Minggu, 24 April 2016

Hikmah Merantau

Saya mau cerita, rada panjang sih. Beberapa hari lalu kawan lama saya menelepon. Nggak kaget juga seh dia nelpon, lha wong saya udah hapal bahwasanya saat dia beli paketan nelpon dan kuota yang tersisa sayang untuk dilewatkan begitu saja, lalu dia akan menelepon saya. Hahaha.. Ngobrol ngalor ngidul entah mbahas apaan. Lupakan saat kami asik ngobrol lalu terdengar suaranya, "Ada makanan apa, Bu? Oh ya, saya pesen satu porsi yang itu. Trus es jeruk manis satu."
Hahaha teganya kau, Mak.

Ada dua poin pembicaraan yang saya ingin tulis di status. Yang nelpon saya tuh juga sama-sama merantau jauh, bedanya dia wanita karir, saya ndak. Hahaha udah nggak usah mbahas karir vs rumahan yaaaa bo ebo, kita bahas bab yg lain saja.

Pertama adalah bab merantau.
Suerrr, merantau itu tidak mudah. Banyak hal harus dikompromikan dengan hati, pikiran, dan mental yang kuat. Dulu waktu masih kecil,  saya sering takjub melihat orang-orang yang lagi mudik dari rantaunya. Banyakan sih dari Jakarta, katanya. Entah Jakarta mana, karena belakangan saya tahu bahkan Citeureup pun mereka bilang Jakarta. Mereka para pemudik itu berpenampilan layaknya orang-orang sukses dan lebih wah dari orang kampung. Bahkan seringkali logat elu-gue, ngapain, dll ikut meramaikan khasanah obrolan kampung.
Ketakjuban saya itu perlahan bergeser setelah saya mulai merantau untuk kuliah di Kota Bogor. Ketakjuban dari melihat hal-hal yang duniawi eh ..yang nampak, menjadi ketakjuban akan pengorbanan dan kerja keras.  Juga ketakjuban akan keberanian berkorban demi tampil layak di acara mudik tahunan di kampung halaman. Yup, citra sebagai orang sukses masih dipandang dari tampilan luar. Elu punya mobil mahal, meski kreditan, citra sukses akan merangkak naik. Elu punya ini punya itu.  Setidaknya di mata sebagian orang, tampak berjaye. Iya nggak sih. Eh tapi kalau untuk yang tingkat maqamnya dah tinggian ya ndak gitu kaleuss...hihihi. Segala sesuatu ukurannya bukan duniawi tok. Duniawi itu urusan ke sekian sekian. Mungkin lho yaa..

Bertahun-tahun merantau, awalnya saya sering mendengar komentar orang begini. "Elu ngapain di sana?" 'Emang enak di sana?" "Kok jauh gitu?" "Bukannya enak di sini, dekat orang tua. Apa-apa gampang."

Ya..yaaa..yaa..nggak ada habisnya dengerin semua komentar orang. Hingha waktu berlalu. Komentar orang berhenti begitu saja? Ya nggak lah. Kita nggak bisa mengendalikan omongan dan sikap orang lain. Kalau mengendalikan api dan air sih...saya juga ndak bisa. Hahaha..

"Wah enak yaa punya ini punya itu."
"Enak dong, orang tua pensiun anaknya udah sukses semua."

Ya..yaa...yaaa... Orang lain itu nggak tahu dan mungkin nggak mau tahu, bagaimana perjuangan orang merantau. Bagaimana suka dukanya. Bagaimana  merintis hidup dari nol. Hei, di perantauan orang nggak peduli keluarga besarmu yang turun temurun menjadi bangsawan di kampung. Orang nggak peduli kakek buyutmu tuan tanah. Orang nggak tahu mobil berjejer di garasi orang tuamu sementara hanya motor butut kaupakai sehari hari, dan kau nampak kere. Itu kerasnya kehidupan dirasa betul saat merantau. Anak balitamu yang sedikit nakal dan dengan santainya orang-orang memakimu, satu hal yang tak akan kau alami di kampung halaman di tengah orang-orang yang menghormati tetuamu. Orang juga nggak peduli seberapa hebatnya dirimu di kampung halaman. Seberapa terkenalnya kamu di jaman sekolah.  Dan .... nepotisme? Lupakan.

Ngomongin masalah merantau banyak kok hal dan hil yang bisa dipetik hikmahnya. Saya melahirkan ketiga anak saya tanpa didampingi orang tua. Hikmahnya, kami justru belajar lebih keras untuk jadi orang tua yang baik. Dan sebagai pelajaran awal adalah berdamai dengan kerepotan dan kebodohan dalam rangka mengurus bayi mungil pertama.
Dan begitulah.
Terkadang orang lain akan gampang sekali berkomentar, dan itulah haknya. Sementara hak kita adalah keep on going and moving. Kerja...kerja..kerja...dan gajian.
#eh

Tidak ada komentar: