Percaya nggak, kalo keren-keren begini saya pernah jadi guru
honorer di SD Negeri di sebuah kampung?
Hihihi percaya sih percaya, tapi masalah kekerenan itu yang
perlu dipertanyakan. :D
Emang berapa sih gaji saya jadi guru honorer?
Yaaah jangan nanya gaji deh, nanya yang lain aja. Mendingan
saya cerita tentang sekelumit pengalaman batiniah saya ..cieeeeeee
Saya kaget (nggak pake nggeblak) ketika mendapati sebagian
anak/murid yang ternyata hidup dan tinggal bersama neneknya, dengan alasan umum
:
·
Ortu cerai, bapaknya kawin lagi, lalu ibunya
kerja di kota
·
Bapaknya kerja jauh di pulau seberang (biasanya
nambang emas [illegal]), ibunya jadi TKI
·
Ibunya jadi TKI ke Arab Saudi, bapaknya kawin
lagi
·
Ortu sama-sama jadi TKI
·
Kurang survey :p
Saya sering memperhatikan anak-anak begini. Kalau yang
kakek/neneknya masuk kalangan ekonomi menengah atau setidaknya mampu menghidupi
sekeluarga…anak-anak berpenampilan layaknya anak-anak yang terurus. Meskipun
sebenarnya dalam kehidupan mereka ada yang kurang karena ketiadaan orang tua di
dekat mereka.
Nah yang sedikit miris adalah yang tinggal bersama
kakek/nenek yang secara ekonomi sangat kurang. Saya pernah memperhatikan
beberapa anak yang, (maaf) penampilannya kurang terurus. Rambut tipis kemerahan
(bukan bule, bukan pula karena dicat), cahaya mata tidak bersemangat, kusam.
Sedih ya? Belum lagi baju-bajunya yang dekil, buku-buku yang jauh dari layak…
Bayangkan, saya masuk ke sebuah kelas mendapati seorang anak tidak menulis
hanya gara-gara pensilnya tinggal secuil, dan buku-bukunya saya lihat juga
awut-awutan.
Saya nggak akan membahas masalah kesenjangan sosial.
Saya hanya ingin menyampaikan unek-unek bahwa ketika sekolah
dikritik sedemikian rupa, ketika Negara dicela persoalan kurikulum…sudahkah
kita membuka mata. Sudahkah kita menengok di belahan bumi yang begitu bedanya
dengan sekeliling kita? Bahwa persoalan pendidikan anak tidak hanya urusan
sekolah. Justru pendidikan dari rumah (orang tua) itu yang paling utama.
Saya merasakan, agak sulit mengubah kebiasaan murid-murid
(yang saya pernah ajar di kelas) agar tidak membuang sampah sembarangan. Mungkin mereka sudah terbiasa begitu. Mungkin orang tua, atau orang-orang di rumahnya cuek dengan
kebiasaan begitu, atau justru mencontohkan buang sampah di
sungai/jalan/selokan.
Ketika ujian, sebagian anak begitu bersemangat. Sebagian lagi mengerjakan dengan ala kadarnya dan kita pun
tahu itu jawaban-jawaban ngawur karena malas berpikir. Ada sebagian yang hobi
bolos. Dan ketika pihak sekolah sudah
melakukan teguran hingga home visit ke rumahnya, apa yang didapati? Sikap masa
bodoh dari keluarga. Saya nggak bohong, ada yang pernah saya jumpai begitu.
Miris, saya hanya bisa mendoakan yang terbaik.
Saat jam pelajaran, nggak lupa saya selipkan pesan-pesan
agar mereka termotivasi untuk bersekolah dan belajar, juga bersikap yang baik.
“Sekolah memang tidak bisa menjamin masa depan kamu, tapi
setidaknya kamu punya bekal untuk mengubah nasib menjadi lebih baik.”
Hehehe seserius itukah saya mengajar? Nggak kok, meskipun kadang-kadang galak, saya
bisa becanda dengan murid-murid.
Kadang-kadang saya ajak ngobrol beberapa anak yang terkesan
malas-malasan.
“Rumah kamu di mana? Tinggal sama siapa? Bapakmu kerja
apa? Ibu kerja nggak? Kamu pengen nggak nanti
kalo udah dewasa lebih baik dari sekarang?”
Ah, mungkin dengan mengobrol saya bisa sedikit tahu kesulitan mereka.
Sudahlah…saya jadi kangen murid-murid saya. Hehehe…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar