Selasa, 21 Agustus 2012

Cerpen : Perempuan di Pasar


Seorang perempuan muda, mungkin sedikit lebih tua dibandingkan aku. Pandangannya acuh tak acuh. Sesekali suaranya berteriak menawarkan jualan kepada orang yang berlalu lalang.
 “Berapa ini?” tanyaku pada penjual ikan itu. Tanganku menunjuk seonggok ikan balado segar. Sementara mataku melihat ke wajah penjualnya. Wajahnya agak kusam dan tanpa make up sama sekali. Rambut sebahu dikuncir seadanya. Berbaju polos warna biru pudar. Tangannya sibuk mengipas-ngipas lalat. Mata sipitnya seperti tidak bergairah.
“Tiga puluh ribu.” sahutnya singkat.
“Nggak bisa kurang?” tanyaku lagi. Menawar.

“Sudah segitu memang harganya. Nggak kurang lagi.” Nada suaranya dingin, sedingin ekpresi wajahnya.
Duh, masa nggak bisa ditawar sih, pikirku.. Baru sekali ini aku hendak membeli ikannya. Lantaran dia menjual ikan yang kucari. Biasanya kulewatkan begitu saja. Kulirik jualan-jualan orang lain yang ada di kanan kirinya. Mungkin ada di penjual lainnya, tapi di sebelah sana agak jauh.
Terbersit rasa  penasaran dengan perempuan. Entah karena harga yang belum bisa ditawar atau sikap dinginnya.
“Dua puluh lima ya?” tawarku lagi.
“Nggak bisa. Tidak mahal ini. Sedikit saja untung kuambil.” Masih acuh tak acuh. Dalam hati aku gregetan. Masa pembeli dicuekin. Untungnya aku bisa sedikit maklum. Di daerah sini rata-rata penjual bersikap begitu. Agak berbeda kalau dibandingkan dengan daerah lain. Jadi tidak bisa dijadikan alasan untuk tersinggung. Toh, sudah biasa.
“Dua puluh delapan deh.” Kukeluarkan jurus terakhir adu penawaran dengan nada suara melunak.
“Tiga puluh. Nggak kurang.”
Akhirnya aku menyerah.  Kubeli dengan perasaan setengah hati. Menyodorkan tiga lembar sepuluh ribuan. Mengambil kantong kresek kecil berisi ikan, lalu mengucapkan terima kasih.  Tidak ada jawaban yang kudengar kecuali tatapan mata yang cuek. Huft, sabaaar, hiburku pada diri sendiri.
Beginilah rutinitas belanja di pasar tradisional. Pasar kecil di tengah-tengah kampung yang jauh dari hiruk pikuk kota.  Setiap pagi hingga siang, pasar tak pernah sepi. Dan selalu, setiap jam tujuh pagi kusempatkan belanja kebutuhan dapur. Sekedar membeli sayur, cabai, tomat, atau ikan segar. Sejujurnya ada kesenangan tersendiri. Melihat aneka ragam barang dagangan dengan harga yang beragam pula.
Di pasar semua barang bisa ditawar. Dari sayur kangkung hingga celana kolor. Masalah berhasil atau tidak, tergantung kesepakatan dengan penjualnya. Toh tidak ada aturan khusus tawar menawar. Asal setuju sama setuju, deal. Nah, yang bikin agak mengganjal adalah ketika sudah menawar dengan gigih, tapi tidak sedikit pun penjual mau menurunkan harga. Seperti tadi.
“Iyalah, masa mahal begitu. Biasanya sama penjual yang lain juga bisa ditawar. Masa kurangin harga dua ribu rupiah aja nggak mau.” omelku.
Suamiku cuma tesenyum, “Kalau jadinya menggerutu kenapa dibeli? Cari saja penjual yang lain, kan banyak.”
“Udah telanjur nawar.” kilahku, “Kan lumayan kalau dapat kembalian barang dua ribu tiga ribu. Bisa buat nambah bayar ojek.”
“Memang belinya bukan di langganan?” Aku menggeleng.
“Itu namanya rejeki, Dik. Rejeki kamu dapat ikan harga segitu. Rejeki juga buat penjual ikan dapat uang segitu. Paling-paling untungnya juga nggak seberapa. Coba kamu beli sendiri di tempat pelelangan ikan, Belinya harus banyak, modalnya juga besar. Sudahlah, nggak usah galau lagi.” Dia mengacak pelan rambutku sambil tertawa kecil.
“Yaah deh. Nggak apa-apalah lah, itung-itung ngasih.” sahutku sekenanya
Suamiku tertawa lagi. “Hush! Ngasih itu yang ikhlas, bukan terpaksa. Apalagi sambil menggerutu. Lagian jual beli beda dong sama sumbang menyumbang.”
Aku nyengir. Benar juga sih.
Besoknya, terdorong rasa penasaran kucoba membeli lagi ikan di tempat kemarin. Mudah-mudahan dikasih kortingan harga. Sebab kulihat ikan yang dijual nampak segar dan lebih beraneka ragam dibandingkan penjual lainnya. Dan seperti kemarin, terjadi dialog yang serupa tapi tak sama. Berulang dengan intonasi hampir sama. Juga mimik wajah penjual yang masih belum berubah. Menurutku sih, tidak ramah. Kali ini dia memakai baju warna coklat dan celana panjang hitam yang lusuh. Suaranya memanggil-manggil orang yang lewat di depannya. Berharap ada yang berhenti untuk membeli.
Aku mendekat.
“Yang ini berapa?” Aku menunjuk seonggok udang seukuran ibu jari.
“Dua puluh ribu.”
“Nggak kurang, nih?” tanyaku menawar. “Kasih kurang lah sedikit. Kan kemarin juga beli disini.”
Aku nyengir sendiri. Lagian, mana mungkin dia ingat, lha wong yang beli juga bukan cuma aku.
“Lima belas ya.” tawarku.
“Wah, nggak bisa. Modalnya saja segitu.” jawabnya. Wajahnya datar. Hampir tanpa ekspresi. Terus terang aku tidak terlalu percaya dengan omongan penjual “modalnya sekian”, “untungnya cuma sekian”. Siapa tahu dia berbohong.
“Tujuh belas ya.”
“Nggak bisa.” sahutnya cepat.
“Masa nggak bisa. Besok-besok saya langganan deh beli di sini.” rayuku. Tidak tahu kenapa, justru dengan sikap dinginnya, aku semakin penasaran untuk menawar. Lagi dan lagi.
Sekali ini, dia memandangku lebih dari biasanya.
“Kalau delapan belas bisa. Ambil kalau mau.”
“Ah, tujuh belas lah. Masa nggak bisa.” Aku masih ngotot untuk menawar.
Tanpa menjawab, perempuan itu menatapku sesaat. Lalu mengambil kantong plastik dan mulai membungkus udang yang kutawar.
Dia menyodorkannya kepadaku.
Aku tersenyum. Yessss, hatiku senang. Lumayan lah, suatu kepuasan saat kita menawar dengan harga yang pas menurut kita. Kuambil selembar duapuluh ribuan di dompet. Lalu mengulurkan kepadanya.
“Uang pas?” tanyanya.
Aku menengok isi dompet. Menggeleng. Ada sih sebenarnya, selembar dua ribuan. Tapi kupikir daripada tidak ada uang receh, mendingan aku minta kembalian.
Penjual itu beranjak sebentar, menukarkan uang ke penjual lainnya. Tanpa obrolan berarti.
Tak berapa lama dia kembali, menyodorkan tiga lembar uang seribuan
“Terima kasih.” kataku. Mataku berbinar. Hhmmm, lumayan buat ongkos naik ojek.
Dia tersenyum tipis. Hampir tidak kelihatan. Aku sempat heran. Ah, barangkali dia mau bersikap ramah.
Aku bertanya-tanya dalam hati kenapa dia bersikap begitu. Datar. Cuek. Dingin. Acuh tak acuh. Agak jutek. Bahkan terkadang sikapnya agak kasar menurutku. Jangan-jangan dia perempuan misterius? Perempuan yang tidak bahagia? Suaminya kemana? Jangan-jangan korban KDRT? Ataukah janda? Atau justru perawan tua? Aduuh, kok malah kepikiran kemana-mana.
Esoknya lagi, aku kesiangan. Gara-gara malamnya kelamaaan online, habis subuh tidur lagi sebentar. Tapi kebablasan. Buru-buru mengurus sarapan, ini itu, hingga hampir jam delapan baru berangkat ke pasar.
Pasar masih ramai dengan lalu lalang orang. Juga ojek yang berderet-deret di dekat pintu pasar. Aku berjalan menuju lorong penjual ikan. Mudah-mudahan masih kebagian ikan segar. Tentunya dengan harga yang miring. Seperti ketagihan aku menuju penjual yang kemarin. Berharap dia bersikap lebih ramah. Juga berharap senyuman yang lebih lebar di bibirnya yang tanpa olesan lipstik itu.
Kecewa aku tidak mendapatinya hari ini. Heran, kenapa aku merasa seperti kehilangan.
Kutanyakan pada penjual di lapak sebelah kiri kanannya.
Ada yang menggeleng. Ada yang bergumam tidak jelas. Memakai bahasa daerah yang tidak kumengerti. Ada pula yang berbisik-bisik sambil mencuri pandang ke arahku.
Intinya, tidak ada jawaban yang kudapat.
“Nggak beli ikan, Mas. Tahu tempe saja ya. “ kataku pada suamiku sore harinya.
“Kenapa?” tanyanya. Matanya tak menoleh sedikitpun. Rupanya dia sibuk dengan koran harian lokal yang dibacanya.
“Jadi nggak minat beli ikan, Soalnya penjual yang kemarin nggak datang.”
“Lhooo, kan masih banyak penjual yang lainnya. Kali aja dapat lebih murah.”
Didengar dari nada suaranya sih, sedikit meledek.
“Nggak gitu.” elakku. “Jadi penasaran aja. Kemarin dia ngasih senyuman. Dikit sihhh.. Biasanya kan cuek banget. Ampun dah. Hehehe kali aja, kalau saya sering-sering beli di situ orangnya jadi ramah. Saya pun bisa kenalan sama dia. Terus terang, jadi penasaran deh. Kok kayak misterius gitu.”
Suamiku tertawa. “Penasaran sama orangnya atau tawar menawarnya?”
Aku nyengir kuda. Entahlah. Tiba-tiba mimik muka suamiku  nampak serius. Mendekatkan koran ke wajahnya. Lalu membetulkan letak kacamatanya.
“Astaghfirullah!”
“Kenapa, Mas?” tanyaku heran.
Kepalanya menggeleng berkali-kali.
“Ini lhoo, masa ada dua anak kecil yatim piatu ditelantarkan. Dikurung seharian di kandang kambing gara-gara nggak ada orang di rumahnya. Nggak dikasih makan. Sampai kelaparan. Katanya malah sampai belepotan kotoran mereka sendiri dan kotoran kambing.“
Kaget. Hari gini, masa masih ada yang begituan.
“Dimana itu?”
“Di daerah sini. Eh, malah nggak jauh kayaknya dari perumahan ini. Kampung sebelah di seberang sungai dekat pasar.”
            “Anak-anak umur berapa itu? Nggak ada yang ngurus? Ih, tega amat ya.”
 “Di bawah lima tahun semua. Kata koran ini sih mereka tinggal cuma sama bibinya. Nggak ada yang lain. Kalau bibinya kerja, tuh anak-anak dikurung begitu saja. Ckckck, beginilah sebagian potret masyarakat miskin. Saking miskinnya sampai dia juga miskin pikiran dan ide gimana cara ngurus anak. Heran juga kok tetangganya baru tahu setelah berbulan-bulan.”
“Mana?” Aku meraih koran. Penasaran ingin baca beritanya sendiri.
Mataku terbelalak melihat foto yang terpampang di situ. Seorang perempuan tertunduk digandeng polisi berseragam. Wajahnya begitu kukenal. Ya, itulah perempuan yang berjualan ikan di pasar, yang selalu berwajah dingin dan bersikap acuh tak acuh. Perempuan yang memberi senyum tipis setelah ikannya berhasil kutawar tiga ribu rupiah lebih murah. Perempuan yang setengah kupaksa memberi kembalian sebesar tiga ribu rupiah. Hanya karena keinginanku untuk menghemat ongkos bayar ojek. Atau karena kepuasan tawar menawar. Atau menuntaskan rasa penasaran pada sikap acuh tak acuhnya. Entahlah.
Tiba-tiba aku merasa kerdil. Hatiku menciut. Terbersit rasa  bersalah yang tak kuasa kukatakan.

Tidak ada komentar: