Pagi
yang dingin. Seperti jarum-jarum kecil yang menusuki setiap inci tubuh.
Matahari masih nyaman bersembunyi di balik mendung. Suasana masih sunyi. Hanya
suara induk ayam dan anaknya yang sibuk mencari makan. Aku berdiri di teras belakang
rumah sambil menikmati pemandangan desa. Empang yang tenang. Sawah yang
terhampar. Dan gunung yang berderet di kejauhan. Nampak asri. Pohon jambu air
berbuah sangat lebat. Hampir semuanya terlihat memerah.
Seorang
gadis kecil sibuk mencari-cari buah jambu air yang jatuh. Tak lama dia masuk ke
dalam empang. Berceburan. Derap-derap kakinya seperti berlomba dengan gerakan
ikan di dalam empang. Pakaiannya agak lusuh. Rambutnya sebahu dan masih berantakan.
“Jangan
di situ, Dik!” seruku seraya memanggil. “Kalau mau, ambil saja dari pohonnya.”
Wajahnya
menengok sebentar. Lalu seperti tidak mendengar dia terus melanjutkan mencari
jambu sambil berceburan. Kaos lusuh digulungnya di bagian perut. Nampak basah
oleh cipratan air dan buah jambu air yang penuh.
“Haii!”
teriakku lagi. “Jangan di situ. Tuh,
pakai gantar di bawah pohon!” Aku menunjuk pohon jambu tepat di samping empang.
Mendengar
teriakanku, rupanya cukup untuk menariknya keluar dari empang. Kupandangi saja
anak itu. Mungkin umurnya sepuluh tahun. Usia kelas 3 atau 4 SD. Tapi jam
segini kok belum juga berangkat ke sekolah, pikirku heran.
Beberapa
saat dia hanya tercenung. Mendongak-dongak. Berkeliling.
Gantar
pun berpindah tempat ke tangan kecilnya. Dijolok-jolokkannya ke atas. Buah
jambu jatuh berhamburan. Lalu dipungutinya.
Dikumpulkannya menjadi satu gundukan di sisi empang. Lumayan banyak.
Mulutnya
sesekali sibuk mengunyah jambu air. Hmmm pagi-pagi begini, apa nggak bikin sakit perut, batinku.
Di
sebelah pohon jambu, ada pohon mangga yang juga sedang lebat-lebatnya berbuah.
Rupanya anak itu tergoda untuk mengambilnya. Gantar pun berpindah arah. Buah
mangga yang masih ranum pun jatuh berdebum.
“Haiii!.”
Aku berteriak lagi. ”Masih muda itu..Jangan diambil, ya!”
Entah
kenapa. Tidak ada rasa sungkan di wajahnya. Aku tersenyum.
Lalu aku turun. Berjalan mendekat.
“Sini,” ajakku. Dia menoleh.
Malu-malu. Atau mungkin enggan.
“Sini!” kataku lagi. Kusodorkan
sebungkus biskuit yang sedari tadi kupegang. Kuajak dia duduk.
“Siapa namamu?” tanyaku pelan.
Kupandangi wajahnya. Agak kumal menurutku.
“Neneng.” sahutnya singkat.
“Nggak sekolah?”
Neneng menggeleng.
“Kenapa?”
“Malas.” Datar. Dia memasukkan
biskuit ke dalam mulutnya pelan.
“Mamah nggak marah?”
Sekali lagi, Neneng menggeleng.
Aku tertegun. “Besok sekolah,
kan?”
Dia tidak menjawab. Terus saja
mengunyah biskuit.
“Habiskan, ya.” kataku sambil
tersenyum. “Rumahmu mana?”
Neneng tidak menjawab. Tak menoleh
sedikit pun. Kuulang pertanyaanku, “Rumah Neneng dimana?”
Dia hanya menunjuk. Aku tak
berminat melanjutkan pertanyaan. Kurasakan ada yang kurang beres
dengan anak ini. Mimik muka yang tidak biasa. Reaksinya yang acuh tak acuh. Pandangan matanya kosong. Mungkin ada sesuatu yang hilang. Aku tidak tahu.
dengan anak ini. Mimik muka yang tidak biasa. Reaksinya yang acuh tak acuh. Pandangan matanya kosong. Mungkin ada sesuatu yang hilang. Aku tidak tahu.
Sepuluh tahun aku merantau, dan setahun sekali pulang kampung.
Banyak perkembangan yang aku lewatkan. Juga tentang anak perempuan bernama Neneng
yang membuatku penasaran. Anak dan cucunya siapa sih?
“Itu cucunya Mang Hendar.
Indungnya jadi TKI di Arab Saudi.”
Sejenak aku mengingat-ingat.
Mang Hendar, sepertinya aku kenal.
“Mang Hendar yang jualan
cilok? Yang rumahnya di belakang pabrik aci?”
“Iya, tapi sudah meninggal
tahun kemarin. Istrinya yang ngasuh Neneng, cucu satu-satunya.”
“Neneng itu anaknya Nur?
Suaminya orang mana?” Nur, teman masa SDku dulu. Agak lupa-lupa ingat dengan wajahnya.
Bi Mimin, penjual gorengan keliling itu mengangguk. “Tapi
suaminya nggak tau kemana. Katanya sih jadi buruh tambang emas di Bogor. Udah
bertahun-tahun nggak pernah ke sini. Kabarnya sih, sudah cerai gitu. Emang kenapa,
Jang?”
Aku tersenyum. “Nggak apa-apa,
Bi. Cuma sering saja liat Neneng main di belakang rumah. Kasihan, kok nggak
sekolah.”
Dari dulu warga kampung sini
memang banyak yang jadi TKI. Rata-rata ke Arab Saudi. Pulang-pulang bawa titel
‘haji’. Sebagian ada yang sukses, membangun rumah, membeli tanah dan sawah, dan
kehidupan ekonomi yang lebih baik. Ada juga yang nikah dengan warga Timur
Tengah, dan baru sekali pulang kampung membawa serta suaminya. Ada yang gagal
mengumpulkan rupiah . Bolak-balik jadi TKI, tapi tidak kunjung membaik
ekonominya. Ada yang diceraikan suaminya. Sempat ada yang terlunta-lunta ditipu
oleh agennya. Bahkan ada yang gila, kabarnya diperlakukan tidak senonoh oleh
majikannya. Tapi, seperti tidak ada surutnya, semua orang seperti berlomba
menjadi TKI. Meski belum jelas apa yang akan didapat nantinya. Dilematis.
Meninggalkan anak, suami, istri, orang tua, dan kerabatnya ribuan mil jauhnya,
demi mengais rejeki.
“Karunya, eta budak. Nininya
udah tua. Kerja seharian di pabrik aci. Sambil ngurus cucu begitu. Mana nakal itu Neneng. Ihh... Susah dibilangin. Pernah
ketahuan nyuri telur ayam di rumah Haji Muhtar. ”
“Trus?”
“Ya, gitu. Habis dimarahi,
terus saja diulang-ulang besoknya. Telur
bebek, buah, mainan anak-anak di teras orang. Karunya..lieur..”
Nada prihatin terdengar dari
suara Bi Mimin.
“Tapi maklum, Jang. Sejak bayi
dititip di neneknya. Nur paling-paling pulang tiga tahun sekali. Itu pun cuma
sebentar. Bapaknya dah lama nggak pernah nengokin.”
Neneng yang malang.
Berhari-hari aku punya
rutinitas baru, Memandangi Neneng yang sibuk memunguti buah jambu.
Kadang-kadang mengajaknya mengobrol sambil menawarkan makanan. Yah, meskipun
jawaban-jawaban tidak seberapa yang kudapat dari bibirnya. Entahlah, aku
mencoba menyelami pandangan matanya yang terkadang nampak kosong. Mencoba
mencari senyum di wajahnya yang kusut. Pagi yang indah barangkali tidak terlalu
dirasakan gadis kecil itu. Mungkin semua yang terjadi di hidupnya sekarang
terasa kosong. Berlalu saja seperti debu. Kasihan.
Hari ini tidak kutemui Neneng
di belakang rumah. Tumben. Tidak terdengar kecipak air. Tak ada yang menjolok-jolok
jambu dan mangga. Kemana Neneng?
Mungkin dia sekolah, pikirku.
Lalu aku memutuskan berjalan-jalan
ke depan rumah. Suara pengajian lepas
Subuh masih sayup terdengar dari masjid di ujung kampung. Udara masih terasa
dingin. Kurapatkan jaketku. Menyusuri jalanan yang penuh nostalgia masa kecil. Kurapikan rambutku yang
diterpa angin. Kampung ini sudah banyak berubah. Dulu masih banyak hamparan sawah
di kiri kanan jalan. Sekarang warung dan
toko memenuhi sisi jalan. Bentuk rumah panggung sudah jarang sekali ditemui. Berganti
rumah-rumah tembok ala modern. Tak berapa jauh aku berbelok menuju keramaian
pasar. Sekedar cuci mata. Siapa tahu bertemu teman lama.
Pasar ini masih sama ritmenya dengan dulu. Buka
seminggu sekali. Ramai. Tumpah ruah orang dari penjuru kampung, juga dari
kampung-kampung sebelah.
“Maling..maliiiing!”
Beberapa orang berteriak sambil menunjuk ke arah yang sama.
Penasaran,
aku bertanya pada penjual sayur di hadapanku.
“Ada
apa, Ceu?”
“Nggak
tau. Maling katanya.”
Lalu
seorang ibu-ibu tua menyahut, “Itu ada
yang nyolong baju di sana. Tuh, anak kecil. Katanya sih udah biasa nyolong-nyolong
di pasar.”
Dari
kejauhan aku mengenali sosok yang berlari cepat itu. Di belakangnya beberapa orang
memburunya. Neneng! Tak kudengarkan lagi
wanita tua yang belum juga menyelesaikan kalimatnya.Lantas aku ikut mengejar. Beradu
cepat dengan irama jantungku sendiri. Ketakutan membayang andaikan dia dihakimi
orang-orang di pasar.
Dia berlari. Melintas jalan. Sebuah motor melaju tanpa menyadari kehadiran bocah
itu. Braaaakkkk! Debuman yang keras. Orang-orang berhamburan. Lalu berkerumun
mengelilingi sesosok tubuh yang terkapar. Masih bernapas, tapi terluka dan
berdarah. Suaranya mengaduh kesakitan.
Ditimpali suara orang-orang yang sibuk
bergumam. Sebagian mencari pertolongan. Aku tertegun. Orang itu terjatuh
menghindari tabrakan. Pikiranku tidak karuan. Kulihat Neneng membawa sepotong
baju di tangan. Mulutnya tersenyum tipis. Terlalu miris buat kurasakan. Tubuh
kecilnya berdiri mematung di sisi jalan. Tatapan matanya yang kosong memandang
lurus ke arah kerumunan orang. Sementara pengemudi motor masih terkapar
menunggu pertolongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar