Setiap weekend, Sabtu atau Minggu, suami terbiasa mengajak
anak-anak ikut main di GOR. Main ping pong. Nah, di ruangan itu, terpisah
menjadi dua. Sebelah buat main pingpong, sebelahnya buat main badminton.
Badminton itu bulu tangkis, tapi saya lebih suka menyebutnya dengan kata
badminton.
Ah, saya cuma jadi penonton. Nggak bisa main pingpong alias
tenis meja. Kalo suami sih, sebaliknya. Dua piala bertengger di atas kulkas
(hihihi nggak keren amat ya, naruh piala kok di kulkas) sebagai juara turnamen
Tenis Meja di Sorowako, jadi buktinya.
Anak saya, yang laki-laki sedikit-sedikit mulai belajar main
ping pong. Sedangkan yang kecil, mungkin karena tingginya belum nyampe untuk
ukuran meja ping pong, dia lebih senang menenteng raket kemana-mana. Hihihihi…
Anak perempuan yang usianya hampir 5 tahun itu, awalnya
megang raket pun salah. Tapi dia selalu semangat, memanfaatkan setiap momen
latihan untuk belajar. Hehehe ya lumayan lah, untuk anak seumurnya.
Jadi ingat masa kecil saya. Waktu seumuran segitu, saya
sering diajak Bapak nonton pertandingan badminton kelas dunia, di tipi tetangga.
Hehehe jaman segitu kami belum punya tipi sendiri. Kebanyakan tetangga yang
punya juga masih hitam putih. Sambil terkantuk-kantuk saya mencoba
menerjemahkan pertandingan badminton ke dalam otak dan pikiran saya yang masih
polos. Sesekali terkaget-kaget dengan sorakan dan teriakan bapak-bapak yang
nonton.
Saya inget. Ya, Liem Swie King dan Rudi Hartono. Itu yang
sering dielu-elukan oleh para penonton dari layar kaca. Saya waktu itu
ngertinya, pokoknya mereka hebat dan juara. Ah, menyenangkan memang menonton
badminton. Dan menonton di jaman tahun 80-an itu kalau diingat memang beda
nuansanya. Hihihihi, angkatan 80-an mana suaranyaaaaa???
![]() |
source : |
Lalu berlanjut generasi badminton selanjutnya. Susi Susanti,
Alan Budikusuma, Ardy B. Wiranata, dan
Haryanto Arbi. Nah, itu dia single
player favorit saya, Haryanto Arbi. Haha bukan karena faktor wajah dan logat medoknya. Hard smashingnya yang luar biasa, selalu
saya tunggu ketika dia bertanding. Mau kalah, mau menang…di tahun 90-an menonton
pertandingan mereka hampir tidak pernah mengecewakan. Selalu menyenangkan, bagi
saya.
Oh ya, lalu saya pun punya double player favorit Ricky-Rexy.
Te o pe be ge te lah.. Yang satu kalem, kontas dengan yang satunya, lebih
atraktif, suka lemparin raketnya sendiri. Ahihiiii.. Hampir selalu jadi juara
di turnamen bergengsi mereka tuh.
Ah, sesudah jaman 90-an, rasa-rasanya saya sudah malas
menonton badminton di tipi. Jarang ngikutin berita tentang badminton lagi. Paling-paling
saya tahunya lewat facebook dan media online. Hahahaha
Entahlah, menonton badminton sekarang kurang menyenangkan.
Mungkin juga karena faktor umur dan kesibukan (halaaahh).
Dulu, waktu kecil sampai remaja, masih lah rajin bermain
badminton di halaman rumah. Ah, untuk main ke GOR pun masih sulit. Hihihi
seandainya dulu fisik saya lebih kuat, mata saya nggak minus tebal, dan
perekonomian keluarga lebih bagus dengan fasilitas berlebih… Mungkin saya bisa
lebih serius menekuni badminton, minimal jadi juara kampung. Hahaha mungkin
juga tidak, kawan. Berandai-andai tidak baik untuk kesehatan. Lagi pula, yang
paling berperan adalah motivasi dan nyali yang cukup. Dan saya tidak punya.
Saya lebih suka dengan hal-hal yang yang berbau ‘akademik’. Duduk tenang membaca buku. Menyendiri di kamar sambil mengerjakan
soal matematika. :p
Sekarang saya cukup senang, melihat anak-anak saya berkawan
dengan raket, dan bet ping pong tentunya, selain tendang-tendang target mitt di
ekstrakurikuler taekwondo. Mereka bisa sering-sering ke GOR secara gratis.
Bahkan mereka bisa bermain di halaman rumah saat senggang. Mereka punya
kesibukan lain selain urusan akademik sekolah. Mereka lebih punya banyak waktu
untuk kesibukan non-akademik. Apalagi waktu sekolah mereka hanya 5 hari,
Senin-Jumat.
Dan tentu saja, saya harus menghadapi kenyataan bahwa mereka
tidak suka nonton badminton di tipi, seperti jaman saya dulu seumurannya.
Hihihi..beda jaman, Mak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar