Sabtu, 25 Februari 2012

Saya yang [pura-puranya] Sedang Berfilosofi ANU


Mungkin Anda seperti saya, sering mendengar orang ngomong ‘anu’ dan bahkan sering juga ngomong ‘anu’. Di-anu dan meng-anu.
Anu adalah sesuatu yang belum pasti apa maksudnya. Saya sih bilangnya, mirip variabel dalam matematika. Entah ini persamaan model apa, tapi saya sering melihatnya.
x + y = z
Sebagai orang nyleneh saya biasa menyebutnya sebagai “anu ditambah anu sama dengan anu”.
Butuh ketelitian dan keterampilan dalam menerjemahkan anu menjadi sesuatu. Sesuatu yang nyata dan jelas. Tidak absurd.Kalo di matematika, anu, eh variabel bisa dihitung dengan rumus, sehingga mendapatkan arti ‘anu’ yang sesungguhnya.

Nah, bagaimana kalo diterapkan di kehidupan sehari-hari? Anda pasti akan lebih merasa pusing dan garing karena ‘anu’ semakin tidak jelas, tanpa batasan spesifik, tanpa semesta pembicaraan yang pasti.

Biasanya orang menggunakan kata ‘anu’ dengan berbagai alasan:
1. susah menemukan kata yang tepat untuk menyampaikan sesuatu (akibat dari kamus yang lebih sering dijadiin sebagai pengganti bantal)
2. menghindari kesan blak-blakan atau vulgar, biar terkesan agak sopan dan berperadaban.
3. sudah menjadi kebiasaan karena ‘anu’ sudah dianggap sebagai kosa kata pelengkap komunikasi kebertetanggaan, biar lebih akrab dan g4ul
4. males mikir (seperti saya)
5. menghindar dari maksud sesungguhnya alias ngeles
6. grogi stadium menengah, kaget setengah meter, atau terkejut tiba tiba harus memberi jawaban

Biasanya kalo saya ditanya tetangga untuk urusan yang nggak perlu dibicarakan. “Mau kemana, Mbak?” “Itu saya mau ke anu. Mariii…”. Sederhana, diplomatis. Dan tidak basa-basi.

Kalo saya kepergok sedang mengendap-ngendap, pasti  saya ngomong seperti ini, “Anu, eh saya anu…jadi anu deh.”

Pernah nggak denger anak-anak bernyanyi, “Anuku dulu tak begini.”

Tetangga saya juga pernah berkata, “Iya, dianu memang itu caranya biar jadi anu itu.”

Bahkan nenek tetangga saya pernah berseru, “Bukan, anuku yang begitu!”

Atau bayangkan jika seorang tersangka korupsi ketika ditanya hakim begini jawabannya, “Tidak benar itu, Pak Hakim. Anu saya tidak pernah digunakan untuk anunya perusahaan anu.”

Bagi yang sering di-anu, butuh imajinasi tinggi untuk menerjemahkan kalimat itu sehingga menjadi kalimat yang benar dan.. sesuai dengan yang dimaksud. Untung saya nggak berpikiran ngeres, setidaknya nggak sering, atau lebih tepatnya hanya sesekali saya berhasil menerjemahkan “anu” tanpa harus memikirkan anu yang saru.

Sah-sah aja sih sebenarnya saya, Anda, atau siapapun itu untuk meng-anu, ber-anu, meng-anukan, diper-anu-kan,meng-anu-i dan anu-anu yang lain, asalkan tidak bertentangan dengan pasal-pasal dan aturan dalam hal anu ini dan itu. Masih dalam koridor anu yang tidak sara dan saru. Nggak apa-apa sedikit garing, yang penting  anu-nya sopan dan berperikemanusiaan.

Semakin saya ngomong dengan kata “anu” saya malah merasa garing sendiri. Lebih garing dari krupuk yang sudah dianu. Yaaah, masih mending lah garing, daripada ngeres.

Jadi, meng-anulah sesering mungkin supaya Anda nggak anu di dalam keanuan Anda sendiri.  Semakin sering Anda memakai kata anu, Anda pasti keliatan semakin absurd, dan tampak sempurna untuk suatu kegaringan yang mewujud.

Practice makes perfect.
 ***

Tidak ada komentar: