Sambil menyeruput kopi, aku masih mendengarkan cerita Mbak
Pariyem. Kopi yang hangat untuk cuaca yang panas. Lumayan, sekalian mendidihkan
isi kepalaku yang bercampur-aduk.
“Susah sekarang, Mas.“ katanya sambil merapikan gelas bekas.
“Kemarin anak saya sakit, berobat ke puskesmas harus pake jamkesmas. Gimana,
lha wong saya buru-buru, jadi lupa. Ribet deh pokoknya.”
Mbak Pariyem tertawa.
“Oalaaah..sampean ndak tau to? Jamkesmas itu jaminan
kesehatan masyarakat. Itu buat orang-orang ndak mampu kayak saya. Masnya ini
wong sugih ya, ndak tau jamkesmas? Atau ndak gaul?”
Aku nyengir saja. Maklum sajalah, mungkin pendengaranku yang
terganggu akibat cuaca yang panas. Atau my signal is not responding gara-gara kegalauan
terlalu lama jadi pengangguran.
“Ngomong-ngomong, sampean punya twitter atau pesbuk ndak?”
Aku tersedak. Sejenak beberapa tetes kopi tersembur dari
mulut.
Pikirku, gaul juga ini orang. Mungkin umurnya sudah lewat
kepala empat. Profesinya pemilik warung nasi kecil di pinggir jalan. Menyediakan
kopi, mie instan, susu jahe, nasi anget, tempe, dan lauk pauk sekedarnya. Siapa
saja yang mampir pasti dapat bonus senyuman yang anggap saja manis. Plus cerita-ceriti
yang kalau Anda dianggap mendengarkan dengan seksama, pasti dapat potongan
harga atau sepotong tempe gratis. Itulah Mbak Pariyem. Katanya sih, profesi suaminya
gak jauh-jauh dari dirinya, yaitu tukang becak. Lha kok? Ya iyalah, nggak
jauh-jauh dari profesi orang miskin. Begitu katanya. Ah, tapi dia sepertinya
enjoy saja dengan kehidupannya. Jarang mengeluh. Dan sekarang ini adalah satu dari keluhannya : jam
puskesmas, eh jamkesmas.
“Dulu pernah punya,
Mas. Tapi saya ndak pernah apdet status. Itu juga pake hape pemberian Haji Soleh.
Kan anaknya Haji Soleh langganan becak suami saya. Kalo sampean punya twitter
kan bisa apdet inpo lebih cepat. Kalo saya sih apdet inpo dari tipi saja, Mas. Ndak makan pulsa.”
“Oo..” aku manggut-manggut pura-pura serius mendengarkan.
“Heran saya lho, Mas. Orang miskin mau berobat saja harus
pake jaminan sebagai penanda penerima bantuan kesehatan. Istilahnya cuma mau
minta subsidi kesehatan saja kok ribet. Lha itu orang-orang yang mau minta
subsidi BBM ke SPBU nggak pake kartu apa-apa, asal bawa motor atau mobil.
Jumlahnya nggak dibatasi, mau berkali-kali juga monggo. Padahal banyakan orang
mampu itu, Mas.”
Mbak Pariyem menghela napas.
“Susah ya, jadi orang miskin. Yang lebih miskin dari
orang-orang kebanyakan. Motor nggak punya, boro-boro mau minta subsidi bensin.
BBM batal naik, sembako masih mahal. Pusing gimana saya mau jualan. Mau berobat
gratis juga harus bolak-balik. Ngurus ini itu. Kalau nggak lengkap ya tetep aja
mbayar.”
“Kan prosedurnya memang gitu, Mbak?” sergahku.
“Iya, sih. Namanya juga lagi panik, Mas. Anak lagi panas
tinggi, demam menggigil, sementara saya baru pulang dari warung.” ujarnya. “Kami
ini orang miskin, sekalinya sakit seperti jatuh ketimpa tangga dan kelempar
mercon. Masa sih, mau minta subsidi sekian rupiah dan itu pun belum tentu
sebulan sekali musti ribet. Mending kalo petugasnya pada ramah. Pusing saya,
Mas. Katanya pemerintah prorakyat. Partai-partai prorakyat. Mahasiswa
prorakyat. Tapi kok kayak gini kenyataannya. Kami ini nggak pernah beli bensin,
tapi mau beli minyak tanah saja harganya selangit. Kami ini nggak peduli harga
BBM, toh nyatanya sembako tetap mahal.”
Aku tercekat. Kalau dipikir-pikir apa yang dibilang Mbak Pariyem
ada benarnya juga. Kasihan. Dimana-mana
dibilang orang miskin dilarang sakit.
“Sudahlah, Mas. Kalo saya ngomong panjang lebar nanti saya
dikira anti demokrasi dan anti rakyat. Atau nanti ada yang mengira saya
nyindir-nyindir kebijakan partai.”
Aku tersenyum. “Nggak apa-apa kali, Mbak. Namanya juga
berpendapat.”
“Iya, Mas. Kalo saya
ngeluh jadi tambah ribet ya?” Mbak Pariyem tertawa renyah. “Sudahlah, nasib
memang harus dijalani begini. Apa-apa serba ribet dan susah. Mudah-mudahan besok
atau lusa sudah ndak ribet lagi. Terutama buat orang miskin, sekolah gratis
tanpa ribet, berobat gratis tanpa ribet, sembako murah, kalo perlu pulsa juga
gratis, Mas.”
Hadddohhhh..kok pulsa piye to
Mbak? Nanti saya ikut-ikutan minta subsidi pembelian smartphone lho.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar