Rutinitas hari Sabtu pagi susah sekali dilakukan tanpa pergi
ke pasar. Pasar yang saya maksud adalah pasar pekan, adanya cuma di hari Selasa
dan Sabtu. Maklumlah di kampung, masih mengandalkan pasar tradisional untuk
memenuhi kebutuhan dapur. Mostly I like it.. Kalau beruntung saya bisa
mendapatkan ikan, udang, sayur, buah yang segar dengan harga bersahabat. Selain
itu kan bisa membantu pergerakan perekonomian masyarakat bawah. Hehehe, buat yang
jarang ke pasar tradisional patutnya mencoba, yah sekalian melihat-lihat atau
merasakan sensasi yang berbeda (halaaahhh).
Di sini adalah daerah pantai dengan hasil laut melimpah. Namun karena ada pabrik plywood besar, dan notabene banyak penduduk yang mencari nafkah dari situ jadi harga hasil laut (ikan, udang dan teman-temannya) lebih tinggi dibandingkan pasar kecamatan lain. Setiap kali ada rumor kenaikan gaji buruh pabrik, serentak pula para pedagang menaikkan harga. Tanpa pemberitahuan, tanpa konferensi pers seperti pak Presiden mengumumkan kenaikan harga bbm.
Pagi ini saya pergi ke pasar yang jauhnya hanya sekitar 200
meter dari rumah. Langsung menuju tempat penjual ikan di area belakang. Seperti
biasa, sambil berjalan tengok kiri kanan ngeliat barang dagangan orang. Dari
jauh saya sempatkan melihat seorang nenek di pojok emperan warung, dalam hati
saya bilang, maaf nek saya nggak beli, mudah2an rejekinya lancar hari ini.
Sedikit ada rasa bersalah. Melihat nenek tua yang mungkin usianya lebih dari
tujuh puluh tahun, masih setia berjualan barang seadanya. Beberapa butir bawang
merah yg kalo ditotal jumlahnya gak sampai sekilo. Pun begitu bawang putih.
Minyak kelapa di beberapa botol air mineral bekas. Sepi pembeli.
Tak bisa menolak senyum dan sapaan ramah seorang ibu tua yang menawarkan cabenya. Saya pun beli dua ribu rupiah. Lumayan dapat sepertiga kantong kresek kecil. Ternyata memang banyak para penjual dari kalangan ibu-ibu yang tua. Saya biasanya nggak tega melewatkan begitu saja, apa saja dibeli. Meski dengan mengeluarkan uang yang nggak seberapa. Nanas kecil-kecil 7 biji seharga tiga ribu rupiah. Irisan rebung sekantong dua ribu. Kacang rebus, langsat, rambutan, kedondong... Sampai anak-anak saya berkomentar ketika mereka bongkar belanjaan, “Pasti ini belinya dari nenek-nenek.”
Tak bisa menolak senyum dan sapaan ramah seorang ibu tua yang menawarkan cabenya. Saya pun beli dua ribu rupiah. Lumayan dapat sepertiga kantong kresek kecil. Ternyata memang banyak para penjual dari kalangan ibu-ibu yang tua. Saya biasanya nggak tega melewatkan begitu saja, apa saja dibeli. Meski dengan mengeluarkan uang yang nggak seberapa. Nanas kecil-kecil 7 biji seharga tiga ribu rupiah. Irisan rebung sekantong dua ribu. Kacang rebus, langsat, rambutan, kedondong... Sampai anak-anak saya berkomentar ketika mereka bongkar belanjaan, “Pasti ini belinya dari nenek-nenek.”
Nggak tahu kenapa, saya lebih kasian ngeliat orang-orang
tua yang berjualan. Mungkin mengingatkan saya dengan (almh) nenek yang dulu juga
berjualan di pasar. Pagi-pagi buta beliau sudah berangkat, lalu pulang menjelang
siang, berseri-seri membawakan cucu-cucunya oleh-oleh jajan pasar. Bahkan
beliau meninggal pada saat berjibaku mencari nafkah. Saya masih ingat sekali
kejadian kecelakaan beruntun yang juga melayangkan nyawa beberapa orang
sekaligus, para pedagang yang membawa barang kulakan untuk dijual di pasar
kecamatan. Allahummaghfirlahaa warhamhaa wa’fuanhaa.. Amiin. Dulu anak-anaknya sudah menyarankannya itu untuk di rumah saja, udah tua, kasian kalo
masih susah payah jualan di pasar. Yah apa mau dikata, barangkali di umur tua
pun orang masih merasa perlu untuk berbuat sesuatu. Saya yang masih kelas 6 SD
saat itu belum bisa berpikir yang lain-lain, kecuali menangis dan bersedih hati
kehilangan nenek yang saya cintai. (huuaaaa, nulis begini pun bikin saya nangis bombay)
Membeli dengan beberapa rupiah mungkin nggak seberapa nilai
keuntungannya, tapi di dalam hati saya, saya berharap mudah-mudahan
pembeli yang lain jadi tertarik ikut beli. Trus uang hasil jualannya bisa untuk
membelikan oleh-oleh buat cucunya di rumah. Yaah, membayangkan waktu saya kecil
dulu. Senang sekali rasanya waktu saya main ke rumahnya, pas jam beliau pulang dari
pasar, lalu dapat oleh-oleh. Jajan pasar, buah, krupuk, apa saja. Bahkan mbah
saya sering menyimpankan oleh-oleh kalo saya belum ke rumahnya. Kadang-kadang bela-belain mampir ke rumah orang tua saya sebelum pulang ke rumahnya. Hanya untuk ngasih oleh-oleh jajan pasar ke cucu-cucunya. Kalau lagi banyak rejekinya, kami pun dapat bagian uang saku sebanyak selawe (dua puluh lima rupiah) atau seket (lima puluh). Hehehe jaman segitu harga es unyil masih lima rupiah booo...
Entah kenapa, hari ini saya rindu sekali dengan mbah. Nama
yang sering saya panggil ketika saya dimarahi orang tua saya. Lebih dari 20 tahun yang
lalu..
Semoga Allah menempatkan mbah di sisi-Nya, di tempat yang
terbaik.
Subhanallah, dengan berbelanja di pasar saya nggak hanya
mendapat barang yang saya butuhkan. Ada banyak empati, simpati dan nostalgia yang
bisa saya lihat dan rasakan. Saya pun musti banyak bersyukur…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar