Jumat, 03 Februari 2012

MAHLIGAI CINTA


Ruangan ini semakin meriah. Hiasan bunga ada di sana-sini. Lilin-lilin menyala di setiap meja. Musik ala padang pasir tak berhenti mengalun. Makanan dan minuman disajikan seperti tidak ada habisnya. Kursi-kursi penuh dengan tamu undangan. Anak-anak sesekali terlihat berdiri atau berjalan-jalan. Orang-orang tampak sumringah. Mereka mengobrol, makan, dan tertawa. Bahagia. Tapi tak ada lagi yang melebihi raut bahagia  sepasang pengantin yang duduk berdua disaksikan ratusan pasang mata.       
               Lelakinya tampak gagah dengan senyum yang tak pernah lekang di bibirnya. Di sebelahnya seorang perempuan anggun berkerudung dalam balutan busana pengantin warna merah marun. Senyum merona di bibir tipisnya. Dia semakin cantik saja. Matanya yang bulat indah berseri-seri. Sesekali mereka saling mengobrol. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang jelas mereka bahagia. Pandangan mata mereka saling mengisyaratkan  berjuta cinta.
            Meskipun sebatas berpegangan tangan, mereka tampak akrab. Begitu akrab. Padahal mereka dijodohkan, begitu yang kudengar. Mereka bahkan baru kenal tiga bulan sebelum hari pernikahan ini. Kabarnya sih, orang tua mereka sudah saling kenal sejak lama. Ternyata tumbuh dan besar di kota yang berjauhan tak menghalangi mereka bertemu di mahligai cinta ini. Mahligai yang menyatukan mereka untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Mengayuh biduk dalam suka maupun duka. Menapaki hari seiring sejalan, meski angin tak selalu sehaluan.
            Kupandang lagi sepasang pengantin di depan sana. Dari sudut ruangan ini pun masih tampak begitu jelas aroma cinta yang terpancar. Kebahagiaan mereka jelas membuatku iri. Kutatap perempuan berbusana merah marun yang entah kenapa tiba-tiba seperti tersenyum padaku.Aku terkesiap. Senyumnya tak asing lagi. Senyum yang pernah membuat hatiku tersentuh. Senyum yang pernah membuat hari-hariku melambung. Senyum yang juga membuat hatiku patah berkeping-keping!
             Aku tertunduk. Mataku berkaca-kaca. Sejuta sesal menyesak di dada. Ah, seandainya rasa cinta ini pernah terungkapkan. Seandainya aku memiliki keberanian untuk melamarnya hingga dia tak akan memilih laki-laki lain. Aku merutuki diri. Pertanyaan-pertanyaan tak terjawab masih menghantui pikiranku. Mengapa?  Mengapa hari-hari indah yang pernah kita lewati hanya terhenti di persimpangan? Mengapa janji-janji suci itu tak terucap dari bibir kita? Kuhapus sudut mataku, entahlah…..

Tidak ada komentar: