Setelah dinyatakan sebagai
penderita Tuberkulosis, maka untuk beberapa bulan ke depan aku harus rutin
meminum OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Kombinasi antara INH (isoniazid),
rifampisin, etambuthol dan pyrazinamide. Bukan terlalu masalah jika aku harus
mengkonsumsi obat-obatan beberapa macam setiap hari. Tapi yang menjadi masalah
adalah setiap hari aku harus menghadapi kenyataan bahwa warna pipis menjadi
semerah darah. Hihihihihi… bukan pilem horror, tapi memang begitulah, efek
obat.
Berhubung ketidaktahuan dan
keterbatasan informasi yang kudapatkan, resep obat tuberkulosis/TB dari dokter kutebus
dengan harga mahal. Padahal aku membelinya di apotek yang terkenal dengan harga
yang paling murah di kota Bogor. Memang sih, obat yang diresepkan jenis obat
bermerk. Kalau tidak salah ingat, Rimactazid.
Belakangan aku baru tahu bahwa obat TB itu gratis, bisa didapatkan di puskesmas
dan klinik kampus. Oh maemunaaaahh… hihihi, nggak gaul nih yee.
Aku ingat untuk menebus resep
pertama kubayar pakai sisa uang bulanan dan tabungan yang nggak seberapa. Ah,
waktu itu kartu ASKES punyaku nggak laku, dan ketika kuurus malah dipingpong ke
sana kemari. Dan aku bukan dari keluarga berlebih (mau bilang kismin kok kurang pantas hehehe) yang uang segitu terasa
ringan. Sekitar 200-300 ribu untuk sekali tebus, untuk pemakaian sebulan. Sedangkan
uang bulananku saja paling 200 ribuan. Hmmm…terkadang memang kita harus melewati
masa-masa pahit sebelum masa-masa setelahnya berasa jauh lebih manis. Terkadang
kita harus mengalami masa sakit sebelum masa sehat terasa begitu nikmatnya. Dan
terkadang kita harus melewati masa patah hati sebelum cinta itu berasa indahnya.
Ihhhiiiiirrrr…..
Entah kenapa aku terlambat
mengetahui bahwa obat TB itu bisa gratis di klinik kampus dan puskesmas
terdekat. Ketika bulan terakhir aku konsultasi ke klinik kampus, aku sempat
ditegur dokternya. Intinya sih, kenapa aku nggak konfirmasi dulu ke klinik
kampus, sebelum menjalani pengobatan TB, kan obat TB gratis di situ.
Ya sudahlah, tapi aku nggak
menyesal, karena aku bisa berkenalan dengan dokter yang baik hati, yang
menggratiskan biaya konsul sekaligus juga memberi motivasi-motivasi. Sehingga
masa-masa pengobatan TB yang kujalani terasa banyak hikmahnya.
Dan alhamdulillah melewati sebulan
masa pengobatan aku dinyatakan lolos beasiswa ETOS Dompet Dhuafa dengan nilai
subsidi 250 ribu per bulan selama setahun. Pertolongan Allah begitu dekat. Aku
pun meyakinkan orang tua untuk tidak usah memberi uang saku tambahan. Biarlah
uang beasiswa yang dikorbankan hihihihi.
Ah,serasa nostalgia ketika tahun
kemarin aku harus menghadapi kenyataan bahwa anakku menderita limfadenitis TB.
Benjolan di leher yang kukira biasa ternyata oleh dokter yang memeriksa harus
ditindaklanjuti. Rontgen, tes darah dan tes FNAB. Kesimpulannya sih harus
terapi OAT selama 6 bulan. Syukurlah meskipun konsultasi dan biaya obat tidak
kami dapatkan gratis di puskesmas atau rumah sakit, tapi aku masih bisa mengandalkan
asuransi kesehatan dari kantor suami. Alhamdulillah,ujung-ujungnya gratis.
Tapi lain halnya dengan tetanggaku
di kampung, yang anaknya lebih dulu mendapatkan diagnosa dan pengobatan OAT. Dia mengeluhkan biaya obat
yang menurutnya lumayan mahal. Kubilang saat itu harusnya sih obat TB bisa
gratis di puskesmas atau rumah sakit pemerintah terdekat. Tapi entahlah,
mungkin keterbatasan informasi, keruwetan birokrasi, atau sebab lainnya.
Obat TB memang gratis, saudara!
Kalau nggak percaya coba tanya Pak Presiden atau wakil rakyat kita di DPR. Atau
di pusat-pusat informasi kesehatan. Googling aja.. Nah, yang jadi pertanyaan
sebenarnya kenapa hari gini masih ada yang tidak tahu kalau obat TB itu gratis?
Mungkin, penyebaran informasi
masih kurang merata, terutama di daerah-daerah yang akses rumah sakit/puskesmas
masih sangat terbatas. Coba seandainya sosialisasi informasi penyakit tuberkulosis dan
pengobatannya yang gratis itu bisa dilakukan gencar seperti gencarnya kampanye
caleg. Ahahahaa…Pasang poster, pembagian brosur, penyuluhan di sekolah atau balai
desa, kampanye di media-media sosial, dan
iklan di televisi. Mungkin perlu juga perekrutan relawan-relawan penyuluh TB di
daerah-daerah yang masih banyak ditemui kasus TB. Selain memberikan pengetahuan
tentang TB ke masyarakat, juga bisa jadi upaya memutus rantai penyebaran TB secara
preventif (pencegahan) dan kuratif (pengobatan).
Yang kedua, menurutku, perlunya distribusi
dan ketersediaan OAT di rumah sakit pemerintah dan puskesmas yang terpantau
baik. Lha iya lah, udah digembar-gemborkan gratis tapi kalau stok obat kosong,
jadinya sami mawon tetep saja beli. Lalu, jangan sampai ada penyalahgunaan obat
gratis, jangan sampai ada oknum yang memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat. Bisa
masuk delik aduan ke KPK nih. Hehehe..
Yang berikutnya, pentingnya
kepedulian kita semua terhadap penyakit TB. Jangan segan berobat ke dokter jika
ditemui gejala-gejala penyakit TB. Jangan minder jika kena penyakit TB. Jangan
putus semangat untuk terapi OAT. Percayalah, TB bisa disembuhkan.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Tulisan untuk serial #1 di sini
6 komentar:
tau keno TB juga tho mak? aku yo ho'oh ki. tur obate larang. ra ngerti nek ono sing gratis -___-!
ada kasus terkadang dokter juga tidak tegas menyarankan obat gratis, pengalamanku hehe. Harusnya gratis bro, wih jaman aku kuliah lumayan je menguras kantong #halaaahhh
Saya udh hampir 2 bln batuk berdarah dok.. dulu saya jg pernah muntah darah.. sy brobat ke puskesmas .. mkan obat 6 bln... stlh hmpir 2 thn kambuh lagi dok .. sya minta solusi ny dok ..
Saran saya dokter jg harus tegas menangani pasien tbc.. sya ke puskesmas padahal mereka sudah tau.. sakit saya berulang (muntah darah) kambuh.. tapi kenapa mereka meminta kembali hasil rongen yg baru... padaha sbelum ny mereka meminta tes dahak beserta darah yg baru keluar dari mulut saya.. .. di situ kan sdh ketahuan bahwa sya pasien kambuhan.. itu solusi ny gmn dok..
Saya udh hampir 2 bln batuk berdarah dok.. dulu saya jg pernah muntah darah.. sy brobat ke puskesmas .. mkan obat 6 bln... stlh hmpir 2 thn kambuh lagi dok .. sya minta solusi ny dok ..
Posting Komentar