Kamis, 30 Agustus 2012

Cerpen : T I K U S



“Ciiiittt…ciitttt..”
Tikus itu lagi. Tikus berbadan  tidak lebih dari kepalan tangan anak kecil. Warnanya kehitaman. Gerakannya lincah. Badannya yang lentur mampu menerobos sela-sela yang sempit. Giginya tajam, sanggup menggerogoti apa saja.
Ujung-ujung daun pintu kayu, kertas-kertas, juga kardus. Di kampung kami menyebutnya tikus pithi.
Aku cuek saja sambil menyeruput kopi. Kulihat dia berlari dari kolong meja ke belakang lemari.
Mungkin dia sadar ada aku di ruangan ini, jadi dia melongok-longokkan kepalanya sebentar. Ah, dasar  tikus! Biar kau tahu ada  sepasang mataku mengawasi, tetap saja kau berkelebat ke sana sini, gerutuku. Dia tahu. Meski sekali pukul dia bisa mati, dia punya banyak kesempatan untuk lari.
“Krriiittt….kriittttt.”
            Entah barang apa lagi yang dia gerogoti kali ini. Aku tak terlalu peduli. Kupikir bisa menghabiskan apa sih tikus sekecil itu. Paling-paling dia makan sisa makanan di dapur. Dapur? Bahkan aku tak pantas menyebutnya sebagai dapur. Hanya seonggok meja kayu satu meter panjangnya. Di atasnya beberapa piring, sendok, dan gelas. Di sebelahnya ada kompor gas kecil. Lalu di bawahnya ada tabung gas tiga kilo warna hijau. Kompor dan tabung gas itu kudapat gratis dari kelurahan. Syukurlah, meski kehidupan bertambah sulit masih ada kebijakan pemerintah yang menguntungkan bagi orang jelata macam aku.
             Hidup mengandalkan upah sebagai buruh bangunan tidaklah mudah di kota Jakarta ini. Bisa menyewa kamar sepetak, dan cukup makan tiap hari adalah karunia yang harus kusyukuri. Kadang-kadang aku mengirim uang untuk orang tuaku di kampung. Meski tidak banyak, tapi cukuplah untuk membantu membeli beras. Sebelum berangkat kusempatkan menengok kaleng bekas biskuit di pojok ruangan dekat kasur. kuangkat perlahan. Aha! Tambah berat saja tiap harinya. Kubuka tutupnya. Sedikit keras. Kulihat selembar uang seratus ribu, dua lembar limapuluhan ribu, beberapa uang puluhan ribu, limaribuan dan seribuan. Aku tersenyum. Kubayangkan melamar Sutiyem dengan tabunganku ini. Menanti beberapa bulan lagi rasanya membawaku ke awang-awang. Berharap-harap sekaligus juga cemas.
            Sutiyem, tetanggaku waktu di desa dulu. Sejak kukenal tiga tahun lalu, entah kenapa aku sangat yakin bahwa di adalah jodohku. Orang tua kami yang sama-sama golongan warga miskin di desa tidak banyak memberi pilihan untuk mencari jodoh. Boro-boro menetapkan kriteria ini itu. Bahkan untuk menggelar pernikahan pun, asal ada sedikit uang untuk biaya KUA, dari dulu mungkin kami sudah menikah. Masalahnya, mengumpulkan beberapa lembar ratusan ribu tidak mudah bagiku. Sehingga kuputuskan merantau di Jakarta seperti ini. Mudah-mudahan aku dapat mengumpulkan uang yang lebih.
            Kadang-kadang kurasakan hidup terasa berat seperti tali kekang kuda mencekik leher. Tak banyak pilihan, selain berpeluh di bawah terik matahari setiap hari. Mengumpulkan rupiah demi rupiah dengan tangan kekar penuh kapalan. Ah, badan sehat ini selalu aku syukuri. Badan yang bisa kuandalkan mencari rejeki.
            ***
            Pulang kerja kudapati serpihan kapuk berhamburan di lantai. Seingatku tadi pagi kasur itu tidak ada apa-apa. Robek pun tidak. Ternyata setelah kulihat di ujung kasur ada robekan sepanjang jengkal tangan. Kupunguti isinya yang berhamburan keluar. Lalu kumasukkan lagi ke dalam kasur. Kuambil jarum jahit dan benang. Pasti ini ulah tikus, gerutuku dalam hati. Kali ini dia mulai membuatku kesal.
            Aku tak ingat lagi, entah sejak kapan aku berbagi rumah dengan tikus itu. Mungkin kali ini dia hendak berbagi tempat tidur denganku. Aku bersungut. Dasar tikus! Dikasih hati malah ngelunjak. Malam ini tidak kudengar suara mencicit dan sepasang kaki kecilnya berlarian. Mungkin tikus itu mulai mencium aroma kekesalanku. Syukurlah, meski mengorbankan sedikit bagian kasur usangku akhirnya dia mau pergi dari rumah ini. Itu artinya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Daaa tikus! Carilah tempat baru, bisikku.
Rupanya hanya semalam tikus itu menghilang. Besok sorenya ketika pulang kerja, kudapati sisa makanan berhamburan di lantai. Kasur yang kemarin kujahit pun robek lagi. Huh, berani-beraninya tikus itu datang lagi. Malamnya aku tak bisa tidur tenang. Gelisah. Ada rasa kesal, panasaran, jengkel, lelah, dan kekhawatiran.
“Cciiiitt…ciittt..kreekk..”
 Aku beranjak. Diam-diam kuamati sekeliling ruangan yang remang. Seekor tikus muncul dan berlari dari belakang tabung gas. Lalu bersembunyi di belakang lemari. Tak kusangka seekor tikus lagi keluar dari belakang tabung gas. Lagi. Dan lagi… Satu, dua, tiga,…empat! Sialan! Tikus itu ternyata licik. Dia bawa tikus lain untuk ikut menghuni rumahku. Entah itu teman atau saudaranya, aku tak peduli. Aku mulai geram. Dengan mengendap-endap perlahan kuambil sapu di pojok ruangan. Hampir tanpa suara. Lalu berjalan menuju lemari. Secepat kilat kusorong-sorongkan sapu sambil memukul-mukul lemari dengan tanganku.
“Braaakk..brakkkk..brakkkkk!”
Seekor tikus keluar dan lari terbirit-birit. Sapu kuayunkan hampir mengenainya. Meleset. Hanya beberapa centimeter dari tubuhnya. Kukejar sembari mengayun-ayunkan sapu. Tikus itu terus berlari. Berkelit-kelit. Napasku memburu beraroma kemarahan. Hingga akhirnya tikus itu terpojok di sudut ruangan. Tanpa tahu hendak berlari kemana lagi. Dia seperti menunggu. Tanpa pikir panjang kuayunkan sapu sekuat tenaga ke arahnya.
“Krraaaaakkkk!”
Sapu patah. Tikus berlari menerobos dan masuk lagi di belakang lemari. Aku terjerembab. Lelah.
***
Keesokan harinya ulah tikus-tikus itu makin bertambah. Tak hanya kasur yang dia gerogoti. Daun pintu mulai merontokkan butiran-butiran serat kayu bekas gigi-gigi tajamnya. Sementara baju-baju kotor yang kutaruh di ember cucian juga belepotan kotoran tikus. Emosiku semakin menjadi ketika kudapati kaleng bekas tempat menaruh uang tabungan entah kenapa terbuka dan isinya sebagian berhamburan keluar. Ya, Tuhan! Bahkan lembaran-lembaran uang berhargaku pun digerogoti tikus itu. Tikus kurang ajar! Aku menyumpah-nyumpah dalam hati. Bagaimana bisa aku melamar Sutiyem dengan uangku yang kocar-kacir? Padahal sudah susah payah aku menyisihkan uang. Sutiyem…oh Sutiyem… semoga kau bersabar menunggu.
Seharian aku memikirkan cara untuk menangkap tikus-tikus itu. Pakai sapu sudah jelas gagal. Malah sapuku yang patah. Aha!! Kutemukan cara jitu.
Dengan hati-hati kuoleskan lem tikus di selembar robekan kertas tebal. Aku tersenyum. Kardus susu yang kutemukan di tempat sampah pinggir jalan ternyata masih berguna. Perlahan kuletakkan tepat di samping  tembok dekat lemari. Mudah-mudahan kali ini aku yang menang, batinku berharap.
Malam itu aku tidur seperti biasa. Meski mata tertutup dan impian membawaku sebentar berkelana, tapi harapan menjerat tikus itu membuatku waspada. Sebentar-sebentar aku terbangun. Tanpa suara. Tetap berpura-pura seolah tidak ada apa-apa. Dalam diam aku menunggu. Terus menunggu. Seolah ingin kulampiaskan kemarahanku. Beberapa lembar uang yang sudah tidak utuh lagi menari-nari di benakku. Lembaran merah seratus ribu yang cuil di pojoknya, juga uang-uang lain yang terkoyak sana sini. Ingin rasanya kutamparkan pada tikus itu.
Rasa ingin kencing memaksaku bangun. Kunyalakan lampu. Sambil berjalan ke kamar mandi kusempatkan melirik jerat lem tikus di samping lemari. Sesuatu yang hitam, kecil, tampak menggeliat di atas kertas itu. Aku mendekat. Seekor tikus! Ekornya yang panjang bergerak-gerak seakan ingin menarik badannya dari jerat itu. Suaranya mencicit. Barangkali meminta tolong.
Dengan perasaan puas aku memakinya.
“Rasakan! Kali ini kau benar-benar tidak bisa lolos.”
Tikus itu masih menggeliat sambil mencicit. Semakin dia bergerak, semakin kuat lem itu menjeratnya. Bahkan kini ekornya tak bisa lagi diangkat. Kasihan, bisikku mengejek. Sengaja kubiarkan tikus itu dalam jerat. Tak kulepaskan, tidak juga kubuang.  Akan kubiarkan sampai dia mati perlahan. Akan kutunggu meski berhari-hari. Akan kulihat seberapa kuatnya dia bertahan.
Dia hanya bisa mencicit. Kadang keras, kadang lemah. Tidak terdengar suara tikus yang lain. Mungkin mereka sudah kabur menyelamatkan diri meninggalkan seekor tikus sekarat sendiri. Atau mereka menunggu? Ah, percuma saja dia memanggil tikus-tikus lain untuk menolongnya. Kalau pun temannya menolong, pastilah ikut terjerat, dan mereka tak selamat. Seakan membaca pikiranku, tiba-tiba tikus itu terdiam. Pasrah. Kubuat dia tak punya pilihan.
Hahahhaha… Aku tertawa puas. Hingga aku tersadar akan air kencing yang mendesak-desak mau keluar. Aku beranjak. Tiba-tiba kurasakan badanku sedikit oleng. Hup! Tanganku berpegangan dinding supaya tidak terjatuh. Kakiku sedikit bergeser menjaga keseimbangan. Sesaat kurasakan sesuatu yang lengket. Aku menengok ke bawah. Di selembar kertas seekor tikus terjerat, mencicit-cicit menertawakan tumitku yang menempel tepat di hadapannya.
***

Tidak ada komentar: