Sampai sekarang pun
saya masih heran kenapa waktu berseragam putih abu-abu alias jaman SMA dulu saya
lebih dikenal sebagai murid telatan daripada
murid teladan. Lhooo, harusnya nggak perlu heran. Lha wong memang saya ini
sering terlambat masuk sekolah dari waktu yang dijadwalkan. Kalah duluan
dibanding bel sekolah. Bisa lima menit, sepuluh menit, seperempat jam atau tiga
perempat jam. Kata ‘sering’ bisa didefinisikan bahwa dalam seminggu rata-rata
dua atau tiga kali datang terlambat. Oh mai sarooohhh, eh …dasar tukang telat.
Kalo ditelisik lebih jauh, sebenarnya banyak penyebabnya. Yang pertama
jarak sekolah ke rumah saya itu sekitar 15 km. Mungkin lebih. Maklumlah saya
belum pernah ngukur pake meteran jadi nggak tahu pastinya. Bayangkan jika saya
harus berjalan kaki sejauh itu, apa tidak rontok bulu-bulu kaki saya setiap
harinya? Atau naik becak dengan resiko harus menggenjot sendiri? Ngonthel sepeda di jalur Pantura hingga
nggak bisa bedain antara keringet dan ingus, yang nempel di baju seragam? Ah,
pilihan yang tepat ternyata tidaklah sedramatis itu. Ya, naik bis saja. Tapi bisnya
nggak boleh sembarangan, harus yang berwarna jingga. Sopirnya setengah baya,
keneknya mirip pemain bola, eh salah ding. Maksudnya harus bis jurusan
tertentu, sebab kalo sampai salah jurusan bukannya sampai sekolah tapi bisa nyasar
ke stadion. Kan kita mau pergi sekolah sodara, bukan mau nonton bola.
Halaaah, sebenarnya ini pun cuma alasan. Kalo berangkat
paling lambat jam 6 teng, Insya Allah nggak bakalan telat tuh.
Padahal sebelum berangkat, rutinitas yang menyita waktu adalah bolak balik ngadep cermin, berulang-ulang ngerapihin baju, ngukur pola kemiringan poni dan tatanan rambut, ngelus-elus jerawat yang nongol tanpa permisi, nutupin jahitan rok yang tiba-tiba mburudul, ngecek ketinggian kaos kaki yang kurang setara, dan lain-lain. Harusnya sih seperlunya saja, lihat jam nduk! Cepetan keluar rumah, berang berang makan tomat… b e r a n g k a t! Lalu sebisanya jalan cepat-cepat nggak nolah noleh atau pun basa-basi sama tukang sayur. Mulutnya dipending dulu, kalo mau ngobrol nanti saja sama pak kusir dokar atau kenek angkot yang ngantar ke alun-alun. Trus nggak usah nunggu gebetan untuk bisa naik satu bis. Menurut penjabaran rumus fisika, waktu tempuh adalah jarak tempuh dibagi dengan kecepatan. Maka hampir dipastikan masih ada sisa waktu luang untuk nongkrong di kantin Bu Tentrem sebelum bel masuk berbunyi. Asalkan bis yang setia menanti di depan alun-alun itu masih bersedia menaikkan penumpang. Satu lagi, bisnya harus tepat waktu sampai ke sasaran nggak pake ngetem lama-lama, nggak meletus bannya, nggak mogok di jalan, sopirnya nggak kebelet buang air besar, keneknya nggak pingsan tiba-tiba, nggak ada bom, nihil pembajakan dalam bis... Wah banyak kan syaratnya?
Padahal sebelum berangkat, rutinitas yang menyita waktu adalah bolak balik ngadep cermin, berulang-ulang ngerapihin baju, ngukur pola kemiringan poni dan tatanan rambut, ngelus-elus jerawat yang nongol tanpa permisi, nutupin jahitan rok yang tiba-tiba mburudul, ngecek ketinggian kaos kaki yang kurang setara, dan lain-lain. Harusnya sih seperlunya saja, lihat jam nduk! Cepetan keluar rumah, berang berang makan tomat… b e r a n g k a t! Lalu sebisanya jalan cepat-cepat nggak nolah noleh atau pun basa-basi sama tukang sayur. Mulutnya dipending dulu, kalo mau ngobrol nanti saja sama pak kusir dokar atau kenek angkot yang ngantar ke alun-alun. Trus nggak usah nunggu gebetan untuk bisa naik satu bis. Menurut penjabaran rumus fisika, waktu tempuh adalah jarak tempuh dibagi dengan kecepatan. Maka hampir dipastikan masih ada sisa waktu luang untuk nongkrong di kantin Bu Tentrem sebelum bel masuk berbunyi. Asalkan bis yang setia menanti di depan alun-alun itu masih bersedia menaikkan penumpang. Satu lagi, bisnya harus tepat waktu sampai ke sasaran nggak pake ngetem lama-lama, nggak meletus bannya, nggak mogok di jalan, sopirnya nggak kebelet buang air besar, keneknya nggak pingsan tiba-tiba, nggak ada bom, nihil pembajakan dalam bis... Wah banyak kan syaratnya?
Berhubung alasan pertama sudah menjelaskan banyak alasan,
jadi nggak perlu ada alasan kedua, ketiga, dan seterusnya. Terlalu banyak alasan
justru menampakkan kemalasan di baliknya. Hehehe.
Kadang-kadang saya pikir bahwa kebiasaan telat adalah
semacam ‘kutukan’. Kutukan tanda kutip secara saya nggak percaya dengan
model-model takhayul dan bukan penganut dunia perklenikan. Istilah tepatnya
barangkali semacam sugesti atau apa lah. Awalnya gara-gara terlambat masuk sekolah
tepat di minggu pertama bulan pertama dan tahun pertama bersekolah, bertepatan
dengan hari ketiga penataran P4, pas pula wali kelas yang jadi mentor penataran
dengan materi moral-moral ke-Pancasila-an. Nah di waktu yang demikian, saya
telat masuk sekolah sodara-sodara. Mengetuk pintu dengan sedikit rasa bersalah,
plus kepolosan (naif?) tanpa bisa menebak apa yang terjadi kemudian. Sendirian. Lalu masuk ke dalam kelas diiringi pandangan mata beraneka ragam. Ada yang menertawakan,
ada yang kasihan, ada yang stay cool
biasa aja kaleee… Tapi sayangnya nggak
ada yang histeris bertepuk tangan menyambut kehadiran saya. Kalo gitu kan saya berasa jadi penyanyi terkenal hohohoho.
Setelah mendapat teguran seperlunya, saya pun duduk.
Saya kira it’s done, nggak ada teguran
lagi. Hehehe enak amat yaach, besok-besok mau dong telat lagi. Eh, nggak taunya
Pak Guru menyindir saya dengan kata-kata yang halus, tapi lugas dan tepat dialamatkan pada
saya. Yeee itu sih nggak nyindir, tapi ngegampar. Tapi karena itu adalah ucapan
Pak Guru maka tolong dimaknai dengan istilah menasehati.
“Kalian harus belajar
yang rajin, biar pintar, berlomba
jadi rangking satu. Jangan seperti dia, bisanya telatan.” Telunjuknya tepat
mengarah pada saya. Saya sih cuma mesam-mesem dan agak keki mirip orang yang
ketahuan kentut di tempat umum.
Sebagai murid yang baik (meskipun telatan), saya ingat
kata-kata Pak Guru. Harus belajar rajin biar pintar, dan Alhamdulillah selama saya
di kelas itu pun selalu rangking satu. Tapi ya tetep, ..telat lagi..telat
lagiiiii. Oh tidaaakkk…!
Hampir semua usaha telah saya lakukan. Yang halal dan
bermartabat tentunya. Bukan nyari bis yang ada label halalnya lho. Tapi bis
yang ada sopir dan kondekturnya. Hehehe. Jika ditagih kondektur bis ya bayar,
nggak pake ngemplang. Yah, sesekali gratisan naik bis, karena dibayari teman
atau nebeng bis milik bokap teman, tapi tetap nggak sembarangan nebeng yang
gratisan-gratisan. Banyak kok truk yang nawarin jasa tumpangan, tapi masa iya
cewek seimut saya mau numpang sembarangan. Nggak lah yaaaa… Niat sampai
trik-trik anti telat pun saya pelajari. Sempet terpikir mau berangkat dari
rumah begitu adzan Subuh selesai dikumandangkan. Tapi dipikir-pikir pasti saya
kebagian tugas bukain pintu gerbang. Saya cuma nggak enak aja kalo nanti
penjaga sekolah ngasih sekian persen gajinya buat saya. Hihihihi..
Ya begitulah, mungkin di slot memori saya ada suatu
keegoisan dan ‘harga diri’ untuk mempertahankan status telatan. Toh meskipun
telatan, orang tua saya masih bisa bangga ketika pembagian raport tiba.
Memandang angka satu tertera sebagai perwakilan dari kata ‘terbaik’. Rangking
satu gitu looohhh. Jadi so what gitu
loh? Ah, kalo mau jujur, jika ada raport kedisiplinan bisa jadi saya rangking tiga dari bawah. Hei,
kenapa nggak rangking satu dari bawah? Ya iya laaahh, terlambat hanyalah satu
dari bentuk pelanggaran kedisiplinan (meski efeknya banyak hehehe). Dan masih
ada beberapa teman yang lebih parah tingkat kedisiplinannnya dibanding saya. Kalo
boleh minjem istilah, bisa jadi ada istilah disiplin jongkok. Wkwkwkwkwk
Satu hal yang saya tidak sadari waktu itu bahwa
kebiasaaan buruk ibarat bumerang bagi diri saya sendiri. Yang pertama jelas
bahwa hubungan baik saya dengan guru wali kelas, guru yang sering mengajar di
jam pertama, guru BK (Bimbingan Konseling, dulu sih namanya BP, lupa
singkatannya apa), dan guru piket udah pasti naik turun nggak jelas, remuk
redam, dan sering terlibat konflik. Boro-boro mau harmonis, setiap kali bertemu
kalo nggak menegur yah menasehati dengan lugas atau sindiran. Padahal segala
teguran, lisan maupun tulisan, tidak manjur. Hukuman nyanyi dangdut depan
kelas, lari keliling sekolah, upacara sendiri di lapangan bendera, bersihin
sekolah, nggak ada satu pun yang ngaruh. Hehehe gimana mau ngaruh, lha wong
saya entah kenapa selalu lolos dari hukuman itu semua. Sekali ding pernah, itu pun kebagian bersihin Laboratorium
Biologi berdua dengan kakak saya.
Lumayan lah pura-puranya sambil belajar, lagipula nggak kotor-kotor amat, adem
lagi ruangannya. Sedikit lebih elit daripada cabutin rumput di taman depan
sekolah. Wkwkwkwk parah. Mungkin saja mereka gregetan, marah, atau judeg dengan alasan klise yang saya
ajukan. Bis, bis, dan bis! Ketinggalan bis, nggak kebagian naik bis, bis mogok,
pecah ban dan banyak lagi. Kalo saja seandainya para sopir, kondektur, kenek
dan pemilik bis disangkutpautkan dalam kasus ini, mereka pasti nggak bakalan
terima. Hiihihiii, untung saya cuma nyalahin bisnya.
Gara-gara sering telat, tanpa saya sadar hubungan saya
dengan teman pun amburadul. Janjian mau bantuin ngerjain PR pagi-pagi pasti
gagal total. Janjian mau cari sarapan bareng juga melayang. Janjian nungggu
gebetan berjamaah di depan kelas jadinya wassalam, keburu gebetan lewat duluan.
Apalagi janjian buat rapat pagi-pagi. Cieeeeee… jaman belum musim facebook dan
twitter kita juga bisa gahooolll
sodara-sodara.
Pernah suatu ketika, wali kelas memberlakukan kebijakan
baru. Setiap hari tempat duduk boleh
berubah, siapa cepat dia dapat. Boleh, dalam arti mau menetap atau berpindah-pindah
terserah kita. Walhasil setiap hari akan
ketahuan siapa yang datang terlambat hari itu. Kalo nggak dapat bangku paling
depan pas di muka meja guru, ya bangku pojok belakang yang buat ngeliat tulisan
di papan tulis musti pake teleskop. Anehnya, saya yang sering telat nggak
kebagian tempat-tempat istimewa
begitu. Kenapa coba? Jelas karena
campur tangan Rina, teman sebangku saya yang nggak pernah terlambat masuk
sekolah, jadi kami selalu bisa duduk di bangku favorit. Juga andil dari teman
depan dan belakang kami, yang juga tidak menyandang status telatan. Kami
menganut prinsip menetap karena nomaden itu sulit. Ah, hidup di sekolah masih
bisa dinikmati dengan teman sebangku yang ‘setia’, teman depan yang sukarela
mau dijailin, dan teman belakang yang tidak jail tapi selalu setia memberi
pinjaman penggaris dan penghapus. Juga sekilas senyum manis gratis setiap kali saya menengok ke belakang.
Hahahaha
Namun, tidak disangka tidak diduga, tiada angin
tiada hujan, di pagi yang cerah ceria
saya pun telat datang. Lhaaaa kan kemarin-kemarin biasanya telat juga nggak
pake angin nggak pake hujan. Bukan itu sodara, yang tidak biasa itu adalah
tempat duduk favorit yang sudah ditempati teman yang lain, serta keberadaan Rina yang masih misterius. Tengok punya
tengok,usut punya usut nampaklah dia sudah duduk bersanding (halaaahh) dengan teman yang lain. Kebingungan
mencari tempat duduk membuat saya jadi perhatian satu kelas. Kesedihan merasa
dikhianati teman yang setia. Ihhhiiikkkk.
Celingak-celinguk kesana kemari mencari bangku yang strategis. Bahkan sampai
teman saya ada yang mengalah memberikan tempat duduk favorit saya. Mentah-mentah
saya tolak, hanya karena (sekali lagi) egois dan ‘harga diri’. Harga diri tanda
kutip. Weeekkkk.
Akhirnya dengan perasaan dongkol saya memilih duduk di
bangku pojok belakang, satu-satunya yang tersisa, bersebelahan pula dengan
cowok. Lumayan cakep sih hahaha tapi dalam hati berdoa supaya pacarnya tidak
ngambek ke saya. Pagi itu jadi awal yang bete
buat saya. Bukan karena dimarahi pacar cowok itu, tetapi karena merasa tidak nyaman. Entahlah dangan Rina.
Tapi saya lihat dia juga merasa nggak nyaman sendiri. Berjarak beberapa meter di
kelas, kami saling mendiamkan.
Padahal dalam hati saya maklum dia berbuat demikian.
Mungkin dia sudah bosan dengan kelakuan saya yang sering mengandalkannya untuk
menempati bangku. Mungkin dia ingin saya jera dan nggak telat lagi. Atau mungkin
dia nggak suka lagi sama saya. Mungkin dia bosen berteman sebangku dengan saya.
Mungkin ada kesalahan saya yang membuat dia tersinggung. Mungkin diam-diam
cowok yang dia taksir ternyata naksir saya. Mungkin saya salah mengajarinya
tentang PR Matematika. Mungkin ternyata selama ini dia iri dengan nilai-nilai
ulangan saya. Ah, berputar-putar segala kemungkinan di benak saya. Ditambah
lagi kekuatiran gosip-gosip baru pasca saya sebangku dengan cowok. Membuat jam pelajaran berlalu tanpa
konsentrasi. Halaaahhh, biasanya juga
nggak konsen-konsen amat.
Jam istirahat pun saya
cuma bisa termangu di bangku tanpa membuat kehebohan dengan teman-teman sekitar
seperti biasa. Sejenak dunia seperti senyap. Berteman suara jangkrik dan
binatang malam. Menimpali gemericik air juga hembusan angin. Heeii, kalo itu
kan suasana rumah di dekat sawah. Hehehee..
Tiba-tiba saya
dikejutkan oleh tepukan buku di pundak saya.
“Woiii, ngelamunin
siapa hayoo?”
Rina tiba-tiba sudah
duduk di atas meja. Terdengar bunyi krieeettt.
Alamaakk, mudah-mudahan meja nggak patah.
Saya balas menyapa
dengan kurang bersemangat. Memandanginya saja tanpa ekspresi. Sesosok cewek
bermuka bulat dan berbadan agak gempal. Hehehe kalo dibilang gendut nanti bisa
tersinggung.
“Eh, maap bin sori
yaah, tadi aku juga telat. Masih sakit gigi nih, tadi malam nggak bisa tidur, jadinya
kesiangan. Trus kamu duduk di pojokan
deh.” Rina menjelaskan panjang bin lebar. Selebar kolor sepanjang tali jemuran.
Sambil agak mringis menunjukkan nyeri giginya.
“Nggak apa-apa kok.”
Saya nyengir, seperti kuda. Nggak mirip sih, tapi serupa. Hihihihihi. Dalam
hati saya bersyukur ternyata dia terkontaminasi virus telat..eh bukan ding,
maksudnya apa yang saya sangkakan tidak terbukti, toh hanya gara-gara dia terlambat. Itu saja.
“Kan mata kamu minus
dua, nggak bisa jelas ngeliat papan
tulis dong?” Aiih, terharu juga dengarnya. Perhatian juga nih teman. Ihiiikkkk..
“Yeee, kan pake
kacamata!” sergahku.
“Maap yaaa…”
Saya terdiam. Bukan
tidak mendengar. Tapi sepatah kata maaf eh maap, sudah membuat saya berpikir. Baru juga telat sekali, udah heboh aja dibawa
perasaan. Lalu gimana perasaan teman-teman saya ngadepin kebandelan saya yang
telat lagi telat lagiiii. Oh tidaaaaakkkk!
“Hei!” Rina
menggoyang-goyangkan bahuku.
Saya ketawa. Riang.
Dalam hati saya
berjanji untuk nggak telat lagi. Susah pastinya, tapi minimal kan dah niat. Niat
adalah awal mula dari usaha. Mudah-mudahan besok ada usaha dan membuahkan
hasil. Menuntaskan rekor dengan melepaskan titel murid telatan.
Huffttt… ternyata
tidak susah untuk berangkat sepuluh menit lebih pagi dan duduk di bis yang
masih sepi. Melupakan sedikit gangguan jerawat di pipi chubby. Menikmati sejuk udara pagi dan sepoi angin yang masuk dari
sisi jendela kaca bis. Memandangi kiri kanan jalan, pohon-pohon, tambak, sawah,
dan rumah-rumah penduduk. Sesekali ngelirik pak kondektur bis sambil berdoa
semoga nggak ada kegalakan dan kecentilan pada kami, para siswa perempuan. Juga
sekilas melihat pak sopir, semoga selalu sehat dan konsentrasi selalu supaya
kami selamat sampai tujuan.
Di jalan, bis sempat
beberapa kali berhenti menaikkan penumpang yang rata-rata berseragam putih abu-abu.
Hampir separuh perjalanan tiba-tiba bis sedikit oleng, lalu pelan-pelan
berhenti. Menepi di tepi jalan yang sepi. Sopir turun dengan bergegas. Membanting
pintu dengan keras. Braaaakkk!! Oh, ada apakah ini. Ribut sejenak dan kasak
kusuk di atas bis.
Kenek bis tergesa
membawa dongkrak. Beberapa penumpang turun mencari tahu. Oalahhh mau ganti ban
rupanya. Detik berlalu seperti bunyi derit roda becak yang kelebihan beban. Mau
turun nyari tumpangan bis di belakangnya jelas nggak mungkin. Pasti sudah full
penumpang dan kalo maksain diri bisa berjejalan. Fyiuuuhhh… terpaksa menunggu.
Apalagi berkali-kali sopir bis menenangkan.
“Tunggu saja, sebentar
lagi.”
Terus saja,
berkali-kali bilang ‘sebentar lagi’. Barangkali semua ban mau diganti.
Atau…sebenarnya nggak bawa ban cadangan, tapi harus nunggu ban yang diantar
dari pool bis. Waduuuhh!
Jam tangan
menunjukkan waktu 06.55. Lima menit sebelum bel masuk sekolah berbunyi. Belum ada tanda-tanda acara ganti ban
selesai. Badan saya lemas. Menarik napas
sambil bersandar. Oh tidaaakkkk…! Saya telat lagi.
***
3 komentar:
*ngampet ngguyu*
wakakakkk ra sah diempet bro, mundak mules
Podoae, aku yo sering telat kok,
Posting Komentar