepribadian yang tertera di rapor 'A' semua. Rekor baru neh, sebelumnya kebanyakan 'B', apalagi waktu jaman TK dulu. Hahahaa eike sih yakin tuh anak nggak berubah kepribadian secara singkat. Hanya masalah penilaian yang sedikit berbeda.
Nah, mungkin begini...
Berbeda dengan orang dewasa yang kebanyakan rasa percaya diri karena ditunjang faktor penampilan, gadget, dandanan dll, anak-anak tidak seperti itu. Berangkat sekolah dengan gigi ompong sekaligus tiga, pede aja tuh. Hahaha. Yang penting bagi anak adalah perasaan diterima segala kelebihan dan kekurangannya, diapresiasi, diberikan kesempatan, juga lingkungan/sekolah yang mendukung pengembangan diri anak (nggak hanya masalah akademik).

Saya nggak pusing, resah, atau gelisah ketika mendapati tidak ada ranking tertera di rapor. Lha sekolahnya nggak pake ranking-rankingan. Kalo saya dulu setiap kali terima rapor di SD rasanya udah nggak ada deg-degan, surprised atau menjerit bahagia. Biasa aja, mendapati angka 1 tertera jadi ranking di rapor. Enam tahun berturut-turut di sebuah SD Inpres di kampung yang terletak di suatu kota kecil. Yang paling saya ingat justru ketika Kepala Sekolah mengapresiasi prestasi akademik saya *halaaah* dengan memberikan hadiah khusus, seperangkat buku-buku pelajaran lengkap kap kapppp.

Anak saya, meskipun tak ada ranking tapi saya bersyukur banyak kemajuan baik akademik maupun yang lainnya. Matematika nya 97, IPS     98, Bahasa Inggris 95. Yah, memang sih itu hanya sekedar angka. Tapi membuat emaknya percaya diri. Lhooo kok?!
Lha iya, berarti hal-hal yang saya khawatirkan tidak terjadi. Hal-hal yang saya pikir tambah menurunkan rasa percaya dirinya, ternyata tidak. Malahan prestasinya meningkat. Memang yang saya harapkan adalah sedikit demi sedikit dia termotivasi dengan dirinya sendiri, bukan karena orang lain.

Berkompetisi bukan untuk mengalahkan orang lain, tapi menaklukkan dirinya sendiri.

Dulu saya terkadang mendengar komentar orang yang kurang mengenakkan.
 "Bapaknya dulu juga pinter sih waktu sekolah."
"Cucunya kepala sekolah siiihh.."

Aduh komentar yang seperti itu kan kurang mengapresiasi usaha anak. Jadi tambah nggak pede deeeh. Beda kan kalo dibilang begini, "Waaah, pinterrr...kalau rajin sekolah, nggak malu-malu kalau disuruh maju ke depan nilainya bagus."

Hehehhe begitu kali ya?

Oya satu hal lagi. Siapa punya anak/balita laki-laki? Hihihi sama nggak sih kayak yang saya pernah rasakan? Anak seringkali dicap 'nakal'. Mungkin hanya gara-gara tidak bisa diam di kelas, sedikit mengganggu temannya, atau berantem adu jotos dan tendangan?
Nah itulah, di sekolahnya yang sekarang rupanya sedikit berbeda. Anak-anak yang begitu, selagi dalam kategori wajar yaaaa dianggap lumrah saja. Kalau pun memang dinilai bermasalah, orang tua akan dipanggil dan jika perlu disediakan psikiater atau terapis. Begitu dulu yang dibilang pihak sekolah.

Anak saya pernah cerita bahwa ada temannya yang beberapa kali marah/nangis bahkan lari keluar kelas saat belajar. Pemicunya kadang karena nggak bisa mengerjakan soal, atau mau belajar Bahasa Inggris saat jam Matematika. Apakah anak tsb langsung dimarahi/dihukum sama Bu Guru? Tidak, kata anak saya. Biasanya ada salah satu anak disuruh memanggilkan guru khusus (terapis) yang standby di dekat ruangan guru. Nanti anak itu akan dibujuk biar nggak 'marah' lagi. Kalau masih nggak mau, biasanya ibunya ditelpon dan diminta menjemput ke sekolah.

Hikks, biasanya setiap kali anak saya cerita tentang temannya yang itu, saya sangat bersyukur atas anak-anak saya. Maafkan emakmu, Nak, yang seringkali nggak sabaran menghadapi tingkah kalian.

Well, dunia ini sangat luas dan beraneka ragam. Banyak hal bersifat relatif. Sehingga untuk  menilai dan mengapresiasi sesuatu pun butuh banyak kriteria dan perbandingan. Tidak adil kita menghakimi seorang anak dengan cap 'nakal' hanya dari kejadian sesaat, misalnya ngamuk di pusat perbelanjaan, memukul temannya gara-gara berebut mainan, membela diri dengan balas menendang dll. Atau dibilang 'bodoh' hanya karena nilai Matematikanya jauh lebih kecil dari rata-rata nilai temannya. Hihihi sok bijak deh eike...

Setiap anak adalah istimewa, pun begitu juga dengan emaknya. Iya toh?








*Sorowako, Juli 2014


Selasa, 18 Agustus 2015

Hormat Bendera

Merdekaaa! Hari ini tanggal 18 Agustus, sehari setelah hingar bingar dan kesibukan tujuhbelasan. Upacara, lomba-lomba, dan nggak luput pula, status-status bernuansa tujuhbelasan di dunia maya.

Di pagi yang dingin begini, saya masih sibuk menghangatkan diri depan kompor. Yaah sekalian masak gitu. (Nggak kebalik, Mak?) Sambil sesekali mencuri pandang dan dengar siaran berita dari televisi. Lha kok ndilalah pas presenter berita menjelaskan tentang kenapa sih Pak Wapres nggak 'hormat' saat pengibaran bendera. Menurut penjelasan yang sah dan akurat, sikap hormat bendera nggak mesti harus hormat grak kayak kita waktu upacara bendera di sekolah.

Pas tuh, kemaren saya sempat baca status di pesbuk ngributin ginian.
Pas mbaca itu, pengen rasanya ngikik...lha piye jal, habisnya saya jarang menthelengi upacara tujuhbelasan di tipi. Kadang-kadang masih bingung juga, itu ibu-ibu yang kondean pada hormat grak ngangkat tangan nggak seh? Hihihi

Saya nggak ikut ngributin bukannya saya ngerti perihal hormat-menghormat bendera. Lha wong waktu sekolah dulu, kalau lagi upacara saya juga ndak disiplin-disiplin amat. Kadang lupa bawa topi. Seringnya goyang-goyangin kaki karena pegal. Kadang sengaja ngiyup di bawah bayangan teman. Panas sodaaraaaa!
Kadang merhatiin kutu rambut di kepala teman yang saking kepanasannya berebut keluar dari sarangnya, hiyyy...
Kadang iseng cuci mata ke sekeliling. Kadang sambil rasan-rasan membahas cowok idaman, eh salah ding..membahas kurs rupiah terkini! Huahahaha

Yaah intinya dalam sekian puluh (atau ratus malah) pengalaman mengikuti upacara bendera saat sekolah, mungkin hanya seupil yang bisa dikatakan bener dan betul.
Mengapa seupil, Mak? Kayaknya kalo baca penuturan di atas nggak ada bener-benernya tuh.

Wakakakk. Begini, ada kalanya saya juga jadi petugas upacara. Entah pembaca doa, pengibar bendera, pembaca UUD 45, paduan suara..
Lha masa kalo jadi pengibar bendera mau cengengesan sambil rasan-rasan. Nggak banget...yah, kecuali dikit-dikit. Biar nggak kentara gitu.

Nah, setelah lepas sekolah, kalo ndak salah ingat nggak pernah lagi ikut upacara. Tujuhbelasan yang setahun sekali juga kagak! Palingan nonton dari tipi atau nonton di lapangan.

Saat upacara wisuda TK anak saya, inget banget deh..gedung segitu penuhnya..ratusan orang, palingan berapa sih yang khusyuk berdiri dan ikut nyanyi lagu Indonesia Raya. Saya? Berdiri sambil nggendong bayi, kagak ikut nyanyi karena sadar diri -takut orang malah bubar dengerin suara saya-. Itu pun disambi ngobrol sesekali. Duhh!

Jadi pengen nanya sesuatu yang sepertinya kekinian.
Apa arti kemerdekaan buat kamuh? Iyaaaa, kamuh.



Jumat, 14 Agustus 2015

Mudik Itu Sesuatu


Mudik itu sesuatu.
Menempuh perjalanan demi sebuah tujuan, mengunjungi orang tua, saudara, kerabat, dan kawan lama. Juga menjumput sisa-sisa nostalgia di masa lampau.

Mudik itu asik. Kita bisa jalan-jalan, melihat pemandangan berbeda, makan alias numpang gratis di rumah orang tua atau saudara. Kadang-kadang dapat fasilitas uang saku dan souvenir gratis. Hahahaha tetep ada ya, udang di balik bakwan yang bikin maknyus.
Eittss...tapi, sekali lagi tapi, jangan dikira tujuan eike mudik cuman itu.

Menyenangkan keluarga, mempererat silaturahmi, mengenalkan anak pada keluarga besar kita, juga sedikit bercerita tentang masa kecil kita lewat kenangan-kenangan nostalgia. Dan yang jelas, mengajarkan pada anak-anak tentang salah satu cara kita berbakti pada orang tua, dan menyayangi saudara. Iddiihh co cuiittt...

Sejak sembilan tahun eike merantau bersama suami tercintah, ihhiirrrr, mudik menjadi salah satu agenda rutin tahunan. Yaaahh, selain agenda mengharap uang THR dan bonus lainnya.
Jangan dikira mudik itu selalu mudah, pemirsaah. Kalopun mudik dengan jarak hanya beberapa kilometer dan masih satu wilayah regional mungkin yaah bisa kali jadi agenda mingguan atau bulanan.

Mudik itu kadang sama artinya dengan naik bis berjam-jam lamanya sehingga pegel dan linu.
Mudik itu kadang berarti terkantuk-kantuk di bandara sambil menenan
gkan anak-anak yang nggak sabaran.
Mudik itu kadang artinya mabok perjalanan, hiks.

Mudik itu..
Transit di beberapa tempat sebelum ke tujuan.
Rela bangun pagi demi mengejar jam boarding.
Bersiap sabar jika pelayanan transportasi publik kurang memuaskan.

Bersiap dengan jurus seribu bujukan untuk rengekan anak-anak karena pesawat delay.
Hiksss, siap-siap juga menguras isi kantong.
Kantong kresek mak? Buat airsickness bag gitu maksudnya? Hihihiii

Bartahun-tahun, mudik setiap waktunya terasa berbeda.
Enjoy ajaaahhh...

Dulu, eike kurang pede mudik sendiri bawa anak-anak. Ala bisa karena terpaksa. Berhubung ngejar setoran ehh...ngejar tiket pesawat dan sebelum bandara terlalu ramai arus lebaran, kali ini eike mudik sekaligus mukot -mulih kota, dari Sorowako ke Jakarta bersama anak-anak plus calon baby di perut. Alhamdulillah ya, sesuatu.. Sabar yah, beib...jadi mati gaya kan kalo nggak ada yang ngributin maen dan minta ini itu untuk beberapa hari ke depan. Hihihiii..

Bandara Sorowako cuman lima menitan dari rumah. Satu jam perjalanan ke Makassar dengan pelayanan yang oke,  plus sekotak minuman snack. Cuaca cerah. Bisa keliatan natural beauty-nya kota tambang nikel dari atas.

Bandara Hasanuddin belum terlalu ramai. Melanjutkan perjalanan dengan satu penerbangan lagi. Makassar yang cerah, tetapi cuaca buruk di atas Laut Jawa. Satu jam lebih pesawat grudak-gruduk di gumpalan awan, hingga landing di Jakarta pun disambut hujan.

Perjalanan jadi lebih seru karena salah satu anak merasa pusing dan nggak nyaman. Mana ribut bilang kebelet ee dan pipis saat pesawat siap posisi landing. Seru bukan?
Hingga eike terpaksa menerobos antrian keluar pintu pesawat sambil meminta permisi, "Maap..maap...permisi...anak saya darurat ke kamar mandi. Makasih."
Hahahaha

Oya sesuatu yang hilang, bukan karena konsumsi yang tak ada. Tapi ketika selama dua jam saya menunggu sesuatu yang beda dari sambutan kru pesawat waktu take off dan landing. Pantunnya mannnaaaaaah??!

Jekardah, 14 07 2014



Ketika Orang Kampung ke Kota


Bukan cerita tentang Kabayan atau Nyi Iteung.
Tapiii ini sedikit pengalaman saya.
Seumur-umur pertama kali ngrasain naik busway, alias bis transjakarta ya kemarin itu waktu perjalanan mudik. Haah? Beneran mak? Iyee beneran, masalah buat lo? :p :p

Not bad laahh...
Naik dari halte Ragunan menuju Monas. Yaah, meskipun bisnya terasa ebrek-ebrek, dan terdengar bunyi kriuk-kriuk eehh..kriet-kriet, tapi not bad laah. Setidaknya kami dapat tempat duduk dan terhindar dari kemacetan lalu lintas Jakarta.

Terus terang saya salut bener dah sama penduduk Jakarta dan siapa pun yang rela setiap hari menerobos kemacetan dan menikmati hiruk pikuk Jakarta. Kalo saya? Ihhikkk...ngeliatin dan hanya sesekali merasakan deru macetnya sudah membuat saya migrain, mules, dan sembelit berkepanjangan. :D

Muter-muter Jakarta dan sekitarnya, lebih enak dilakukan tengah malam atau dini hari waktu setempat. Bisa dipastikan suasana lalu lintas yang jauh..jauuhhh..berbeda. Kami pernah salah keluar tol, untungnya pas dini hari jam setengah empat pagi. Bukan hal sulit ketika kami harus muter jalan lagi lalu masuk tol lagi untuk keluar di jalan yang benar. Mungkin hanya perlu waktu seperempat jam. Bayangkan kalo itu terjadi di jam-jam macet. Huaah mendingan eike turun dan tiduran di musholla SPBU.

Kemaren hari setelah ritual mudik hampir selesai, kami bertekad menaklukkan sebuah alamat di daerah Depok. Berbekal info dari lewatmanadotcom, SMS, nanya sana sini, dan panduan rute dari GPS, berangkatlah kami dari Sukabumi kota jam 11 malem.

Hampir tidak menemui kemacetan di jalan. Saking lengangnya, dan mungkin karena sedikit lengah akibat banyaknya belokan,  kami nyasar dua kali gara-gara salah  ngambil belokan.
Ketika berkali-kali suara mbak GPS mengingatkan, "Rekalkulasi rute." kami mantap untuk berbalik arah dan mengulangi di titik yang sesuai panduan. Hihihihi beginilah...orang awam.

Jam dua malem kami hampir sampai tujuan tapi masih sedikit bingung. Ah..ikutin GPS aja lah. Disuruh belok kanan ya belok kanan. Disuruh belok kiri ya belok kiri.
Akhirnya bendera sudah berkibar dan mbak GPS bilang gini, "Anda sudah sampai di tujuan."
Bingung. Sebelah kiri tembok pagar tinggi, sebelah kanan kebon pisang. Ihiikkk mana sepi dan nggak ada orang sama sekali kecuali kami berempat. Untungnya anak-anak masih tertidur pules.

Okeee, gimana kalo kita mundur aja?
Mundur beberapa meter pas sebelah kiri ada perumahan atau kerennya residence atau apalah. Setelah terbaca judulnya, kami yakin bukan itu perumahan yang kami tuju.
Walhasil, the next help is calling my brother.

"Iki aku wis tekan perumahan anu, isih adoh pora? Kudu maju opo mundur?"

Laaah ternyata kudu maju 200an meter lagi.
Dan bener juga. Adik saya udah menunggu di gerbang satpam. Bukan dia mau ngeronda atau nggantiin pak satpam, tapi dia mau bangunin pak satpam untuk bukain pintu gerbang perumahan.

Oh, well done beib. Meskipun eike cuman duduk manis jadi supporter di sebelah kiri, menahan kantuk dan pegal kaki...eike berharap suatu saat eike pun bisa mengikut jejak menaklukkan jalanan layaknya sopir profesional.

*juli 2014

Berbagi Tips Mudik Ibu Hamil


Mumpung anak-anak lagi sekolah, saya mau nulis-nulis dulu aaahh. Sekalian curhat, sekalian sharing, sekalian narsis... :D

Untuk kedua kalinya saya mudik jarak jauh, menempuh perjalanan antar pulau antar propinsi, naik pesawat terbang plus kendaraan darat, dalam keadaan berbadan dua alias hamil.Bedanya enam tahun lalu saya mudik saat masih hamil 3 bulan, rada beresiko untuk perjalanan darat yg jauh plus kondisi mual-mual yang belum usai. Payah secara fisik karena seharian muntah-muntah. Beda sekali dengan mudik tahun ini dengan kehamilan trimester kedua. Selain persiapan fisik dan psikis yang lebih mantap, fasilitas dan kemudahan juga lebih banyak didapatkan. Alhamdulillah.

Repot bin rempong doong? Ah, nggak juga sih...asal dibawa hepi yah enjoy ajah. Apalagi kalo ditemani hepi salma, sambil dibekelin makanan ala hepikol. Eaaaaa...

Jelas lebih terasa capeknya, pegelnya, juga mumetnya. Hahaha mumetnya sih mungkin lebih karena keinginan daya jelajah traveling and shopping and eating tidak sebanding dengan power yang ada.

Bukan hal aneh jika sebelum bepergian naik pesawat emak-emak kudu ngurus surat laik terbang alias surat sehat yang biasanya diterbitkan dan ditandatangani dokter obgyn. Apalagi jika perut keliatan membesar dan Anda dipastikan hamil hanya dalam sekali pandang, terutama oleh petugas di bagian check in.

Di penerbangan pesawat kecil sekelas Fokker atau ATR, sudah pastilah ketahuan jika Anda hamil lima bulan ke atas. Kalau masih trimester pertama sih biasanya belum ketahuan, kecuali Anda pasang pengumuman dan pemberitahuan bahwa Anda hamil. Tapi memang sebaiknya demi kebaikan diri sendiri (dan 'keamanan' maskapai tentunya :p) sebaiknya cek kesehatan ibu dan janin sebelum terbang.

Berikut tips dan pengalaman mudik jarak jauh ala saya :

1. Jangan merasa minder ketika Anda ditimbang di konter check in lalu mendapati berat badan yang lebih di atas biasanya. Ibu hamil kan, berat badan naik adalah wajib hukumnya.

2. Demi kenyamanan di ruang tunggu, siapkan camilan dan minuman segar secukupnya, kecuali saat puasa. Kalau puasa, waktu sahurnya sempetkan minum anti mual yang diresepkan dokter. Saya minum mediamer, hehehe.

3. Siapkan airsickness bag/kantong kresek kecil di saku baju atau handbag yang mudah dijangkau. Kadangkala mencium bau kendaraan pun bikin mual. Apalagi jika terjadi turbulensi dan goncangan saat di udara. Saat take off dan landing pun bisa terasa tidak nyaman.

4. Kenakan baju yang nyaman/longgar untuk ibu hamil. Bukan untuk menyamarkan besarnya perut lhooo... Kenakan juga sandal/sepatu yang nggak bikin pegal kaki.

5. Manfaatkan setiap kesempatan untuk membuat rileks kaki dan punggung, serta ke kamar mandi.

6. Jika naik mobil jarak jauh pastikan kaki bisa leluasa untuk mengurangi pegal dan menghindari kram. Kalo perlu luangkan waktu istirahat/turun dengan menyelonjorkan kaki dan berjalan-jalan. Ingat, jangan berjalan-jalan terlalu jauh, karena selain tambah pegal juga membuat Anda dicari-cari.

7. Usahakan mood yang positif dalam suasana gembira. Yah nggak perlulah setel musik kencang-kencang atau joget-joget dalam kendaraan. Menikmati pemandangan sepanjang jalan, kadangkala tiduran, mengobrol, ngemil makanan kesukaan (hiksss ngemil pertolo msh dalam level ngimpi) dll. Semua ketidakberesan jangan dimasukin ati, kagak muat. Keterlambatan pesawat, ketidakteraturan ruang tunggu, petugas yang kurang ramah, atau riuhnya anak-anak minta ini itu...yaah tarik napas dalam-dalam, hembuskan dan nikmati saja. :D

Oya, saat badan kurang terasa nyaman, perut membesar dan penampilan seperti kurang meyakinkan tapi tetap tanamkan kepercayaan diri Anda bahwa Anda istimewa.
Jepreetttttt....dan narsis depan kamera pun tetap okeeee.

*Sorowako, Agustus 2014

Tentang Sinetron Anak


Apa yang terpikir di benak kita tentang sinetron anak di tipi Indonesia? Hikhikkk kalo saya sih karena yang kebanyakan ngeliatnya seperti begitu yaaa gitu deh. Mau dibilang ilfeel, mirip-mirip gitu lah. Kenapee coba?

1. Katanya sinetron anak, tapi muatannya dewasa. Eh bukan maksudnya pemain pendukungnya orang-orang dewasa plus segambreng karakternya, tapi sinetron anak kok isinya balas dendam, intrik jahat, hiiyyyy. Nggak heran juga sering dijumpai tawa cekikikan yang cetir menyinyir khas nenek lampir atau ketawa ngakak ala raksasa jahat. "Sebaiknya kaubunuh dia secepatnya Ki Sanak! Hahahahahaha..." Hadduuuhhh, trus eike mau ngelap jidat siapa lagiii?!

2. Karakter protagonis yang terlalu baik, terlalu menye menye, terlalu melankolis, terlalu sakti dll. Yah mirip-miriplah dengan sinetron kebanyakan di negara ini. Masa dijahatin temannya masih sabar aja, minimal nangis gitu lah. Pan anak-anak...

3. Karakter antagonis yang sebaliknya, kontras banget dengan protagonis. Anak-anak berantem plus intrik jahat yang sistematis dan terstruktur *eaaaaaa*. Masa sih segitunya? Bukankah anak-anak biasanya berantem khas anak-anak yang jail-jail dikit, iseng-iseng dikit... Atau ini adalah upaya halus mengajari anak-anak untuk iseng dan nakal secara masif, sistematis, dan terstruktur? Na'uzubillah...waspadalah!!!

4. Tokoh antagonis yang mengada-ada. Setelah penonton bosan dengan trik-trik nakal tokoh antagonis yang sebaya, maka akan dimunculkan tokoh antagonis dari antah berantah. Tiba-tiba ada orang sakti tandingan. Lalu ada monster entah dari mana. Hellooo? Mirip kan sama serial sinetron yang sampe belasan gitu. Tersandung satu sampe tersandung gundukan batu. Atau sinetron sejenis. Setelah konflik mereda, dimunculkan tokoh yang tiba-tiba dibilang anak kandung sebenarnya. Atau sandal yang belasan tahun tertukar kini bersua kembali.

5. Bermuatan kata-kata kasar dan makian yang harusnya tidak pantas diucapkan oleh anak-anak. Jangan heran ketika ada pertanyaan, "Keparat itu apa sih, Mak?"
"Selingkuh itu apaan?"
Hadeehh...

6. Seringnya ada hal-hal mistis dan tidak masuk akal. Tuyul yang bisa diajak main laaahh, atau gelang ajaib buat invisible laah. Akik ajaib, boneka ajaib, bahkan mungkin upil ajaib. *weewwww*. Aduh, Nak..permasalahan hidup nggak segampang itu diselesaikan hanya dengan menjentikkan jempol kaki dan bilang 'hwarakadah'.

7. Guru yang lebay, entah kumisnya, gaya bicaranya, atau galaknya. Pun guru ngaji yang cantik versus perempuan centil berpenampilan menggoda *halaaaah*, plus konflik-konflik ala orang dewasa.

8. ....

NB. eike sih masih suka dengan sinetron kartun Upin Ipin untuk jenis impornya. Karakter beragam dan manusiawi. Konflik sederhana dengan penyelesaian yang lumayan mendidik. Biarpun bajunya itu-itu saja dan mereka tetep jadi anak Tadika yaahhh ceritanya tetep menarik buat ditonton.
Untuk produk Indonesia eike masih pegang Adit dan Sopo Jarwo. "Addiiiiittttt, bang Jarwo makin deket tuuhh."




Masih Tentang Ibu erte


Seringkali dalam hidup kita dihadapkan pada beberapa pilihan. Demikian pula saya, eh kamu juga kan?

Dan terkadang pilihan yang kita ambil, dengan sukarela ataupun terpaksa, kita sungguh berharap orang lain tidak mencerca atau membanding-bandingkan dengan pilihan yang diambil orang lain. Sakit tau, ...dan sakitnya itu di sini!

Lagian buat apa dibanding-bandingkan? Buat apa diperdebatkan panjang kali lebar? Buat apa ngotot adu komen? Buat apa nyinyir-nyinyiran? Tentang ibu bekerja vs ibu nggak bekerja alias yang di rumah saja?! Toh itu kurang lebih hanyalah label, bukan esensi. Menjadi ibu dan istri yang baik bukan cuman dilabelin kita kerja di luar atau di rumah saja. Bukan sekedar kita pake blazer atau daster. Bukan sekedar kita dandan cantik atau bau asep dapur. Bukan sekedar kita rajin update status atau beresin cucian.

 Menjadi wanita karir, bekerja di luar rumah, tentu saja banyak hal yang jadi pertimbangan. Banyak hal yang harus dipikirkan dan dikelola sedemikan rupa. Ah, terus terang saya nggak tau persis gimana rasanya...paling-paling saya mengamati, mengobrol dengan teman yang berkarir. Bahkan lucunya kadang-kadang ada yang kepengen dengan pilihan saya, menjadi ibu erte tanpa karir. Hihihihi mereka nggak tau bahkan kadang-kadang terbersit di benak saya keinginan untuk menjadi wanita karir. *sigh*

Ah lagi-lagi hidup kita masing-masing punya cerita, punya jalannya sendiri. Seringkali tak semudah klik-ketemuan-deal. *eaaaa*

Entahlah dari awal saya menikah, bahkan saya sudah membulatkan tekad untuk berhenti bekerja demi mengikuti suami yang merantau di luar Jawa. Bulan-bulan pertama yang tidak mudah, menyesuaikan ritme hidup. Mengkondisikan hati menghadapi semua pertanyaan. Menahan perasaan memandangi ijazah yang nganggur. *halaaahh*

Seiring waktu, saya pun menyadari bahwa tidak mudah hidup tanpa karir. Saya mencoba kerja part time saat anak pertama umur kira-kira 1,5 tahun. Masalah selesai? Oh tidak, justru muncul lagi masalah yang harus kami selesaikan, terutama me-manage energi dan waktu supaya kerjaan dan urusan rumahan tetep berjalan sinkron. Berkonsolidasi dengan suami demi terciptanya stabilitas rumah tangga yang dinamis dan berkesinambungan.

Menjadi ibu erte yang agak susah adalah mengatasi kejenuhan, mengatasi gejolak batin karena penilaian orang. Sedikit minder karena nggak punya penghasilan dan karir sendiri. *curcol* Hihihihi ya gak apa-apalah.

Lagi pula seingat saya, kebanyakan teman saya juga nggak memandang sebelah mata dengan profesi saya ahihihihi.
Dan saya juga berusaha menghindari perdebatan. Ibu saya pun wanita berkarir dulunya, ibu mertua juga berkarir. Pilihan boleh beda kan?

Coba bayangkan jika emak-emak nggak ada yang berkarir, trus kita kan butuh tenaga pendidik perempuan, tenaga kesehatan perempuan, pejabat publik perempun, dan sektor-sektor pekerjaan lainnya. Lagipula kalo wanita dilarang berkarir trus sapa yang menjabat menteri pemberdayaan perempuan? Bapak-bapak gitu....widiiwww?!

Seandainya emak-emak nggak ada yang memilih jadi ibu erte tanpa karir, bisakah? Ntar nggak ada yang siang-siang ngasuh anak di halaman rame-rame dengan sesama ibu-ibu di lingkungan tetangga. Dan nggak ada yang meramaikan pesbuk dengan status, "Lagi jemur pakaian..", "Shopping ah, masa seharian di rumah aje", "Nunggu suami gajian."

Daan yang paling penting adalah nggak bakal ada yang meramaikan jagad arisan. Hihihi emak-emak tanpa arisan bagai taman tanpa bunga. *lebayyy*

Ya sudahlah. Dunia ini banyak warna kawan. Jangan dipaksakan menjadi satu warna saja, bukankah pelangi itu indah? Saling menghargai dan berbuat hal baik dan bermanfaat sungguh lebih baik daripada sibuk menilai orang.

Nostalgia


Bagi saya, nostalgia itu asyik untuk sesekali dikenang,
tapi semakin dikenang, semakin sering dibicarakan akan semakin hambar.

Apalagi ber-haha-hihi dengan banyak orang yg notabene nggak dikenal.
Nostalgia itu seperti jebakan, semakin dalam menggali bisa-bisa terperosok dan lupa diri.
So..let's move on.
Rasanya lebih menyenangkan bernostalgia bersama 'masa depan' kita.
Jika kangen masakan simbok jaman kecil dulu, marilah mencoba bikin masakan yang sama untuk keluarga kita.
Jika kangen maenan jaman jebot, nggak ada salahnya nimbrung sama anak-anak untuk maen gundu/kelereng, congklak, bekelan, masak-masakan, ular tangga, monopoli, dll.

Jika kangen suasana jaman jadul, biarkan saja sesekali untuk waktu tertentu kegiatan keluarga tanpa gadget, tipi, game elektronik dsb.
Jika kangen dengan lagu anak-anak jaman baheula, tinggal donlot aja heuheu..

Jika kangen masa kecil, ajaklah keluarga/anak-anak untuk mudik ngumpul dengan keluarga dan saudara-saudara kita. Melihat anak-anak dengan segala tingkahnya, sepertinya bisa mengingatkan masa kecil bersama saudara-saudara.

Mudah-mudahan saya tidak terjebak dengan penilaian bahwa masa kecil saya yang terindah. Justru saya berharap masa kecil anak-anak saya jauh lebih indah. Jauh lebih berwarna. Jauh lebih berbahagia.

Jaman saya kecil mungkin hanya berkutat di daerah itu-itu saja. Sekarang saya bangga, anak-anak saya bahkan familiar dengan tiga bahasa daerah. Meskipun belum berkesempatan melanglangbuana tapi setidaknya saya bersyukur untuk itu.
Bepergian naik pesawat jadi hal yang biasa, sementara saya dulu hanya dalam taraf ngimpi, berteriak-teriak saat pesawat lewat nun jauh di atas sana. Mudik dengan berbagai macam cerita. Mandi di empang sama ikan, nangkap lele segede gaban, nyemplung di sawah, ikut nanam padi juga panen, ngangkut karung gabah, mandi lumpur sambil nyari genjer atau keong tutut. Ah, banyak hal yang mengingatkan masa kecil bapaknya. Hihihihi bukan saya ya... Kalo saya sih kecilnya nggak bolang-bolang amat. *apaseh*

Sehari-hari mereka masih bisa main di halaman rerumputan, nangkap belalang, ngejar kupu-kupu. Sesekali berteriak kesakitan saat digigit semut hitam besar. Menonton belasan monyet macacca di halaman. Mendengar cericit berbagai burung liar. Melihat burung elang, gagak, perkutut, dan berbagai burung yang hinggap di pepohonan dan kabel listrik. Berenang sesering mungkin di danau yang jernih. Berolahraga di gym sepuasnya.

Meskipun tetap berteman dengan komputer/laptop/netbuk, game, tablet, tipi,...
Beda jaman. Mau diandai-andaikan juga, tetep masing2 dengan jamannya.

Jaman dulu itu ibarat spion aja, lihat sesekali...tetep fokus ke kaca depan.

Sepasang Mata Bulet


Sepasang mata bulet..telah menawanku.
Tatapannya sanggup menguatkan lengan dan kakiku untuk berjam-jam menggendongnya.
Tak perlu barbel atau latihan aerobik, namun lenganku terasa lebih kekar, kuat, dan stabil. *halaaahh*

Seulas senyum lucu membuatku tidak malu menyanyikannya lagu-lagu
dengan berbagai nada dan syair yg entah gubahan siapa,
tentu saja dengan kemampuan vokal sekedarnya.
Ngomong sendiri, kujawab sendiri.
Bahkan seringkali kutanya dia, "Ini namanya siapa?"
"Anak siapa ini?"
Bukan amnesia atau pura-pura lupa.
Tapi itulah cinta.
C-I-N-T-A

Sepasang pipi gembil membuatku jatuh hati berkali-kali
hingga terbiasa seringkali hanya mandi sekali dalam sehari.

*November, 2014

Sinergi Kehidupan


Kehidupan itu memang diciptakan beragam dan saling melengkapi..

Saat kamu punya uang tapi kurang tenaga, ada orang lain punya tenaga tapi masih butuh uang, maka jadilah ia asisten rumah tanggamu, tukang kebunmu, tukang pijitmu..

Saat kamu berpikir bisa menghasilkan uang dengan caramu, maka janganlah berpikir semua orang lain akan sama sepertimu, karena secara global universal langsung dan tidak langsung kamu tetap butuh yg namanya guru, petani, peternak, pemulung, office boy, sopir, karyawan, buruh, dan lain sebagainya.

Saat kamu merasa nggak bisa memasak semanis Farah Quinn, mungkin itulah kenapa ada penjual siomay, penjual martabak, penjual sate, penjual kue, dan bisnis kuliner lainnya.

Saat kamu merasa sibuk tak sempat ke pasar, beruntunglah ada ojek delivery order yg siap membelikan orderan belanjaan.

Dunia ini manis karena beragam. Seperti es campur, janganlah kamu seolah2 menjadi siropnya shg merasa paling manis.

*renungan buat gue yang jam segini belum selesai masak, rumah msh berantakan, setrikaan numpuk, cucian belum dijemur, dan resep cemilan msh nunggu dieksekusi*

Dilarang Membuang Sampah Sembarangan


Apa yang Anda rasakan jika di tempat umum ada orang-orang yang membuang sampahnya sembarangan, bukan di tempat yang telah disediakan? Sedih ya, dan memang harusnya di situ kita merasa sedih.

Padahal tempat sampah tersedia, banyak pula. Tapi tidak jarang sampah berceceran hanya berjarak beberapa meter dari tempat sampah.
Parahnya, di situ jelas-jelas ada tulisan anjuran menjaga kebersihan.
"Jagalah kebersihan."
 "Jangan membuang sampah sembarangan."
"Buanglah sampah pada tempatnya."

Kemaren baru-baru saya lihat ada plang tulisan yang menurut saya agak menohok. "Masih punya iman? Buanglah sampah di tempatnya!"

Ah, tapi percuma buat orang-orang yg "tidak bisa" membaca.

Saya sering lihat, beberapa kerumunan orang di kawasan danau. Saat kerumunan yang satu mulai bubar, orang-orang sibuk memunguti sampah-sampah yang tercecer di sekitarnya, lalu dikumpulkan dalam kantong besar wadah sampah mereka. Sementara kerumunan di sebelahnya, justru sibuk membuang sampah seenaknya. Habis minum air kemasan, lalu wadahnya dilempar kemana suka. Habis makan-makan, sisa-sisanya berceceran tanpa dibersihkan. Diapers bekas campur sama kulit durian dibiarkan numpuk dan ditinggalkan begitu saja. Tanpa berpikir bahwa orang lain terganggu dan jijay ngeliatnya. Mungkin lupa bahwa setelah mereka pulang, akan ada orang-orang lain yang silih berganti datang. Sedih ya...

Apakah benar, mereka tidak bisa membaca tulisan-tulisan di sekitar?
Apakah benar, mereka kurang peduli terhadap kebersihan lingkungan?
Apakah benar, mereka malas melangkah beberapa meter untuk menuju tempat sampah?

Mungkin kita hanya perlu sedikit pembenahan, terutama untuk tulisan-tulisan yg 'klasik' itu.
Sedikit perubahan dan penyesuaian.

"Kamu...iya kamu! Bisa membaca kan? Tuh, jangan buang sampah sembarangan!"

"Elo bukan anak gaul nan kece kalo masih buang sampah sembarangan."

"Awas, buang sampah sembarangan bakal ditangkap satpam."

"Melihat ada yang buang sampah sembarangan, di situ saya merasa sedih."

Kalo yg ini cucok ditempel di tempat sampah, "Kalau kamu nggak mau buang sampah di sini, lebih baik kamu gantiin aku berdiri sepanjang hari di sini."

Lagi-lagi jika larangan dan anjuran yang berupa tulisan kurang direspon sama orang-orang yang 'tidak bisa' membaca, entahlah apa lagi yang bisa menghentikan kebiasaan buruk ini.

Romantisme


Anak wedok bawa-bawa henna pasta. Niatnya mau minta tolong emaknya untuk ngecat kuku kakinya. Tanggung, saya sebenernya barusan selesai makan tapi sayang untuk melewatkan sesi ngrokoti tulang ayam.

"Sama papah aja, tuh!"
"Mana bisa?" sahutnya.
"Bisaaaaa...." jawab saya untuk meyakinkan.

Setengah hati dia meminta tolong papanya. Baru nyodorin henna udah disodori pertanyaan, "Gimana cara pakenya?"

"Olesin aja, yang rata." jawab saya.

Baru satu kuku selesai, papanya komplen.
"Ih geuleuh siga tai kotok."
Hahahahaha untung saya nggak keselek.
Iiihhh...papah nggak gaul deeehh.

Akhirnya demi anak wedok, dilanjutkan sesi ngecat kuku kaki sampe selesai. Dan anak wedok tersenyum cerah.

Romantis.

Dialog Tipu-tipu




Di senja hari yang manis dan lugu, ponsel saya berdering. Tumben nih. Nomer tak dikenal muncul di layar hape saya yang jadul.

"Halo..." Agak hati-hati saya menyapa. Bukan hanya saat menyeberang jalan kita harus hati-hati, tapi saat menerima telpon nomer tak dikenal. Misterius dan penasaran. Komposisi mengerikan di era seperti ini.

"Selamat siang, Bu. Saya dari PT Indo**t ingin memberitahukan kabar gembira."

Wahhh...kirain dari pabrik ektrak kulit manggis.
"Oh, ya.." Saya langsung mengambil posisi duduk di teras di mana imajinasi saya bisa bergerak bebas.

Alarm kesadaran saya sudah mengingatkan tentang waspada penipuan.

"Ibu tinggal di Sulawesi ya?"

Blaikkk...kenapa nanya lokasi. Padahal saya sudah siapin nama lain selain 'Syahrini'. Hahahaha

"Oh nggak, Pak. Di Sumatra." Asli ngarang, sama-sama awalannya 'S'.

"Di Sumatra mana ya?"

"Sumatra Selatan. Palembang." Entah kenapa jadi teringat seorang teman yg tinggal di sana. Mungkin karena dulu kami punya sedikit kesamaan dalam menipu eh ngerjain orang. *piss maaakk

"Gini, Bu. Nomer ibu termasuk satu dari lima pemenang yang diundi tadi siang di globaltipi. Ibu nonton nggak?"

"Nggak, tuh." Tipi saya kesamber petir! Suer, kalo ini beneran. Ihik..

"Ibu dapat uang senilai limabelas juta dan pulsa lima ratus ribu. Uangnya harus diambil di ATM mandiin.." Bla..bla..bla. "...barusan ada sms masuk, itu pin untuk ambil uang di ATM."

"Belum ada, tuh." Padahal ada, cuma saya males bacanya. Sampai berkali-kali dia menanyakan hal yg sama. Jawaban saya pun sama. Hahaha adu kengeyelan.

"Hapenya merk apa sih?"

Waah nantangin nih orang. Saya pake hape keluaran beberapa tahun lalu.

Tapi saya sebutkan merk hape yg lagi tren.

"Oke, saya kirimkan lagi," weissss itu tertulis IND***T sbg pengirim. Canggih.

"Tadi hadiahnya berapa ya?" Tanya saya.

"Lima belas juta."

"Cuman segitu? Nggak usah aja, saya nggak ambil. Atau kalo bisa bapak ambilkan trus sumbangkan saja ke yayasan apa gitu."

Sumpaah, ini saya cuma gaya-gayaan. Hahahha, lima belas jeti gitu looh. Bisa mborong Nata de coco sekarung dan pupuk urea buat sawah saya. #halaaahh.

Akhirnya telepon ditutup dengan ucapan selamat siang. Dan dia pun bingung kalo hari sudah sore.

How Was Your Visit?


Tulisan itu terpampang persis di depan lift di sebuah hotel. Tadinya saya kurang tertarik dengan iklan ini. Tapi kayaknya sy berubah pikiran setelah sarapan. Hahaha memang ya, makan terbukti memunculkan ide dan kreatifitas.

Kami agak terlambat turun untuk sarapan. Jam sembilan kurang sekian menit. Sampai ruangan tempat breakfast sy segera mengambil tempat duduk untuk meletakkan stroller. Sy lihat beberapa orang makan di ruangan itu. Nggak lama waiter datang dan bilang bahwa ruangan ini khusus untuk pemkot bla bla bla.

"Lho, harusnya confirm dulu dong, Mas. Jangan seperti ini."

Nggak banyak congcing kami pindah ke ruangan yg ditunjukkan. Sampai sana 'dicegat' penerima tamu atau waiter gitu lah. Dia bilang bahwa ruangan ini khusus kementrian bla bla bla.

"Lho, tadi katanya suruh ke sini. Gimana sih?"

"Oh tadi sudah ke depan, Bu? Padahal sebenarnya ini ruangan khusus tamu kementrian ..." Bla bla bla..

Saya sudah mulai emosi. Maklum belum sarapan dan belum mandi. Gimana mau  mandi, lha wong keran airnya juga baru dibetulkan. Haddeeehh.

"Jadi yang benar kami dapat sarapan di ruangan mana?"
"Nggak apa-apa deh, sarapan di sini aja. Kasihan harus bolak balik."

What?? Kok tiba- tiba semacam ada tanduk muncul di kepala. Kami tidak hendak dikasihani, tapi dilayani sebagaimana semestinya.

"Looh, jadi yg benarnya gimana seh. Kok begini. Saya ini bawa anak kecil, nanti saya dianggap mengganggu gimana?"
 Ya iya lah, selain memenuhi kebutuhan makan, naluri ke-emak-an sy adalah melindungi kami dari tatapan aneh dan sinis dari orang asing.

Akhirnya kami sarapan, sekedarnya. Nggak nyaman. Nggak ada pramutamu datang menawarkan bantuan atau sekedar menyapa.
Dibandingkan di hotel sebelumnya, selama dua hari jauh sekali kesan yang kami dapatkan.

Apakah karena penampakan kami bukan kelas eksekutip? Seorang emak  membawa dua anak plus  satu bayi.
Padahal yo sama- sama mbayar, bedanya mungkin kami nggak dibayari negara. Hehehe

Untung saya lagi rada 'sabar'. Kalau nggak, saya akan bilang ke anak-anak,

 "Bagaimana kalau kita pecahkan saja gelasnya biar ramai...?"

*Bogor, Mei 2015

Timbangane Pesan Glundhungan


Kemarin sore tumben banget anak wedok minta beliin sosis. Itu lho sosis yang diklaim bahwa semua memakannya #halaahh

Saya menduga bahwa ini tidak lain dan tidak bukan dipengaruhi oleh secuplik adegan di pilem. Pilem tentang sekelumit cerita di tanah perbatasan. Anak kecil yang tengah berjuang membangun nasionalisme dalam dirinya di tengah kecamuk hidup yang berat. Ayahnya yang menjadi warga negara Malaysia, kakeknya mantan pejuang yang begitu mencintai Indonesia. Hingga kakak beradik terpisah tapal perbatasan dua negara.

Kurang lebih begini :
"Makan apa Adek?"
"Abang mau? Ini sosis."
Abang mengangguk. Lalu mereka pun berbagi sepotong sosis.
"Enak?" Tanya si adek.
Abang mengangguk sekali lagi sambil tersenyum.

Saat melihat itu saya pikir, kok sempet-sempetnya ngiklan kaya gitu. Emang njuk terus payu ngono, batinku.

E lha dalaaahh..

Iklan sosis yang sering diputar di tipi pun sering dia lihat. Dengan jingle lagu yang terasa begitu-begitu saja. Tapi belum mampu menggerakkan niatnya untuk membeli setoples sosis siap makan. Lebih tepatnya sih meminta emaknya untuk beliin.

Mungkin, mungkin lho yaaaa...Pesan itu akan lebih mudah tersampaikan ketika dibungkus dengan indah. Seperti singkong yang lebih enak dimakan berupa singkong goreng renyah atau getuk lindri daripada telo glundhungan. *minjem istilah teman saya

Berburu Tiket Mudik


Nengokin harga-harga tiket pesawat adalah rutinitas lepas sahur, yang sudah bertahun-tahun saya lakukan. Eitss, jangan keburu ngecap bid'ah ya kakaaaa... Ini hanya semacam tradisi pelengkap untuk ritual mudik bagi perantau macam saya. Ritual katamu? Bid'ah dong? Yaelaaahh....

Oke, lanjuutt. Nengokin harga di tiap website maskapai sambil harap-harap gemes...mudah-mudahan dapat harga terbaik. Terbaik itu nggak cuman murah ya kakaaa.. Hahaha kebiasaan deh, emak-emak ekonomis merakyat sekaligus kapitalis. *nyengir aja daahh

Hari gini, musim mudik kebanyakan tiket pesawat harganya berlipat. So, hemat adalah pilihan. Dan memilih di antara sekian pilihan kadang bikin pusying pala ibu rumah tangga..hahaha.
 Nah, untuk perjalanan yang memerlukan dua tiket perjalanan sekaligus, itu artinya kudu disiasati. Jam keberangkatan musti diatur sedemikian rupa. Membeli tiket pesawat kedua pun kudu mastiin bahwa untuk tiket pertama confirmed.

Sorowako-Makassar. Dua belas jam kira-kira kalau naik bus. Setara lah dengan Jakarta-Semarang..atau lebih jauh. Naik pesawat tipe ATR cuman sejam. Maskapai satu-satunya, dengan jadwal terbang satu kali PP untuk sehari. Tapi..musim mudik dan cuti begini, full booked. Yaaah, bersabar dan berdoa itu nggak cuma saat nunggu waktu berbuka puasa, tapi juga nunggu jatah kursi untuk extra flight.

Dan percayalah, mengamati pergerakan harga tiket pesawat komersiil selama musim mudik membuat saya menarik napas panjang berkali-kali. Tiba-tiba merasa haus, padahal gelas bekas minum saja belumlah kering.

Perasaan harap-harap gemes...
Bercampur aduk dengan kerinduan...
bayangan kampung halaman...
Dan kekuatan untuk merogoh kocek lebih dalam.

*Sorowako, Juli 2015

Anak yang Terampil



Anak-anak di rumah suka sekali melipat. Bukan melipat baju seh..hahaha senangnya kalau mereka hobi melipat baju. Tapi melipat kertas atau origami. Melipat bentuk apa saja. Pun dari kertas apa saja. Kertas origami, koran, kertas bekas dll. Saya kadang sampai puyeng melihat kertas berhamburan di mana-mana.

Tapi segala sesuatu bisa dibikinkan filosofinya. Seperti...di balik rumah yang berantakan ada anak-anak yang sehat, aktif, dan kreatif. Perkara emaknya yang rada males dengan standar kerapihan rendah, itu bisa diabaikan. Wkwkwkwkk
Ketrampilan menghamburkan..eh melipat ini tentunya kepake banget saat mereka terjun di dunia kerja
 Eh, maksudnya terjun bersosialisasi dengan teman-temannya.

Meskipun kurang pede dengan kemampuan membacanya, anak wedok pede dengan kemampuan nangkap belalang dan undur-undur. Banyak hal lain yang bisa menjadi kesempatannya untuk unjuk diri. Seperti berani mengajukan diri membuat salah satu kreasi bentuk origami. Memang sih, awalnya malu-malu.. Maklumlah, ditakdirkan memiliki emak pemalu ya begitu.  Hahaha..abaikan.

Nyetatus Tentang Mudik




Saat balik dari mudik kira-kira satu setengah bulan lalu (Mei 2015), saya membawa ketiga anak saya dari bandara Jakarta ke Makassar
 Perjalanan yang cukup melelahkan, karena kami start perjalanan dari Sukabumi bagian Selatan jam delapan malam. Jam dua dini hari sampai bandara Soekarno Hattta Cengkareng. Dingin menyergap sampai tulang, bandara belum terlalu ramai.
Kami harus menahan kantuk dan lelah untuk melanjutkan dengan jadwal penerbangan jam 6 pagi. Kakeknya anak-anak mengantar sampai pintu masuk keberangkatan. Melihat raut wajahnya seperti tidak tega melihat kerempongan ini. Hehehe.

Jangan dibahas lagi betapa rempongnya. Bayi 6 bulan  di stroller, sementar anak-anak masing-masing bawa ransel kecil sendiri, lalu saya sibuk mengatur barang untuk security check dan lain-lain. Mengatur posisi saat harus menaiki ekskalator. Dan untunglah ketemu dengan play ground. Anak-anak bisa sedikit bersantai dan saya menggendong-gendong adik bayi yang lagi agak rewel. Wkwkwkwk kapan lagi bisa perosotan dini hari selain di bandara?

Oke, di depan tempat perosotan itu saya bertemu dengan sepasang suami istri dan anaknya. Tatapan heran bisa saya rasakan ketika mereka melihat kami. Sempat mengobrol sebentar, standar basa basi dari mana ke mana. Hingga akhirnya sampai pada pertanyaan, kok sendirian bawa anak-anak. Sebelum mereka berprasangka lebih jauh, saya pun menjelaskan. Hihihi nggak penting juga sih sebenarnya. Siapalah saya, yang jadwal cuti suami dan kegiatan mudik kami bukanlah urusan publik. *eaaaa. Lagipula jam tiga pagi apa seh yang enak diomongin selain memunajatkan keinginan-keinginan kita Tuhan. Hmmm.. *benerinmukenah.

Singkat cerita, sampailah kami di bandara Makassar. Nggak perlu lah dicritain gimana saya mengatur itu anak bertiga supaya saya bisa sholat subuh di musholla sebelum boarding. Dan menenangkan adik bayi yang rewel. Dan menghibur anak- anak ketika bosan menunggu. Dan mengatur tempat duduk anak-anak yang berebutan. Wkwkwkwk suerrr saat itu saya merasa heroik dan keren banget. :p
Heroik...tapi ya tetep lah lelah. Merasa keren...tapi ngantuk. Manusiawi bukan?

 Saat mengantri untuk ambil bagasi, saya suruh anak-anak duduk di pojokan sembari istirahat. Saya menggendong bayi sambil mendorong trolley. Menunggu untuk satu koper, satu baby stroller, dan satu tas travel.
Mendadak ada yang melempar sandal..eh senyum ding. Lalu menyapa sekedarnya dan bertanya.
"Itu adek bayi dipakaikan kapas nggak di telinganya?"
Saya menengok ke arah bayi di gendongan saya. Kapasnya lepas, entah kemana. Hihihi..
Dia melanjutkan lagi, "Bahaya itu buat telinga bayi. Bisa rusak telinganya...kalo naik pesawat itu harusnya....." Bla..bla...blaaa..

Saya terdiam. Saya amati sekilas. Dia laki-laki masih muda. Mungkin usinya dua puluhan..atau kurang. Menenteng ransel dan gadget. Sementara saya, emak usia tiga puluhan, menggendong bayi dan mengawasi anak-anak.
Untung saya habis piknik. Wkwkwkwk..
Saya diam saja. Iya, masa saya harus bilang panjang lebar bahwa bertahun-tahunbertahun-tahun
 saya mengarungi dunia permudikan. Nggak sekali dua kali sambil bawa bayi. Antar pulau antar propinsi.

Ah, sudahlaahh..toh sudah biasa begitu. Orang komentar tanpa mencukupkan ilmunya dulu.
Orang bertanya tanpa mempertimbangkan esensi dan urgensinya.
Orang menghakimi tanpa tahu apa-mengapa-bagaimananya.
Apalagi di sosmed.
Hihihi..

Misalnya gini.
Ada status apa gitu...tetiba ada yang komen OOT banget dan justru malah dibatin sama orang yang baca.
Ada orang yang merasa tahu banget tentang makanan sehat, lalu setiap ada postingan yang nyangkut-nyangkut makanan dia selalu keluarkan "ilmunya". Yaah keliatan luar biyasah seh, tapi palingan cuman dibatin gini sama yang nyetatus, "Yaelaaahh...sok tau bingit lu."

Ada pula yang merasa pede dengan dirinya, sehingga tidak sungkan untuk menghakimi berat badan emak-emak. Wkwkwkwkwk..kalo yang ini berkali-kali dah saya kena. Bahkan pernah sampai saya beberkan berat badan sebenarnya, malah dikira bohong. Asem banget nggak seh?


*Sorowako, Juli 2015

Nulis Tentang Anniversary


Nyetatus tentang anniversary

Ada dialog yang terjadi kemaren. Ehh kemarennya lagi... Atau kemarennya lagi. Hahaha labil banget seh saya nulis status ini. Isi dialognya pun nggak terlalu penting, dan kurang layak dijadikan konsumsi publik. *emangguesiape :p

"Pah, hari ini tanggal berapa sih?' Jelas ngetes. Lha wong ada kalender. Ada pula hape pintar bisa ditanyain tanggal.
" Tanggal delapan. Emang kenapa?"
"Looh, ini kan tanggal spesial. Anniversary kita gitu loh." Halah, saya ngomong "anniversary" dalam bahasa Inggris teuing bener teuing heunteu.
"Bukannya tanggal tujuh?" Doi menjawab dengan kalem.
Hahahaha beneran kan, dialognya kurang layak di-share?

Entahlah, kami memang tidak menerapkan standar peringatan dan perayaan anniversary. Sesekali terlupa ya wajar. Seringkali terlewatkan tanpa ucapan dan perayaan, yaa emang biasa aja.

Takcritani,
Sepuluh tahun lalu, kami menikah dalam acara yang simpel dan sederhana. Saya ngikut suami merantau ke Bua-Palopo dengan sepenuh keyakinan atas rejeki dari Sang Maha Memberi Rejeki.
Dan saat doi berpesan, "Nanti kalo ada yang nanya gaji berapa bilang aja nggak tau."
Wkwkwkwk awalnya saya kurang yakin. Tapi..memang bener sih. Entah berapa kali saya ditanya 'berapa gaji', 'berapa tunjangan','berapa insentif'. Hahahaha mungkin masih banyak yang belum tau bahwasanya urusan demikian adalah rahasia. Kurang sopan mengorek-ngorek sebuah rahasia. Saya pun nurut, setiap kali ada yang nanya saya ngeles nggak tau. Meski dalam hati saya menggerutu juga.
Bahkan pernah ada beberapa tetangga asik membahas THR lalu mereka meng-understimate THR suami saya. Di depan saya. Dia bilang THR suami saya sekian. Jauh lah dibanding THR suami nya.. *pikirlu Padahal kalo mau dibeberkan, nominal sebenarnya jelas berlipat dari taksiran mereka.

Aduuhh, hati istri mana yang nggak panaasss? Aeerr mana aeerrrr. Hahahaha hebatnya doi cuman bilang begini, "Nggak apa-apa kita dikira miskin, kan cuman dikira."

 Bener juga ya, seiring waktu justru perasaan di-underestimate ini memunculkan semangat dan pelajaran lebih. Sekarang di tempat merantau yang baru, kami pun mengingat pelajaran dan hikmahnya. Ternyata
lebih baik untuk bersikap dan berpenampilan apa adanya. Meski di-underestimate orang lain, nggak usah dendam. Nggak perlu sakit hati. Mung digeguyu wae..

Waktu yang akan berbicara. Lagipula, di mana-mana masih banyak orang yang meng- underestimate orang lain. Mungkin termasuk juga saya pelakunya :p Masalahnya, jangan sampai jadi hobi. Nggak keren banget soalnya. Malu-maluin kan, ya?

Di jagat nyata yang cetho welo-welo, di-underestimate orang kadang susah dielakkan. Apalagi di jagat maya. Gambar bisa diedit. Postingan bisa ngawur. Emoticon tinggal klik. Kita bisa pake 'topeng' sesuka kita. Elo nyetatus kagak punya pulsa, bisa jadi dianggap kere lu. Elu nyetatus dapat THR, bisa jadi dianggap orang sombong lu. Elu pasang poto yang angle-nya kurang pas, bisa jadi dianggap kegemukan. Elu pasang poto yang senyumnya irit, bisa jadi dianggap orang jutek.

Biasa aja kalees.. Tetaplah berpegang pada nilai kebenaran dan kebaikan. Di mana pun. Jangan gumunan dan jangan meng-underestimate orang itu satu paket lhoo.. Over vs under estimate :D
Jika kita biasa membeli barang paketan karena lebih murah..kenapa tidak dengan paket yang lebih baik.

Akhir kata, hepi anniversary beib.. Harapan dan doa-doa terbaik yang kita pinta biarlah nggak usah disyer ke khalayak. Mohon di-amin-kan saja yaa pemirsaaa..

Dangdut Pantura


Jalanan Pantura wabilkhusus daerah Lasem dan sekitarnya. Banyak hal yang bisa kita ingat. Aspal yang mengkilap panas. Debu yang terasa sesak di napas. Aroma tai kuda. Deretan pertokoan yang padat dan ramai. Truk-truk besar yang mengarungi jalanan, dan getarannya yang membahana. Warung-warung pinggir jalan. Juga dangdut koplo alias dangdut Pantura. Iyessss, dangdut versi yang begitu. Asoy geboy dipake goyang. Lirik-lirik yang merakyat dan gampang diingat. Kadang-kadang daur ulang lagu-lagu lama. Rada mekso diberi aroma koplo plus suara-suara biduan yang menimpali alunan lagu.
Aseeekkk....asololeee...
Digoyaaang...
Sawerannya baaaangg...
Saya ndak terima recehaaan...

Mungkin dangdut jenis ini memang mewakili jerit kehidupan sebagian warga, terutama kalangan jalanan Pantura. Gimana nggak? Liriknya itu looh.. Ah, ndak tega saya ngomongnya. Pokoknya gitu-gitu deehh.

Gampang banget mau ndengerin dangdut koplo. Di jalanan, di bis, pertokoan, di kampung..banyak tersedia. Diputar gratis untuk telinga kita. Waktu tetangga saya hajatan, dua hari dua malam telinga saya dimanjakan *halah, raimu* dengan lagu-lagu dangdut jenis koplo entah berapa puluh. Mulai dari lirik yang biasa, sampe yang vulgar. Kebanyakan juga campur aduk bahasa Indonesia dan logat Djawa. Tapi lucunya, setelah itu mendadak lagu sholawatan dengan musik yang entah apa. Aku jadi bingung, mau ikut sholawatan atau mau goyang. *eh.
Ealaaahh...

*Agustus, 2015

Ruang untuk Belajar




Menjadi murid baru di sekolah yang bernama SD itu, engkau akan belajar banyak hal. Sebelum teori perhitungan matematis dipakai untuk aplikasi teknologi yang rumit, engkau harus belajar satu tambah satu sama dengan dua. Sebelum teori kebahasaan engkau pakai untuk menulis sesuatu yang ilmiah, dan bercita rasa tinggi, maka engkau akan belajar tentang kosa kata sederhana.


Sebelum belajar teori ekonomi yang kompleks dan rumit, maka engkau akan belajar menghitung anggaran belanja uang sakumu tiap hari. Bahwa uang lima ribu rupiah itu bisa dalam bentuk satu lembar lima ribuan, atau dua lembar dua ribuan plus satu seribuan. Rumit tampaknya. Nah, untuk belanja bolu kukus harga seribuan tidak apalah dua-tiga kali engkau masih kebingungan. Karena kebingungan yang masih wajar akan menyisakan ruang untuk belajar dari kesalahan. Engkau akan belajar konsep uang pas dan kembalian. Engkau akan belajar berhitung tentang penjumlahan  dan perkalian. Juga tentang olah rasa saat engkau bawakan sepotong dua potong jajan untuk orang-orang tersayangmu.

Belajar...dan belajar. Jangan pernah menyerah.

Di dunia yang gegap gempita ini, bahkan  orang-orang yang ngakunya jauh lebih dewasa, masih ada aja yang nggak mau belajar. *bukan untuk dicontoh, yaa* Ada yang sok ngerti masalah ekonomi negara, padahal ngatur anggaran bulanan sendirinya aja who-knows. Sok kritis wacana halal haram, padahal belum tentu dia lulus bab thaharah. Sok heroik berpendapat ini itu, cuman bermodal info sepotong. Maunya nyolot aja. Maunya ribut aja. Maunya ngritik aja. Maunya begini begitu. Banyak. Tapi nggak mau belajar. Minimal untuk baca dan ngolah rasa. Minimal untuk mengingat kembali pelajaran-pelajaran dasar saat sekolah dulu. Maunya nyolot, mau dijelaskan kayak apa ya tetep nyolot. Ah, sinetron Indonesia kadang kalah lucu dari pernyolotan model begini. Bahkan, telenovela dubbing Suroboyoan ae kalah lucu, Cak!

Anak Baru dan Kantin Sekolah




Sudah bukan rahasia lagi, jikalau kantin sekolah menyediakan makanan/jajanan yang beragam dengan harga terjangkau. Baca : murah. Banyak pilihan harga sesuai kantong.

Sudah seminggu ini, anak wedok yang kelas satu beli jajannya kalau nggak krupuk ya bolu kukus. Padahal menurut cerita kakaknya yang lebih senior, di kantin itu banyak sekali yang bisa dibeli. Yang ini harganya sekian. Yang itu harganya sekian.

Apa daya, Anin, anak wedok saya itu, masih bingung dengan konsep uang kembalian, uang pas, kurs rupiah, inflasi, pergerakan pasar modal, dan iklim investasi. *walah, iki ngomongke cah kelas siji esde, Mak!

Nah, barusan ketika ada pertemuan orang tua dengan pihak sekolah, maka saya pun datang dengan membawa misi khusus. Nggak lupa juga sih, membawa hape, diapers, tisu basah, celana bayi, mainan bayi, dan seorang bayi itu sendiri. *hahaha,tipikal emak lebay.

Pas selesai acara, dan pas pula anak lanang pulang. Jadilah kami bertiga eh berempat menyambangi kantin, yang Alhamdulillah lagi sepi. Nggak ramai anak-sekolah. Maklum bertepatan dengan jam sholat dhuhur.

 Kantinnya luas. Yang jualan banyak. Kursi dan meja untuk makan juga banyak. Mirip food court gitu. Ada batas tempat mengantri di tiap lapak. Wis miriplah dengan bank. Hehehe.

Berbekal semangat mengenalkan wawasan  perkantinan dan nilai tukar uang terhadap setiap entitas jajanan, saya traktir mereka.
*ini sih kewajiban, Mak. Bukan sekedar traktir mentraktir.

Walhasil, jadilah kami membawa pulang dua porsi es krim goreng, dua bungkus bakso, dan satu kantong berisi pisang goreng keju plus nugget.

Sayangnya ndak ada potonya. Lha gimana, kalo saya keluarkan hape trus poto-poto malah ketauan banget kalo mau dibikin status pesbuk. Saya ndak siap di-add friend. Lagi pula saya liat ada beberapa guru lagi makan di situ. Nggak malu sih sebenarnya, tapi sungkan.

*Sorowako, Agustus 2015

Dilema Hobi dan Beres-beres



Hobi baru adek bayi adalah membongkar, alias ongkrah-ongkrah. Hobi yang kreatif dan tidak memakan biaya, selain kesabaran dan kekekaran emaknya. Tenaga boooo...capeknya mberesin itu loohh. Lha rumangsamu, beres-beres itu nggak pake tenaga?

Semua yang bisa dijangkau dia bongkar dengan gembira. Keranjang mainan, laci buku, laci dapur, tas, dompet dan lain-lain. Dan syukurlah, sampai saat ini dia belum berminat mbongkar onderdil sepeda dan alat elektronik.

Ya jelas berantakan. Mau dilarang kok kasihan. Masa anak mau menyalurkan kreativitas, emaknya menghalangi. Mau diceramahi tentang bongkar-pasang yang seharusnya jadi satu kesatuan, tapi kok ya masih bayi. Akhirnya saya cuman mengamati, menjaga, dan membimbingnya dalam kegiatan bongkar membongkar. Jangan sampai ada buku-buku kakaknya yang dirobek-robek. Jangan sampai dia ngemil krayon. Jangan sampai dia ngemut spidol. Safety first lah.

Kadang lelah, kadang pengen disambi memasak atau beresin rumah. Apa daya, menjaga bayi yang lagi hobi mbongkar itu berarti saya harus berada di sampingnya. Memastikan dia main dengan aman terjaga. Menjaga ketika dia berdiri sambil  berpegangan lalu berjalan entah mau ambil apa. Dan membuatnya nyaman.

 Melihat ekspresinya yang khusyuk membongkar, kadang ngoceh dan merengek minta tolong hati siapa sih yang nggak luluh. Dan senyum polosnya itu...

Nak, berhubung kamu cantik emakmu rela kok beres-beresin yang kamu bongkar seharian...

*Sorowako, Agustus 2015