Pemilu kian dekat. Berbulan-bulan saya memperhatikan, dan menimbang
dengan logika saya yang sederhana, dan awam tentunya. Akhirnya saya
sudah memutuskan.
Sekali lagi saya yakin, bahwa partai bukan jaminan.
Orang
yang berkarakter kuat, bukan sekedar pencitraan lho, mau di partai mana
pun dia akan menunjukkan kemampuannya. Biarpun dicaci, dihina, dimaki,
disudutkan dengan berbagai opini, dia akan woles saja…dan tetep
melakukan yang terbaik yang dia bisa. Dia sulit tegoda dengan kemewahan
dan fasilitas yang ditawarkan. Dia tetap berlaku apa adanya seperti
sebelum saat jabatan ada di tangannya. Mutiara di dalam lumpur nggak
akan luntur kan?
Sebaliknya, orang yang karakternya
‘lemah’ dalam kepemimpinan maupun moral, mau di partai mana pun…ya kayak
begitu. Yang lain plintat plintut, dia ngikut. Yang lain gonta ganti
tunggangan, dia nggak mau kalah. Yang lain suap menyuap, kongkalikong…ya
ikut aja lah toh masih banyak alasan dan pembenaran. Nafsu politik
dipertontonkan dengan vulgar, bahkan seperti tidak peduli ketika para
pendukungnya pontang panting mencari-cari alasan seolah-olah apa yang
dilakukan tampak benar.
Sekali lagi, saya nggak percaya
partai mana pun. Mau dia mengklaim dirinya begini begitu, atau apa lah
pada prakteknya susah sekali orang seperti saya untuk percaya.
Saya
pernah tinggal di kampung mertua. Jalanan berkilo-kilometer rusak, dari
ringan hingga parah total, lebih dari lima tahun lamanya dibiarkan. Ya
terkesan dibiarkan memang. Kemana bupatinya? Sementara di tempat lain,
kabarnya, pembangunan-pembangunan ‘wah’ dilakukan. Proyek-proyek besar
mulus dijalankan. Salah satunya ijin proyek penambangan pasir di wilayah
selatan, yang konon katanya menuai kontroversi.
Setiap ke
ATM, rumah sakit, dokter praktek, klinik, kantor pos, atau bank, mau
tidak mau kami melewati jalan itu. Plihannya ada dua, naik motor atau
mobil. Serba salah. Kalau naik motor, dijamin punggung dan pinggang
pegal-pegal. Dan jika keahlian menaiki motor masih level pemula, jangan
coba-coba. Bahaya. Sementara kalau naik mobil, sayang juga kalau
nyetirnya kurang lihai. Plus biaya cuci mobil. Perlu diketahui, ketika
rusak parah untuk menempuh jalan 7-10 kilometer itu perlu waktu 1-1,5
jam.
Nggak ada pilihan lagi. Sepanjang jalan, udah
terbiasa orang-orang itu ngedumel. Menggerutu. Komentar ini itu.
Ngomongin pejabat dan bupati. Ya, intinya komentar. Komentar doang.
Karena kami hanya bisa berkomentar untuk hal itu. Mencoba mengomentari
kebijakan pemerintah hingga sikap partai pengusungnya. Partainya wow
banget lhooo. You know what laaahh. Mereka, kami-kami ini memang
sebagian besar tidak ada kontribusinya langsung untuk perbaikan jalan,
juga pembangunan fasilitas negara. Tapi, apakah kami nggak boleh
berkomentar doang?
Kami bayar pajak lhoo. Dari jajanan di swalayan sampai mobil di garasi itu semua diembel-embelin pajak.
Miris.
Rumah yang kami tinggali pas di depan puskesmas. Seringkali saya
melihat ibu-ibu yang mau melahirkan harus dirujuk ke rumah sakit.
Bayangin, dalam keadaan susah payah, dibawa naik kendaraan melewati
jalanan grunjal grunjul, berbelok belok, dan harus sabar selama satu
jam.
Pernah ada beberapa kejadian, orang yang gawat
darurat harus ke rumah sakit, tidak tertolong ketika masih di
perjalanan. Nggak cuma sekali dua kali. Ada bayi yang baru lahir, saya
nggak tahu jelas apa penyakitnya, belum sampai rumah sakit sudah
menghembuskan napas terakhir. Sedih. Ajal memang sudah ditakdirkan,
tapi…..
Apakah pemerintah [kabupaten] sedang dalam kondisi kere
sehingga nggak kuat membiayai perbaikan jalan? Apakah Negara sudah
bangkrut? Apakah Gubernur tidak tahu? Apakah bupati sudah ngambek nggak
mau membangun daerah yang bukan basis massa pendukungnya. Tuh kan, jadi
suudzon. Tuh kan komentar terus...
Pernah saya sampai
emosi tingkat tinggi ketika menjelang kunjungan Bupati –entah acara apa-
Pak Camat mewanti-wanti agar warga jangan menyinggung masalah perbaikan
jalan. WHATTTTT??!!
Ah, sudahlah. Itu cuma uneg-uneg saya
dulu. Pertengahan tahun kemaren sudah diperbaiki, dihotmix lagi. Tapi
masih ada 2-3 km lagi yang masih rusak, eh nggak tahu ding sekarang.
Akhir tahun kemaren sih masih rusak sebagian. Tapi nggak tahu ditu
proyek APBD atau APBN :p
Dan, itulah salah satu alasan
saya untuk ikut masuk TPS, dan nyoblos semua gambar calon Gubernur dan
wakilnya, tepat di jantung hatinya #tsaaaaaahhh. Dalam
kemarahan, gregetan, dan ketidakberdayaan selain BERKOMENTAR saya
melakukan hal yang ‘naif’ seperti itu. Golput? Entahlah… Suara saya
mungkin nggak ngaruh toh yang menang juga gubernur yang diusung oleh
partai yang sama dengan partai pengusung bupati.
Sekarang saya sudah memutuskan. Mau nyaleg?! NGGAK.
Mau
aktif lah berkomentar..eh bukan. Mau aktif nyari info tentang caleg,
kali aja ada yang kenal. Kali aja ada referensi-referensi tertentu yang
bisa dijadikan alasan pilihan saya.
Eh tapi, KTP saya? Hahaha halaaahhh mbuh, ribet amat yak?! Lihat saja nanti :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar