Kita memilih sibuk berkomentar, tapi lupa terhadap esensi
hal-hal yang kita komentari.
Kita memilih sibuk berkomentar, tapi lupa memperhatikan
jawaban atas komentar kita.
Kita memilih sibuk berkomentar, tapi lupa mensyukuri hal
besar yang ada di depan mata kita
Kita memilih sibuk berkomentar, tapi lupa melihat hikmah
yang seharusnya menjadi perhatian kita
Kita memilih sibuk berkomentar, tapi lupa bahwa komentar
kita tidak selalu dibutuhkan
Kita memilih sibuk berkomentar, tapi lupa bahwa kita selalu
mencari alasan demi pembenaran dan penyelamatan muka kita
*
X : Hai, Bu! Halamannya bersih sekali, rapi, dan
nyaman.Coba saya punya halaman seperti
ini. (basa-basi)
Y : Oh, makasih Bu. Ah, cuma segini aja, yaaah daripada
bengong jadi saya sempetin tiap hari bersihin halaman. Seminggu sekali
memangkas rumput dan daun-daun.” (ini
obrolan emak-emak ternyata, hihihi)
X : Begitu, ya. Duh,
kalo saya sih kagak sempat bersihin begitu. Saya ini orang sibuk. (mulai bikin alesan)
Y : Kalo hari libur kan bisa, Bu? (lah, masih ngeladenin juga)
X : Hari libur malah capek saya, biasa orang sibuk. (alesan mulai terlihat lebay)
Y : Ya udah, gimana kalo ngupah orang saja. Kan beres. (berusaha kasih solusi praktis)
X : Aduh, Bu. Saya lagi bokek. Di rumah juga lagi
penghematan besar-besaran. Mana ada budget buat bayar orang bersihin halaman. (hihihi alesaaannn…padahal maunya gretongan)
Y : Tapi ngomong-ngomong kemaren saya ngeliat suami Ibu beli
sebungkus rokok mahal. Emang masih perokok berat ya? (iseng nanya)
X : Wah, iya tuh, Bu. Dari dulu ampe sekarang kami gak mau
barang yang murah. Rokok juga beli yang paling mahal. Kalo ada rokok sebungkus
seratus ribu juga pasti kami beli. (males
nanggepinnya)
Y : Lah, katanya penghematan. Katanya gak mau yang murah, tapi kok maunya gratisan.
(ngeloyor pergi sambil gigit sapu lidi)
*
X : Wah, Bu. Bagus, ya..anaknya gak suka jajan. Tuh, liat anak saya. Jajannya
ampun deh. Baru juga lima menit duduk di sini dah habis sepuluh ribu.
Y : Ya, begitulah. Mungkin lagi gak minat buat jajan.
Lagipula tadi sudah makan.
X : Tapi kok saya liat jarang banget merengek minta jajan. (mulai memancing pertanyaan)
Y : Itu sih saya biasakan dari dulu. (menjawab
seperlunya, soalnya ini bukan konteks seminar pendidikan anak dan semacamnya)
X : Wah, gimana tuh caranya?
Y : Ya.. gimana ya? Intinya sih dari kita saja, jangan
selalu menuruti. Kalo jajan mendingan kita saja yang siapkan daripada mereka
jajan sendiri.
X : Trus gak dikasih uang jajan gitu?
Y : Kalo dah sekolah agak susah buat tidak jajan. Dikasih
secukupnya, diajarin caranya milih jajan, ngitung kembalian dan lain-lain.
Diajarin nabung juga buat beli apa yang mereka lagi suka, misalnya baju,
sepatu, tas, pensil warna, dan sebagainya.
X : Kok anaknya mau ya? Anak saya kayaknya susah deh mau
diatur cara begitu. (mulai nyari alesan)
Y : Udah terbiasa kali. Menerapkan disiplin memang agak
susah, terutama dari kita sebagai orang tua. Bahkan untuk hal-hal sepele
seperti masalah jajan. (bla..bla …bla,
lah pasti gak didengerin juga penjelasan panjang kali lebar)
X : Kalo saya sih susah, soalnya anaknya gitu..kalo gak
dikasih uang buat jajan pasti ngadat. Nangis. Pokoknya susah lah. (hehe mungkin lupa waktu kecilnya seperti gimana.
Atau jangan-jangan waktu kecilnya si Ibu ini kalo gak dituruti maunya, gak
masalah, tapi malah nyuci baju + piring dll)
X : Saya sih lebih susah kalo mikirin ntar mereka gede, mau
ini mau itu, tapi kita belum ngasih pembelajaran yang cukup baik. Kalo mereka
gak belajar meminta sesuatu dan membelanjakan uang, menyesuaikan antara kemampuan,
keinginan dan kebutuhan, ya gimana dong? Makanya dari kecil diajarin hal-hal
kecil seperti ini, Insya Allah mudah-mudahan terbawa sebagai kebiasaan baik saat
mereka besar nanti.
Y : Oo iya, betul juga ya. Tapi ah, susah kayaknya. Bagi Ibu
sih gampang. Anaknya nurut gitu.
X : Alhamdulillah. (tersenyum
agak kecut, agak kesel, agak manyun. Menghadapi orang yang meremehkan sesuatu
yang diraih orang lain, tapi untuk dirinya dia mencari seribu satu alasan demi
menutupi kemalasan. Mungkin yang diajak ngobrol belum tahu liku-liku perjuangan
mendisiplinkan anak. Fisik dan mental bo’! Tapi ya sudahlah, yang penting sudah
menyampaikan apa yang perlu disampaikan. Bukan menyampaikan apa yang ingin
mereka dengar)
*
X : Enak dong, begini… dan begitu…
Y : Alhamdulillah.
(berdasarkan dua
dialog di atas, bahwa penjelasan yang berarti tidak akan dipedulikan bahkan
mungkin hanya akan dipandang remeh.. ya ada baiknya menjawab komentar dengan
singkat, padat dan jelas saja. Daripada jadi mangkel malah rugi sendiri. Terkadang
, biarlah hal-hal yang ‘berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian’ tidak
terlihat bagi orang lain, biarlah orang berkomentar apa saja, biarlah mereka
menilai sendiri. Kalo ada bagusnya silakan diambil. Kalo ada jeleknya dibuang
saja. )
*)tulisan ini (hampir seluruhnya adalah dialog-dialog fiksi,
berdarkan fakta hihihii -halaaaahh) saya tulis sebagai pengingat atau dalam bahasa kerennya adalah r e m i n d e r untuk
diri saya pribadi dan keluarga, supaya tidak mudah takjub (gumunan), menaruh
prasangka, iri, dengki, dan ucapan yang merugikan. Mudahan-mudahan juga bisa
membentengi diri dari sifat ujub, riya, dan takabbur. Mudah-mudahan, amiin ya
Rabb.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar