Minggu, 01 April 2012

BBM vs BBS



Paling malas rasanya ngomongin tentang perbedaan-perbedaan menyikapi rencana kenaikan harga BBM. Ada yang mati-matian menolak dari awal. Ada yang langsung setuju, tanpa basa-basi. Ada yang tadinya setuju, tiba-tiba berbalik arah menjadi kubu yang menolak.

Media massa nggak kalah ramai. Menyiarkan langsung demo-demo yang rusuh. Menayangkan para pengamat politik dan ekonomi yang keukeuh berpendapat atas dasar ini dan itu. Memberikan ruang tampil para politikus yang berkoar-koar atas dasar teori dan asas ini itu. Dan secara tidak langsung membiarkan masyarakat melongo dengan segala kekisruhan yang dipertontonkan.

Segala teori tentang subsidi dan ekonomi dibahas. Dijadikan argumen untuk mengokohkan masing-masing pendapat mereka. Semua itu katanya demi aspirasi dan kepentingan rakyat. Yakin atau tidak yakin, terserah Anda. Pemerintah berkata sebaiknya harga BBM dinaikkan sebagai jalan terakhir. Sementara kubu-kubu di DPR yang terhormat sebagian berkata sebaliknya. Menggebu-gebu. Kadang-kadang absurd. Bahkan lebih absurd dari gombalan mereka waktu kampanye. Kelihatan bekerja keras dan mati-matian lewat tontonan rapat yang dipaksakan hingga pagi hari.


Menarik simpati rakyat? Entahlah. Toh, kita semua tahu kemana saja mereka waktu acara hajatan konversi minyak tanah ke gas. Hajatan yang dilakukan dalam tempo singkat. Tidakkah mereka bersimpati pada warga miskin yang jadi korban ledakan tabung gas? Kemana mereka saat kerabat dan tetangga saya kesulitan mendapatkan minyak tanah? Kemana saja mereka kala kasus korupsi besar-besaran dibuka ke publik? Kemana saja mereka saat anak-anak kampung terpaksa menyeberangi jembatan tali untuk pergi ke sekolah.  Kemana mereka waktu sekolah-sekolah ambruk? Kemana  mereka saat sebagian warga terpaksa merugi gara-gara akses jalanan yang rusak parah? Kemana saja mereka saat secuil warga meminta keadilan penguasa demi beberapa nyawa yang melayang sia-sia?

Ah, tiba-tiba saya tahu jawabannya. Persis lagunya Ayu Tingting, “kemanaaaaa..kemanaaa..kemanaaaaa.”  Alamat palsu. Invalid address. Salah alamat. Mungkin berbagai jalan dipaksakan demi sesuatu yang bernama ‘palsu’, dan nggak jelas.

Sementara sebagian elemen masyarakat sibuk berdemonstrasi. Katanya demi mengusung aspirasi rakyat. Meskipun terang-terangan juga mengganggu aktifitas perekonomian rakyat dengan kemacetan dan ketakutan akan kerusuhan. Merusak mobil dinas, kantor-kantor pemerintahan, gedung DPR/DPRD, merusak pembatas jalan, pot-pot bunga, pos polisi, bahkan menjarah restoran cepat saji. Saya memang nggak berhak menghakimi, tapi disukai atau tidak itulah kenyataan yang terjadi.  

Naik nggak naik, sayangnya pasar sudah berlebihan menyikapi. Harga-harga barang sudah terlanjur naik. Memang, di negeri  ini kita makin terbiasa dengan segala sesuatu yang lebay alias berlebihan. Demonstrasi-demonstrasi, rapat paripurna, partai-partai,  juga  media massa. BBS, Berlebihan banget siiiyyy… Termasuk juga saya, ngapain nulis-nulis beginian kalo saya nggak lebay dengan perasaan saya yang gregetan? 

Barangkali justru masyarakat bawah yang dielu-elukan namanya untuk ‘dibela’ malah adem-adem saja. Meski ngedumel, kembang kempis, repot, pusing, tapi nggak berlebihan dalam bersikap. Dan saya sangat salut di situasi seperti ini masih ada pejabat-pejabat negara (yang sayangnya hanya sebagian kecil) lebih sibuk memikirkan cara menyejahterakan rakyat dan merealisasikannya tanpa banyak bicara.

Kenapa jadinya mikir yang ribet-ribet? Membandingkan dengan Negara yang jauh lebih mapan dan maju, dengan kondisi yang jauh berbeda? Memperdebatkan hitung-hitungan kisaran angka dari teori-teori yang saling bertolak belakang? Apakah akan membuang-buang waktu dan energi untuk perdebatan yang tak kunjung henti?

Entahlah. Saya sebagai rakyat jelata cuma bisa berkata seperti itu. Merengkuh harapan yang hampir sia-sia. Susah payah mengesampingkan rasa pesimis.  Karena terus terang saya meyakini satu hal, bahwa semua perbuatan dinilai dari : NIAT dan CARA. Niat yang baik dan benar, sekaligus juga cara yang baik dan benar. Niat yang baik akan sia-sia kalo dilakukan dengan cara-cara ngawur dan kurang beradab. Cara yang dilakukan bisa diliat dan dinilai secara kasat mata. Tapi NIAT? Bukankah hanya orang/golongan dan Tuhan yang tahu. Meskipun dikatakan dengan jelas, tersirat, dan tersurat kalo apa yang dilakukan adalah demi rakyat. Ah siapa yang tahu. Jangan-jangan itu semua hanya trik politik, perang kepentingan, menarik simpati demi pilpres atau pilkada, demi nama baik, dan demi-demi yang lain.Yaaah, mudah-mudahan sih enggak. Mudah-mudahan memang murni perjuangan demi rakyat, bangsa dan Negara tercinta kita, INDONESIA.

Tahun lusa, atau entah kapan, rezim siapa pun, sistem apapun  tidak bisa lagi mengingkari bahwa cadangan minyak bumi adalah sumber daya yang tidak bisa diperbarui di dunia ini. Nggak cukup dengan mengeksplorasi sumber minyak bumi, tapi sumber energi masih harus terus dicari meski harus ke planet-planet antah berantah sekalipun.  Dan kita semua belum bisa berpaling dari teori ekonomi klasik, harga murah maka permintaan tinggi. Entah buat dipake sendiri, dijual kembali, dibuang ke kali, dibagi-bagi atau dikorupsi. Who knows?

Plis deh, ajarin kami berhemat dan hidup sederhana. Contohkan kami perilaku jujur dan tidak korupsi. Berpikir kreatif mencari alternatif sumber energi yang lain. Bekerja keras demi kehidupan ekonomi yang lebih baik. Bukan memanas-manasi kami dengan perdebatan konyol tiada henti. Bukan dengan tontonan kerusuhan yang menyulut permusuhan sana-sini. Bukan dengan teori dan cara berpikir yang susah dijangkau kebenarannya. Bukan dengan trik-trik murahan ala dagang sapi.

Plisssss deh aaaaahhhh..!

Tidak ada komentar: