Senin, 26 Maret 2012

Cerpen: Kasih Ibu


Matanya perlahan membuka. Lalu berkerjap beberapa kali sebelum memandangi wajah perempuan di sisinya. Wajahnya yang pias tidak menyembunyikan paras cantiknya. Tubuhnya terbujur berselimut warna coklat muda. Selang infus masih tertanam di pergelangan tangan kirinya.
Dengan suara lemah dia berucap, “Aku lapar, Nek.”
Perempuan yang duduk di kursi itu beranjak. Kemudian mengambilkan  nampan berisi makanan. Dibantunya gadis cantik itu duduk.
“Makanlah..” ujarnya sambil memberinya sesuap bubur.
“Dari tadi Nenek menungguku di sini. Mana ibu?” tanya gadis itu sambil mengunyah.
Perempuan yang dipanggil Nenek itu terdiam. Tersirat gundah di wajahnya yang mulai berkeriput. Tangannya terus menyuapi.
“Nenek kan menyuruhku pergi mengambil kain yang tertinggal di pasar? Tapi waktu pulang sekolah sepedaku tertabrak motor. Maaf ya, Nek. Mungkin kainnya sudah hilang sekarang, tidak jadi diambil.” Wajahnya tersenyum lugu.
Perempuan itu tertunduk. Matanya berkaca-kaca.
“Kamu sayang nenek?” tanyanya bergetar.
“Sayaaaang banget, Nek, Nenek baik sekali padaku. Tidak seperti ibu, suka marah-marah...apalagi kalau aku dekat dengan cowok. Mengintip Fahri lewat saja sudah bikin ibu ngomel-ngomel.” katanya tersipu.
Tiba-tiba seorang pria masuk sambil menggandeng anak kecil. Wajahnya bersemu cerah meski nampak lelah.
“Mamaaaaaaaa!” teriak anak kecil itu sambil menghambur ke arah tempat tidur.
Gadis itu bingung. “Mama?”
Dipandanginya lelaki yang baru masuk, “F a h r i?” ujarnya terbata.
“Iya, Fahri suamimu. Dulu Ibu yang diam-diam memintanya untuk melamarmu. Karena Ibu tahu, dia adalah orang yang kamu cintai sejak dulu. Ibu melarang-larang kamu adalah demi kebaikanmu.”
“Ibu?” tatapnya kebingungan.
“Ini ibumu, Nak.” tutur perempuan itu sambil menangis.
“Mana nenek?’
“Nenek sudah meninggal dua tahun yang lalu”
“Bagaimana dengan kain nenek yang tertinggal di pasar?” tanyanya.
“Ibu yang mengambilnya. Sudah Ibu berikan pada Nenek. Waktu kecelakaan itu kamu juga pingsan tapi sebentar.”
            Dia semakin bingung. Air matanya mengalir. Lalu menjerit histeris sambil menutup mukanya. Fahri berdiri mematung sambil mengelus-elus pundak istrinya. Pintu terbuka. Seseorang berbaju putih masuk. Dia menepuk pundak Fahri.
            “Harap bersabar, Pak. Mudah-mudahan ingatan istri Bapak kembali normal setelah beberapa waktu. Hal seperti ini wajar terjadi akibat benturan keras.”
            Fahri tertunduk, seperti menyesali kepergian istrinya ke luar kota mengendarai mobil sendiri.

Tidak ada komentar: