Jumat, 14 Agustus 2015

Ruang untuk Belajar




Menjadi murid baru di sekolah yang bernama SD itu, engkau akan belajar banyak hal. Sebelum teori perhitungan matematis dipakai untuk aplikasi teknologi yang rumit, engkau harus belajar satu tambah satu sama dengan dua. Sebelum teori kebahasaan engkau pakai untuk menulis sesuatu yang ilmiah, dan bercita rasa tinggi, maka engkau akan belajar tentang kosa kata sederhana.


Sebelum belajar teori ekonomi yang kompleks dan rumit, maka engkau akan belajar menghitung anggaran belanja uang sakumu tiap hari. Bahwa uang lima ribu rupiah itu bisa dalam bentuk satu lembar lima ribuan, atau dua lembar dua ribuan plus satu seribuan. Rumit tampaknya. Nah, untuk belanja bolu kukus harga seribuan tidak apalah dua-tiga kali engkau masih kebingungan. Karena kebingungan yang masih wajar akan menyisakan ruang untuk belajar dari kesalahan. Engkau akan belajar konsep uang pas dan kembalian. Engkau akan belajar berhitung tentang penjumlahan  dan perkalian. Juga tentang olah rasa saat engkau bawakan sepotong dua potong jajan untuk orang-orang tersayangmu.

Belajar...dan belajar. Jangan pernah menyerah.

Di dunia yang gegap gempita ini, bahkan  orang-orang yang ngakunya jauh lebih dewasa, masih ada aja yang nggak mau belajar. *bukan untuk dicontoh, yaa* Ada yang sok ngerti masalah ekonomi negara, padahal ngatur anggaran bulanan sendirinya aja who-knows. Sok kritis wacana halal haram, padahal belum tentu dia lulus bab thaharah. Sok heroik berpendapat ini itu, cuman bermodal info sepotong. Maunya nyolot aja. Maunya ribut aja. Maunya ngritik aja. Maunya begini begitu. Banyak. Tapi nggak mau belajar. Minimal untuk baca dan ngolah rasa. Minimal untuk mengingat kembali pelajaran-pelajaran dasar saat sekolah dulu. Maunya nyolot, mau dijelaskan kayak apa ya tetep nyolot. Ah, sinetron Indonesia kadang kalah lucu dari pernyolotan model begini. Bahkan, telenovela dubbing Suroboyoan ae kalah lucu, Cak!

Tidak ada komentar: