Selasa, 04 Februari 2014

PINDAHAN (bagian 1)




Tergerak menulis ini setelah membaca suatu postingan yg mampir di pesbuk saya…

Akhir tahun kemaren, sehari sebelum tahun baru, kami –saya dan anak-anak- memutuskan pindah.
Lagi. Perasaan baru kemaren pindahan, kok pindah lagi. Ternyata masih nomaden pemirsah. Ah, masih belum seberapa, dibandingkan pengalaman sebagian orang yang pindahan lebih sering dan lebih jauh.
Sebelumnya kami tinggal di Palopo, lalu pindah dan tinggal di kampung mertua saya, menumpang dan menemani mereka.

Sebagian saudara dan tetangga heran dengan keputusan kami.

“Kok pindah lagi.”
“Kan sudah enak di sini, ngapain pindah?”

“Ngapain jauh-jauh… “

“Bla…blaa…blaaaa….”

Laaah, apapun kata mereka…kami tak tergoyahkan. Hehehe..

Nggak tahu kenapa, saya selalu merasa tertantang untuk “merantau”. Saya bertekad mengajarkan pada anak, bahwa bumi Allah itu luas. Rejeki Allah bisa dijemput dimana-mana. Melihat jangan dari jendela yang itu-itu saja. Bepergian bisa mengajari kita praktek tentang manajemen waktu, kebaikan, kebajikan, toleransi, disiplin dll. Iya toh? Masa sih? Hehe..

Mencari pengalaman hidup di rantau itu mahal. Nggak semua orang dapat kesempatan. Pengalaman travelling itu …sesuatu banget deh. Pengalaman di tempat dengan bahasa, budaya dan orang-orang yang berbeda itu banyak memberi pelajaran.

Pun ketika anak saya protes, “Kok papah kerjanya jauh.”

Saya menjelaskan panjang lebar, sisi kali sisi, luas..permukaan..pokoknya yang bikin dia mudeng.
“Kok bapaknya si ini si itu kerjanya di dekat sini saja.”

Bahkan saking bersemangatnya sampai saya pahamkan, bahwa tidak perlu selalu berkaca pada orang lain, karena kita punya kehidupan sendiri. Kita punya rejeki masing-masing. Kita punya kebutuhan yang berbeda, mungkin. Selalu saya ingatkan pada anak-anak saya, bahwa ibu dan bapak mereka bukan tetangga satu kampong. Dan untuk mengunjungi kakek-nenek, yang di sini, yang di situ, mereka butuh usaha, waktu dan biaya yang jauh berbeda dibandingkan si ini-si itu. Bayar tiket pesawat itu pake uang, Nak.  Beli mobil buat jemput kesana kemari juga pake uang. Lha iya emang kan nggak pake daun?

“Papah kerja saja di kecamatan.” Hahaha sampe ngakak-guling-guling waktu saya dengar statement anak saya begitu. Dikira sembarang orang bisa kerja di kecamatan. Perlu tahu saja kantor kecamatan, pas depan SD tempatnya bersekolah.

“Jadi pak camat gitu?” Tanya saya.

Malah giliran dia yang ketawa. 

***

Tidak ada komentar: