Jumat, 09 Oktober 2020

Trik Lolos Cegatan

 Woiiiii.. 😅 Only girls can feel this. Pagi-pagi pengen ketawa nemu postingan ini. Ya iyalah, relate banget. Dulu di jaman SMP dan SMA, hafal banget laaah, bahkan termasuk sebagian kenangan yang  masih saya inget....pelaku-pelakunya. 😆




Sekolahan saya dulu, yang SMP maupun SMA, nggak bertingkat. Nemu beginian biasanya sih di ujung lorong/koridor kelas atau nggak jauh dari gerbang sekolah di jam sebelum sekolah mulai, jam istirahat, jam kosong, dan jam pulang sekolah. 

Cewek kalo nglewatin mereka otomatis disorakin, atau sekedar disapa-sapa caper gitu. Wkwkwkwk. Kecuali kalo yang bergerombol begini adalah  cowok rohis mushola. Paling senyum-senyum geje, arau pura-pura nanya apaan yang geje juga.


Trik saya untuk bisa lolos cegatan dengan aman sentosa, antara lain :

1. Dari kejauhan berhenti sejenak, tarik napas. Celingak celinguk kiri kanan, kali aja ada temen yang mo diajak barengan. Lebih banyak lebih baik karena bisa menyamarkan keberadaan saya. 🤣

2. Kalo nggak nemu temen buat barengan, pura-pura mbenerin tali sepatu atau apalah. Biar terlihat sibuk, dan   tetep jaga imej. Mengulur waktu juga sambil mikirin strategi apaan. Wkwkwkwk. Kali ajaaa mereka bubar sebelum saya kudu lewat sana.

3. Nyari jalan alternatif lain, yang penting nggak nglewatin beginian. Memutar lebih jauh meski nampak wagu. Pedein aja. Kalaupun disorakin dan diteriakin, mending lah, kan dari kejauhan. 

4. Jika mau tak mau harus nglewatin ini, sendirian pulak, saya berjalan cepat-cepat. Pasang muka lempeng dan paling jutek. Meski sebenarnya campur aduk juga sih, antara takut, deg degan, sebel, dan pengen ketawa. Jaga imej dong aah. Kalo terpaksa harus berhenti karena dicegat, saya pasang muka galak. Berani macem-macem saya lawan. 🤣🤣

Padahal saya dulu agak tomboy, kenapa kok nggak kepikiran buat nantangin gelut yak? Atau sekalian ikutan nongkrong di situ jadi komandan pletonnya. Atau macarin salah satunya. (hehhh!!!) 😆

Hadeehh, masa-masa sekolah dulu kalo dikenang ya lucu-lucu gini bikin ngakak sendiri.

Jaman sekolah mbiyen, lho ini. Boro-boro mikirin negara, lha wong mikirin strategi dan hal-hal absurd beginian rasanya bikin hati jumpalitan. Boro-boro mau ikutan demo tentang isu kekinian, ngadepin kerumunan massa seuprit gini aja aku udah deg degan. Boro-boro mau membaca undang-undang yang tebalnya ratusan halaman, membaca perasaanku sendiri saja masih sulit. 


Ncen embuh og. 😌

Minggu, 06 September 2020

Recovery Luka Mental


Selama berinteraksi dengan orang, saya itu punya keyakinan bahwa tidak ada orang yang bener-bener mutlak baik atau pun yang mutlak buruk. Tak ada yang sempurna. Karena kita manusia biasa. Ada sisi buruk, ada sisi jelek. Ya begitulah.


Bagi sebagian orang, bisa jadi kita adalah orang yang punya seribu kejelekan. Tapi di mata sebagian yang lain, bisa jadi sebaliknya. 

Setiap orang berhak menentukan dengan siapa bergaul, bahkan berhak juga menilai baik atau buruk. Apa pun itu. Tetapi, kita jelas dilarang untuk berbuat jahat. 

Sebesar apapun rasa tidak suka, jangan sampai kita berbuat jahat. Kriteria perbuatan jahat itu nggak cuman sesuai yang tertera di pasal undang-undang tentang kriminal. Hal-hal yang nampak 'lumrah' bisa masuk kategori jahat. Misalnya membully, membunuh karakter dengan gosip, memfitnah, menjatuhkan mental secara terus menerus, dan lain-lain. 

Mungkin saya terkesan sok-sokan nulis beginian. 😅 Lha emang iyes, bagi saya jauh lebih mudah bicara daripada mempraktikkan. 

Tapi begini. Ada di suatu masa saya pernah mengalami bullying yang parah. Mental saya digerogoti orang-orang di sekitar saya. Ada orang-orang yang giat sekali menjatuhkan dengan berbagai cara, dari yang nampak halus sampai kasar dan terang-terangan. Sikap dan karakter saya pernah dikuliti dan disidangkan di depan banyak orang. Entah bagaimana, rasa sentimen dan insecurity bisa memprovokasi orang untuk beramai-ramai menghabisi. Ckckckck...

Saya tidak akan bercerita banyak, karena saya yakin sudut pandang orang berbeda. Kalian yang merasa dan menilai hal-hal tersebut wajar karena satu dan lain hal,  tidak bisa juga saya salahkan. Berlaku jahat ke saya, belum tentu jahat ke yang lainnya. Lagipula, sejahatnya orang toh masih ada sisi baiknya. Buktinya masih ada yang sudi berteman. Masih ada good lookingnya. --halaahhhh--🤧

Yang jelas, tak ada orang yang menginginkan hal itu menimpa dirinya, anaknya, mau pun keluarganya. Dilukai kanibal mental dan  toksik secara massif dan brutal begitu efeknya lumayan. Dan saya yakin, mereka tak peduli. Beneran, bahkan orang yang ngakunya  teman kadang juga bodoamat kok. 😅

***

Iya, saya pernah terluka. Dan luka itu meninggalkan trauma bertahun-tahun lamanya. Saya sempat tidak percaya diri dengan diri saya sendiri. Saya pernah sekilas yakin bahwa saya ini mutlak jelek, tak ada bagus-bagusnya. So sad. Saya sempat tidak pede bergaul, karena saya selalu merasa orang lain tidak bisa menerima diri saya. 

Namun, satu hal yang sangat saya syukuri adalah setitik kesadaran bahwa saya masih berharga untuk keluarga juga teman-teman saya. Bukan teman abal-abal, karena yang abal-abal ini justru mengerikan. Seolah-olah berlaku sebagai teman, tapi saat ada kesempatan dia juga ikut bersemangat menghabisi. 😅

Tapi, itu sudah berlalu. Bertahun-tahun saya belajar menerima dan me-recovery diri sendiri. Tak mudah, but it works. 

Luka itu memang pernah membuat saya hampir "mati". Tapi entah bagaimana caranya, Allah menyelamatkan saya. 


---


Buat kalian yang masih terluka, apapun penyebabnya, ingat baik-baik quote dari tausiyah Gus Baha' ini.


Jumat, 21 Agustus 2020

TIDAK AMAN KETIKA MERASA KALAH


Film "Tilik" ini memang relate dengan kehidupan nyata di sekitar kita. Atau malah jangan-jangan kita pernah mengalami atau melakukan hal begitu. Entah sebagai Dian, Yu Ning, Yu Sam, Yu Nah, Gotrek, atau malah Bu Tejo. Ndak usah saling tuding. 

Cuma, yang viral itu Bu Tejo dengan karakter dan lambenya yang sukses bikin gemes pemirsa. Lalu segala tingkah laku di atas bak truk (ladies on the top) itu auto disematkan pada kelakuan emak-emak.

Lha iya, emang kebanyakan yang ngeksis dengan cara begitu ya emak-emak. Di kampung, dalam acara tilik, ya semacam itu kurang lebihnya. Di acara rewang (bantu masak di tetangga yang punya hajat), ya begitu. Di arisan, atau apalah, pokoknya dalam acara yg berkerumun, jarak dekat maupun jauh.

Tapi jangan salah, di kalangan bapak-bapak juga ada fenomena kayak gini. Mirip fenomena sein kiri belok kanan yg selalu disematkan pada emak-emak. Saya, emak beranak tiga, selama jam nyetir saya di jalanan sering juga ketemu laki-laki pengendara motor yg kelakuannya begitu. Dari jenis anak-anak, mas-mas, sampe bapak-bapak.

Di kampung, bapak saya itu pernah jadi ketua RT selama bertahun tahun. Menyelesaikan segala macem urusan adminitrasi sampai kericuhan akibat lambe-lambe turah. Jangan cuman ngebayangin yang punya pemancar siaran rakyat cangkem turah indonesia tuh cuma kalangan perempuan. Yang model Bu Tejo, tapi wujudnya bapak-bapak juga adaaaa.

Memang sih, tak ada asap tanpa api. Tapi seringnya sih, apinya di mana, asapnya ke mana mana. 

Di film "Tilik" ini yang jadi objek rasan-rasan adalah Dian. Memperhatikan banyak dialog lalu ending cerita, yang jebulnya Dian adalah calon istri bapaknya Fikri, keresahan Bu Tejo cs ini menggambarkan karakter yang insecure.

Keberadaan Dian yang cantik dan modis ala orang kota, dilihat sebagai ancaman pada stabilitas rumah tangga mereka. Mengetahui level kekayaan Dian, Bu Tejo yang sombongnya tipis tipis itu pun merasa tersaingi.

Yang begini relate nggak sih dengan kehidupan kita? Ya di sekitar, ya di media sosial. Ada yang nampak punya kelebihan trus auto jadi objek rasan-rasan. Ada yang nampak lebih cantik, lebih ngeksis, lebih kaya, lebih pintar, apalah apalah. Lalu segala dugaan dan penerawangan atas secuil fakta yang terlihat, sentimen itu digoreng sedemikian rupa, dicampur bumbu hoax dan fitnah. Disebar ke sana ke mari,  akhirnya terjadi pembunuhan karakter.

Nah hal-hal seperti itu awalnya hanya sepele saja. Perasaan insecure. Perasaan tidak aman. Perasaan tersaingi, padahal belum tentu ada yang berniat  menyaingi. 

Dan, berdasarkan pengalaman saya (((pengalaman))), berhati-hatilah terhadap orang-orang insecure. Di depan nampak baik, di belakang ya gitu deh. Kayak Bu Tejo gitu, di depan Dian cuman imbas-imbis nggak jelas. Namun, segala cara bisa dilakukan untuk menjatuhkan, bahkan  dengan hoax dan fitnah sekalipun.

Lalu, solusinya apa? Dadi uwong ki mbok sing solutif ngono lhoo, kata Bu Tejo. 

Kalau saya sih, jaga jarak aman alias menjauh. Apapun yang kita lakukan, apapun yang kita tampakkan tidak mungkin menyenangkan semua orang. Bagi orang insecure, apapun bisa jadi "api"nya. Jadi, interaksi sekadarnya saja.  Latihan legowo sebanyaknya. Karena kita tidak bisa mengendalikan perilaku orang lain. Terlebih lagi lambenya. 😅😂

Selasa, 21 Juli 2020

Rasa Pahit




Salah satu rasa yang susah dilupakan dari ingatan adalah rasa pahit. Rasa yang nempel di makanan atau pun kenangan. Eaaa..

Wait, ini mau bahas yang ada kaitannya dengan makanan. Saya punya kenangan pahit, banget malah, dengan sayuran bernama sawi.

Duluuuu waktu masih SD, nggak tau dapat wangsit apaan ibu saya tuh tiba-tiba suka masak sayur sawi. Ndilalah adik-adik saya suka. Jadilah berhari-hari di rumah selalu tersedia sayur sawi. Nah, kebetulan saat itu saya lagi sakit thypus atau DB (lupa), kan mulut pahit banget tuh. Ndilalah makan sayur itu kok rasa pahitnya jadi berlipat ganda. Sampai lekat rasanya, susah ilangnya. Wis jiaaann kayak kenangan pahit.

Sejak itu saya nggak doyan sawi, blassss. Lihat bentuknya saja langsung berasa pahit di mulut. Dulu waktu jaman kuliah ngeliat teman-teman pada panen sawi, terpaksa deh lihat  tumpukan sawi di ruangan sambil menahan pahit yang meneror lidah, perasaan, dan ingatan. Sementara orang pada gembira tapi saya tersiksa. 😅

Entah bagaimana, melihat penampakannya saja, mulut berasa pahit. Kayak gini : melihat orang motong buah lemon trus lemonnya dimakan begitu saja. Dibrakoti. Auto ngeces, kan? Membayangkan betapa kecutnya.

Berkat tekad yang dikuat-kuatkan, sekarang sih saya udah doyan makan sawi. Tapi setiap makan sawi, inget kenangan itu. Masa-masa sakit. Trus inget lebaynya saya kok sampai bertahun-tahun diteror rasa pahit.

Ternyata kenangan pahit bisa ilang kalo kita nggak lari dari kenyataan. __lesson learned 😂😂

Begitu pula dengan baking powder. Dulu waktu masih awal-awal coba per-baking-an, perkuehan dll, saya pernah menambahkan baking powder terlalu banyak. Alhasil rasa kuenya pahit. Pahitnya beda. Nempel di ingatan. Lalu, nyaris nggak pernah lagi pakai baking powder. Wkwkwkwk.

Saya membeli BP untuk perkuehan ketika ingin mencoba resep onde-onde ketawa.  Meski tetep ya, was was dengan rasa pahitnya.

Jadi saat saya posting onde-onde mesem, harap jangan julid duluan. Memang takaran baking powder saya kurangi drastis.

Takut pahit. Cemen akutu. 😌

Rabu, 06 Mei 2020

Ambyar, Antara Nostalgia dan Rasa yang Layak Dijogeti

| Sewu kutho uwis takliwati
| Sewu ati taktakoni
| Nanging kabeh podo ra ngerteni
| Lungamu ning endi
| Pirang taun anggonku nggoleki
| Seprene durung biso nemoni
| Wis takcoba nglalekake
| Jenengmu soko atiku
|Saktenane aku ora ngapusi
|Isih tresno sliramu

Baper nggak dengan lagu Sewu Kutho? Nggak cuman baper, kalo saya malah ada rasa ambyar ambyarnya gitu.
Bukan karena saya punya kenangan khusus dengan lagu itu. Bukan juga saya punya alur cerita hidup yang sama kayak di lagu itu. Hamosok saya melanglangbuana ke seribu kota, dan seribu hati hanya untuk mencari seseorang, lalu patah hati dan mengenang cintanya sampai sekarang. Bukan. Wkwkwkwkwk.

 Sepertinya, lagu itu ngehits dan sering saya dengar lalu saya hafal liriknya, bersamaan dengan episode hidup saya yang diwarnai rasa ambyar... eh pait dan getir karena sesuatu. Rasa yang terwakili oleh sebait dua bait lagu sedih itu.

Yaah.. tidak cuma lagu itu saja sih. Ada beberapa lagu yang rasanya pernah jadi soundtrack di sepotong episode hidup saya dulu.
Lagu Kasih Tak Sampai-nya Padi misalnya. Lagu patah hati yang bercerita tentang kisah cinta dua manusia.  Di saat saya mendengarkan, saya teringat rasa patah hati sepatah-patahnya. Bukan karena cinta. Tapi karena lain hal dan lain cerita. Rasanya mirip. Ambyar, getir, putus asa, pasrah, tapi sekuat tenaga mencoba bertahan dan melanjutkan kehidupan.

Mendengarkan lagu-lagu sedih jaman lawas kadang seperti menggali kenangan. Di tempat yang dulunya tersembunyi, tertutup rapat, dan mungkin hanya diri sendiri yang tahu dan paham. Segetir-getirnya, seambyar-ambyarnya, senangis-nangisnya, seluka-lukanya. Lalu saat iramanya sudah bisa dijogeti tanpa kegetiran yang menguras air mata, kenangan itu cukup digali sesaat lalu dpindahkan ke tempat yang lebih layak dan tak lagi menjadi beban. Sekadarnya saja diingat dan sesekali dikenang. Ibarat menengok kaca spion, pandangan dan tujuan tetap ke depan. Segala kenangan yang manis dan pait memang itulah yang harus dilewati dan dirasakan.