Seorang
perempuan muda selalu duduk di pojok bangku taman. Setiap sore, tatkala sinar matahari
mulai meredup di antara celah pepohonan. Dia akan duduk bersandar, memainkan
jari jemari tangan. Kadang-kadang tatapan matanya seakan mencari-cari di
kejauhan. Wajahnya berona kecemasan. Matanya menyimpan rindu yang dalam. Rindu
itu seperti aliran air yang hendak dia tumpahkan, tapi terhalang sekat yang
tebal. Seiring waktu, air itu semakin membuncah dan deras.
Tapi terbendung sia-sia begitu saja. Berat. Juga perih. Menahan sekat itu agar rindu masih bisa disimpannya. Entah untuk berapa lama.
Tapi terbendung sia-sia begitu saja. Berat. Juga perih. Menahan sekat itu agar rindu masih bisa disimpannya. Entah untuk berapa lama.
Mirah,
nama perempuan itu, tak akan beranjak dari
bangku di pojok taman hingga matahari menyerah oleh senja yang memerah. Lalu ia
akan berjalan. Mengitari taman untuk beberapa saat. Menebar
pandangannya berkeliling sekedar berharap bertemu seseorang. Sesorang yang selalu berada di ruang hatinya. Lelaki yang selama ini selalu dia tunggu dan dia rindukan. Lelaki itu telah meninggalkannya tanpa kata. Hanya sesuatu di matanya yang membuat Mirah selalu menunggu lelaki itu.
pandangannya berkeliling sekedar berharap bertemu seseorang. Sesorang yang selalu berada di ruang hatinya. Lelaki yang selama ini selalu dia tunggu dan dia rindukan. Lelaki itu telah meninggalkannya tanpa kata. Hanya sesuatu di matanya yang membuat Mirah selalu menunggu lelaki itu.
Tetapi
sudah tujuh purnama harapan untuk bertemu lelaki itu selalu kandas. Mirah selalu
menunggu. Meski harapan itu hampir berujung kesia-siaan. Tapi sekeping hatinya
yang rapuh tetap berusaha untuk terus menggenggamnya. Dia tak ingin menyerah.
Sebagian
orang sudah menganggap Mirah sebagai orang gila. Ah, tapi dia tak peduli. Meski
orang-orang selalu membicarakan dirinya, dia tetap tak bergeming. Dia hanya
yakin akan satu hal, lelaki yang dia tunggu itu akan datang.
Setahun
lalu, ibunya pernah mencarikan lelaki lain sebagai penggantinya.
“Tidak,“
katanya, “di matanya tidak ada kunang-kunang. Aku hanya ingin hidup bersama
lelaki yang matanya menyimpan kunang-kunang yang terang benderang.”
Dia
terus bersikeras meyakinkan ibunya dan semua orang tentang kunang-kunang yang
ada di mata lelaki pujaannya. Bahkan
ibunya sudah berkali-kali menelan kekecewaaan karena lelaki yang dipilihkan
selalu ditolak Mirah.
“Sudahlah,
Mirah!” seru ibunya dengan sedikit kesal. “Kau tunggu sajalah, sampai laki-laki
itu datang padamu.”
Rasa
cinta kepada anak satu-satunya membuatnya tidak pernah bisa memuntahkan segala kekesalannya.
Mungkin itulah yang dinamakan anugerah Tuhan. Dan meskipun tetangga-tetangganya
sibuk menggunjingkan kegilaaan anaknya, dia tetap setia menunggu anaknya pulang
dari taman menjelang malam. Lalu mendengarkan ceritanya, tanpa bosan.
“Dia
tidak datang.” begitu selalu kata Mirah dengan menahan sedih. Perasaan berat
dan perih menahan rindu yang menjadi. Lalu dia menangis tersedu-sedu dipangkuan
ibunya. Lama. Hingga air matanya seakan-akan hendak digunakan untuk meruntuhkan sekat rindu yang tebal. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya.
Sekat itu semakin tebal, dan kuat.
Ibunya
hanya mengelus-elus rambutnya yang kusut. Air matanya menetes perlahan,
mengairi lekuk pipinya yang keriput. Dia bahkan tak tahu, untuk apa air mata
seorang ibu kini. Apakah menangisi kerinduan anaknya akan sepasang mata kunang-kunang?
Ataukah menangisi ketidakberdayaaan dirinya meruntuhkan sekat rindu di hati
anaknya? Ataukah menangisi kesedihan seorang ibu yang anaknya dianggap gila?
Saat
batinnya luka, di pikiran wanita tua itu selalu berjalan satu logika dan
kepasrahan. Dahan pohon yang tak lengkap harus menopang bunga yang tumbuh dan
mekar sendirian. Sekuat tenaga, tanpa mengeluh. Meski rapuh. Sudahlah, mungkin inilah jalan takdir yang
harus dilewati. Jalan takdir seperti air yang mengalir dari hulu ke hilir.
Mungkin akan sampai dengan utuh atau
berserak. Atau bahkan kering di tengah perjalanan karena kemarau yang
kerontang.
***
Sore
yang redup. Mirah merapatkan baju tebal dan syal yang menutupi badannya.
Sekilas tampak badan yang kurus dan kulit yang pucat. Sesekali dia
terbatuk-batuk . Wajahnya semakin pucat. Berona kesakitan dan kecemasan.
Sore
ini kecemasan semakin mendesaknya. Kerinduan itu pun semakin perih. Membuatnya
ingin menyerah saja. Perlahan dia menutup matanya. Membayangkan seorang lekaki
datang. Senyuman membayang di bibirnya yang merona bahagia. Tergesa-gesa menuju
ke tempatnya duduk. Lalu meraih tangannya. Saling menatap. Dan kunang-kunang
keluar dari kedua bola mata lelaki itu. Terang. Semua yang di taman menjadi
terang benderang seperti hatinya yang membuncah kegembiraan. Juga rindu yang tertumpah
dengan sukacita, bukan dengan perasaan menyakitkan. Mereka saling menatap untuk
waktu yang lama. Kunang-kunang terus berpendar dari mata lelaki itu. Terus
berpendar.
Mirah
tak ingin membuka matanya. Dia terlalu menikmati lamunannya yang indah.
Tapi
senja terlanjur memerah. Matahari sudah benar-benar redup. Angin semakin dingin
berhembus. Menyusup pori-pori tubuhnya yang kering. Dia terbatuk lagi. Dengan
kecewa Mirah membuka mata. Dia berharap lamunan itu seketika menjadi nyata.
Lagi-lagi sia-sia. Seorang lelaki yang diharap tidak pernah datang. Tak pernah
hendak menemuinya.
Lelaki
itu adalah aku. Lelaki yang dicekam perasaan tidak menentu. Antara kecemasan
dan bayang ketakutan. Absurd.
Setiap
sore aku melihat Mirah dari arah yang jauh. Aku tahu dia akan selalu menungguku
di taman itu, karena di situlah pertama kali kami bertemu. Di taman ini pula
aku selalu mendengarkan cerita-cerita kehidupannya. Aku tahu, tentang kisah
seorang gadis kecil yang ditinggal bapaknya, hanya karena kawin lari dengan
perempuan lain yang bukan ibunya. Aku mengerti kesedihannya kala
tetangga-tetangga mempergunjingkan status janda ibunya. Aku ikut cemas kala dia
mencemaskan ibunya yang bersikeras menjadi TKI di Arab Saudi. Aku terlarut
dalam kesedihannya saat nenek yang dicintainya meninggal dunia. Bahkan aku ikut
menangis saat dia mengeluhkan hidupnya
yang sepi.
Bagiku,
mendengarkan cerita hidup Mirah seperti mengeja kata demi kata pada sebuah buku
yang beberapa lembar halamannya hilang. Sebagian lembar-lembar halamannya juga
robek. Tapi aku takjub. Dia bisa
merangkaikannya dengan utuh, meskipun dengan polosnya dia selalu berkata bahwa dia tidak tahu dengan akhir cerita di buku
itu. Entah sampai halaman berapa, entah berhenti sampai di kisah yang mana. Ah,
semua orang juga begitu.
Tapi
ada sesuatu yang membuatnya berbeda. Dia terus saja berkhayal akan kunang-kunang yang bisa
menyelamatkan hidupya. Membuat cerita hidupnya terang dan berwarna. Membuka
matanya untuk mengeja cerita hidupnya agar lebih bermakna. Dan, dia selalu
bilang bahwa kunang-kunang itu hanya ada di mataku.
Setiap
duduk dengannya dia meminta kunang-kunang itu. Menatapku dalam. Lama. Hingga
kusadari tatapan mata itu kosong. Hampa. Seperti palung laut yang terlalu gelap
untuk diselami. Aku bingung. Harapannya begitu tinggi. Aku tak kuasa. Aku
dicekam ketakutan. Mungkin juga kepengecutan. Aku pergi meninggalkannya. Tak
pernah lagi kutemui dia di pojok taman ini.
Aku
memang bersalah. Tapi aku lebih merasa bersalah lagi jika Mirah terus-terusan
berkhayal tentang kunang-kunang di mataku. Tak akan kubiarkan dia terjerumus
dengan khayalannya yang membabi buta. Jika dia bertanya perasaaanku saat ini,
jelas aku menyayanginya. Entah karena kasihan atau takjub. Aku pun tak
mengerti. Sekian lama waktu hilang tanpa kebersamaan dengannya. Aku kesepian.
Kesepian
menuntunku untuk selalu melihatnya di bangku pojok taman setiap sore. Ingin aku
mendekatinya. Tapi langkahku selalu gentar. Antara aku dan Mirah seperti ada
sekat pemisah yang tebal. Hingga menggapainya pun tak sampai. Biarlah.. mungkin
hanya waktu yang akan menyelesaikan semuanya. Membunuh ketakutanku atau
menghapus kecemasanku. Atau bahkan keduanya.
***
Sudah beberapa hari aku tidak
melihatnya. Anehnya, aku menjadi rindu. Suatu perasaanku yang paling absurd
menggerakkan kakiku ke rumahnya untuk mencari tahu. Kosong. Tak ada
penghuninya.
“Kemarin lusa dibawa ke rumah sakit,
“ ujar tetangganya. “kumat mungkin gilanya.” Sorot matanya seperti sinis.
“Bukan,”
sahut yang lain, “katanya muntah-muntah darah.”
“Kena
penyakit paru-paru.” Yang lain juga menimpali. Lalu mereka melanjutkan lagi
saling mencari kutu di sebuah halaman rumah. Ketawa-ketawa, berucap kata-kata
sinis, saling berbisik, lalu ketawa. Begitu seterusnya. Tak lupa ujung tangan
menekan seekor kutu atau telur kutu bila didapat. Entahlah, rasa muakku melihat
pemandangan itu justru membuatku meyakini ocehan mereka.
Benar saja, kudapati tubuhnya
berselimut garis-garis di sebuah ranjang rumah sakit. Di sebelahnya seorang
wanita tua terpekur memandanginya. Mukanya sangat cemas. Sesekali tangannya
membelai tangan anaknya yang terkulai lemah. Selang infus masih menancap di
pergelangan Mirah.
Aku mendekat. Meminta ijin pada wanita tua yang tak lain adalah ibunya.
Lalu dia beringsut memberiku ruang.
“Mirah.” panggilku pelan. Aku
menatapnya haru. Mirah membuka matanya pelan. Mengerjapkannya beberapa kali.
Lalu menatapku bingung.
“Siapa?” tanyanya pelan. Hampir
tidak terdengar.
“Aku,” ujarku, “bukankah kau selalu
menungguku datang?”
Dia menggeleng. Bingung.
Berulangkali aku mengingatkannya,
dia malah semakin tidak mengerti. Aku menangis sambil meminta maaf. Terus
menangis di sampingnya. Hingga tiba-tiba keluar sepasang kunang-kunang dari
kedua mataku. Cahayanya berpendar. Terus berpendar hingga ruangan terang-benderang. Tapi sayang, dia masih
tetap tidak mengenaliku. Sekat rindu itu benar-benar telah menghilang. Tanpa
bekas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar