Tergerak menulis ini setelah membaca suatu postingan yg
mampir di pesbuk saya…
Akhir tahun kemaren, sehari sebelum tahun baru, kami –saya dan
anak-anak- memutuskan pindah.
Lagi. Perasaan baru kemaren pindahan, kok pindah lagi. Ternyata
masih nomaden pemirsah. Ah, masih belum seberapa, dibandingkan pengalaman sebagian orang yang pindahan lebih sering dan lebih jauh.
Sebelumnya kami tinggal di Palopo, lalu pindah dan tinggal di kampung mertua saya, menumpang dan menemani mereka.
Sebelumnya kami tinggal di Palopo, lalu pindah dan tinggal di kampung mertua saya, menumpang dan menemani mereka.
Sebagian saudara dan tetangga heran dengan keputusan kami.
“Kok pindah lagi.”
“Kan sudah enak di sini, ngapain pindah?”
“Ngapain jauh-jauh… “
“Bla…blaa…blaaaa….”
Laaah, apapun kata mereka…kami tak tergoyahkan. Hehehe..
Nggak tahu kenapa, saya selalu merasa tertantang untuk “merantau”.
Saya bertekad mengajarkan pada anak, bahwa bumi Allah itu luas. Rejeki Allah
bisa dijemput dimana-mana. Melihat jangan dari jendela yang itu-itu saja.
Bepergian bisa mengajari kita praktek tentang manajemen waktu, kebaikan,
kebajikan, toleransi, disiplin dll. Iya toh? Masa sih? Hehe..
Mencari pengalaman hidup di rantau itu mahal. Nggak semua
orang dapat kesempatan. Pengalaman travelling itu …sesuatu banget deh. Pengalaman
di tempat dengan bahasa, budaya dan orang-orang yang berbeda itu banyak memberi
pelajaran.
Pun ketika anak saya protes, “Kok papah kerjanya jauh.”
Saya menjelaskan panjang lebar, sisi kali sisi,
luas..permukaan..pokoknya yang bikin dia mudeng.
“Kok bapaknya si ini si itu kerjanya di dekat sini saja.”
Bahkan saking bersemangatnya sampai saya pahamkan, bahwa tidak
perlu selalu berkaca pada orang lain, karena kita punya kehidupan sendiri. Kita
punya rejeki masing-masing. Kita punya kebutuhan yang berbeda, mungkin. Selalu
saya ingatkan pada anak-anak saya, bahwa ibu dan bapak mereka bukan tetangga
satu kampong. Dan untuk mengunjungi kakek-nenek, yang di sini, yang di situ, mereka
butuh usaha, waktu dan biaya yang jauh berbeda dibandingkan si ini-si itu. Bayar
tiket pesawat itu pake uang, Nak. Beli
mobil buat jemput kesana kemari juga pake uang. Lha iya emang kan nggak pake
daun?
“Papah kerja saja di kecamatan.” Hahaha sampe ngakak-guling-guling
waktu saya dengar statement anak saya begitu. Dikira sembarang orang bisa kerja
di kecamatan. Perlu tahu saja kantor kecamatan, pas depan SD tempatnya
bersekolah.
“Jadi pak camat gitu?” Tanya saya.
Malah giliran dia yang ketawa.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar