Minggu, 26 Februari 2012

Ketika Belanja di Pasar


Rutinitas hari Sabtu pagi susah sekali dilakukan tanpa pergi ke pasar. Pasar yang saya maksud adalah pasar pekan, adanya cuma di hari Selasa dan Sabtu. Maklumlah di kampung, masih mengandalkan pasar tradisional untuk memenuhi kebutuhan dapur. Mostly I like it.. Kalau beruntung saya bisa mendapatkan ikan, udang, sayur, buah yang segar dengan harga bersahabat. Selain itu kan bisa membantu pergerakan perekonomian masyarakat bawah. Hehehe, buat yang jarang ke pasar tradisional patutnya mencoba, yah sekalian melihat-lihat atau merasakan sensasi yang berbeda (halaaahhh).
Di sini adalah daerah pantai dengan hasil laut melimpah. Namun karena ada pabrik plywood besar, dan notabene banyak penduduk yang mencari nafkah dari situ jadi harga hasil laut (ikan, udang dan teman-temannya)  lebih tinggi dibandingkan pasar kecamatan lain. Setiap kali ada rumor kenaikan gaji buruh pabrik, serentak pula para pedagang menaikkan harga. Tanpa pemberitahuan, tanpa konferensi pers seperti pak Presiden mengumumkan kenaikan harga bbm.
Pagi ini saya pergi ke pasar yang jauhnya hanya sekitar 200 meter dari rumah. Langsung menuju tempat penjual ikan di area belakang. Seperti biasa, sambil berjalan tengok kiri kanan ngeliat barang dagangan orang. Dari jauh saya sempatkan melihat seorang nenek di pojok emperan warung, dalam hati saya bilang, maaf nek saya nggak beli, mudah2an rejekinya lancar hari ini. Sedikit ada rasa bersalah. Melihat nenek tua yang mungkin usianya lebih dari tujuh puluh tahun, masih setia berjualan barang seadanya. Beberapa butir bawang merah yg kalo ditotal jumlahnya gak sampai sekilo. Pun begitu bawang putih. Minyak kelapa di beberapa botol air mineral bekas. Sepi pembeli.
Tak bisa menolak senyum dan sapaan ramah seorang ibu tua yang menawarkan cabenya. Saya pun beli dua ribu rupiah. Lumayan dapat sepertiga kantong kresek kecil. Ternyata memang banyak para penjual dari kalangan ibu-ibu yang tua. Saya biasanya nggak tega melewatkan begitu saja, apa saja dibeli. Meski dengan mengeluarkan uang yang nggak seberapa. Nanas kecil-kecil 7 biji seharga tiga ribu rupiah. Irisan rebung sekantong dua ribu. Kacang rebus, langsat, rambutan, kedondong... Sampai anak-anak saya berkomentar ketika mereka bongkar belanjaan, “Pasti ini belinya dari nenek-nenek.”
Nggak tahu kenapa, saya lebih kasian ngeliat orang-orang tua yang berjualan. Mungkin mengingatkan saya dengan (almh) nenek yang dulu juga berjualan di pasar. Pagi-pagi buta beliau sudah berangkat, lalu pulang menjelang siang, berseri-seri membawakan cucu-cucunya oleh-oleh jajan pasar. Bahkan beliau meninggal pada saat berjibaku mencari nafkah. Saya masih ingat sekali kejadian kecelakaan beruntun yang juga melayangkan nyawa beberapa orang sekaligus, para pedagang yang membawa barang kulakan untuk dijual di pasar kecamatan. Allahummaghfirlahaa warhamhaa wa’fuanhaa.. Amiin. Dulu anak-anaknya sudah menyarankannya itu untuk di rumah saja, udah tua, kasian kalo masih susah payah jualan di pasar. Yah apa mau dikata, barangkali di umur tua pun orang masih merasa perlu untuk berbuat sesuatu. Saya yang masih kelas 6 SD saat itu belum bisa berpikir yang lain-lain, kecuali menangis dan bersedih hati kehilangan nenek yang saya cintai. (huuaaaa, nulis begini pun bikin saya nangis bombay)
Membeli dengan beberapa rupiah mungkin nggak seberapa nilai keuntungannya, tapi di dalam hati saya, saya berharap mudah-mudahan pembeli yang lain jadi tertarik ikut beli. Trus uang hasil jualannya bisa untuk membelikan oleh-oleh buat cucunya di rumah. Yaah, membayangkan waktu saya kecil dulu. Senang sekali rasanya waktu saya main ke rumahnya, pas jam beliau pulang dari pasar, lalu dapat oleh-oleh. Jajan pasar, buah, krupuk, apa saja. Bahkan mbah saya sering menyimpankan oleh-oleh kalo saya belum ke rumahnya. Kadang-kadang bela-belain mampir ke rumah orang tua saya sebelum pulang ke rumahnya. Hanya untuk ngasih oleh-oleh jajan pasar ke cucu-cucunya. Kalau lagi banyak rejekinya, kami pun dapat bagian uang saku sebanyak selawe (dua puluh lima rupiah) atau seket (lima puluh). Hehehe jaman segitu harga es unyil masih lima rupiah booo...
Entah kenapa, hari ini saya rindu sekali dengan mbah. Nama yang sering saya panggil ketika saya dimarahi orang tua saya. Lebih dari 20 tahun yang lalu..
Semoga Allah menempatkan mbah di sisi-Nya, di tempat yang terbaik.
Subhanallah, dengan berbelanja di pasar saya nggak hanya mendapat barang yang saya butuhkan. Ada banyak empati, simpati dan nostalgia yang bisa saya lihat dan rasakan. Saya pun musti banyak bersyukur…

Tidak ada komentar: