Matanya
perlahan membuka. Lalu berkerjap beberapa kali sebelum memandangi wajah
perempuan di sisinya. Wajahnya yang pias tidak menyembunyikan paras cantiknya. Tubuhnya
terbujur berselimut warna coklat muda. Selang infus masih tertanam di
pergelangan tangan kirinya.
Dengan
suara lemah dia berucap, “Aku lapar, Nek.”
Perempuan
yang duduk di kursi itu beranjak. Kemudian mengambilkan nampan berisi makanan. Dibantunya gadis
cantik itu duduk.
“Makanlah..”
ujarnya sambil memberinya sesuap bubur.
“Dari
tadi Nenek menungguku di sini. Mana ibu?” tanya gadis itu sambil mengunyah.
Perempuan
yang dipanggil Nenek itu terdiam. Tersirat gundah di wajahnya yang mulai
berkeriput. Tangannya terus menyuapi.
“Nenek
kan menyuruhku
pergi mengambil kain yang tertinggal di pasar? Tapi waktu pulang sekolah
sepedaku tertabrak motor. Maaf ya, Nek. Mungkin kainnya sudah hilang sekarang,
tidak jadi diambil.” Wajahnya tersenyum lugu.
“Kamu
sayang nenek?” tanyanya bergetar.
“Sayaaaang
banget, Nek, Nenek baik sekali padaku. Tidak seperti ibu, suka marah-marah...apalagi
kalau aku dekat dengan cowok. Mengintip Fahri lewat saja sudah bikin ibu
ngomel-ngomel.” katanya tersipu.
Tiba-tiba
seorang pria masuk sambil menggandeng anak kecil. Wajahnya bersemu cerah meski
nampak lelah.
“Mamaaaaaaaa!”
teriak anak kecil itu sambil menghambur ke arah tempat tidur.
Gadis
itu bingung. “Mama?”
Dipandanginya
lelaki yang baru masuk, “F a h r i?” ujarnya terbata.
“Iya,
Fahri suamimu. Dulu Ibu yang diam-diam memintanya untuk melamarmu. Karena Ibu
tahu, dia adalah orang yang kamu cintai sejak dulu. Ibu melarang-larang kamu
adalah demi kebaikanmu.”
“Ibu?”
tatapnya kebingungan.
“Ini
ibumu, Nak.” tutur perempuan itu sambil menangis.
“Mana
nenek?’
“Nenek
sudah meninggal dua tahun yang lalu”
“Bagaimana
dengan kain nenek yang tertinggal di pasar?” tanyanya.
“Ibu
yang mengambilnya. Sudah Ibu berikan pada Nenek. Waktu kecelakaan itu kamu juga
pingsan tapi sebentar.”
Dia semakin bingung. Air matanya mengalir.
Lalu menjerit histeris sambil menutup mukanya. Fahri berdiri mematung sambil
mengelus-elus pundak istrinya. Pintu terbuka. Seseorang berbaju putih masuk.
Dia menepuk pundak Fahri.
“Harap bersabar, Pak. Mudah-mudahan
ingatan istri Bapak kembali normal setelah beberapa waktu. Hal seperti ini
wajar terjadi akibat benturan keras.”
Fahri tertunduk, seperti menyesali
kepergian istrinya ke luar kota mengendarai mobil sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar