Selasa, 20 Oktober 2015

Merasa Luar Biasa


Sore-sore yang masih terasa terik, kami bermain depan rumah. Saya dan anak-anak. Saya momong, refreshing, sambil pesbukan. Multitasking yang rasanya embuh. Sesekali sambil merenung, menerawang jauh..mikirin masa depan bangsa dan negara ini. #halaah, lambemu Mak.

Main outdoor begini mungkin terasa sedikit mewah bagi orang-orang yang tinggal di perkotaan, hunian sempit dan minus lahan hijau. Bagi kami, yg tinggal di kampung..dan terpencil ya dah biyasah. Bukan hal yang warbyasah lagi. Main dedaunan, berlari di rerumputan, berburu belalang, nonton manuver burung elang...

Yaaa memang terkadang saya menemukan hal- hal baru, yang luar biasa seperti ini. Kulit belalang atau selongsongnya. Anak- anak sih udah nggak heran dengan yang beginian. Mereka udah sering nemu. Tapi bagi saya? Yang begituan itu saya amat-amati lalu saya photo. Untung nggak pake adegan ndlongop. Rasanya pengen bengok-bengok, "Iki lhooo!! Aku nemu apik. Apiiikkk banget. Pasti kamu belum pernah nemu. Pasti kamu ndak tau. Ya kan?"

Selongsong kulit belalang ini memang menakjubkan.
Namun saya merasa hebat pada saat ini, melebihi kehebatan spiderman dan baalveer. Hahaha. *sokbangetdahgua
Padahal kalo disurvey, bisa jadi sebelas dari sepuluh orang sudah pernah melihat selongsong kulit belalang seperti ini. Dan saya adalah orang ke-11 itu. Buktinya mak jleb di depan mata. Saya diketawain anak saya. Katanya, kok baru tahu? Hihihi memang sih kurang nya wawasan bisa berbuah kekonyolan.

Begitulah, kadang bagi kita saat menemukan hal-hal yang baru itu rasanya luar biasa, warbyasaah pokoke. Sampai-sampai kita pengen memberitahu semua orang tentang keluarbiasaan ini. Padahal bagi yang lain itu hal yang biasa. Sekali lagi, biasa.

Krupuk Goreng Pasir a.k.a Krupuk Mlarat


Entah bagaimana sejarahnya, di rumah kami rata-rata adalah penggemar kerupuk. Kami sering beli kerupuk dalam bentuk mentahnya. Tapi jarang sekali saya menggorengnya. Lha kenapa, Mak? Apa krupuknya dipelototin aja sampe jamuren? Atau disimpan dalam pigura? No..nooo..krupuknya ya dimakan. Prosesnya dipanggang dalam oven. Kadangkala kalau lagi selo ya digoreng pake pasir. Selain diklaim lebih sehat tanpa minyak goreng, sepertinya krupuk panggang atau krupuk goreng wedi/pasir lebih melatih kesederhanaan.Bukankah kita seyogyanya membiasakan hidup dengan standar biaya murah to? Eh, benar gitu nggak sih?

Biar pun mampu beli minyak goreng, ndak apalah sekali-kali atau berulangkali nggoreng krupuk pake pasir. Hihihi katakanlah antisipasi jikalau tiba-tiba minyak goreng langka di pasaran. Atau tiba-tiba harga melambung tinggi. Atau ada seruan boikot minyak goreng gara-gara darurat asap? Sapa tau kan? Iya kan? *golek pembenaran.

Di Jawa krupuk goreng pasir disebut krupuk mlarat. Iya, nama yang sedemikian 'rendah'. Padahal, yang dipandang 'rendah' pun kadang diperlukan umat. Pengiritan dan hidup sederhana. Hidup dengan biaya murah tidak identik dengan kerendahan. Pun tidak identik dengan hal-hal yang tidak keren dan tidak kekinian. *iki mbuh jare sopo.

 Yaah..seperti kerupuk-kerupuk yang bermekaran dan terus-terusan kepikiran dalam pasir panas ini. Lebih murah, hemat, dan sehat timbangane digoreng pake minyak. Menurut saya juga lebih kriuk dan nggak mblengeri.

Resepnya, Mak? Wooo nanti dulu. Jari jemari saya dah pegel. Nantikan di postingan berikutnya. Stay tune ya, gaeeesss... *halah..your kitchen, Maaakk


Jadi begini. Menggoreng krupuk pake pasir itu ada tata caranya. Ada alat dan bahannya.
1. Bahan utama jelas krupuk. Kalo repot mbikin, ya beli aja. Biasanya saya pake krupuk berbahan dasar tapioka, macam krupuk bawang atau krupuk udang yang kecil cap Larissa. *wahahaha nyebut merk gak papa yo?

2. Siapkan pasirnya. Saya sih nyari pasir fresh dari pinggiran danau Matano. Secukupnya aja. Tadinya sih mau pake truck buat ngangkut pasirnya, tapi haiyoo arep nggo nggoreng krupuk opo arep gawe bangunan Mak? Bisa juga pakai pasir pantai laut. Jangan pasir colongan ya, jangan juga pasir yang tercemar ee ucing. Pasir lalu dicuci pake air bersih supaya lumpurnya ilang. Kaya nyuci beras gituh. Lalu jemur sampe kering.  Selanjutnya ayak pake ayakan gajah..eh saringan teh.

3.Panaskan pasir dalam wajan atau panci. Jangan yg teplon atau yg lapis diamond. Sayang soalnya. Pake yg biasa aja, yg murah. Yang penting nggak bolong.

4. Setelah panas, masukkan krupuk mentah secukupnya. Aduk-aduk sampai mengembang. Jangan sekali-kali mengaduk pakai tangan kosong.

Panas, tau! Angkat pake serok, biarkan pasirnya terjatuh. Kan mau makan krupuknya, bukan pasirnya to? Tapi kalo kemakan pasirnya dikit ya ndak apa, tambah kriuk kok wahahaha


Senin, 19 Oktober 2015

Ancen Ngene


Ngene iki lho penake urip ning kampung jenenge Sorowako. Akeh banyu, akeh wit-witan, akeh mobil tapi ra macet, tur mugo-mugo akeh rejeki. Nek isuk suara manuk saut-sautan, mbuh manuk opo wae. Elang mabur nduwur wit-witan ketok gedi banget. Sakpitik jago kae. Munyuk ireng kadang dolanan sekitar omah. Iki lagi usum alpokat. Dilut maneh usum nongko, njuk kui pelem, njuk rambutan.

Ning kene akeh warga pendatang soko luar Sorowako. Ketoke luwih akeh pendatang timbangane penduduk asli.

Aku ra mudeng boso Sorowako, tapi untunge ning kene wong-wong podo nganggo boso Indonesia. Lha iyo to, iki iseh Indonesia. Sisih timur. Sulawesi Selatan sing mepet Sulawesi Tengah. Nek ning pasar aku sering malah nganggo boso Jowo, soale akeh sing dodolan kui wong Jowo. Bakul tomat lombok, bakul tempe tahu, bakul perabotan barang pecah belah, bakul semongko, bakul gado-gado, bakul bakso, bakul es dawet, pokoke akeh lah. Aku nganti bingung, iki Sorowako opo ngendi? Yo wis lah, nek sing ngerti sejarah transmigrasi yo mestine paham.

Iki Setu Minggu prei kerjo, prei sekolah. Iki mesti gym lan jogging track rame. Hawane adem tur silir. Njuk aku ki posting tulisan ngene karepku piye? Iyooo...ra piye-piye. Mbangane ra nulis.

*mohon maap buat yang merasa roaming.

Resep Sanggara Peppe Ala Saya


Sesekali bikin pisang goreng yang nggak manis. Di sini ada yang namanya 'sanggara peppe', kurang lebih artinya pisang goreng keprek. Bahan yang diperlukan sederhana, pisang kepok mentah, garam, bawang, minyak goreng.

1. Siapkan pisang mentahnya. Pertama-tama galilah lubang, lalu tanam tunas pisang.  Tunggu hingga berbuah, lalu ambil pisang sebelum matang dan keduluan diambil monyet. Lama yak? Praktisnya sih, beli aja di pasar. Atau nunggu kiriman dari tetangga hahaha.

2. Kupas pisang hingga semua kulit terbuang. Ingat, kupas secara hati-hati. Pisau itu tajam, Jenderal! Dan berhati-hati dengan efek dari getah pisang mentah. Noda kehitaman dan lengket di tangan.

3. Goreng pisang glundungan tsb hingga terlihat matang. Anda bisa sambil pesbukan, twitter an, atau baca koran. Jangan sambil jalan-jalan atau tiduran. Awas, bahaya kebakaran!

4. Tiriskan pisang tadi, lalu keprek dan gebuki pake munthu/ulegan. Ndak usah lebay pake popor senapan ya, gaess.. Apalagi nggebukin pake hak sepatu. Setelah penyet, dan pisang terlihat tidak berdaya maka lumurilah dengan bumbu. Bumbunya cukup air dikit ditambah bawang putih + garam yang sudah dihaluskan.

5. Goreng lagi hingga kemriuk. Aroma bawang akan menyeruak menerobos saraf penciuman.

6.Hidangkan dengan sambel tomat.

Rasanya lumayan.
Kriuk di luar, gurih dan kenyal di dalam.
Anda mau nyoba?

Jumat, 09 Oktober 2015

Ngomongin Monyet [lagi]


Melihat kalian bergerombol seperti itu, jadi muncul syak wasangka bahwa kalian sedang membicarakan sesuatu yang serius. Iya, serius. Jangan-jangan kalian merencanakan strategi pemanenan buah mangga dua bulan ke depan. Jangan-jangan kalian membahas teknik pembagian buah nangka yang bentar lagi masak.

Atau bisa jadi kalian sebenarnya membicarakan saya..hahaha. Sebagai salah satu pesaing dalam mencari buah-buahan kehadiran saya tidak bisa diremehkan begitu saja. Karena saya tidak sendiri. Saya muncul berjamaah dengan tetangga-tetangga saya. Hahaha.. meskipun saya nggak bisa manjat, tapi saya bawa galah! Dan meskipun sebenarnya saya takut, tapi saya bisa berpura-pura berani.
Diteriakin "monyet!" aja kalian dah lari, apalagi kalau saya suruh berjoget. #eh

Jadi, sebenernya saya masih penasaran...sedang membicarakan apa kalian ini? Mbahas update status? Ngomongin negara? Ah, saya ndak percaya! Apalagi ngomongin dollar vs rupiah. Blass saya ndak percaya. Lha wong buah-buahan aja kalian gretongan ndak pake mbayar kok.

*tangi, Mak..!

Sempet ada dugaan bahwa mereka merencanakan makar. Tapi...makar itu makanan apaan sih? Wahahaha. Masa gara-gara liat beginian saya harus ngontak BIN segera. Ya, silahkan saja...saya takleyeh-leyeh sambil mengamati situasi terkini. Hihihi..

Ndak lama kemudian, ada yang mbisikin saya, eh Mak..kayaknya mereka lagi mbahas acara sunatan massal kawanan monyet deh. Jadi mereka itu lagi ngobrolin mau ngamplopin berapa. Mau hiburan jogetan model gimana. Yang masak siapa, atau ambil katering di mana. Tapi kok, ada anak monyet di situ. Nggak mungkin, ah!

Jadi begini, itu anak monyet lagi ngadu, habis diledekin temannya, "Lo belon sunat, ye!" Tapi pas mau ikutan sunat, die takut. Takut macam digigit harimau! Trus emak bapaknye bujuk-bujuk tuh, ..sekalian ndaptar gitu.

Wahahaha... Maaak..maak! Ngene ae dibahas. Dadi melu ra genah kabeh.

Kamis, 08 Oktober 2015

Terbang By Twin Otter


Dulu, kami pernah merasakan naik pesawat jenis twin otter, dengan maskapai  SMAC (Sabang Merauke Air Charter). Cmiiw untuk kepanjangan singkatan maskapai. Pesawatnya kecil, mungkin kapasitas penumpangnya hanya 20-an. Saat itu demi menghemat tenaga dan waktu perjalanan, juga memanfaatkan promo, kami berangkat ke Makassar dari Bandara Lagaligo Bua-Palopo, sekitar 2 km dari rumah. Pesawat yang kami tunggu datang dari Bandara Andi Djemma Masamba, Luwu Utara. Nah kabarnya rute ini juga melayani tujuan Rampi, Sekko. Itu lho daerah yang terkenal dengan ojeknya yang gigih, menempuh jalur berbatu dan berlumpur di tebing-tebing pegunungan. Sekko-Masamba-Bua-Makassar.

Waktu itu kami membawa seorang anak lelaki kami usia 3,5 tahun dan bayi perempuan usia 5,5 bulan.  Kapasitas pesawat kurang lebih 20 an orang. Tanpa layanan garpu-sendok. Air kemasan gelas plastik pun nihil. Sepanjang perjalanan, selain safety belt, kami diharuskan memakai head set besar untuk meredam suara bising. Udara terasa sedikit panas, mungkin penyejuk udara yang kurang dingin atau entah. Terselip juga rasa was-was..dan aaah siapa sih yang nggak merasa was was naik pesawat udara? Berdoa..berdoa..dan berdoa. Selebihnya penerbangan terasa menyenangkan. Melihat perbukitan, awan-awan putih, pesisir pantai, belantara... Hingga sekitar 40 menit sampailah di Bandara Sultan Hasanuddin, Maros. Jika menempuh jalur darat biasanya 8 jam. Hemat waktu, hemat tenaga, meski merogoh kocek lebih dalam. Tahu kan maksudnya? Iyalah, tiket penerbangan itu memang lebih mahal daripada tiket bis atau pete-pete. Apalagi penerbangan perintis, yang pakai pesawat-pesawat kecil itu, Twin otter, ATR, Fokker..


Minggu ini ramai pemberitaan pesawat Aviastar jenis twin otter yang hilang. Mencari dompet ilang memang bisa saya ceritakan dengan berhaha hihi. Tapi mengikuti berita pencarian pesawat Aviastar rute Masamba-Makassar yang hilang kontak, ah..sedihnya.

Hati saya ikut berdebar mengikuti berita ini. Mendengarkan dan membaca nama-nama lokasi yang tak asing lagi, sebagai dugaan lokasi jatuhnya pesawat. *kami bertahun-tahun pernah menetap di Bua, Palopo, eh Luwu.


Selalu ada hikmah di setiap kejadian.
Seperti kita tahu pesawat Aviastar yang hilang, akhirnya ditemukan jatuh di pegunungan Latimojong, Kabupaten Luwu. Semua kru dan penumpangnya dinyatakan meninggal dunia.

Semoga yang berduka diberi kesabaran dan ketabahan. Dan semoga ke depannya, menjadi perhatian serius maskapai dan pemerintah dalam perbaikan infrastruktur, kualitas, layanan dan safety dalam penerbangan perintis di daerah-daerah.  Serta penerbangan dan transportasi pada umumnya.


Selasa, 06 Oktober 2015

Ketika Invasi Semut Tiba


Tinggal di kawasan yang dulunya hutan, dan sekarang pun masih mepet-mepet hutan, serbuan semut menjadi masalah tersendiri. Segala jenis semut, dari yang halus ampe kasar. Hihihi maksudnya dari semut pudak, semut api, semut hitam kecil dan besar, semut rangrang. Sumbernya dari pepohonan atau tanah. Nah, rumah model panggung bukan halangan bagi semut untuk menginvasi. Apalagi rumah kami berdinding kayu. Tambah mak sliyeng aja itu semut-semut menerobos.

Dua hari ini invasi semut api sudah berlangsung di rumah kami. Awalnya saya menemukannya di kamar mandi. Tanpa belas kasihan saya menyemprotnya. Saya lakukan dengan gaya yang diusahakan persis emak-emak nyemprot nyamuk di iklan-iklan obat nyamuk. Matilah mereka. Semut-semut mati menggelepar di lantai kamar mandi. Ini adalah barang bukti kemanjuran obat nyamuk. Bisa digunakan membasmi semut.

Lalu esoknya, saya sapu. Mungkin tersisa sedikit saja semut-semut yang sudah tak bernyawa. Malam berikutnya, invasi semut berpindah ke kamar belakang. Menerobos sudut finding lalu berbaris lalu berpencaran entah hendak kemana. Mungkin mereka sedang piknik. Hihihi.. Hal yang sama saya lakukan. Saya semprot sampai terkapar. Lalu saya bersihkan. Mumet pala bebeb jika invasi ini berlanjut. Saya tak sanggup meneruskan perjuangan melawan semut. Bukan karena belas kasihan saya, duh.. Sampai kapan sih saya maksain bergaya kaya emak-emak iklan pembasmi nyamuk?! Hahaha.. Maapin eike ya, mut semut.

Akhirnya, jurus berikutnya adalah menelepon. Ya, untuk urusan begitu kami dimudahkan dengan melapor. Dan pagi ini pasukan om-om dari Rentokil datang lengkap dengan kendaraan dan peralatan tempurnya. Hihihi..emak lebay.
Kami mengobrol dikit, tanya jawab seperlunya. Saya tunjukkan lokasi invasi semut dua hari kemaren. Untung masih ada sisa-sisa pertempuran [tidak berimbang] yang bisa difoto sebagai barang bukti pelapor. Kami juga berdiskusi sebentar untuk membahas dugaan konspirasi..eh lokasi semut bersarang.

Walhasil, disemprotlah seluruh tiang penyangga rumah dan..entahlah di mana lagi. Hahaha saya tinggal tanda tangan dan tidak mengikuti prosedur..eh om-om bermasker lengkap yang nyemprotin racun semut.
Bukan karena nggak tega meliat adegan kekerasan itu, tapi nganu...nganuuuuu...ambune kui lhooo, lebih parah dari obat semprot nyamuk.


Senin, 05 Oktober 2015

Mencari Kaca Mata



Pagi ini, setelah sholat subuh, saya mengawali hari dengan mumet. Pusing pala bebeb. Bukan karena mikir negara, atau nilai tukar rupiah terhadap dollar. Bukan juga karena mikirin situasi perpolitikan menjelang pilkada. Bukan pula mikirin dunia maya yang semakin berisik dari hari ke hari. Ah, bukan juga mikirin status kamuh yang gitu-gitu deh...

Penyebab sebenarnya adalah, saya kehilangan kaca mata. Bagaimana mungkin saya bisa melihat dengan baik dan jelas, meskipun belum tentu benar, tanpa kaca mata itu. Apalah saya tanpa kaca mata..
Bingung. Seingat saya, sebelum tidur saya serah terimakan itu kaca mata ke suami saya. Biasanya dia akan menaruhnya di atas laci sebelah tempat tidur.

Walhasil, kami berdua pun segera menyisir meja laci, sprei, kasur, bed cover, selimut, dan..hati. Hahaha barang kali ada yang mengira bahwasanya kaca mata saya tersimpan di hati, eaaa. Garing banget.
Mencari sampai ketemu, hingga kami terpaksa menggeser laci dan tempat tidur. Lha kok ndilalah malah nemu barang-barang yang nyempil-nyempil. Yang beberapa hari nggak ketahuan rimbanya. Boro-boro nyari, diduga hilang pun enggak. Walhasil, saya nemu kerudung, kuncir, kaos kaki bayi, kaos dalam, pulpen, dan tumpukan dollar. Hahaha yang terakhir jelas HOAX.

Tapi kaca mata belum ketemu juga. Sampai mumet saya. Bahkan sempat mak sliwer pikiran akan dugaan konspirasi jahat untuk menghilangkan benda berharga milik saya itu. Tapi..konspirasi siapa? Lha kok sempet-sempetnya. Kepikiran juga menduga sesuatu yang halus memindahkan kaca mata saya ke tempat yang masih misterius. Tapi...tepung terigu dan tepung beras di dapur kayaknya baik-baik saja tuh. Ah, mumet..mumet...pokoknya. Mau nyalahin pemerintahan Pak Jokowi lha kok kebangeten temen saya jadi rakyat..hihihi.

Ya sudahlah. Iseng-iseng suami buka laci satu per satu..akhirnya nemu kaca mata itu dalam laci kedua. Leganyaaaa...
Pertanyaannya, kok bisa?

Hihihi ternyata kondisi mengantuk tidak saja diwaspadai saat menjalankan kendaraan, tapi juga di saat menyimpan kaca mata.

Mencari Dompet


Mencari dompet yang raib-entah-kemana sama mumetnya dengan mencari kaca mata. Mangkanya sejak lama saya memutuskan untuk menggunakan dompet ukuran besar, yang bisa untuk menyimpan duit tentu saja, segala macam kartu-kartuan, hape, pulpen, tisu, dan selembar popok bayi.

Karena ukurannya yang gede, menurut hemat saya, jadi lebih gampang ditemukan. Beda dengan dompet ukuran kecil dan minimalis. Dompet minimalis itu kalau lagi raib, haduuhh. Segala tempat penyimpanan ditengok. Sampai ke sudut terkecil. Bahkan kulkas kalo perlu juga diperiksa, karena...ah malu saya bilangnya. Nganuu...eng...nganuu...hape saya pernah nginep semalaman di freezer. Sampai menggigil kedinginan. Eh, itu hape atau naget istimewa? Hihihihi.

Balik lagi ke masalah pelik nyari dompet. Kadang-kadang saya sudah mumet nyariin dompet kagak nemu-nemu, eh empunya dompet nelpon dari tempat kerja. "Udah ketemu, di tas ternyata." Rasanya itu pengen ngabisin nasi se-rice cooker.

Tadi pagi, saya ditugasi mencari dompet minimalis itu. Dengan clue sekedarnya, yaitu celana kerja. Saya sudah merasa sok tau dan bijaksana, palingan di tas. Bolak balik diperiksa tapi kagak ada. Di laci-laci nihil. Di mobil juga nggak ada. Lalu saya bergegas mencari celana kerja. Menghentikan sementara mesin cuci yang sedang bekerja. Mengambilnya hingga terpisah dari kumpulannya. Memeriksa setiap sakunya. Daaan...nggak ada sodara-sodaraaaa! Duh mumet pala bebeb.

Saya akhirnya berpikir keras. Bagi saya yang jarang-jarang mikir keras..ya agak nguras tenaga. Pengen ngabisin sepiring pisang goreng jadinya.
Tiba-tiba saya teringat uang koin yang sering kedapatan terkapar tanpa daya di dasar mesin cuci. Seketika saya mengaduk- aduk cucian. Licin bersabun. Laluuu...ketemu, alhamdulillah. Tapi, dompetnya basah kuyup seisinya. Laluuu...saya pun teringat beberapa waktu dulu pernah nyuci sprei berikut hape.
Sprei bersih seketika, tapi hape nya...ah ndak enak saya bilangnya.

Antara Bogor dan Sorowako, Piknik yang Berbeda



Monyet maccaca yang sedang 'piknik' di halaman
Kami tinggal di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Tahun pertama di sini, hari-hari terasa seperti piknik. Tinggal di sekitaran Danau Matano, berasa lebih nyaman ditunjang lingkungan perumahan yang asri dan penuh pepohohan. Suara burung ramai berkicau. Burung-burung elang terbang di atas pepohonan. Juga sekawanan monyet maccaca liar yang sesekali mampir dan berkeliaran di halaman. Mungkin mereka pun sedang piknik. Hehehe, keluar dari dalam hutan lalu mencari buah-buahan di kawasan perumahan. Banyak sekali pohon buah di sini. Nangka, mangga, alpukat, rambutan, jeruk bali, jambu, sirsak dan lain-lain.Jika kami berburu buah itu artinya kami harus siap dan legowo untuk bersaing dengan monyet-monyet macacca ini. Sorowako, kota tambang yang asri dan hijau. 

Selain terkenal karena tambang nikelnya, satu hal yang menarik dari Sorowako adalah Danau Matano. Danau inilah yang mengalirkan kehidupan untuk Sorowako dan sekitarnya. Digunakan sebagai sumber air, pembangkit listrik, juga tempat wisata alias piknik. Danau Matano, konon katanya adalah danau terdalam se-Asia Tenggara. Banyak kawasan pantainya yang dimanfaatkan sebagai tempat wisata. Istilah pantai di sini, maksudnya adalah pesisir danau. Ada Pantai Ide, Pantai Kupu-Kupu, dan Pantai..aduh, yang saya lupa namanya, yang dipakai untuk rafting dan berkano ria.

Yang paling umum dikunjungi orang, terutama dari luar Sorowako adalah Pantai Ide. Pertama kali mengunjungi pantai ini, rasanya luar biasa. Danau yang awalnya saya lihat dari dalam pesawat Indonesia Air terlihat kebiruan, ternyata begitu tenang, bersih, serta beraroma romantis. Sayangnya belum ada yang tertarik pakai lokasi ini sebagai tempat syuting layaknya film Laskar Pelangi, atau drama korea. Yang hobi berenang pasti betah lama-lama di sini. Airnya bersih. Yang takut dingin mending berenang siang-siang atau sore hari. Agak anget hehehe. Ada ban-ban yang disewakan. Ukuran besar dan kecil, harga sewanya kalau tidak salah 3-10 ribu. Oya, di sini orang-orang dewasa kalau berenang kebanyakan pakai kostum yang relatif lebih sopan.  [dibandingkan dengan wisata-wisata air yang terkenal di kota-kota besar] Kebanyakan pakai baju kasual sehari-hari, bukan swimsuit. Mungkin karena budaya lokal, atau memang kesadaran pribadi dan masyarakat pada umumnya. Entahlah, ..atau karena ketidaktahuan saya saja heheh.
Pantai Ide Danau Matano

Dasar danau yang berpasir dan berlumpur keliatan jelas. Ikan-ikan kecil yang berenang juga keliatan. Anak-anak kecil riuh berenang bersama orang tuanya. Dalam hati saya berkata, “Hebat ya, kecil-kecil udah pada pinter berenang. Saya saja yang udah kepala tiga masih pake gaya lama alias gaya batu.” Hahahaha.
Bagi yang nggak bisa berenang nggak usah galau. Toh masih bisa menikmati pemandangan sekitar. Bisa jalan-jalan di anjungan-anjungan yang menjorok ke danau. Memotret pun jadi kegiatan seru. Atau berfoto-foto narsis juga oke kok, asal jangan terlalu heboh saja, hihihi bisa mengganggu pemandangan. Saya sarankan sih kalo mau narsis, kreatif dikit laah..jangan sekedar monyong-monyongin mulut, ngeluarin lidah, atau apalah. Toh banyak pohon besar yang mau dipeluk buat foto narsis bersama wkwkwkwkk. Seperti film India.

Sejauh mata memandang, yang tampak adalah air. Hehehe ya iyalah, kan DANAU bukan emol [mall]. Sesekali terlihat katinting yang melintas. Itu lho, perahu khas Danau Matano, untuk mengangkut orang dan kendaraan menyeberang sampai ke Nuha. Di kejauhan nampak deretan pegunungan. Sungguh, eksotik sekali.

Ngomong-ngomong soal mall, di sini nggak ada mall. Mall terdekat di kota Palopo yang berjarak 4-5 jam naik mobil. Atau di Makassar yang hanya berjarak sekitar 1 jam naik pesawat jenis Fokker. Biayanya dong, Kakak… yah, sesekali butuh juga piknik ke kota –yang ada mallnya. Kami kadang-kadang ke kota, biasanya pas momen mudik ke Jawa. Maklum, kami perantau. Setiap ada kesempatan cuti dan berlibur kami gunakan untuk besilaturahim dengan keluarga dan berpiknik di kota. Piknik juga perlu lho, untuk kesegaran jiwa. Meski pun kadang harus merogoh kocek lebih dalam, toh banyak hal yang bisa kita dapatkan. Selain kesenangan, tentunya  dapat me-recharge semangat untuk menjalani rutinitas. Apalagi piknik dengan menempuh perjalanan  jauh, tambah banyak lagi yang bisa kami dapatkan. Kami bisa mengajari anak-anak etika di perjalanan, sabar menunggu boarding, sabar menunggu jemputan, juga berlatih ketahanan fisik dan mental di jalan. Berat ya? Hihihi.. nggak lah, kan habis itu kami bersenang-senang bertemu sanak saudara, bernostalgia, melihat dan menikmati tempat-tempat yang berbeda dengan tempat tinggal kita. Asyik, bukan?

Bulan Mei tahun ini, saya senang sekali saat suami dapat tugas dari kantornya untuk pelatihan di Bogor selama beberapa hari.  Bisa numpang deh… Hihihi numpang hotel maksudnya, untuk biaya lain-lain saya dan anak-anak ya ditanggung sendiri. Sekalian kami mudik ke Sukabumi, kampung mertua saya. Meskipun  sering mudik ke Sukabumi, Bogor hanya kami lewati. Jarang sekali bisa berpiknik di kota hujan ini. Pengalaman bertahun-tahun pernah tinggal di Bogor, membuat saya excited sekali dengan beberapa rencana piknik. Saya sudah bayangkan mall. Sekedar jalan dan cuci mata pun nampak mengasyikkan. Kebun raya dan Istana Bogor yang asri beserta rusa-rusanya. Rusa, bukan monyet liar seperti di Sorowako. Kampus yang hijau, kenangan kami kuliah dulu. Cuci mata di distro-distro tas. Aneka macam kuliner yang menggiurkan dan nggak ada di Sorowako. 

Tapi…saat kami di Bogor, rencana tetaplah rencana, hanya sekian persen yang terlaksana. Banyak faktor penyebabnya. Selain jadwal suami yang padat, ternyata saya pun kerepotan membawa dua anak plus satu bayi untuk berkeliling sendiri di Bogor. Mana jalanan macet.. Belasan tahun lalu, nggak semacet itu lho. Bogor sudah berubah! Bukan karena Negara Api sudah menyerang,  tapi…deru pembangunan dan pertumbuhan penduduk mungkin ikut andil untuk mengubahnya.

Akhirnya, mau bagaimana lagi, kami tetap menikmati kota Bogor. Dengan nge-mall tentunya hihihi. Sampai rontok bulu kaki, eh..pegel kaki. Dan berjalan di trotoar sekitar pagar istana, mengintip rusa-rusa yang berkeliaran. Melihat anak-anak yang gembira,saya pun ikut senang. Sambil mencicipi martabak dan kue ape, saya pun bercerita tentang kampus saya dulu, yang sebagian sudah berganti menjadi bangunan mall dan hotel.

Saya masih menyimpan angan, kelak kalau kami berkesempatan liburan di Bogor, satu hal yang tidak boleh terlewatkan adalah mencicipi kuliner secara lengkap dan menyeluruh. Asinan, toge goreng, roti unyil, segala macam penganan dari talas, sop duren, bakso, kue ape, rujak..dan ah, tiba-tiba saya berasa lapar. Di Sorowako nggak ada, Kakaaak. Hal berikutnya adalah berjalan-jalan di kampus bersama anak-anak. Bernostalgia bersama suami, sekaligus bercerita pada anak-anak. Lalu mengunjungi istana dan Kebun Raya Bogor. Waaaahh, kapan ya?



**Tulisan ini diikutkan Lomba Blog Piknik itu Penting