Jumat, 13 April 2012

Ribet


Sambil menyeruput kopi, aku masih mendengarkan cerita Mbak Pariyem. Kopi yang hangat untuk cuaca yang panas. Lumayan, sekalian mendidihkan isi kepalaku yang bercampur-aduk.
“Susah sekarang, Mas.“ katanya sambil merapikan gelas bekas. “Kemarin anak saya sakit, berobat ke puskesmas harus pake jamkesmas. Gimana, lha wong saya buru-buru, jadi lupa. Ribet deh pokoknya.”
“Apa?” tanyaku heran. “Berobat bawa jamnya puskesmas?”
Mbak Pariyem tertawa.
“Oalaaah..sampean ndak tau to? Jamkesmas itu jaminan kesehatan masyarakat. Itu buat orang-orang ndak mampu kayak saya. Masnya ini wong sugih ya, ndak tau jamkesmas? Atau ndak gaul?”
Aku nyengir saja. Maklum sajalah, mungkin pendengaranku yang terganggu akibat cuaca yang panas. Atau my signal is not responding gara-gara kegalauan terlalu lama jadi pengangguran.
“Ngomong-ngomong, sampean punya twitter atau pesbuk ndak?”
Aku tersedak. Sejenak beberapa tetes kopi tersembur dari mulut.
Pikirku, gaul juga ini orang. Mungkin umurnya sudah lewat kepala empat. Profesinya pemilik warung nasi kecil di pinggir jalan. Menyediakan kopi, mie instan, susu jahe, nasi anget, tempe, dan lauk pauk sekedarnya. Siapa saja yang mampir pasti dapat bonus senyuman yang anggap saja manis. Plus cerita-ceriti yang kalau Anda dianggap mendengarkan dengan seksama, pasti dapat potongan harga atau sepotong tempe gratis. Itulah Mbak Pariyem. Katanya sih, profesi suaminya gak jauh-jauh dari dirinya, yaitu tukang becak. Lha kok? Ya iyalah, nggak jauh-jauh dari profesi orang miskin. Begitu katanya. Ah, tapi dia sepertinya enjoy saja dengan kehidupannya. Jarang mengeluh. Dan sekarang  ini adalah satu dari keluhannya : jam puskesmas, eh jamkesmas.
“Dulu pernah  punya, Mas. Tapi saya ndak pernah apdet status. Itu juga pake hape pemberian Haji Soleh. Kan anaknya Haji Soleh langganan becak suami saya. Kalo sampean punya twitter kan bisa apdet inpo  lebih cepat. Kalo saya sih apdet inpo dari tipi saja, Mas. Ndak makan pulsa.”
“Oo..” aku manggut-manggut pura-pura serius mendengarkan.
“Heran saya lho, Mas. Orang miskin mau berobat saja harus pake jaminan sebagai penanda penerima bantuan kesehatan. Istilahnya cuma mau minta subsidi kesehatan saja kok ribet. Lha itu orang-orang yang mau minta subsidi BBM ke SPBU nggak pake kartu apa-apa, asal bawa motor atau mobil. Jumlahnya nggak dibatasi, mau berkali-kali juga monggo. Padahal banyakan orang mampu itu, Mas.”
Mbak Pariyem menghela napas.
“Susah ya, jadi orang miskin. Yang lebih miskin dari orang-orang kebanyakan. Motor nggak punya, boro-boro mau minta subsidi bensin. BBM batal naik, sembako masih mahal. Pusing gimana saya mau jualan. Mau berobat gratis juga harus bolak-balik. Ngurus ini itu. Kalau nggak lengkap ya tetep aja mbayar.”
“Kan prosedurnya memang gitu, Mbak?” sergahku.
“Iya, sih. Namanya juga lagi panik, Mas. Anak lagi panas tinggi, demam menggigil, sementara saya baru pulang dari warung.” ujarnya. “Kami ini orang miskin, sekalinya sakit seperti jatuh ketimpa tangga dan kelempar mercon. Masa sih, mau minta subsidi sekian rupiah dan itu pun belum tentu sebulan sekali musti ribet. Mending kalo petugasnya pada ramah. Pusing saya, Mas. Katanya pemerintah prorakyat. Partai-partai prorakyat. Mahasiswa prorakyat. Tapi kok kayak gini kenyataannya. Kami ini nggak pernah beli bensin, tapi mau beli minyak tanah saja harganya selangit. Kami ini nggak peduli harga BBM, toh nyatanya sembako tetap mahal.”
Aku tercekat. Kalau dipikir-pikir apa yang dibilang Mbak Pariyem  ada benarnya juga. Kasihan. Dimana-mana dibilang orang miskin dilarang sakit.
“Sudahlah, Mas. Kalo saya ngomong panjang lebar nanti saya dikira anti demokrasi dan anti rakyat. Atau nanti ada yang mengira saya nyindir-nyindir kebijakan partai.”
Aku tersenyum. “Nggak apa-apa kali, Mbak. Namanya juga berpendapat.”
 “Iya, Mas. Kalo saya ngeluh jadi tambah ribet ya?” Mbak Pariyem tertawa renyah. “Sudahlah, nasib memang harus dijalani begini. Apa-apa serba ribet dan susah. Mudah-mudahan besok atau lusa sudah ndak ribet lagi. Terutama buat orang miskin, sekolah gratis tanpa ribet, berobat gratis tanpa ribet, sembako murah, kalo perlu pulsa juga gratis, Mas.”
 Hadddohhhh..kok pulsa piye to Mbak? Nanti saya ikut-ikutan minta subsidi pembelian smartphone lho.

Tidak ada komentar: