Senin, 07 April 2014

KOSONG



Pagi yang dingin. Seperti jarum-jarum kecil yang menusuki setiap inci tubuh. Matahari masih nyaman bersembunyi di balik mendung. Suasana masih sunyi. Hanya suara induk ayam dan anaknya yang sibuk mencari makan. Aku berdiri di teras belakang rumah sambil menikmati pemandangan desa. Empang yang tenang. Sawah yang terhampar. Dan gunung yang berderet di kejauhan. Nampak asri. Pohon jambu air berbuah sangat lebat. Hampir semuanya terlihat memerah.
Seorang gadis kecil sibuk mencari-cari buah jambu air yang jatuh. Tak lama dia masuk ke dalam empang. Berceburan. Derap-derap kakinya seperti berlomba dengan gerakan ikan di dalam empang. Pakaiannya agak lusuh. Rambutnya sebahu dan masih berantakan.
“Jangan di situ, Dik!” seruku seraya memanggil. “Kalau mau, ambil saja dari pohonnya.”
Wajahnya menengok sebentar. Lalu seperti tidak mendengar dia terus melanjutkan mencari jambu sambil berceburan. Kaos lusuh digulungnya di bagian perut. Nampak basah oleh cipratan air dan buah jambu air yang penuh.
“Haii!” teriakku lagi.  “Jangan di situ. Tuh, pakai gantar di bawah pohon!” Aku menunjuk pohon jambu tepat  di samping empang.
Mendengar teriakanku, rupanya cukup untuk menariknya keluar dari empang. Kupandangi saja anak itu. Mungkin umurnya sepuluh tahun. Usia kelas 3 atau 4 SD. Tapi jam segini kok belum juga berangkat ke sekolah, pikirku heran.
Beberapa saat dia hanya tercenung. Mendongak-dongak. Berkeliling.
Gantar pun berpindah tempat ke tangan kecilnya. Dijolok-jolokkannya ke atas. Buah jambu  jatuh berhamburan. Lalu dipungutinya. Dikumpulkannya menjadi satu gundukan di sisi empang. Lumayan banyak.
Mulutnya sesekali sibuk mengunyah jambu air. Hmmm pagi-pagi begini, apa nggak bikin sakit perut, batinku.
Di sebelah pohon jambu, ada pohon mangga yang juga sedang lebat-lebatnya berbuah. Rupanya anak itu tergoda untuk mengambilnya. Gantar pun berpindah arah. Buah mangga yang masih ranum pun jatuh berdebum.
“Haiii!.” Aku berteriak lagi. ”Masih muda itu..Jangan diambil, ya!”
Entah kenapa. Tidak ada rasa sungkan di wajahnya. Aku tersenyum.
            Lalu aku turun. Berjalan mendekat.
            “Sini,” ajakku. Dia menoleh. Malu-malu. Atau mungkin enggan.
            “Sini!” kataku lagi. Kusodorkan sebungkus biskuit yang sedari tadi kupegang. Kuajak dia duduk.
            “Siapa namamu?” tanyaku pelan. Kupandangi wajahnya. Agak kumal menurutku.
            “Neneng.” sahutnya singkat.
             “Nggak sekolah?”
             Neneng menggeleng.
             “Kenapa?”
             “Malas.” Datar. Dia memasukkan biskuit ke dalam mulutnya pelan. 
             “Mamah nggak marah?”
             Sekali lagi, Neneng menggeleng.
             Aku tertegun. “Besok sekolah, kan?”
             Dia tidak menjawab. Terus saja mengunyah biskuit.
            “Habiskan, ya.” kataku sambil tersenyum. “Rumahmu mana?”
          Neneng tidak menjawab. Tak menoleh sedikit pun. Kuulang pertanyaanku, “Rumah Neneng dimana?”
            Dia hanya menunjuk. Aku tak berminat melanjutkan pertanyaan. Kurasakan ada yang kurang beres 
dengan anak ini. Mimik muka yang tidak biasa. Reaksinya yang acuh tak acuh. Pandangan matanya kosong. Mungkin ada sesuatu yang hilang. Aku tidak tahu.
          Sepuluh tahun  aku merantau, dan setahun sekali pulang kampung. Banyak perkembangan yang aku lewatkan. Juga tentang anak perempuan bernama Neneng yang membuatku penasaran. Anak dan cucunya siapa sih?
            “Itu cucunya Mang Hendar. Indungnya jadi TKI di Arab Saudi.”
            Sejenak aku mengingat-ingat. Mang Hendar, sepertinya aku kenal.
            “Mang Hendar yang jualan cilok? Yang rumahnya di belakang pabrik aci?”
            “Iya, tapi sudah meninggal tahun kemarin. Istrinya yang ngasuh Neneng, cucu satu-satunya.”
           “Neneng itu anaknya Nur? Suaminya orang mana?” Nur, teman masa SDku dulu. Agak lupa-lupa ingat dengan wajahnya.
            Bi Mimin, penjual  gorengan keliling itu mengangguk. “Tapi suaminya nggak tau kemana. Katanya sih  jadi buruh tambang emas di Bogor. Udah bertahun-tahun nggak pernah ke sini. Kabarnya sih, sudah cerai gitu. Emang kenapa, Jang?”
          Aku tersenyum. “Nggak apa-apa, Bi. Cuma sering saja liat Neneng main di belakang rumah. Kasihan, kok nggak sekolah.”
         Dari dulu warga kampung sini memang banyak yang jadi TKI. Rata-rata ke Arab Saudi. Pulang-pulang bawa titel ‘haji’. Sebagian ada yang sukses, membangun rumah, membeli tanah dan sawah, dan kehidupan ekonomi yang lebih baik. Ada juga yang nikah dengan warga Timur Tengah, dan baru sekali pulang kampung membawa serta suaminya. Ada yang gagal mengumpulkan rupiah . Bolak-balik jadi TKI, tapi tidak kunjung membaik ekonominya. Ada yang diceraikan suaminya. Sempat ada yang terlunta-lunta ditipu oleh agennya. Bahkan ada yang gila, kabarnya diperlakukan tidak senonoh oleh majikannya. Tapi, seperti tidak ada surutnya, semua orang seperti berlomba menjadi TKI. Meski belum jelas apa yang akan didapat nantinya. Dilematis. Meninggalkan anak, suami, istri, orang tua, dan kerabatnya ribuan mil jauhnya, demi mengais rejeki.
           “Karunya, eta budak. Nininya udah tua. Kerja seharian di pabrik aci. Sambil ngurus cucu begitu. Mana nakal  itu Neneng. Ihh... Susah dibilangin. Pernah ketahuan nyuri telur ayam di rumah Haji Muhtar. ”
              “Trus?”
             “Ya, gitu. Habis dimarahi, terus saja diulang-ulang besoknya. Telur  bebek, buah, mainan anak-anak di teras orang. Karunya..lieur..”
              Nada prihatin terdengar dari suara Bi Mimin.
            “Tapi maklum, Jang. Sejak bayi dititip di neneknya. Nur paling-paling pulang tiga tahun sekali. Itu pun cuma sebentar. Bapaknya dah lama nggak pernah nengokin.”
               Neneng yang malang.      
           Berhari-hari aku punya rutinitas baru, Memandangi Neneng yang sibuk memunguti buah jambu. Kadang-kadang mengajaknya mengobrol sambil menawarkan makanan. Yah, meskipun jawaban-jawaban tidak seberapa yang kudapat dari bibirnya. Entahlah, aku mencoba menyelami  pandangan  matanya yang terkadang nampak kosong. Mencoba mencari senyum di wajahnya yang kusut. Pagi yang indah barangkali tidak terlalu dirasakan gadis kecil itu. Mungkin semua yang terjadi di hidupnya sekarang terasa kosong. Berlalu saja seperti debu. Kasihan.
             Hari ini tidak kutemui Neneng di belakang rumah. Tumben. Tidak terdengar kecipak air. Tak ada yang menjolok-jolok jambu dan mangga. Kemana Neneng?
               Mungkin dia sekolah, pikirku.
             Lalu aku memutuskan berjalan-jalan  ke depan rumah. Suara pengajian lepas Subuh masih sayup terdengar dari masjid di ujung kampung. Udara masih terasa dingin. Kurapatkan jaketku. Menyusuri jalanan yang penuh  nostalgia masa kecil. Kurapikan rambutku yang diterpa angin. Kampung ini sudah banyak berubah. Dulu masih banyak hamparan sawah di kiri kanan jalan. Sekarang  warung dan toko memenuhi sisi jalan. Bentuk rumah panggung sudah jarang sekali ditemui. Berganti rumah-rumah tembok ala modern. Tak berapa jauh aku berbelok menuju keramaian pasar. Sekedar cuci mata. Siapa tahu bertemu teman lama.
Pasar  ini masih sama ritmenya dengan dulu. Buka seminggu sekali. Ramai. Tumpah ruah orang dari penjuru kampung, juga dari kampung-kampung sebelah.
“Maling..maliiiing!” Beberapa orang berteriak sambil menunjuk ke arah yang sama.
Penasaran, aku bertanya pada penjual sayur di hadapanku.
“Ada apa, Ceu?”
“Nggak tau. Maling katanya.”
Lalu seorang ibu-ibu tua menyahut, “Itu  ada yang nyolong baju di sana. Tuh, anak kecil. Katanya sih udah biasa nyolong-nyolong di pasar.”
      Dari kejauhan aku mengenali sosok yang berlari cepat itu. Di belakangnya beberapa orang  memburunya. Neneng! Tak kudengarkan lagi wanita tua yang belum juga menyelesaikan kalimatnya.Lantas aku ikut mengejar. Beradu cepat dengan irama jantungku sendiri. Ketakutan membayang andaikan dia dihakimi orang-orang di pasar.
Dia berlari. Melintas jalan.  Sebuah  motor melaju tanpa menyadari kehadiran bocah itu. Braaaakkkk! Debuman yang keras. Orang-orang berhamburan. Lalu berkerumun mengelilingi sesosok tubuh yang terkapar. Masih bernapas, tapi terluka dan berdarah.  Suaranya mengaduh kesakitan. Ditimpali  suara orang-orang yang sibuk bergumam. Sebagian mencari pertolongan. Aku tertegun. Orang itu terjatuh menghindari tabrakan. Pikiranku tidak karuan. Kulihat Neneng membawa sepotong baju di tangan. Mulutnya tersenyum tipis. Terlalu miris buat kurasakan. Tubuh kecilnya berdiri mematung di sisi jalan. Tatapan matanya yang kosong memandang lurus ke arah kerumunan orang. Sementara pengemudi motor masih terkapar menunggu pertolongan. 

Tidak ada komentar: