Jumat, 23 Maret 2012

Logat yang Berbeda


Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua
Satu Indonesia, satu bahasa..
Tetapi jangan lupa perhatikan logat dan cara berbahasa.

Hehehe, minggu pertama saya tinggal di Tana Luwu, saya cuma plonga-plongo ketika di pasar. Kenapa coba? Nggak ngerti alias nggak mudeng. Padahal yang saya ajak ngomong juga  pake bahasa Indonesia (konon kabarnya). Tapi logat daerahnya yang begitu kental membuat saya ndomblong  kayak tulup dikethek, eh kethek ditulup.

Trus mengalami lagi kejadian yang lebih dramatis. Waktu saya melahirkan anak pertama di rumah sakit. Wah, yang ini sampai bikin trauma. Hehehe nggak lebay kok, tapi siapa sih yang nggak sakit hati dan desperate ketika ‘dimarahi’ bidan hanya gara-gara salah melakukan instruksinya? Terus terang saya waktu itu nggak ngerti dia bilang apa.  
Kalo bidan bilang “berkuat” artinya adalah mengejan. Itu saya sudah tahu. Tapi siapa yang menduga saat-saat puncak rasa sakit melahirkan, saya blank. Hilang semua bahasa dan logat yang sudah saya adaptasi berbulan-bulan. Sekali lagi mirip kayak tulup dikethek, bahkan lebih parah lagi. Udah ditulup, dimaki-maki. Seingat saya, waktu itu ada dua bidan.yang satu 'marah-marah' dan ngomel. Yang satunya keliatan lebih sabar. Ketika mereka sudah mulai putus asa memberi arahan pada saya, untunglah ada bidan satu lagi yang datang membantu. Orang keturunan Jawa. Lalu saya diberi arahan dengan lemah lembut, sesekali menggunakan bahasa Jawa. Dimotivasi, dibesarkan hatinya. Sangat membantu sekali pemirsa, seperti dahaga ketemu segayung air. Ya Allah, memang benar ya, kadang-kadang kita ditakdirkan bertemu dengan orang yang sepertinya ‘salah’, sebelum bertemu orang yang ‘benar’.Saya tidak menyalahkan logat berbahasa. Hanya menyesalkan salah paham dan omelan yang bikin saya down saat itu. Dan menyisakan trauma meski sudah berlalu. Halaaaaah... :D

Ini sekaligus menjadi pelajaran, siapa saja  yang merantau, melahirkan tanpa didampingi orang tua/mertua harap melatih fisik dan mental jauh lebih matang. Trauma itu juga perih, Jenderal. Hingga akhirnya untuk kelahiran anak kedua saya, dari awal saya nggak berminat sama sekali untuk menginjakkan kaki ke rumah sakit itu lagi. Walaupun dalam teori peluang, bisa jadi kita bertemu dengan bidan-bidan yang lain, yang lebih baik dalam hal melayani pasien. Toh akhirnya, saya lebih memilih rumah sakit swasta khusus ibu dan anak, yang menurut saya secara umum jauh lebih baik pelayanannya..

Saya pun masih ingat ‘pesan’ yang saya ucapkan pada bidan yang membantu persalinan kedua saya.
“Mbak, tolong jangan marahi saya. Kalo saya salah, dikasih tau saja, jangan marahi saya.”
Reaksi bidan cuma ketawa bingung. Memang agak wagu sebenernya, tapi saya ingin menghilangkan trauma, memastikan semua baik-baik saja, sehingga mental saya pun nggak menciut di saat-saat pertaruhan hidup dan mati. :D Alhamdulillah, mbak bidannya nggak sedikit pun marah. Padahal masih muda, tapi jauh lebih sabar. Nah ini juga salah satu bukti bahwa usia tidak relevan dengan kesabaran. Hehehehe, ternyata banyak pelajaran di kehidupan ini ya?

Seiring waktu saya belajar, memahami dan menerapkan logat bahasa. Biar sama-sama mengerti ketika berkomunikasi.
Hmm.. kalo diingat-ingat kira-kira inilah dialog yang terjadi dulu ketika saya mati gaya di pasar.
“Berapa, Bu?” tanya saya sambil pasang tampang sok manis.
“Lima sa'bu ji.”jawabnya. Lima sa'bu=lima ribu.
Siji, loro, telu, papat, limo, enem, pitu, wolu, sanga, sepuluh
Hiji, dua, tilu, opat, lima, genep, tujuh, delapan, salapan, sapuluh
Messa', dua, tallu, ampa', lima,anang, pitu, karua, kasera, sampuloh. 
Pandangannya sedikit cuek. Ah, kalo mau jujur buat saya wong Jowo awalnya agak terganggu, berbicara tanpa basa-basi dan keramahtamahan.
“Nggak kurang?”
“Iye’.”
Nah, ini jawaban “iye” bukan berarti berarti “iya, boleh kok ditawar” tapi lebih tepat ditafsirkan “Memang, nggak boleh ditawar.”
“Empat ribu ya?”
“Lima ribu ji,  na sudah pas mi itu. Tena bisa kuran lagi bah.”
Oya, logat sini agak mengaburkan akhiran "n", "m", dengan "ng". Begitu juga sebaliknya. Jadi jangan heran ada orang ngomong, "Makang ikang bakar di sampin kebung punya bujangang ganten yang suka naik mobil kijan." :D
“Iya, deh.”
“Jadi mi ki ambil?”
Harusnya, pada saat itu saya menjawab “iye’.” Secara lebih sopan dibanding kata “iya”. Meskipun kata “iya” masih jauh lebih sopan dibanding “iyo”.

Itulah, logat bahasa. Mudeng jalaran soko kulino. Terbiasa mendengarkan dan jangan sungkan belajar. Learning by doing too…

Tidak ada komentar: