“Ciiiittt…ciitttt..”
Tikus
itu lagi. Tikus berbadan tidak lebih
dari kepalan tangan anak kecil. Warnanya kehitaman. Gerakannya lincah. Badannya
yang lentur mampu menerobos sela-sela yang sempit. Giginya tajam, sanggup
menggerogoti apa saja.
Ujung-ujung daun pintu kayu, kertas-kertas, juga kardus. Di kampung kami menyebutnya tikus pithi.
Ujung-ujung daun pintu kayu, kertas-kertas, juga kardus. Di kampung kami menyebutnya tikus pithi.
Aku
cuek saja sambil menyeruput kopi. Kulihat
dia berlari dari kolong meja ke belakang lemari.
Mungkin dia sadar ada aku di ruangan ini, jadi dia melongok-longokkan kepalanya sebentar. Ah, dasar tikus! Biar kau tahu ada sepasang mataku mengawasi, tetap saja kau berkelebat ke sana sini, gerutuku. Dia tahu. Meski sekali pukul dia bisa mati, dia punya banyak kesempatan untuk lari.
Mungkin dia sadar ada aku di ruangan ini, jadi dia melongok-longokkan kepalanya sebentar. Ah, dasar tikus! Biar kau tahu ada sepasang mataku mengawasi, tetap saja kau berkelebat ke sana sini, gerutuku. Dia tahu. Meski sekali pukul dia bisa mati, dia punya banyak kesempatan untuk lari.
“Krriiittt….kriittttt.”
Entah
barang apa lagi yang dia gerogoti kali ini. Aku tak terlalu peduli. Kupikir
bisa menghabiskan apa sih tikus sekecil itu. Paling-paling dia makan sisa
makanan di dapur. Dapur? Bahkan aku tak pantas menyebutnya sebagai dapur. Hanya
seonggok meja kayu satu meter panjangnya. Di atasnya beberapa piring, sendok,
dan gelas. Di sebelahnya ada kompor gas kecil. Lalu di bawahnya ada tabung gas
tiga kilo warna hijau. Kompor dan tabung gas itu kudapat gratis dari kelurahan.
Syukurlah, meski kehidupan bertambah sulit masih ada kebijakan pemerintah yang
menguntungkan bagi orang jelata macam aku.
Hidup mengandalkan upah sebagai buruh bangunan
tidaklah mudah di kota Jakarta ini. Bisa menyewa kamar sepetak, dan cukup makan
tiap hari adalah karunia yang harus kusyukuri. Kadang-kadang aku mengirim uang
untuk orang tuaku di kampung. Meski tidak banyak, tapi cukuplah untuk membantu
membeli beras. Sebelum berangkat kusempatkan menengok kaleng bekas biskuit di
pojok ruangan dekat kasur. kuangkat perlahan. Aha! Tambah berat saja tiap
harinya. Kubuka tutupnya. Sedikit keras. Kulihat selembar uang seratus ribu,
dua lembar limapuluhan ribu, beberapa uang puluhan ribu, limaribuan dan
seribuan. Aku tersenyum. Kubayangkan melamar Sutiyem dengan tabunganku ini.
Menanti beberapa bulan lagi rasanya membawaku ke awang-awang. Berharap-harap
sekaligus juga cemas.
Sutiyem, tetanggaku waktu di desa
dulu. Sejak kukenal tiga tahun lalu, entah kenapa aku sangat yakin bahwa di
adalah jodohku. Orang tua kami yang sama-sama golongan warga miskin di desa
tidak banyak memberi pilihan untuk mencari jodoh. Boro-boro menetapkan kriteria
ini itu. Bahkan untuk menggelar pernikahan pun, asal ada sedikit uang untuk
biaya KUA, dari dulu mungkin kami sudah menikah. Masalahnya, mengumpulkan beberapa
lembar ratusan ribu tidak mudah bagiku. Sehingga kuputuskan merantau di Jakarta
seperti ini. Mudah-mudahan aku dapat mengumpulkan uang yang lebih.
Kadang-kadang kurasakan hidup terasa
berat seperti tali kekang kuda mencekik leher. Tak banyak pilihan, selain
berpeluh di bawah terik matahari setiap hari. Mengumpulkan rupiah demi rupiah
dengan tangan kekar penuh kapalan. Ah, badan sehat ini selalu aku syukuri.
Badan yang bisa kuandalkan mencari rejeki.
***
Pulang kerja kudapati serpihan kapuk
berhamburan di lantai. Seingatku tadi pagi kasur itu tidak ada apa-apa. Robek
pun tidak. Ternyata setelah kulihat di ujung kasur ada robekan sepanjang
jengkal tangan. Kupunguti isinya yang berhamburan keluar. Lalu kumasukkan lagi
ke dalam kasur. Kuambil jarum jahit dan benang. Pasti ini ulah tikus, gerutuku
dalam hati. Kali ini dia mulai membuatku kesal.
Aku tak ingat lagi, entah sejak
kapan aku berbagi rumah dengan tikus itu. Mungkin kali ini dia hendak berbagi
tempat tidur denganku. Aku bersungut. Dasar tikus! Dikasih hati malah ngelunjak. Malam ini tidak kudengar
suara mencicit dan sepasang kaki kecilnya berlarian. Mungkin tikus itu mulai mencium
aroma kekesalanku. Syukurlah, meski mengorbankan sedikit bagian kasur usangku
akhirnya dia mau pergi dari rumah ini. Itu artinya, tidak ada yang perlu
dikhawatirkan lagi. Daaa tikus! Carilah tempat baru, bisikku.
Rupanya
hanya semalam tikus itu menghilang. Besok sorenya ketika pulang kerja, kudapati
sisa makanan berhamburan di lantai. Kasur yang kemarin kujahit pun robek lagi.
Huh, berani-beraninya tikus itu datang lagi. Malamnya aku tak bisa tidur
tenang. Gelisah. Ada rasa kesal, panasaran, jengkel, lelah, dan kekhawatiran.
“Cciiiitt…ciittt..kreekk..”
Aku beranjak. Diam-diam kuamati sekeliling
ruangan yang remang. Seekor tikus muncul dan berlari dari belakang tabung gas.
Lalu bersembunyi di belakang lemari. Tak kusangka seekor tikus lagi keluar dari
belakang tabung gas. Lagi. Dan lagi… Satu, dua, tiga,…empat! Sialan! Tikus itu
ternyata licik. Dia bawa tikus lain untuk ikut menghuni rumahku. Entah itu
teman atau saudaranya, aku tak peduli. Aku mulai geram. Dengan mengendap-endap
perlahan kuambil sapu di pojok ruangan. Hampir tanpa suara. Lalu berjalan
menuju lemari. Secepat kilat kusorong-sorongkan sapu sambil memukul-mukul
lemari dengan tanganku.
“Braaakk..brakkkk..brakkkkk!”
Seekor
tikus keluar dan lari terbirit-birit. Sapu kuayunkan hampir mengenainya.
Meleset. Hanya beberapa centimeter dari tubuhnya. Kukejar sembari
mengayun-ayunkan sapu. Tikus itu terus berlari. Berkelit-kelit. Napasku memburu
beraroma kemarahan. Hingga akhirnya tikus itu terpojok di sudut ruangan. Tanpa
tahu hendak berlari kemana lagi. Dia seperti menunggu. Tanpa pikir panjang
kuayunkan sapu sekuat tenaga ke arahnya.
“Krraaaaakkkk!”
Sapu
patah. Tikus berlari menerobos dan masuk lagi di belakang lemari. Aku
terjerembab. Lelah.
***
Keesokan
harinya ulah tikus-tikus itu makin bertambah. Tak hanya kasur yang dia
gerogoti. Daun pintu mulai merontokkan butiran-butiran serat kayu bekas
gigi-gigi tajamnya. Sementara baju-baju kotor yang kutaruh di ember cucian juga
belepotan kotoran tikus. Emosiku semakin menjadi ketika kudapati kaleng bekas
tempat menaruh uang tabungan entah kenapa terbuka dan isinya sebagian
berhamburan keluar. Ya, Tuhan! Bahkan lembaran-lembaran uang berhargaku pun
digerogoti tikus itu. Tikus kurang ajar! Aku menyumpah-nyumpah dalam hati.
Bagaimana bisa aku melamar Sutiyem dengan uangku yang kocar-kacir? Padahal
sudah susah payah aku menyisihkan uang. Sutiyem…oh Sutiyem… semoga kau bersabar
menunggu.
Seharian
aku memikirkan cara untuk menangkap tikus-tikus itu. Pakai sapu sudah jelas gagal.
Malah sapuku yang patah. Aha!! Kutemukan cara jitu.
Dengan
hati-hati kuoleskan lem tikus di selembar robekan kertas tebal. Aku tersenyum. Kardus
susu yang kutemukan di tempat sampah pinggir jalan ternyata masih berguna.
Perlahan kuletakkan tepat di samping
tembok dekat lemari. Mudah-mudahan kali ini aku yang menang, batinku
berharap.
Malam
itu aku tidur seperti biasa. Meski mata tertutup dan impian membawaku sebentar
berkelana, tapi harapan menjerat tikus itu membuatku waspada. Sebentar-sebentar
aku terbangun. Tanpa suara. Tetap berpura-pura seolah tidak ada apa-apa. Dalam
diam aku menunggu. Terus menunggu. Seolah ingin kulampiaskan kemarahanku.
Beberapa lembar uang yang sudah tidak utuh lagi menari-nari di benakku. Lembaran
merah seratus ribu yang cuil di pojoknya, juga uang-uang lain yang terkoyak
sana sini. Ingin rasanya kutamparkan pada tikus itu.
Rasa
ingin kencing memaksaku bangun. Kunyalakan lampu. Sambil berjalan ke kamar
mandi kusempatkan melirik jerat lem tikus di samping lemari. Sesuatu yang
hitam, kecil, tampak menggeliat di atas kertas itu. Aku mendekat. Seekor tikus!
Ekornya yang panjang bergerak-gerak seakan ingin menarik badannya dari jerat
itu. Suaranya mencicit. Barangkali meminta tolong.
Dengan
perasaan puas aku memakinya.
“Rasakan!
Kali ini kau benar-benar tidak bisa lolos.”
Tikus
itu masih menggeliat sambil mencicit. Semakin dia bergerak, semakin kuat lem
itu menjeratnya. Bahkan kini ekornya tak bisa lagi diangkat. Kasihan, bisikku
mengejek. Sengaja kubiarkan tikus itu dalam jerat. Tak kulepaskan, tidak juga
kubuang. Akan kubiarkan sampai dia mati perlahan.
Akan kutunggu meski berhari-hari. Akan kulihat seberapa kuatnya dia bertahan.
Dia
hanya bisa mencicit. Kadang keras, kadang lemah. Tidak terdengar suara tikus
yang lain. Mungkin mereka sudah kabur menyelamatkan diri meninggalkan seekor
tikus sekarat sendiri. Atau mereka menunggu? Ah, percuma saja dia memanggil
tikus-tikus lain untuk menolongnya. Kalau pun temannya menolong, pastilah ikut
terjerat, dan mereka tak selamat. Seakan membaca pikiranku, tiba-tiba tikus itu
terdiam. Pasrah. Kubuat dia tak punya pilihan.
Hahahhaha…
Aku tertawa puas. Hingga aku tersadar akan air kencing yang mendesak-desak mau
keluar. Aku beranjak. Tiba-tiba kurasakan badanku sedikit oleng. Hup! Tanganku
berpegangan dinding supaya tidak terjatuh. Kakiku sedikit bergeser menjaga keseimbangan.
Sesaat kurasakan sesuatu yang lengket. Aku menengok ke bawah. Di selembar
kertas seekor tikus terjerat, mencicit-cicit menertawakan tumitku yang menempel
tepat di hadapannya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar