Senin, 25 April 2016

Ngomongin Soal Kasihan

Suatu hari, rumah saya kedatangan seorang laki-laki tua penjual kain sarung. Saya kaget tetiba dia sudah masuk ke beranda dengan membuka pintu sendiri. Jelas saya kaget
 Apalagi di rumah cuman saya bersama anak-anak. Saya tanya baik-baik maksudnya datang. Berkali-kali dia bilang bahwa dia Muslim, dia orang baik, dan saya tak perlu takut. Berkali-kali pula dia membaca syahadat di depan saya. Lalu dia ulang-ulang lagi bahwa dia orang Muslim, dan orang baik, jadi saya nggak perlu takut. Gimana saya nggak malah takut coba? Logatnya kental orang Sulawesi. Untung masih bisa saya mengerti. Ceritanya dia jualan sarung dari Sengkang (sebuah Kabupaten di wilayah Sulsel yang terkenal dengan sarung tenun sutera). Dia bilang asli kain Sengkang.
"Kasiang mi nak, belumpi ada yang beli ini sarungku." Kodooong...

Mulailah saya bertanya-tanya tentang dagangannya meskipun saya nggak yakin akan keasliannya. Berkali-kali dia berusaha meyakinkan kalau kain yang dijual berkualitas bagus.
"Tadi di rumah sana, ada bapak-bapak dari Malaysia dia beli dua potong." Lhoo..nabilang belumpi ada yang laku satu pun. Piye iki.

Berkali-kali dia agak memaksa supaya saya membeli dagangannya. "Ndak kasiang ko sama saya?" Wadooohh..

Harga yang dia tawarkan ratusan ribu, dan jujur aja untuk kain begitu rasanya di pasaran dihargai nggak sampe 50 ribu.

Dia mengklaim semua asli buatan Sengkang, tapi saya lihat ada sarung batik made in Pekalongan, dan sarung cap gajah cabe made in Bandung. Harganya 100 - 200 rb. Walaahh...sarung tjap gadjah sit down aja nggak segitunya, lah ini gajah cabe-cabean mihil amat.

Saya masih berminat membeli. Karena kasihan.
Uang di tangan tinggal selembar seratus ribuan, rencananya mau buat beli minyak goreng karena di dapur blas ketipas habis.
Saya pilih barang termurah yang dia tawarkan lalu menawar 50 ribu. Lalu kakek itu menolaknya, lalu menceramahi saya bla bla blaa. Dibilang lah saya nggak kasian dan lain-lain. Agak miris saya dengarnya. Saya mulai merasa tidak nyaman...dan aman.

Saya naikkan tawaran. Tetap saja dia bilang rugi, dan saya nggak kasihan bla bla bla. Nada bicaranya pun semakin meninggi, dan diulang-ulang.
Habis sudah kesabaran saya.
"Ya sudah, Pak. Ndak jadimi saya beli."
"Begini saja, kasihka uangmu itu. Koambil mi satu kain yang kausuka."

Pyaarrr...emosi saya memuncak. Saya rapikan beberapa barang yang sebelumnya saya lihat-lihat.

Tetiba dia bilang, "Ambe mi harga segitu. Rugika sebenarnya tapi ambe' mi."

"Nggak usah, Pak. Saya kalau jual belinya maunya sama-sama ikhlas. Kalau rugi, mendingan ndak usah kasihka."
Entah kekuatan apa yang membuat saya berani berkata begitu sambil mempersilakan dia pergi.

"Maaf, Pak. Saya tersinggung. Mungkin rejeki ta' bukan dari saya yang beli. Mudah-mudahan lancar rejeki."

Lalu saya terpaku di pintu memandangnya pergi dari rumah.
Segala macam perasaan bercampur aduk. Gemetar, jengkel, merasa bersalah dan lain-lain.
Saya sadar, kadang susah menjadi orang baik.

Ngomongin soal kasihan memang ibarat pisau bermata dua. Ngerti nggak ngerti pokoknya kayak gitu deh.

Tidak ada komentar: