Selasa, 18 Februari 2014

Jangan Hanya Sekolah...



Percaya nggak, kalo keren-keren begini saya pernah jadi guru honorer di SD Negeri di sebuah kampung?
Hihihi percaya sih percaya, tapi masalah kekerenan itu yang perlu dipertanyakan. :D
Emang berapa sih gaji saya jadi guru honorer?
Yaaah jangan nanya gaji deh, nanya yang lain aja. Mendingan saya cerita tentang sekelumit pengalaman batiniah saya ..cieeeeeee

Saya kaget (nggak pake nggeblak) ketika mendapati sebagian anak/murid yang ternyata hidup dan tinggal bersama neneknya, dengan alasan umum :
·         Ortu cerai, bapaknya kawin lagi, lalu ibunya kerja di kota
·         Bapaknya kerja jauh di pulau seberang (biasanya nambang emas [illegal]), ibunya jadi TKI
·         Ibunya jadi TKI ke Arab Saudi, bapaknya kawin lagi
·         Ortu sama-sama jadi TKI
·         Kurang survey :p

Saya sering memperhatikan anak-anak begini. Kalau yang kakek/neneknya masuk kalangan ekonomi menengah atau setidaknya mampu menghidupi sekeluarga…anak-anak berpenampilan layaknya anak-anak yang terurus. Meskipun sebenarnya dalam kehidupan mereka ada yang kurang karena ketiadaan orang tua di dekat mereka.  

Nah yang sedikit miris adalah yang tinggal bersama kakek/nenek yang secara ekonomi sangat kurang. Saya pernah memperhatikan beberapa anak yang, (maaf) penampilannya kurang terurus. Rambut tipis kemerahan (bukan bule, bukan pula karena dicat), cahaya mata tidak bersemangat, kusam. Sedih ya? Belum lagi baju-bajunya yang dekil, buku-buku yang jauh dari layak… Bayangkan, saya masuk ke sebuah kelas mendapati seorang anak tidak menulis hanya gara-gara pensilnya tinggal secuil, dan buku-bukunya saya lihat juga awut-awutan.

Saya nggak akan membahas masalah kesenjangan sosial.

Saya hanya ingin menyampaikan unek-unek bahwa ketika sekolah dikritik sedemikian rupa, ketika Negara dicela persoalan kurikulum…sudahkah kita membuka mata. Sudahkah kita menengok di belahan bumi yang begitu bedanya dengan sekeliling kita? Bahwa persoalan pendidikan anak tidak hanya urusan sekolah. Justru pendidikan dari rumah (orang tua) itu yang paling utama.

Saya merasakan, agak sulit mengubah kebiasaan murid-murid (yang saya pernah ajar di kelas) agar tidak membuang sampah sembarangan. Mungkin mereka sudah terbiasa begitu. Mungkin orang tua, atau orang-orang di rumahnya cuek dengan kebiasaan begitu, atau justru mencontohkan buang sampah di sungai/jalan/selokan.
Ketika ujian, sebagian anak begitu bersemangat. Sebagian lagi mengerjakan dengan ala kadarnya dan kita pun tahu itu jawaban-jawaban ngawur karena malas berpikir. Ada sebagian yang hobi bolos.  Dan ketika pihak sekolah sudah melakukan teguran hingga home visit ke rumahnya, apa yang didapati? Sikap masa bodoh dari keluarga. Saya nggak bohong, ada yang pernah saya jumpai begitu. Miris, saya hanya bisa mendoakan yang terbaik.

Saat jam pelajaran, nggak lupa saya selipkan pesan-pesan agar mereka termotivasi untuk bersekolah dan belajar, juga bersikap yang baik.

“Sekolah memang tidak bisa menjamin masa depan kamu, tapi setidaknya kamu punya bekal untuk mengubah nasib menjadi lebih baik.”

Hehehe seserius itukah saya mengajar?  Nggak kok, meskipun kadang-kadang galak, saya bisa becanda dengan murid-murid.

Kadang-kadang saya ajak ngobrol beberapa anak yang terkesan malas-malasan.

“Rumah kamu di mana? Tinggal sama siapa? Bapakmu kerja apa?  Ibu kerja nggak? Kamu pengen nggak nanti kalo udah dewasa lebih baik dari sekarang?”


Ah, mungkin dengan mengobrol saya bisa sedikit tahu kesulitan mereka.
Sudahlah…saya jadi kangen murid-murid saya. Hehehe…


Tidak ada komentar: