Minggu, 11 November 2018

Sepasang Entah

--Permisi, pengen menggalau dan menggombal pagi-pagi, terinspirasi dari sepasang sandal selen yang membuatku merasa entah.

Sepasang Entah

Kita adalah sepasang resah yang saling bercerita
tentang jejak luka yang pernah tersematkan
di ujung jemari
dan lembar lukisan usang
tertancap di langit yang begitu jauhnya

Kita adalah sepasang angan yang pernah berdiri di sini
saling terdiam
tanpa sepatah kata
hanya kepak sayap kupu-kupu
yang hinggap dari mata ke ujung mata

Kita adalah sepasang sendu yang saling memaki
lalu getir menertawakan kupu-kupu 
yang begitu bodohnya 
meninggalkan kerlip mata kita
menembus tetes hujan yang begitu derasnya

Kita adalah sepasang kata yang  terkubur
dalam jutaan alfabet berserak
tak ada yang peduli
tak ada yang mengingat
hanya diam
hingga ombak mengantarnya ke muara
tanpa suara

Kita adalah sepasang bayangan yang bertukar sapa
bergumam jejak segala rupa
dalam hujan
dalam terik
dalam kerontang
dalam senyap

Dan kita adalah sepasang gamang yang tak pernah saling melupa
tentang lukisan
tentang angan
tentang kupu-kupu
tentang kata
tentang ombak

Entah atas nama apa
kita yang pernah saling melukai
lalu berdiri di sini
hanya untuk sama-sama saling menyakiti 
dalam resah
dalam diam
dalam sendu
dalam gamang
dalam luka
Entah.

-sorowako, dalam nopember yang belum rain.


Senin, 01 Oktober 2018

Melawan Ndredeg Pasca Gempa

Tahun 2005 saya merantau di Sulawesi, mengikut suami yang sudah duluan terdampar di pulau ini. Saat gempa besar yang melanda Donggala dan Palu kemarin, saya mendapat banyak pesan/komentar masuk, lewat WA atau facebook,  yang menanyakan kabar.

Alhamdulillah, posisi kami di Sorowako, agak jauh dari lokasi gempa sesungguhnya. Kabarnya yang bergerak adalah sesar Palu Koro. Sementara Sorowako dan sekitarnya ada di atas sesar Matano. Keduanya konon termasuk sesar aktif di Sulawesi. Getaran yang sangat kuat memang kami rasakan  waktu magrib tanggal 28 September lalu. Sangat kuat, dan saya sampai ndredeg (gemetar)  juga pusing. Dalam satu jam berulang-ulang dengan intensitas semakin melemah.  

Sambil menunggu dan waspada, juga menenangkan ke-ndredeg-an, saya sempat mengapdet status dan mengabarkan di WA atau facebook.   Saya menghubungi orangtua, menjawab pertanyaan dari saudara, kerabat, teman lama, juga teman baru. Sambil mantengin berita televisi, menunggui anak-anak, juga mengobrol di medsos. 

Saya sadar, ternyata banyak yang perhatian. Ehhmm. 😉  Kirain teman-teman nggak inget gitu sama akyu yang merantau sekian lama di Sulawesi. Teman-teman lama di grup WA maupun di facebook, juga teman-teman di dunia maya yang bahkan kami belum pernah bakudapa' alias bertemu muka ikut bertanya kabar dan mendoakan. Termasuk cah kono, cah kene, juga cah kae.  Mamaciiwww yaahh kakak kakak semuwaaa... 😘 Ailapyu pokokmen. 

Terkhusus untuk teman-teman lamaku di grup SMP, kalian kok ya perhatian gitu. Torang basudara. Kirain akutu cuman jadi pemanis belaka 😂 Ehhhh... 

Ternyata sedari sore bahkan sudah ada yang nanyain kabar gempa (yang waktu itu belum terasa kuat goncangannya sampai Sorowako), ada yang nawarin jamu patpoo tjap jaran buat obat kaget dan ndredeg, ada yang berbagi lagu serpihan masa lalu buat ngilangin ndredeg, ada yang berbagi makanan meski pun hanya dalam bentuk gambar, dan banyak juga yang mendoakan. Meskipun akhirnya malam itu begadang, ndredeg saya ilang. Tapi tetap sih sedih dan ngeri ngliat berita gempa dan tsunami lewat televisi. Mari kita doakan dan support bersama. Untuk Donggala,  untuk Palu, untuk Indonesia. 

Oya, ini adalah gambar pertolo. Kadang disebut juga petulo, pertulo,  petolo, putu mayang dan sebagainya. Jajan pasar ini adalah klangenan saya. Selalu saya cari saat mudik. Dari dulu, sering saya apdet ceritanya lewat pesbuk. 

Di Lasem,  kutambatkan cintaku pada pertolo karena cintaku kutemukan di tempat lain. 😂Eaaaa.. raup sik, Mbaaakkk!  

Gambar pertolo ini saya pungutin di grup WA kawan SMP.  Dengan penuh perasaan dan nostalgia. Mirip saat saya memunguti serpihan dan kenangan masa lalu saat mendengarkan lagu-lagu lawas tahun 90-an. Halaahhh, mbel...Mbakkkk!😪

Hei, kamu yang ikutan baper.. raup dulu sana! 😂

*foto bersumber dari grup WA yang judulnya Ritula 95 😊😊


Rabu, 26 September 2018

Untukmu yang Merasa



Jikalau kamu merasa hidupmu sangat sibuk 
sehingga kamu sibuk menunjukkan pada dunia tentang kesibukanmu
mungkin kamu hanya perlu 
untuk lebih sibuk lagi
pada apa-apa yang kauanggap sebuah kesibukan itu

Jikalau kamu merasa keheninganmu 
adalah sesuatu yang membuatmu merasa antara ada dan tiada
bagi apa yang sudah kamu jadikan ada
maka keramaian akan mencarimu
hingga ia bosan dan lelah
lalu membiarkanmu untuk lebih baik 
menghilang dalam hening

Jikalau kamu sadar bahwa keberadaanmu
membuatnya merasa berada
pada sisi yang benar-benar ada
maka janganlah kamu mengada-adakan
sebuah ketiadaan 
hanya untuk membuatnya
merasa hampa dan tiada

--loph, pisss, jongkong, dan pertolo

Senin, 24 September 2018

Membuat Tempe Setipis Kartu ATM



Izinkan aku nulis yang rada menyerempet isu kekinian. Eh, kekinian atau udah agak ketinggalan ini yak? 😅 
Tentang tempe. Yang berbahan baku kedelai.

Menurutku,  juara tempe terenak masih dipegang oleh tempe yang sedari kecil memanjakan lidahku. Iya, tempe made in Lasem yang bungkus godhong (daun) jati. Tempenya kecil-kecil, kalau mau goreng ndak usah repot memotongnya. Harganya mungkin masih lima ratusan rupiah. Mau diapakan juga enak. Dimakan mentah-mentah aku pun doyan. Mbaaakk, doyan atau nganu sih. 😂

Yang istimewa dari kemasan tempe kecil adalah rasa jamurnya yang khas. Dan karena model kemasannya, jelas jamurnya jadi lebih banyak. Beneran banyak, meski nggak sebanyak serpihan kenanganmu saat dengerin lagu Sheila On Seven.  Ya kaaan? Ehemmm. 

Iseng aku nyoba nih, bikin tempe kemasan kecil. Yang mirip tempe mendoan gitu. Harapannya sih bisa setipis kartu ATM. Kartunya baaaaang, bukan isinya doong. Ya, kan? 

Jadi aku beli tempe bakal (tempe yang jamurnya belum nampak berkembang) di pasar. Harga dan ukuran masih sama ya gessss seperti sebelum rame-ramenya isu belanja-seratus-ribu-dapat-apa. Sebungkus harganya lima ribu. Rupiah. Bukan dolar atau euro. 

Sampai rumah aku bergegas nyari daun di halaman belakang. Tebas-tebas dapat beberapa lembar daun pisang. Jemur bentar biar agak layu. Mau dipanggang di atas api kompor, lha kompornya jenis kompor listrik yang ndak ada apinya gitu gessss. Nggak mashooook kata Pak Eko. 

Kemasan tempe bakalan harga lima ribu itu kubongkar. Butiran kedelai kutata di atas selembar daun kecil. Terus ditutup daun atasnya. Taruh lagi butiran kedelai hingga rata, terus tutup lagi dengan lembaran daun. Begitu seterusnya. 

Begitu-seterusnya bagiku itu cuman tiga ya gesss. Tiga kali menata butiran debu.. Eh kedelai.  Pegel wkwkwkwkwk. Jebul nggak segampang seperti yang dibayangkan. Kudu telaten ngono, gesss. 

Nampan wadah tempe yang kuharap bisa kayak tempe mendoan itu kusimpan dengan seksama. Butuh waktu  semalam untuk melihat jamurnya bekerja maksimal. 

Besoknya gesssss.... akhirnya jadi juga. 
Meski masih jauh dari harapan. 
Harapannya bisa setipis kartu ATM. Atau kalau memungkinkan bisa setipis ingatanmu kepada mantan.  Eaaaaa.... Jeru mbaakk, jeruuuuu... 

Namun, apa daya. Fakta berbicara lain. 

Tempe mendoanku hanya setipis tiga kartu BPJS. Tigaaaa!!  Atau bisa jadi lebih tebal. 
😁😁

Recehan yang Boleh Kamu Kesampingkan



Sesekali nulis yang rada serius. Tapi panjang. Yang nggak kuwat skip aja gaesss.  
Boleh kan, gaesss? 

Jadi sudah beberapa lama saya itu ndak nyetatus kekinian.  Entah sudah berapa berita politik saya lewatkan untuk saya statuskan. Entah sudah berapa kehebohan warga netijen saya lewatkan begitu saja tanpa status yang cetar. 

Toh, hidup saya baik-baik saja. 
Aman malahan. Saya ndak perlu baku komentar saling ngotot yang ujung-ujungnya keberpihakan politik. Kabar walikota di dekat ibukota sana yang ketangkap KPK kalo saya statuskan bisa sampai level nyinyir nomer suwidak rolas. Demi membalas kenyinyiran pendukungnya yang saban hari lewat  di linimasa.  Kabar anggota DPRD di suatu kota di Jawa Timur yang tersisa beberapa orang saja kalo distatuskan bisa pedes juga. Mau bikin status tandingan buat para pemain tagar-tagaran ah  malas juga.  Meski ada bahan.

Sakarep-karepnya situ aja, lah. Saya mendingan milih tetap waras di hingar bingar jagad persosmedan. Apalagi di tahun politik kayak begini. 

Saya memilih untuk bersikap layaknya netijen retjeh. Karena saya tahu diri. Itu. 
Meski dengan begitu saya dicap tidak menjadi pembela golongannya sendiri. Atau justru saya dicap masuk dalam barisan musuh. Ngggg... Ini ngomongin sosmed sih ya, bukan ngomongin perang-perangan. 🙄🙄

Whatever, lah. Saya kira sudut pandang setiap orang nggak bisa digebyah uyah, disamaratakan begitu saja. Ya sudut pandang, ya pemikiran, ya pertimbangan, dan segala sesuatunya. 

Sama halnya begini. Saya pikir kamu menghinakan diri dengan rajin menyebar hoaks demi dukungan politik, tapi di sisi lain kamu menganggap dirimu sedang berjuang di jalan suci. Yang tidak sependapat kamu anggap tidak mendapat hidayah dan lagi tersesat jalannya. ---tiba-tiba aku pengen raup 😑😑😑

Daaaaaannn begitu pun sebaliknya. Jika kamu menganggap saya hanya menyebar yang ndak jelas ndak jelas, yang gak penting gak penting, yang ndak bermanfaat ndak bermanfaat, yang receh receh, yang embuh embuh, ketahuilah.... bahwa emang benar begitu adanya. 😁😁

Lhaaaa tapinya...
Ini ada tapinya. Nggak semua orang punya kesukaan dan kecenderungan seperti yang kamu punya. 

Ada orang-orang yang akan mumet setiap buka pesbuk langsung mak tratap ketemu statusmu yang selalu berat mbahas isu kekinian dengan tendensi politik yang sangar. Buka grup wasap ketemu lagi postinganmu yang nyrempet politik. Itu lagi itu lagi. Selalu dan always. 

Bayangkan jika yang model begitu adalah lima dari lima belas temannya. Atau  sebelas dari sepuluh temannya.  Bisa dipastikan dia segera tutup akun atau left grup WA.

*

Saya pernah jadi aktivis waktu kuliah. Di BEM Fakultas. Juga pernah bersinggungan di kegiatan politik partai tertentu yang tidak perlu saya sebutkan namanya yang sekarang namanya lebih panjang dari pada namanya waktu pertama tayang. 

Jadi kalau saya lewat di temlen dengan status yang agak-agak nyangkem tentang politik,  itu kadang artinya ya.. mungkin saya lagi kurang bahan untuk ngecipris. Atau level kenyinyiran saya lagi naik beberapa derajat. 😅😅

Saya juga pernah mengalami masa sulit, di mana saya merasa down dan terlalu fokus pada hidup saya sendiri. Ambyar pokokmen rasanya waktu itu. Dan di saat itu lagu-lagu dari seseband bernama PADI yang setia menemani dan menginspirasi.  😁 Bukan nasehat-nasehat berbobot berat, bukan support dari kawan yang pernah satu perjuangan... Halaaahh. 

Cuman lagu.  Iya lagu.  
Eehh.. Selain itu juga puisi-puisi Lukman A. Sya yang sering muncul di kolom sastra koran Republika setiap minggu. Dari situ saya seperti mendapat inspirasi hidup.  Saya belajar berdamai dengan diri saya sendiri. Berdamai dengan hidup.  Belajar mengisi waktu dengan hobi dan kesenangan buat diri sendiri. Pokokmen ngono. 

Bagi sebagian orang,  lagu hanya sekadar lagu. Puisi sekedar puisi. Tapi pada saat tertentu ada orang yang menganggap hal-hal sekedar itu adalah hal berharga. 
Demikian juga, apa yang dianggap orang sebagai recehan yang pantas dikesampingkan bisa jadi adalah hal yang sayang untuk dilewatkan bagi sebagian [kecil] yang lain. 

Saya pernah baca status seseorang, yang pernah dapat pengakuan dari orang yang selalu membaca statusnya, meski tanpa menjempoli atau komen. Followernya itu adalah seorang survivor kanker. Membaca status seseorang itu adalah hiburan baginya. Menemaninya untuk sekadar melupakan rasa sakitnya. 

See, bahkan kadang seseorang tidak pernah tahu bahwa ada orang-orang yang bisa jadi terinspirasi dengan postingannya di media sosial. Mungkin ada orang yang dalam sunyinya menanggung beban hidup, tapi ada postingan yang bisa menemaninya untuk sekadar tersenyum atau sesaat melupakan getir hidupnya. 

Bahkan saya yakin sekali, itu grup band Padi tidak pernah tahu bahwa di suatu masa ada seseembak yang jelita (lariiiii... takut dibalang netijen 😆). --ralat lah, seseembak yang jelata -- yang merasa ditemani lagu-lagunya. Tetaplah menjadi bintang di langit, mbak.  Apapun yang terjadi. 😄

Seseembak yang dulu pernah ngaku dirinya sobatpadi sekarang telah bermetamorfosis menjadi seseemak dengan label sobatgabah.  Dan balamejikom tentunya. 
Lalu dia ngaku sebagai netijen receh di gegap gempita sosmed. Kadang nyetatus yang embuh-embuh, yang ndak jelas ndak jelas,  yang entah... Entah menginspirasi atau malah bikin eneg. 😅

Entah dia itu siapa.

Marimar Ulang Tahun


Ceritanya Marimar ulang tahun. Kagak ada perayaan atau heboh-hebohan. Entah kenapa H-1 nggak ada tanda-tanda orang serumah inget kalo besoknya Marimar ulang tahun. Iseng Marimar wasap Sergio, yang kebetulan lagi di Jekardah.

"Sesuk tanggal piro, Mas?"

"xx" Datar tanpa emoticon apapun. 

"Sesuk iki tanggal lairku." 

"Oiya..poho aing."

"Tukokke kado yo, nek sisan ngemol. Hotele kan ning duwure emol."

"Kado naon? Bunga?"

"Liyane lah."

"Baju?"

"Ojo..palingan ra iso milih sing cocok."

"Naon atuh?"

"Pokoke kado."

"Meuli we di shopee."

"Yaelaaahh..."

Hahahaha Sergio tahu kalo Marimar sejenis onlenshopper. Akun Sergio penuh dengan pesan dan notifikasi belanjaan emak-emak.

Yaaahh daripada nglangut, Marimar bikin kado buat dirinya sendiri.
Dari mulai menentukan model (nyontek dari buku), menerawang caranya, motong, njahit...akhirnya jadi setelah hampir satu purnama. Alias hampir satu bulan! We o we khaaann?

Marimar senang.
Akhirnya punya tas idaman.
Meski proses membuatnya cukup ngos-ngosan.
Lumayan jadi bekal untuk ngumpulin recehan.
Bukan begitu, Sergio?

Sergiooooo...jawab akuuh.

Bukan Dilan


Bayangkan, malemnya nonton Dilan..trus paginya kamu dapat kiriman foto gerbang sekolahanmu yang dulu. Kalo Dilan 92 waktu SMA, sementara yang ini gerbang sekolah saya tahun 1992-1995. Yaaa, berarti masih lebih muda daripada Milea. Waktu Milea SMA, saya masih duduk di bangku SMP. Tapi tetep ya, bisa dibilang angkatan tuwa, dilut engkas kepala empat umurnya. Oke, kamu ndakpapa kan? Fain.

Jadi begini,
Saat saya ngeliat foto aslinya ini, yang dijepret kawan lama, saya agak deja vu rasanya. Seperti perasaan yang entah, saat saya mengeditnya dengan aplikasi snap seed kebanggaan saya. Iya, entah. Trus agak baper. Asemik, kok gini amat yak...dikit dikit baper. Baper kok dikit-dikit. 

Kamu, yang angkatan tuwa kayak saya, pernah nonton Dilan kan? Mirip kayak gitu rasanya. 
Ada lucu-lucunya, ada gemes-gemesnya, ada romantisnya, ada jengkelnya, ...hahaha.

Rasa deja vu itu menurut saya seperti begini : mendadak kamu mengecil, menyusut, lalu terlempar jauh ke masa lalu. Trus bingung sendiri, karena banyak hal yang kamu lupa. Oke, untuk ingatan yang sedikit payah kamu butuh kawan-kawan lama yang bisa berbagi cerita dan mengorek ingatan lamamu. Kalau kamu masih tak ingat dan kebingungan sendiri, perasaan deja vu itu bisa jadi menghantuimu tanpa kamu tahu apa penyebabnya. Kamu terlempar begitu saja, tapi bingung tentang apa, mengapa, dan bagaimananya. Ngilu jadinya. Seperti decitan hamparan gelagah alang-alang disapu angin. Eaaaaa. Namun jika kamu menemukan frekuensi yang tepat, kamu bisa ingat secuil masa lalu itu. Palingan seru-seruan dan baper-baperan aja, kan. Sampe sini paham?

Nah, sebenarnya setiap mudik Lasem, saya berkali-kali lewat gerbang sekolahan itu. Tapi belum pernah sekali pun saya foto. Cuman nunjukin ke anak dan suami, ini lho sekolahan saya waktu SMP. 
Saya rasa gerbang ini tak hanya bersejarah bagi saya, tapi bagi banyak orang. Dan banyak itu uakeh. Akeh sak emboh ngunu lak an.

Bagi saya, gerbang itu pernah jadi saksi diri ini datang dan pergi ke sekolah, menuntut ilmu, bersenang - senang, merajut kisah demi masa depan, mengalami romantika anak yang beranjak remaja, daaaaaan banyak lagi.

Dulu saya pulang pergi sekolah naik sepeda. Warna biru. Mengayuh sepeda sejauh beberapa km dari rumah. Oya rumah saya yang madep ngidul itu ya. 😋 Waktu itu jalanan pantura Lasem belum terlalu padat kendaraan bermotor, namun sudah beraroma TLQJRN yang klasik itu. Itu lho sisa emisi kendaraan yang kita sebut dokar. Hahaha. 

Parkiran sepeda di sekolah selalu penuh, lha belum musim motor dan antar jemput mobil je. Jadi kalau kesiangan, kami agak susah memposisikan sepeda supaya bisa parkir bener. Nah kalau datangnya kepagian, parkirnya gampang tapi susah mengeluarkan sepeda dari parkiran pas jam pulang. Trus kalau satu sepeda roboh, deretan sepeda sebelahnya bisa ikutan roboh kayak deretan susunan kartu. Bruuukk.. 

Karena belum jamannya hape dan sosmedan, jadi kadang pesan-pesan masuk terselubung bisa mak bedunduk ditemui di boncengan sepeda. Ada pula yang modus minta tumpangan/boncengan buat pedekate. Atau bahkan ada yang terang-terangan tiap hari nyegatin sebelum keluar gerbang. Bukan kamu, tapi cah kae. 😁

Lumayan menyenangkan ya, masa-masa SMP. Banyak lucu-lucunya. Meski kadang ada sedikit kekacauan dan yang embuh embuh gitu. Tapi asik. 

Meski ndak ada kisah DilanMilea-ku saat itu, tapi tetap ada lah ya sedikit kisah roman picisannya. Tapi ndak akan kuceritakan padamu. Cukup aku wae. Trus tiba-tiba pengen rikwes lagu galau. Hahahaha. Hasembuh.

Senin, 20 Agustus 2018

Waspadalah Saat Kamu Lapar

Waspadalah saat kamu lapar.

Haeeee gaess,

Kamu, cah kae, aku dewe, cah kono, cah kene...
Pernah merasa laper sangad? Kelaperan ampe kamu nggak bisa fokus dan nganu. Nganu pokokmen.

Ini gegara ada temen (anggep aja begitu 😁) nyetatus tentang efek lapernya. Emak-emak laper lagi nyetir di jalanan Bandung, sampai dia teriak-teriak ngatur polisi yang lagi ngatur lalu lintas di tengah kemacetan. Kebayang kan polisinya ampe menatapnya penuh sambat tiada tara.

Wooww. Hahaha. Ngapain ada Ratna Sarumpaet di mari, mungkin begitu di pikirannya 😎

Aku sih belum pernah kayak gitu. Apalagi kalo pas nyetir. Lha misale lihat pak polisinya nampak ganteng dan sholeh lagi ngatur lalu lintas, masa kudu macak ala kucing gelud gitu? Iki ming misale lho yaaa... Umpamanya. Selaper-lapernya kalo aku laper ya tetep macak solehah. ---ini dalam konteks perandaian dan cita-cita.  Ming macak, mungkin. Bener solehah atau ndaknya mungkin bisa dilihat dari timbangan.....ye kan? Timbangan amal perbuwatan. Otewe sholihah lah yaa..amiin.
Atau macak syantik. Atau macak Atiqah Hasiholan. 😁

Lalu aku urun komen. Cerita nggedabrus macem aku kalo lagi kenyang. Macam kamu kalo lagi nggombal, eaaa... 

Tadinya aku pikir, aku nggak punya cerita tentang kelaperan yang konyol. Aku ingat-ingat seperti yang biasa aku lakukan saat sadar bahwa ingatanku cukup payah.

Woiyaaaa aku pernah... Suwaad itu pagi. Pagi itu sebelum siang, yes 

Aku kudu bergegas bikin sarapan. Aku sendiri lapar, karena malamnya makanku cuman dikit. Yaaahh...demi BB yang katanya mendekati solehah itu. Naahh, kalo pagi itu menu paling ideal buat emak rempong beranak tiga adalah nasi goreng. Ya kan? Nasinya yang udah ada di mejikom sedari malam. Kamu gak perlu ngajarin aku untuk bikin nasi goreng. Srang sreng srang sreg pake bumbu instan juga jadilah. Naahh anakku kan sukanya pake kecap. Nyari kecap di laci-laci dapur jebul raib. 

Trus aku nyari di meja makan. Jebulnya ada. Basa basi dikit sama pak suami yang lagi ngopi dan nonton tipi. Mbahas berita di tipi. Sedikit rasan-rasan kembelgedezan huru hara politik.  Wis ngeciprisnya, aku ke dapur lagi nerusin bikin nasgor. Srang sreng srang sreng... Yaaakkk tuaaang kecapnya...seerrrr...dalam gerakan memutar ala chef di tipi. 

Eh lha kok. Ini kecap apaaa??? Kok putih? Keluaran terbaru? Emang ada?!
Haee, aku bertanya padamu wahai nasi goreng dalam wajan maspion di atas kompor tjap Frigidaire!!
Ee lhadalah...jebul eskaem. Alias kental manis, dalam wadah plastik yang mirip dengan wadah kecap. 

Lututku langsung lemes. Laperku ilang. Jadi emosi dan embuh banget. 😑😑😑
Dan kamu jangan tanya kenapa begitu. Pokoknya jangan.

---curhatan emak rempong yang kadang embuh, kadang hasembuh, kadang....

Perempuan Emang Baper

Hari ini aku mulai dengan baper. Sangat.
Bukan tentang kamu, atau cah kae. Atau cah kono sing omahe sebelah kene. 

Bukan. Ini tentang aku dewe.

Aku teringat sesuatu yang hampir aku lupakan rasanya, tapi tiba-tiba teringat lagi. Harusnya aku sudah lupakan, atau setidaknya jangan pernah ingat kembali. Tapi yaa kadang ada pemicu yang seperti sekop menggali-gali apa yang sudah terkubur dalam.

Aku pernah di suatu masa memilih untuk resign dari sebuah pekerjaan yang aku impikan sejak lama. Yang aku idamkan dengan sangat. Pekerjaan atau kalo boleh dibilang karir, yang baru aku rintis di awalnya. Resign begitu saja. 
Itu terjadi sesaat setelah menikah. Suatu keputusan yang kuambil sendiri dengan sadar tanpa paksaan. Dan mungkin saat itu tidak terpikirkan olehku semua konsekuensi dan hal-hal yang menjadi resikonya setelah itu. 

Ini tentang aku dewe. Emak-emak yang tidak punya pekerjaan atau karir, alias pengangguran. Aku yang dulu pernah dan sering di-underestimate orang hanya karena pengangguran. Yang dulu sering ambyar atine saat mendapati ternyata wanita karir lebih dipandang secara sosial dan ekonomi, juga dengan derajat permakluman yang tinggi. Yang sering merasa nganu kalo orang membanding-bandingkan aku dengan si anu dan anu yang nampak punya pekerjaan. Aku yang sering bingung mengisi kolom "pekerjaan" di formulir segala macam. 

Ini tentang aku dewe. Bukan kamu, cah kae, atau cah kene sing omahe kono.  Aku dulu pernah minder saat bertemu kawan lama, hanya gara-gara pertanyaan, "Kamu kerja di mana?" Aku dulu juga sering baper hanya karena anggapan bahwa istri tidak bekerja hanya menghabiskan gaji suami. Seburuk itu kah?

Sekarang sih aku sudah pede. Saat kawan lama menghubungi, menanyakan kabar, serta pekerjaan sekarang aku akan me njawab santai, "Aku nggak kerja. Aku pengangguran. Kerja nggak kerja tetep minta gajian."

Kalau ada pertakonan kenapa aku nggak kerja bla bla bla, aku juga sudah punya jawaban tanpa aku harus ikut-ikutan mempertanyakan keputusan wanita tetep bekerja atau berkarir. Yaaa...itu perlu proses. Perlu pembuktian, juga konsistensi dari apa yang sudah disepakati. Butuh bertahun-tahun sampai aku bisa merenungi hidup dan makna hidup sawang sinawang, juga perjalanan hidup masing-masing orang yang tidak bisa dihajarblehkan begitu saja. Lantas aku menjadi bijak? Tidak juga. Buktinya aku masih baper, kadang-kadang.

Memang sih, keputusan tidak bekerja itu kuambil sendiri, tentu saja dengan persetujuan suami. Ah, aku merasa sempurna berada di sisinya. (Gajian masih lama, Maaakk...gombalnya ntar aja 😁😁). Kami mengawali biduk rumah tangga dengan seadanya. Dia yang mengurus semuanya, aku kebagian bapernya. Hahaha. Ya memang begitu sih ya. 

Perempuan tercipta istimewa untuk menyimpan goresan-goresan luka sepanjang hidupnya. Sebagian termaafkan, sebagian terkubur dalam, sebagian menjadi trauma. 

Itulah bedanya dengan laki-laki, Mz.

Jadi kalo hari ini aku baper, ya itu cuman baper saja. Tak ada yang berubah dari sikap dan keputusanku serta kesepakatan bersama hanya gara-gara kebaperan ini.  

Mungkin aku hanya perlu diajak traveling, shopping, atau ke salon. 

*catatan 13 tahun pernikahan, yang kami sering lupa tanggalnya itu

Selasa, 07 Agustus 2018

Jogging di Area Jogging Track Sorowako

Sorowako.

Kata orang daerah ini semacam sekeping surga yang jatuh ke bumi. Hmm..kalo gitu aku adalah salah satu bidadarinya dong. Eh.. Lhooo, kamu ya ndak usah protes dulu. Aku tuh biasa nulis yang ada fiksi-fiksinya gitu, jadi mohon jangan terlalu percaya begitu saja. Sabar dulu....

Lagian mana ada bidadari jogging di sepanjang jogging track, ye kan? 

Jadi jogging track itu terbentang dari depan Bandara Sorowako ke area perumahan Salonsa, di tepian pantai kupu-kupu. Saat pagi dan sore biasanya ramai orang yang lagi berjogging ria di sepanjang jalur itu.

Disuguhi pemandangan pegunungan yang hijau, juga deretan perumahan yang tertata tapi, sepertinya rasa bosan dan lelah enggan mendekat.

Dari depan bandara, pegunungan Verbeek terpampang nyata, juga sebagian area penambangan nikel di kejauhan. Lalu melewati perkantoran GFS PT Vale, yang tepat di sisi jogging track depannya tersedia peralatan gym sekedarnya. Lumayan lah yaaa...

Terus lanjut melewati nursery PT Vale yang full hijau-hijauan itu. Di dalamnya ya ada nursery, sekelompok rusa, dan Mining Park. Ada beberapa kendaraan/truk tambang yang guede guede yang bisa dikunjungi dan dinaiki tentunya.

Selanjutnya melewati lapangan golf. Trus bumi perkemahan, sebelum sampai di portal Pontada. Di Bumper ini biasa ada beberapa sapi nongkrong. Main catur. Ya enggak laaahh... Jelas mereka sedang mencari makan.


Dari depan bumper mulai terlihat portal Pontada. Di sebelah pos sekuriti portal itu ada kennel anjing K9 yang ada tulisannya caution dilarang mendekat. Haeee, kalian yang bernama caution ingat ini yaaa... 😂😂
Dan setiap anjing K9 itu menyalak, bikin aku rada bergidik. 

Mengingatkanku akan sesuatu.
Sesuatu yang....nggg...nganu, sik nganu yang apa ya?
Belum sempat mengingat-ingat, tiba-tiba kakiku menginjak sesuatu yang lengket dan lembek. 

Duuhh, pas kulihat kok...ya rada menjijikkan.

Naaahh, sampe sini kamu boleh protes. Mana ada bidadari nginjak tahi sapi?
Kan begitu.



Kamis, 02 Agustus 2018

Dear Aku Dewe

Dear aku dewe,

Entah kenapa ingatanku melayang ke kejadian 20-an tahun silam. Saat aku kelas satu SMA itu. Waktu itu jam sekolah.  Aku berada di lokasi yang rame dengan anak-anak sekolah, menunggu angkutan berikutnya. Di depan terminal Lasem. 

Tiba-tiba aku melihat sekelompok anak laki-laki. Hampir semuanya kukenal sehingga aku tidak berpikir buruk sedikit pun. Mereka mendekat sambil tertawa-tawa. Aku diam saja karena tidak hendak juga berurusan pada mereka. Tanpa diduga salah satu anak laki-laki mendekatiku dan mencubit kedua pipiku keras-keras. Kejadian itu sangat cepat, dan aku tidak berada pada posisi untuk bisa melawan atau menghindar.
Sambil tertawa-tawa mereka pergi dengan tergesa. 

Aku shocked tanpa mampu berbuat apa-apa. Aku mengenali pelaku, juga  dua tiga orang dalam rombongannya.
Salah satunya sangat aku kenal. But he did nothing! Entah. Mungkin dia terlalu pengecut untuk sekedar membela dan melindungi kawan perempuannya. Atau dia justru mendukung pelecehan itu. 
Bagaimana bisa kalian lakukan hal memalukan ini? Bagaimana bisa...

Dear aku dewe,

Kuingat aku pulang ke rumah dengan perasaan yang kacau balau. Tanpa tahu harus mengadu pada siapa. Malu. Hanya tangisan yang kutumpahkan sejadi-jadinya. Hingga besoknya aku agak takut untuk bertemu dunia. Takut, dan merasa ....kotor. 

Rasa marah, sakit, sedih, kecewa, malu yang jadi satu adalah trauma yang sulit sekali beranjak dari pikiran. Bahkan butuh waktu lama untuk sekedar melupakan rasa sakit di pipi. Belum rasa sakit di hati dan perasaan. Tapi sejak itu aku belajar mengenali orang. Juga belajar untuk memilih milih kawan.

Bahkan untuk kawan perempuan. Berapa banyak kutemui, sesama perempuan bahkan tidak bisa sekedar bersimpati pada kaumnya sendiri. Kadang malah terkesan menyalahkan korban pelecehan. Bagaimana bisa, terbuat dari apakah hati kalian? Apakah satu persamaan sebagai perempuan tidak cukup untuk bisa merasakan rasa sakit akibat dilecehkan?

Dear aku dewe,

Kini rasa dan ingatan tentang itu sudah beranjak pergi.
Kudengar dari kabar berembus, pelaku itu (bahkan aku enggan sekali menyebut namanya) hidup memprihatinkan dari balik jeruji. 

Pelaku pelecehan, akan cenderung berulang. Dan yang jelas sikap melecehkan yang sudah berurat akar itu sulit sekali hilang. Bahkan akan terus berulang. Dan berulang. Sayang sekali. Tidak peduli pada kondisi dan situasi. 

Dear aku dewe,

Entah aku punya kekuatan apa menuliskan ini. Setidaknya aku berbagi kisah ini. Bagi yang memandang aku lebay atau mendramatisir kejadian, percayalah tak ada perempuan yang tidak ingin diperlakukan baik dan hormat. Jangankan fisik, pelecehan verbal pun bisa menyakitkanmu, bukan? Dan semoga kalian bisa sedikit bersimpati pada korban-korban pelecehan dan yang sedang me-recovery mental akibat trauma pelecehan.
Trauma itu berat, kawan.

Selasa, 31 Juli 2018

Menertawakan Masa Lalu



Bertemu kembali dengan kawan-kawan lama, membuka memori saya di masa lalu.
Oke, untuk short-term memory saya akui saya agak payah. Bahkan kadang antara yang saya pikir, saya lihat, dan saya lakukan tidak seiring sejalan. Misal gini. Beberapa kali kejadian saya pakai sandal selen. Satu jepit, satu selop. Satu sandal sendiri, satu sandal tetangga. Sik, iki sakjane disorientasi atau hobi yak. Bayangin tetangga saya sibuk nyari sandalnya. Jebulnya ketemu di dekat tangga rumah saya. Lalu kami ngakak bersama. 
Di situ saya sadar tentang keembuhan saya. Ncen owk!

Nah, untuk long term memory...rada mendingan lah. Detail peristiwa di jaman rikiplik kadang saya masih ingat. Kenapa? Ya karena berkesan. Entah kesan negatif, atau positif. Kesan bagus atau buruk. Kesan bahagia atau sedih. Kesan lucu atau wagu. 

Yaaa...namanya hidup kan yak, masa gitu gitu doang. Iya nggak sih? Hidup itu memang semestinya berwarna. Yoiiihh....

Meskipun ada masa di mana saya seperti lupa segalanya. Hingga saya menemukan kembali kepingan - kepingan cerita lama. De javu yang menyiksa...memaksa saya mengingat banyak hal.

Ngemeng-ngemeng, mengingat masa lalu itu enaknya inget yang bagus-bagus yak. Etapi enggak juga ding. Saat saya pernah dapat IP satu koma, trus lantas inget bahwasanya saya dulu lulusan terbaik waktu SMP dan SMA, saya kok malah merana. Hahaha. Sing bener piye leh?

Kenangan masa lalu yang pait atau yang kurang bagus, sebenarnya nggak enak juga kalo diingat.  
Tapiiii...
There's nothing on your bad memory you should take, but the lesson. Pait-pait sedep gitu deehhh. Kayak kamu...eh jamu. Jamu pait kan, tapi bisa bikin badanmu bugar. Katanya. 

Well, kata Patrick, "Berhentilah hidup di masa lalu, karena itu hanya akan menyakitimu."

Bener juga. Jangan sampai kita terjebak dalam masa lalu, baik masa lalu diri kita sendiri atau masa lalu orang lain. Duh, Maakk... Kenapa bisa terjebak dalam masa lalu orang lain? 

Nggg...nganu, bisa jadi karena kita merasa menjadi bagian dari masa lalu orang lain, lalu kita selalu mengungkit-ungkit dan tidak beranjak dari itu. 

Wooiii...orang lain dah pada ke mana, bisa-bisanya menyiksa diri seperti itu. Atau bahkan kita selalu membicarakan masa lalu kita, ngunu ngunu tok terus....padahal sebagian orang dah lupa. Belum tentu sosok kita itu melekat di ingatan semua orang,  jadi kalau ketemu teman lama ndak perlu kita bangga-banggain apa yang telah berlalu, di jaman rikiplik itu. 
Sesuatu yang didiamkan dalam jangka waktu lama, kadang bisa disebut klasik...tapi kadang juga disebut basi atau jamuran. Kan yo ngono leh? 

Mengenang masa lalu tentu boleh lah yaaa... Siapa yang larang? Sini laporin ke saya, wkwkwkwk.
Seperlunya. Sekedarnya. Okesip.

Jarene Spongebob, "You will never know the true value of moment until it becomes a memory."

Naahh, gitu kan. Emang kadang mengenang masa lalu itu manis kok. Tapi jangan kebanyakan, nanti diabetes. Eh..
Trus, pernah nggak menertawakan masa lalu?

Yang lucu, yaaa...dah biasa kalo kita ketawain.
Yang manis, yaaa mengenang sambil senyum.
Yang lucu, ya ketawalah.
Yang pait, yaa...nangis?
Kayaknya sih, salah satu tanda orang udah bisa move on itu adalah dia bisa menertawakan masa lalunya, yang pait sekali pun. Atau yang campur aduk, antara manis, pait, lucu, sedih dll.

Plong kan, kalo kita dah bisa menertawakannya? Dengan perasaan yang kembali normal adanya.
Let's see our future.
Yakin aja deh, setiap episode kehidupan  mengantarkan kita ke kehidupan terbaik saat ini.

Apa yang kita lalui, apa yang kita rasakan, 
Apa yang pernah kita bangun, lalu hancur berkeping pun,
Apa yang pernah kita bayangkan, lalu tidak sesuai kenyataan,
Hati yang terluka sedalam-dalamnya, 
Hati yang hancur berkeping,
Luka yang serasa tiada jera,
Itu adalah energi untuk kehidupan masa depan. Keep moving on. 

Bukankah elektron membutuhkan energi besar untuk melompat ke orbit yang lebih tinggi?

---untuk kamu, jangan biarkan hatimu petjah berkeping hanya karena secuil fakta masa lalu yang baru terkuak kini. Keep on the track. 
---untuk kamu, yang merasa patah hati... Time is healing. Jika saat ini kamu menangisinya, yakinlah suatu saat kamu akan tertawa mengenangnya.
--untuk kamu, yang merasa nganu...ya nganu aja lah Hahahaha. Pokoknya love, peace, dan gaol. 😂😂



Sabtu, 28 Juli 2018

Tutorial Menjahit Bandana Simpel

Punya anak perempuan bikin tangan 'gatel' bikin pernak pernik untuk mereka. Salah satunya ini. Bandana kain pelengkap/aksesoris rambut atau jilbab mereka. Manis, kan? Simpel kok bikinnya. Bahkan anak-anak bisa diajari untuk ikut membuat bandananya sendiri.

Siapkan alat dan bahannya.
1. Kain atau perca yang dipotong memanjang. Saya pakai kain katun Japan design ukuran 10 x 70 cm.
2. Kancing warna warni.
3. Velcro. Itu lho perekat yang sering dipakai di sepatu anak, kalau dilepas seperti ada bunyi 'prepeett..preeeeepeetttt' 
4. Benang, jarum, gunting

Lipat potongan kain seperti pada gambar. Bagian bagus ketemu bagus, lalu dilipat sehingga bagian buruk di luar.

Jahit kira-kira setengah cm dari pinggir. Ujung-ujungnya jangan dulu dijahit ya..
Jangan lupa sisakan lubang/bagian yang tidak dijahit di pertengahan kain. Gunanya nanti untuk membalik kain.

Ujung-ujung kain dijahit seperti pada gambar. Letakkan garis jahitan di tengah, lalu jahit bagian ujung kain. Lakukan hal yang sama untuk ujung satunya.

Balik kain yang sudah dijahit melalui lubang yang tadi.

Lalu jahit lubang pembalik. Jahit menggunakan cara jahitan som/blindstitch biar rapih. Benangnya usahakan warna senada.

Lipat sedikit salah satu ujung kain. Lihat gambar ya..
Lalu jahitkan kancing pas di lipatan. 
Ulangi lagi melipat dan menjahit benang kedua, ketiga dan seterusnya.

Saya pakai tiga kancing. 
Penampakan belakang dan depan seperti di gambar, ya?

Ukur dan sesuaikan bandana dengan kepala anak, untuk menentukan posisi velcro yang akan dijahit.
Jahit velcro di kedua ujung kain. 
Kenapa saya pakai velcro? Menurut saya itu yang paling gampang dipakai sendiri oleh anak. Mungkin bisa juga pakai alternatif lain seperti kancing atau yang lain. 
.
.
Dah siyaapp dipakai.