Selasa, 04 Maret 2014

Ah, Bisanya Komentar [Doang]

Pemilu kian dekat.  Berbulan-bulan saya memperhatikan, dan menimbang dengan logika saya yang sederhana, dan awam tentunya. Akhirnya saya sudah memutuskan.

Sekali lagi saya yakin, bahwa partai bukan jaminan.

Orang yang berkarakter kuat, bukan sekedar pencitraan lho, mau di partai mana pun dia akan menunjukkan kemampuannya. Biarpun dicaci, dihina, dimaki, disudutkan dengan berbagai opini, dia akan woles saja…dan tetep melakukan yang terbaik yang dia bisa. Dia sulit tegoda dengan kemewahan dan fasilitas yang ditawarkan. Dia tetap berlaku apa adanya seperti sebelum saat jabatan ada di tangannya. Mutiara di dalam lumpur nggak akan luntur kan?

Sebaliknya, orang yang karakternya ‘lemah’ dalam kepemimpinan maupun moral, mau di partai mana pun…ya kayak begitu. Yang lain plintat plintut, dia ngikut. Yang lain gonta ganti tunggangan, dia nggak mau kalah. Yang lain suap menyuap, kongkalikong…ya ikut aja lah toh masih banyak alasan dan pembenaran. Nafsu politik dipertontonkan dengan vulgar, bahkan seperti tidak peduli ketika para pendukungnya pontang panting  mencari-cari alasan seolah-olah apa yang dilakukan tampak benar.

Sekali lagi, saya nggak percaya partai mana pun. Mau dia mengklaim dirinya begini begitu, atau apa lah pada prakteknya susah sekali orang seperti saya untuk percaya.

Saya pernah tinggal di kampung mertua. Jalanan berkilo-kilometer rusak, dari ringan hingga parah total, lebih dari lima tahun lamanya dibiarkan. Ya terkesan dibiarkan memang. Kemana bupatinya? Sementara di tempat lain, kabarnya, pembangunan-pembangunan ‘wah’ dilakukan. Proyek-proyek besar mulus dijalankan. Salah satunya ijin proyek penambangan pasir di wilayah selatan, yang konon katanya menuai kontroversi.

Setiap ke ATM, rumah sakit, dokter praktek, klinik, kantor pos, atau bank, mau tidak mau kami melewati jalan itu. Plihannya ada dua, naik motor atau mobil. Serba salah. Kalau naik motor, dijamin punggung dan pinggang pegal-pegal. Dan jika keahlian menaiki motor masih level pemula, jangan coba-coba. Bahaya. Sementara kalau naik mobil, sayang juga kalau nyetirnya kurang lihai. Plus biaya cuci mobil. Perlu diketahui, ketika rusak parah untuk menempuh jalan 7-10 kilometer itu perlu waktu 1-1,5 jam.

Nggak ada pilihan lagi. Sepanjang jalan, udah terbiasa orang-orang itu ngedumel. Menggerutu. Komentar ini itu. Ngomongin pejabat dan bupati. Ya, intinya komentar. Komentar doang. Karena kami hanya bisa berkomentar untuk hal itu. Mencoba mengomentari kebijakan pemerintah hingga sikap partai pengusungnya. Partainya wow banget lhooo. You know what laaahh. Mereka, kami-kami ini memang sebagian besar tidak ada kontribusinya langsung untuk perbaikan jalan, juga pembangunan fasilitas negara. Tapi, apakah kami nggak boleh berkomentar doang?

Kami bayar pajak lhoo. Dari jajanan di swalayan sampai mobil di garasi itu semua diembel-embelin pajak.

Miris. Rumah yang kami tinggali pas di depan puskesmas. Seringkali saya melihat ibu-ibu yang mau melahirkan harus dirujuk ke rumah sakit. Bayangin, dalam keadaan susah payah, dibawa naik kendaraan melewati jalanan grunjal grunjul, berbelok belok, dan harus sabar selama satu jam.

Pernah ada beberapa kejadian, orang yang gawat darurat harus ke rumah sakit, tidak tertolong ketika masih di perjalanan. Nggak cuma sekali dua kali. Ada bayi yang baru lahir, saya nggak tahu jelas apa penyakitnya, belum sampai rumah sakit sudah menghembuskan napas terakhir.  Sedih. Ajal memang sudah ditakdirkan, tapi…..
Apakah pemerintah [kabupaten] sedang dalam kondisi kere sehingga nggak kuat membiayai perbaikan jalan? Apakah Negara sudah bangkrut? Apakah Gubernur tidak tahu? Apakah bupati sudah ngambek nggak mau membangun daerah yang bukan basis massa pendukungnya. Tuh kan, jadi suudzon. Tuh kan komentar terus...

Pernah saya sampai emosi tingkat tinggi ketika menjelang kunjungan Bupati –entah acara apa- Pak Camat mewanti-wanti agar warga jangan menyinggung masalah perbaikan jalan. WHATTTTT??!!

Ah, sudahlah. Itu cuma uneg-uneg saya dulu. Pertengahan tahun kemaren sudah diperbaiki, dihotmix lagi. Tapi masih ada 2-3 km lagi yang masih rusak, eh nggak tahu ding sekarang. Akhir tahun kemaren sih masih rusak sebagian. Tapi nggak tahu ditu proyek APBD atau APBN :p

Dan, itulah salah satu alasan saya untuk ikut masuk TPS, dan nyoblos semua gambar calon Gubernur dan wakilnya, tepat di jantung hatinya #tsaaaaaahhh. Dalam kemarahan, gregetan, dan ketidakberdayaan selain BERKOMENTAR saya melakukan hal yang ‘naif’ seperti itu. Golput? Entahlah… Suara saya mungkin nggak ngaruh toh yang menang juga gubernur yang diusung oleh partai yang sama dengan partai pengusung bupati.

Sekarang saya sudah memutuskan. Mau nyaleg?! NGGAK.

Mau aktif lah berkomentar..eh bukan. Mau aktif nyari info tentang caleg, kali aja ada yang kenal. Kali aja ada referensi-referensi tertentu yang bisa dijadikan alasan pilihan saya.

Eh tapi, KTP saya? Hahaha halaaahhh mbuh, ribet amat yak?! Lihat saja nanti :D

Tidak ada komentar: