Minggu, 28 Oktober 2012

Cerpen : Sekat Rindu dan Kunang-kunang



Seorang perempuan muda selalu duduk di pojok bangku taman. Setiap sore, tatkala sinar matahari mulai meredup di antara celah pepohonan. Dia akan duduk bersandar, memainkan jari jemari tangan. Kadang-kadang tatapan matanya seakan mencari-cari di kejauhan. Wajahnya berona kecemasan. Matanya menyimpan rindu yang dalam. Rindu itu seperti aliran air yang hendak dia tumpahkan, tapi terhalang sekat yang tebal. Seiring waktu, air itu semakin membuncah dan deras.
Tapi terbendung sia-sia begitu saja. Berat. Juga perih. Menahan sekat itu agar rindu masih bisa disimpannya. Entah untuk berapa lama.
Mirah, nama perempuan itu,  tak akan beranjak dari bangku di pojok taman hingga matahari menyerah oleh senja yang memerah. Lalu ia akan berjalan. Mengitari taman untuk beberapa saat. Menebar
pandangannya berkeliling sekedar berharap bertemu seseorang. Sesorang yang selalu berada di ruang hatinya. Lelaki yang selama ini selalu dia tunggu dan dia rindukan. Lelaki itu telah meninggalkannya tanpa kata. Hanya sesuatu di matanya yang membuat Mirah selalu menunggu lelaki itu.
Tetapi sudah tujuh purnama harapan untuk bertemu lelaki itu selalu kandas. Mirah selalu menunggu. Meski harapan itu hampir berujung kesia-siaan. Tapi sekeping hatinya yang rapuh tetap berusaha untuk terus menggenggamnya. Dia tak ingin menyerah.
Sebagian orang sudah menganggap Mirah sebagai orang gila. Ah, tapi dia tak peduli. Meski orang-orang selalu membicarakan dirinya, dia tetap tak bergeming. Dia hanya yakin akan satu hal, lelaki yang dia tunggu itu akan datang.
Setahun lalu, ibunya pernah mencarikan lelaki lain sebagai penggantinya.
“Tidak,“ katanya, “di matanya tidak ada kunang-kunang. Aku hanya ingin hidup bersama lelaki yang matanya menyimpan kunang-kunang yang terang benderang.”
Dia terus bersikeras meyakinkan ibunya dan semua orang tentang kunang-kunang yang ada di mata lelaki  pujaannya. Bahkan ibunya sudah berkali-kali menelan kekecewaaan karena lelaki yang dipilihkan selalu ditolak Mirah.
“Sudahlah, Mirah!” seru ibunya dengan sedikit kesal. “Kau tunggu sajalah, sampai laki-laki itu datang padamu.”
Rasa cinta kepada anak satu-satunya membuatnya tidak pernah bisa memuntahkan segala kekesalannya. Mungkin itulah yang dinamakan anugerah Tuhan. Dan meskipun tetangga-tetangganya sibuk menggunjingkan kegilaaan anaknya, dia tetap setia menunggu anaknya pulang dari taman menjelang malam. Lalu mendengarkan ceritanya, tanpa bosan.
“Dia tidak datang.” begitu selalu kata Mirah dengan menahan sedih. Perasaan berat dan perih menahan rindu yang menjadi. Lalu dia menangis tersedu-sedu dipangkuan ibunya. Lama. Hingga air matanya seakan-akan hendak digunakan  untuk meruntuhkan sekat rindu yang  tebal. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Sekat itu semakin tebal, dan kuat.
Ibunya hanya mengelus-elus rambutnya yang kusut. Air matanya menetes perlahan, mengairi lekuk pipinya yang keriput. Dia bahkan tak tahu, untuk apa air mata seorang ibu kini. Apakah menangisi kerinduan anaknya akan sepasang mata kunang-kunang? Ataukah menangisi ketidakberdayaaan dirinya meruntuhkan sekat rindu di hati anaknya? Ataukah menangisi kesedihan seorang ibu yang anaknya dianggap gila?
Saat batinnya luka, di pikiran wanita tua itu selalu berjalan satu logika dan kepasrahan. Dahan pohon yang tak lengkap harus menopang bunga yang tumbuh dan mekar sendirian. Sekuat tenaga, tanpa mengeluh. Meski rapuh.  Sudahlah, mungkin inilah jalan takdir yang harus dilewati. Jalan takdir seperti air yang mengalir dari hulu ke hilir. Mungkin  akan sampai dengan utuh atau berserak. Atau bahkan kering di tengah perjalanan karena kemarau yang kerontang.
***
Sore yang redup. Mirah merapatkan baju tebal dan syal yang menutupi badannya. Sekilas tampak badan yang kurus dan kulit yang pucat. Sesekali dia terbatuk-batuk . Wajahnya semakin pucat. Berona kesakitan dan kecemasan.
Sore ini kecemasan semakin mendesaknya. Kerinduan itu pun semakin perih. Membuatnya ingin menyerah saja. Perlahan dia menutup matanya. Membayangkan seorang lekaki datang. Senyuman membayang di bibirnya yang merona bahagia. Tergesa-gesa menuju ke tempatnya duduk. Lalu meraih tangannya. Saling menatap. Dan kunang-kunang keluar dari kedua bola mata lelaki itu. Terang. Semua yang di taman menjadi terang benderang seperti hatinya yang membuncah kegembiraan. Juga rindu yang tertumpah dengan sukacita, bukan dengan perasaan menyakitkan. Mereka saling menatap untuk waktu yang lama. Kunang-kunang terus berpendar dari mata lelaki itu. Terus berpendar.
Mirah tak ingin membuka matanya. Dia terlalu menikmati lamunannya yang indah.
Tapi senja terlanjur memerah. Matahari sudah benar-benar redup. Angin semakin dingin berhembus. Menyusup pori-pori tubuhnya yang kering. Dia terbatuk lagi. Dengan kecewa Mirah membuka mata. Dia berharap lamunan itu seketika menjadi nyata. Lagi-lagi sia-sia. Seorang lelaki yang diharap tidak pernah datang. Tak pernah hendak menemuinya.
Lelaki itu adalah aku. Lelaki yang dicekam perasaan tidak menentu. Antara kecemasan dan bayang ketakutan. Absurd. 
Setiap sore aku melihat Mirah dari arah yang jauh. Aku tahu dia akan selalu menungguku di taman itu, karena di situlah pertama kali kami bertemu. Di taman ini pula aku selalu mendengarkan cerita-cerita kehidupannya. Aku tahu, tentang kisah seorang gadis kecil yang ditinggal bapaknya, hanya karena kawin lari dengan perempuan lain yang bukan ibunya. Aku mengerti kesedihannya kala tetangga-tetangga mempergunjingkan status janda ibunya. Aku ikut cemas kala dia mencemaskan ibunya yang bersikeras menjadi TKI di Arab Saudi. Aku terlarut dalam kesedihannya saat nenek yang dicintainya meninggal dunia. Bahkan aku ikut menangis saat  dia mengeluhkan hidupnya yang sepi.
Bagiku, mendengarkan cerita hidup Mirah seperti mengeja kata demi kata pada sebuah buku yang beberapa lembar halamannya hilang. Sebagian lembar-lembar halamannya juga robek. Tapi aku takjub.  Dia bisa merangkaikannya dengan utuh, meskipun dengan polosnya dia selalu berkata  bahwa dia tidak tahu dengan akhir cerita di buku itu. Entah sampai halaman berapa, entah berhenti sampai di kisah yang mana. Ah, semua orang juga begitu.
Tapi ada sesuatu yang membuatnya berbeda. Dia terus saja  berkhayal akan kunang-kunang yang bisa menyelamatkan hidupya. Membuat cerita hidupnya terang dan berwarna. Membuka matanya untuk mengeja cerita hidupnya agar lebih bermakna. Dan, dia selalu bilang bahwa kunang-kunang itu hanya ada di mataku. 
Setiap duduk dengannya dia meminta kunang-kunang itu. Menatapku dalam. Lama. Hingga kusadari tatapan mata itu kosong. Hampa. Seperti palung laut yang terlalu gelap untuk diselami. Aku bingung. Harapannya begitu tinggi. Aku tak kuasa. Aku dicekam ketakutan. Mungkin juga kepengecutan. Aku pergi meninggalkannya. Tak pernah lagi kutemui dia di pojok taman ini.
Aku memang bersalah. Tapi aku lebih merasa bersalah lagi jika Mirah terus-terusan berkhayal tentang kunang-kunang di mataku. Tak akan kubiarkan dia terjerumus dengan khayalannya yang membabi buta. Jika dia bertanya perasaaanku saat ini, jelas aku menyayanginya. Entah karena kasihan atau takjub. Aku pun tak mengerti. Sekian lama waktu hilang tanpa kebersamaan dengannya. Aku kesepian.
Kesepian menuntunku untuk selalu melihatnya di bangku pojok taman setiap sore. Ingin aku mendekatinya. Tapi langkahku selalu gentar. Antara aku dan Mirah seperti ada sekat pemisah yang tebal. Hingga menggapainya pun tak sampai. Biarlah.. mungkin hanya waktu yang akan menyelesaikan semuanya. Membunuh ketakutanku atau menghapus kecemasanku. Atau bahkan keduanya.
***
            Sudah beberapa hari aku tidak melihatnya. Anehnya, aku menjadi rindu.  Suatu perasaanku yang paling absurd menggerakkan kakiku ke rumahnya untuk mencari tahu. Kosong. Tak ada penghuninya.
            “Kemarin lusa dibawa ke rumah sakit, “ ujar tetangganya. “kumat mungkin gilanya.” Sorot matanya seperti sinis.
“Bukan,” sahut yang lain, “katanya muntah-muntah darah.”
“Kena penyakit paru-paru.” Yang lain juga menimpali. Lalu mereka melanjutkan lagi saling mencari kutu di sebuah halaman rumah. Ketawa-ketawa, berucap kata-kata sinis, saling berbisik, lalu ketawa. Begitu seterusnya. Tak lupa ujung tangan menekan seekor kutu atau telur kutu bila didapat. Entahlah, rasa muakku melihat pemandangan itu justru membuatku meyakini ocehan mereka.
            Benar saja, kudapati tubuhnya berselimut garis-garis di sebuah ranjang rumah sakit. Di sebelahnya seorang wanita tua terpekur memandanginya. Mukanya sangat cemas. Sesekali tangannya membelai tangan anaknya yang terkulai lemah. Selang infus masih menancap di pergelangan Mirah.
               Aku mendekat. Meminta ijin pada wanita tua yang tak lain adalah ibunya. Lalu dia beringsut memberiku ruang. 
            “Mirah.” panggilku pelan. Aku menatapnya haru. Mirah membuka matanya pelan. Mengerjapkannya beberapa kali. Lalu menatapku bingung.
            “Siapa?” tanyanya pelan. Hampir tidak terdengar.
            “Aku,” ujarku, “bukankah kau selalu menungguku datang?”
            Dia menggeleng. Bingung.
Berulangkali aku mengingatkannya, dia malah semakin tidak mengerti. Aku menangis sambil meminta maaf. Terus menangis di sampingnya. Hingga tiba-tiba keluar sepasang kunang-kunang dari kedua mataku. Cahayanya berpendar. Terus berpendar hingga ruangan  terang-benderang. Tapi sayang, dia masih tetap tidak mengenaliku. Sekat rindu itu benar-benar telah menghilang. Tanpa bekas.

Tidak ada komentar: