Kamis, 09 Agustus 2012

Oh, Tidaaakkk…! Saya Telat Lagi


Sampai sekarang  pun saya masih heran kenapa waktu berseragam putih abu-abu alias jaman SMA dulu saya lebih dikenal sebagai  murid telatan daripada murid teladan. Lhooo, harusnya nggak perlu heran. Lha wong memang saya ini sering terlambat masuk sekolah dari waktu yang dijadwalkan. Kalah duluan dibanding bel sekolah. Bisa lima menit, sepuluh menit, seperempat jam atau tiga perempat jam. Kata ‘sering’ bisa didefinisikan bahwa dalam seminggu rata-rata dua atau tiga kali datang terlambat. Oh mai sarooohhh, eh …dasar tukang telat.
Kalo ditelisik lebih jauh,  sebenarnya banyak penyebabnya. Yang pertama jarak sekolah ke rumah saya itu sekitar 15 km. Mungkin lebih. Maklumlah saya belum pernah ngukur pake meteran jadi nggak tahu pastinya. Bayangkan jika saya harus berjalan kaki sejauh itu, apa tidak rontok bulu-bulu kaki saya setiap harinya? Atau naik becak dengan resiko harus menggenjot sendiri? Ngonthel sepeda di jalur Pantura hingga nggak bisa bedain antara keringet dan ingus, yang nempel di baju seragam? Ah, pilihan yang tepat ternyata tidaklah sedramatis itu. Ya, naik bis saja. Tapi bisnya nggak boleh sembarangan, harus yang berwarna jingga. Sopirnya setengah baya, keneknya mirip pemain bola, eh salah ding. Maksudnya harus bis jurusan tertentu, sebab kalo sampai salah jurusan bukannya sampai sekolah tapi bisa nyasar ke stadion. Kan kita mau pergi sekolah sodara, bukan mau nonton bola.
Halaaah, sebenarnya ini pun cuma alasan. Kalo berangkat paling lambat jam 6 teng, Insya Allah nggak bakalan telat tuh.
Padahal sebelum berangkat, rutinitas yang menyita waktu adalah bolak balik ngadep cermin, berulang-ulang ngerapihin baju, ngukur pola kemiringan poni dan tatanan rambut,  ngelus-elus jerawat yang  nongol tanpa permisi, nutupin jahitan rok yang tiba-tiba mburudul, ngecek ketinggian kaos kaki yang kurang setara, dan lain-lain. Harusnya sih seperlunya saja, lihat jam nduk! Cepetan keluar rumah, berang berang makan tomat… b e r a n g k a t! Lalu sebisanya jalan cepat-cepat nggak nolah noleh atau pun basa-basi sama tukang sayur. Mulutnya dipending dulu, kalo mau ngobrol nanti saja sama pak kusir dokar atau kenek angkot yang ngantar ke alun-alun. Trus nggak usah nunggu gebetan untuk bisa naik satu bis. Menurut penjabaran rumus fisika, waktu tempuh adalah jarak tempuh dibagi dengan kecepatan. Maka hampir dipastikan masih ada sisa waktu luang untuk nongkrong di kantin Bu Tentrem sebelum bel masuk berbunyi. Asalkan bis yang setia menanti di depan alun-alun itu masih bersedia menaikkan penumpang. Satu lagi, bisnya harus tepat waktu sampai ke sasaran nggak pake ngetem lama-lama, nggak meletus bannya,  nggak mogok di jalan, sopirnya nggak kebelet buang air besar, keneknya nggak pingsan tiba-tiba, nggak ada bom, nihil pembajakan dalam bis... Wah banyak kan syaratnya?
Berhubung alasan pertama sudah menjelaskan banyak alasan, jadi nggak perlu ada alasan kedua, ketiga, dan seterusnya. Terlalu banyak alasan justru menampakkan kemalasan di baliknya. Hehehe.
Kadang-kadang saya pikir bahwa kebiasaan telat adalah semacam ‘kutukan’. Kutukan tanda kutip secara saya nggak percaya dengan model-model takhayul dan bukan penganut dunia perklenikan. Istilah tepatnya barangkali semacam sugesti atau apa lah. Awalnya gara-gara terlambat masuk sekolah tepat di minggu pertama bulan pertama dan tahun pertama bersekolah, bertepatan dengan hari ketiga penataran P4, pas pula wali kelas yang jadi mentor penataran dengan materi moral-moral ke-Pancasila-an. Nah di waktu yang demikian, saya telat masuk sekolah sodara-sodara. Mengetuk pintu dengan sedikit rasa bersalah, plus  kepolosan (naif?)  tanpa bisa menebak apa yang terjadi kemudian.  Sendirian.  Lalu masuk ke dalam kelas diiringi pandangan  mata beraneka ragam. Ada yang menertawakan, ada yang kasihan, ada yang stay cool biasa aja kaleee… Tapi  sayangnya nggak ada yang histeris bertepuk tangan menyambut kehadiran saya. Kalo gitu kan saya  berasa jadi penyanyi terkenal hohohoho.
Setelah mendapat teguran seperlunya, saya pun duduk. Saya kira it’s done, nggak ada teguran lagi. Hehehe enak amat yaach, besok-besok mau dong telat lagi. Eh, nggak taunya Pak Guru menyindir saya dengan kata-kata  yang halus, tapi lugas dan tepat dialamatkan pada saya. Yeee itu sih nggak nyindir, tapi ngegampar. Tapi karena itu adalah ucapan Pak Guru maka tolong dimaknai dengan istilah menasehati.
“Kalian harus belajar   yang rajin, biar pintar, berlomba jadi rangking satu. Jangan seperti dia, bisanya telatan.” Telunjuknya tepat mengarah pada saya. Saya sih cuma mesam-mesem dan agak keki mirip orang yang ketahuan kentut di tempat umum.
Sebagai murid yang baik (meskipun telatan), saya ingat kata-kata Pak Guru. Harus belajar rajin biar pintar, dan Alhamdulillah selama saya di kelas itu pun selalu rangking satu. Tapi ya tetep, ..telat lagi..telat lagiiiii. Oh tidaaakkk…!
Hampir semua usaha telah saya lakukan. Yang halal dan bermartabat tentunya. Bukan nyari bis yang ada label halalnya lho. Tapi bis yang ada sopir dan kondekturnya. Hehehe. Jika ditagih kondektur bis ya bayar, nggak pake ngemplang. Yah, sesekali gratisan naik bis, karena dibayari teman atau nebeng bis milik bokap teman, tapi tetap nggak sembarangan nebeng yang gratisan-gratisan. Banyak kok truk yang nawarin jasa tumpangan, tapi masa iya cewek seimut saya mau numpang sembarangan. Nggak lah yaaaa… Niat sampai trik-trik anti telat pun saya pelajari. Sempet terpikir mau berangkat dari rumah begitu adzan Subuh selesai dikumandangkan. Tapi dipikir-pikir pasti saya kebagian tugas bukain pintu gerbang. Saya cuma nggak enak aja kalo nanti penjaga sekolah ngasih sekian persen gajinya buat saya. Hihihihi..
Ya begitulah, mungkin di slot memori saya ada suatu keegoisan dan ‘harga diri’ untuk mempertahankan status telatan. Toh meskipun telatan, orang tua saya masih bisa bangga ketika pembagian raport tiba. Memandang angka satu tertera sebagai perwakilan dari kata ‘terbaik’. Rangking satu gitu looohhh. Jadi so what gitu loh? Ah, kalo mau jujur, jika ada raport kedisiplinan  bisa jadi saya rangking tiga dari bawah. Hei, kenapa nggak rangking satu dari bawah? Ya iya laaahh, terlambat hanyalah satu dari bentuk pelanggaran kedisiplinan (meski efeknya banyak hehehe). Dan masih ada beberapa teman yang lebih parah tingkat kedisiplinannnya dibanding saya. Kalo boleh minjem istilah, bisa jadi ada istilah disiplin jongkok. Wkwkwkwkwk
Satu hal yang saya tidak sadari waktu itu bahwa kebiasaaan buruk ibarat bumerang bagi diri saya sendiri. Yang pertama jelas bahwa hubungan baik saya dengan guru wali kelas, guru yang sering mengajar di jam pertama, guru BK (Bimbingan Konseling, dulu sih namanya BP, lupa singkatannya apa), dan guru piket udah pasti naik turun nggak jelas, remuk redam, dan sering terlibat konflik. Boro-boro mau harmonis, setiap kali bertemu kalo nggak menegur yah menasehati dengan lugas atau sindiran. Padahal segala teguran, lisan maupun tulisan, tidak manjur. Hukuman nyanyi dangdut depan kelas, lari keliling sekolah, upacara sendiri di lapangan bendera, bersihin sekolah, nggak ada satu pun yang ngaruh. Hehehe gimana mau ngaruh, lha wong saya entah kenapa selalu lolos dari hukuman itu semua. Sekali ding pernah, itu pun kebagian bersihin Laboratorium Biologi berdua  dengan kakak saya. Lumayan lah pura-puranya sambil belajar, lagipula nggak kotor-kotor amat, adem lagi ruangannya. Sedikit lebih elit daripada cabutin rumput di taman depan sekolah. Wkwkwkwk parah. Mungkin saja mereka gregetan, marah, atau judeg dengan alasan klise yang saya ajukan. Bis, bis, dan bis! Ketinggalan bis, nggak kebagian naik bis, bis mogok, pecah ban dan banyak lagi. Kalo saja seandainya para sopir, kondektur, kenek dan pemilik bis disangkutpautkan dalam kasus ini, mereka pasti nggak bakalan terima. Hiihihiii, untung saya cuma nyalahin bisnya.
Gara-gara sering telat, tanpa saya sadar hubungan saya dengan teman pun amburadul. Janjian mau bantuin ngerjain PR pagi-pagi pasti gagal total. Janjian mau cari sarapan bareng juga melayang. Janjian nungggu gebetan berjamaah di depan kelas jadinya wassalam, keburu gebetan lewat duluan. Apalagi janjian buat rapat pagi-pagi. Cieeeeee… jaman belum musim facebook dan twitter kita juga bisa gahooolll sodara-sodara.
Pernah suatu ketika, wali kelas memberlakukan kebijakan baru. Setiap hari tempat duduk  boleh berubah, siapa cepat dia dapat. Boleh, dalam arti mau menetap atau berpindah-pindah  terserah kita. Walhasil setiap hari akan ketahuan siapa yang datang terlambat hari itu. Kalo nggak dapat bangku paling depan pas di muka meja guru, ya bangku pojok belakang yang buat ngeliat tulisan di papan tulis musti pake teleskop. Anehnya, saya yang sering telat nggak kebagian tempat-tempat  istimewa begitu.   Kenapa coba? Jelas karena campur tangan Rina, teman sebangku saya yang nggak pernah terlambat masuk sekolah, jadi kami selalu bisa duduk di bangku favorit. Juga andil dari teman depan dan belakang kami, yang juga tidak menyandang status telatan. Kami menganut prinsip menetap karena nomaden itu sulit. Ah, hidup di sekolah masih bisa dinikmati dengan teman sebangku yang ‘setia’, teman depan yang sukarela mau dijailin, dan teman belakang yang tidak jail tapi selalu setia memberi pinjaman penggaris dan penghapus. Juga sekilas senyum manis  gratis setiap kali saya menengok ke belakang. Hahahaha
Namun, tidak disangka tidak diduga, tiada angin tiada  hujan, di pagi yang cerah ceria saya pun telat datang. Lhaaaa kan kemarin-kemarin biasanya telat juga nggak pake angin nggak pake hujan. Bukan itu sodara, yang tidak biasa itu adalah tempat duduk favorit yang sudah ditempati teman yang lain, serta keberadaan  Rina yang masih misterius. Tengok punya tengok,usut punya usut nampaklah dia sudah duduk bersanding (halaaahh) dengan teman yang lain. Kebingungan mencari tempat duduk membuat saya jadi perhatian satu kelas. Kesedihan merasa dikhianati teman yang setia. Ihhhiiikkkk. Celingak-celinguk kesana kemari mencari bangku yang strategis. Bahkan sampai teman saya ada yang mengalah memberikan tempat duduk favorit saya. Mentah-mentah saya tolak, hanya karena (sekali lagi) egois dan ‘harga diri’. Harga diri tanda kutip. Weeekkkk.
Akhirnya dengan perasaan dongkol saya memilih duduk di bangku pojok belakang, satu-satunya yang tersisa, bersebelahan pula dengan cowok. Lumayan cakep sih hahaha tapi  dalam hati berdoa supaya pacarnya tidak ngambek ke saya. Pagi itu jadi awal yang bete buat saya. Bukan karena dimarahi pacar cowok itu, tetapi  karena merasa tidak nyaman. Entahlah dangan Rina. Tapi saya lihat dia juga merasa nggak nyaman sendiri. Berjarak beberapa meter di kelas,  kami saling mendiamkan.
Padahal dalam hati saya maklum dia berbuat demikian. Mungkin dia sudah bosan dengan kelakuan saya yang sering mengandalkannya untuk menempati bangku. Mungkin dia ingin saya jera dan nggak telat lagi. Atau mungkin dia nggak suka lagi sama saya. Mungkin dia bosen berteman sebangku dengan saya. Mungkin ada kesalahan saya yang membuat dia tersinggung. Mungkin diam-diam cowok yang dia taksir ternyata naksir saya. Mungkin saya salah mengajarinya tentang PR Matematika. Mungkin ternyata selama ini dia iri dengan nilai-nilai ulangan saya. Ah, berputar-putar segala kemungkinan di benak saya. Ditambah lagi kekuatiran gosip-gosip baru pasca saya sebangku dengan cowok.  Membuat jam pelajaran berlalu tanpa konsentrasi. Halaaahhh, biasanya juga nggak konsen-konsen amat.
                Jam istirahat pun saya cuma bisa termangu di bangku tanpa membuat kehebohan dengan teman-teman sekitar seperti biasa. Sejenak dunia seperti senyap. Berteman suara jangkrik dan binatang malam. Menimpali gemericik air juga hembusan angin. Heeii, kalo itu kan suasana rumah di dekat sawah. Hehehee..
                Tiba-tiba saya dikejutkan oleh tepukan buku di pundak saya.
                “Woiii, ngelamunin siapa hayoo?”
                Rina tiba-tiba sudah duduk di atas meja. Terdengar bunyi krieeettt.  Alamaakk, mudah-mudahan meja nggak patah.
                Saya balas menyapa dengan kurang bersemangat. Memandanginya saja tanpa ekspresi. Sesosok cewek bermuka bulat dan berbadan agak gempal. Hehehe kalo dibilang gendut nanti bisa tersinggung.
                “Eh, maap bin sori yaah, tadi aku juga telat. Masih sakit gigi nih, tadi malam nggak bisa tidur, jadinya kesiangan. Trus kamu duduk  di pojokan deh.” Rina menjelaskan panjang bin lebar. Selebar kolor sepanjang tali jemuran. Sambil agak mringis menunjukkan nyeri giginya.
                “Nggak apa-apa kok.” Saya nyengir, seperti kuda. Nggak mirip sih, tapi serupa. Hihihihihi. Dalam hati saya bersyukur ternyata dia terkontaminasi virus telat..eh bukan ding, maksudnya apa yang saya sangkakan tidak terbukti, toh  hanya gara-gara dia terlambat. Itu saja. 
                “Kan mata kamu minus dua,  nggak bisa jelas ngeliat papan tulis dong?” Aiih, terharu juga dengarnya. Perhatian juga nih teman. Ihiiikkkk..
                “Yeee, kan pake kacamata!” sergahku.
                “Maap yaaa…”
                Saya terdiam. Bukan tidak mendengar. Tapi sepatah kata maaf eh maap, sudah membuat saya berpikir.  Baru juga telat sekali, udah heboh aja dibawa perasaan. Lalu gimana perasaan teman-teman saya ngadepin kebandelan saya yang telat lagi telat lagiiii. Oh tidaaaaakkkk!
                “Hei!” Rina menggoyang-goyangkan bahuku.
                Saya ketawa. Riang.
                Dalam hati saya berjanji untuk nggak telat lagi. Susah pastinya, tapi minimal kan dah niat. Niat adalah awal mula dari usaha. Mudah-mudahan besok ada usaha dan membuahkan hasil. Menuntaskan rekor dengan melepaskan titel murid telatan.
                Huffttt… ternyata tidak susah untuk berangkat sepuluh menit lebih pagi dan duduk di bis yang masih sepi. Melupakan sedikit gangguan jerawat di pipi chubby. Menikmati sejuk udara pagi dan sepoi angin yang masuk dari sisi jendela kaca bis. Memandangi kiri kanan jalan, pohon-pohon, tambak, sawah, dan rumah-rumah penduduk. Sesekali ngelirik pak kondektur bis sambil berdoa semoga nggak ada kegalakan dan kecentilan pada kami, para siswa perempuan. Juga sekilas melihat pak sopir, semoga selalu sehat dan konsentrasi selalu supaya kami selamat sampai tujuan.
                Di jalan, bis sempat beberapa kali berhenti menaikkan penumpang yang rata-rata berseragam putih abu-abu. Hampir separuh perjalanan tiba-tiba bis sedikit oleng, lalu pelan-pelan berhenti. Menepi di tepi jalan yang sepi. Sopir turun dengan bergegas. Membanting pintu dengan keras. Braaaakkk!! Oh, ada apakah ini. Ribut sejenak dan kasak kusuk di atas bis.
                Kenek bis tergesa membawa dongkrak. Beberapa penumpang turun mencari tahu. Oalahhh mau ganti ban rupanya. Detik berlalu seperti bunyi derit roda becak yang kelebihan beban. Mau turun nyari tumpangan bis di belakangnya jelas nggak mungkin. Pasti sudah full penumpang dan kalo maksain diri bisa berjejalan. Fyiuuuhhh… terpaksa menunggu. Apalagi berkali-kali sopir bis menenangkan.
                “Tunggu saja, sebentar lagi.”
             Terus saja, berkali-kali bilang ‘sebentar lagi’. Barangkali semua ban mau diganti. Atau…sebenarnya nggak bawa ban cadangan, tapi harus nunggu ban yang diantar dari pool bis. Waduuuhh!
                Jam tangan menunjukkan waktu 06.55. Lima menit sebelum bel masuk sekolah berbunyi.  Belum ada tanda-tanda acara ganti ban selesai. Badan saya  lemas. Menarik napas sambil bersandar. Oh tidaaakkkk…! Saya telat lagi.
***

3 komentar:

Anonim mengatakan...

*ngampet ngguyu*

Ketepelkukuk mengatakan...

wakakakkk ra sah diempet bro, mundak mules

Anonim mengatakan...

Podoae, aku yo sering telat kok,